Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
SALAH satu hal paling menggelitik dari pentas parodi politik lima tahunan bernama pemilihan presiden (pilpes) di republik ini adalah fenomena surplusnya kata ‘ulama’ dalam kehidupan sosial kita. Hampir tiap saat kita membaca, mendengar, dan menonton banjirnya kata ‘ulama’ di berbagai kanal media. Berbagai kegiatan politik akhir-akhir ini selalu diikuti embel-embel kata ‘ulama’. Sebut saja, misalnya, ijtima’ ulama, aksi gerakan pengawal fatwa ulama, tagar kamibersamaulama, dan lain sebagainya. Bisa jadi, kita sebenarnya sudah sampai pada taraf bising mendengar kata ‘ulama’ meski hanya bisa menggerutu dalam hati. Hampir tidak ada peristiwa politik akhir-akhir ini yang tidak ada embel-embel kata ‘ulama’ di belakangnya.
Di era digital, ketika batas kepakaran/keahlian menjadi kabur, ulama seakan menjadi profesi yang memberikan otoritas sakti bagi seseorang untuk dianggap menguasai segala lini kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari urusan agama, politik, ekonomi, perselingkuhan artis, mitos kebangkitan komunis, busana yang nyaman buat perempuan, bahkan sampai konten media sosial yang menarik buat generasi millenial. Ulama telah merambah segala lini kehidupan sosial masyarakat, seakan-akan membawa misi perbaikan kehidupan umat (masyarakat). Gejala ini setidaknya dimulai ketika memasuki era reformasi.
Dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru, ulama tampil tanpa malu-malu ikut berjibaku berebut kekuasaan dalam konstelasi politik nasional dan lokal. Salah satunya disebabkan oleh disumbatnya aspirasi politik mereka di sepanjang masa kekuasaan rezim Orde Baru Suharto. Akan tetapi biar bagaimanapun, aliansi ulama dan militer sempat menikmati manisnya bulan madu nan mesra beberapa saat setelah mengikis habis gerakan kiri Indonesia sampai akar-akarnya pada kurun waktu tahun 1965-1970-an awal ketika orde baru mulai berkuasa. Ibarat habis manis sepah dibuang, militerisme Orde Baru mengerangkeng para ulama di bilik-bilik pesantren setelah berhasil membantunya menduduki singgasana kekuasaan.
Ketika Orde Baru runtuh dan gerakan masyarakat sipil prodemokrasi berhasil mengembalikan militer ke barak, ulama menjadi salah satu elemen yang kecipratan euforia reformasi politik. Ulama mendapat bagian kue reformasi dengan mendapat panggung dalam gelanggang partai politik dan berbagai bentuk gerakan politik lainnya. Dengan kapital sosial dan simboliknya, ulama dengan mudah meraup suara untuk menduduki jabatan publik menjadi anggota legislatif dan jabatan eksekutif di berbagai tingkatan. Kalaupun tidak terjun langsung, minimal para ulama memiliki modal transaksi tawar-menawar dengan kekuatan oligarki politik. Dengan citra sebagai ‘manusia suci’ yang lebih dekat dengan tuhan, para ulama membangun propaganda di depan rakyat bahwa memilihnya atau memberi dukungan kepada figur politik yang diusungnya merupakan sebagian dari ibadah ketaatan terhadap tuhan.
Desakralisasi Ulama dan Miskinnya Gagasan Politik
Hari-hari ini ketika riuh pilpres semakin dekat, secara bersamaan kita mengalami desakralisasi ulama. Ulama tidak lagi menjadi tempat menggali keluhuran nilai-nilai kehidupan yang terlepas dari kalkulasi transasksi ekonomi politik murahan. Ulama telah bertransformasi menjadi makelar dan komoditas politik. Lihat saja betapa di kedua kubu yang berebut kekuasaan, sama-sama mengklaim mendapat dukungan dari ulama. Jokowi lebih dulu menggandeng KH Ma’ruf Amin yang notebene sesepuh NU sekaligus ketua MUI sebagai calon wakilnya. Jokowi seakan ingin memberi pesan tegas bagi kompetitornya di kubu sebelah bahwa dialah yang memegang tiket resmi dukungan ulama. Meski kita juga tidak bisa dilarang berspekulasi bahwa pemilihan Ma’ruf Amin oleh Jokowi adalah senjata mematikan agar lawan tidak lagi bisa memainkan jurus politisasi isu agama. Bukan karena kompetensi Ma’ruf Amin di bidang politik pemerintahan. Ulama cum politisi ini lebih dikenal dengan rekam jejaknya sewaktu berkarier di Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena kerap mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial. Tentu yang paling fenomenal adalah ketika MUI pimpinan KH Ma’ruf Amin ini mengeluarkan fatwa telah terjadi penistaan agama Islam oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Sebuah fatwa yang kemudian diikuti oleh aksi berjilid-jilid umat Islam Politik dari berbagai penjuru nusantara.
Setali tiga uang, kubu Prabowo juga tidak mau kalah. Sesaat setelah dinobatkan sebagai calon wakil presiden, Sandiaga Salahudin Uno, oleh presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), didaulat menjadi santri post-Islamisme. Bahkan belakangan Sandi ‘naik kelas’ dari santri menjadi ulama, menurut anggota dewan syuro PKS Hidayat Nur Wahid[1]. Kita juga belum sepenuhnya lupa rumor tentang Sandi yang beberapa waktu lalu ingin menyawer Dewi Persik menari striptis di sebuah klub malam di Bali. Saya tidak sedang membahas gosip murahan. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa di balik akrobat politik berebut klaim mendapat dukungan ulama, hanya menjadi pertanda betapa miskinnya gagasan politik politisi kita. Mereka sibuk memoles citra dengan mengklaim diri dikukung oleh kalangan ulama, seolah-olah ingin menegaskan kesucian mereka. Padahal saat bersamaan mereka secara tidak sadar sedang menginjak-injak akal sehat masyarakat. Mereka menganggap masyarakat kita begitu bodoh sehingga cukup taruh embel-embel didukung ulama, maka masyarakat akan berbondong-bondong mencoblosnya di bilik suara.
Pertanyaannya terpulang pada kita yang tidak terbuai oleh politik citra ini: maukah kita dibodohi atau menyerah kalah di hadapan kebodohan itu? ***
Muh. Fahrudin Alawi adalah mahasiswa Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM
———–
[1] www.cnnindonesia.com/nasional/20180917164702-32-330852/hidayat-nur-wahid-sebut-sandiaga-tergolong-ulama