Serikat Buruh, Solidaritas Kelas-Buruh Global, dan Hak Istimewa Kekaisaran

Print Friendly, PDF & Email

Kawan-kawan,

DALAM surat kali ini, saya akan bercerita tentang satu lapisan elit buruh yang disebut aristokrasi buruh (labor aristocracy) di negara-negara imperialis inti, rendahnya solidarita kelas buruh global, dan hubungannya dengan munculnya kekuatan politik populis di berbagai negara saat ini. Untuk melihat kait-kelindan ini, ijinkan saya bercerita agak panjang.

Serikat buruh, yang secara historis merupakan benteng sekaligus ekspresi politik kelas buruh, telah berpengalaman menghadapi kemerosotan kekuatannya selama 60 tahun di Amerika Serikat (AS), sebuah negara dengan tradisi panjang menentang keberadaan organisasi buruh. Selama periode ini, serikat buruh relevansinya sangat kurang bagi kelas buruh kulit putih dan memiliki relevansi terbatas terhadap buruh tidak tetap (precarious workers): perempuan, minoritas, dan pekerja imigran yang bekerja di pekerjaan berupah rendah di ekonomi pasca-industri. Subordinasi serikat pekerja di AS adalah fungsi dari berbagai faktor, terutama karena merosotnya industri manufaktur dan kebangkitan masyarakat konsumen yang sangat tergantung pada komoditas yang diproduksi di Negara-negara Selatan (Global South).

Langkah awal dalam mengatasi kegagalan solidaritas kelas internasional ini, kita harus mengakui bahwa sejak awal kemunculan kapitalisme, fraksi-fraksi dominan kelas buruh telah berusaha memperoleh hak istimewa atas para pekerja rendahan. Konsep ini kelak dikenal dengan istilah aristokrasi buruh/buruh elite (labor aristocracy ), dan telah diidentifikasi oleh para filsuf besar, dari Karl Marx dan Friedrich Engels hingga pakar ekonomi politik terkemuka Dunia Ketiga Samir Amin, yang baru saja meninggal pada awal Agustus ini.

 

Tesis Aristokrasi Buruh dan Kesenjangan Global

Perkembangan aristokrasi buruh merupakan komponen mendasar dari asal-usul dan ekspansi kelas buruh selama dua abad terakhir; bermula di Inggris hingga penyebarannya dalam skala global. Engels pertama kali memajukan tesis aristokrasi buruh untuk menjelaskan pergeseran kesadaran kelas (class consciousness) ke kesadaran serikat buruhisme (trade union consciousness) setelah UU Pabrik (Factory Acts ) diberlakukan untuk meningkatkan upah dan kondisi-kondisi kerja diberlakukan di Inggris dari 1850-an hingga 1880-an. Kompromi kelas ini yang mengatur kapasitas produsen untuk mengeksploitasi buruh di Inggris, memperbaiki kondisi kerja bagi buruh eselon atas sementara itu membiarkan pekerja pedesaan dan Irlandia membanjiri pasar tenaga kerja perkotaan. Perbaikan kondisi buruh dimungkinkan melalui pembagian kelas buruh menjadi buruh yang di “lindungi/protected” dan yang “dieksploitasi/exploited” melalui penciptaan tentara cadangan (unemployed reserve army/pengangguran) yang massif dan penerapan inovasi teknologi yang memaksa mayoritas buruh terjun ke dalam produksi massal. Seperti yang diamati Engels, para majikan tidak mengganti pekerja terampil berhak istimewa (privileged skilled workers) ini dengan mesin yang menghemat tenaga kerja, sebagaimana mayoritas buruh yang terjerumus ke dalam “keadaan sengsara dan tidak aman … laksana genangan air yang terus-menerus menyebarkan kesengsaraan dan kesedihan yang stagnan, kelaparan ketika keluar dari pekerjaannya, dan degradasi fisik dan moral saat bekerja… ”. Walaupun Engels menganggap buruh yang sangat tereksploitasi sebagai basis gerakan kelas buruh baru, namun perkembangan utamanya adalah menguatnya lapisan aristokrasi buruh.[1]

Dari akhir abad ke-19 hingga saat ini, penyuapan (bribing) dari fragmen kelas pekerja berhak istimewa telah diterapkan oleh kaum kapitalis secara berulang-ulang di negara-negara imperialis Eropa dan negara-negara jajahannya. Tujuannya adalah untuk menghancurkan solidaritas buruh dan merusak agen dan militansi buruh tersebut.

 

Lenin tentang Aristokrasi Buruh

Kritik Lenin terhadap Serikat Buruh dan Aristokrasi Buruh memperluas karya Engels dari negara bangsa ke sistem global. Pada tahun 1916, Lenin telah mengidentifikasi konvergensi krusial antara borjuis dan dalam aristokrasi buruh di negara-negara imperialis dalam mengeksploitasi massa pada kemanusiaan di pinggiran. Dalam hal ini, Lenin memandang partai demokratik kiri dan sosial sebagai kolaborator dalam perang imperialis melawan seluruh dunia untuk memastikan berlanjutnya (extraction) laba.

Namun bagi Lenin, konvergensi politik dari para pemimpin borjuis dan elite serikat buruh di negara-negara inti imperialis itu tidak meluas ke massa kelas buruh yang lebih besar. Seperti Engels, Lenin meramalkan bahwa eselon bawah kelas buruh pada akhirnya akan bangkit untuk menentang kepemimpinan serikat buruh yang korup, birokratis dan berkhianat, dan kemudian membentuk oposisi kelas pekerja yang sadar kelas.[2]

Namun, menurut Eric Hobsbawm, mengikuti Lenin, kapasitas massa kelas pekerja untuk menentang dan menggulingkan kekuatan eksploitatif yang menyatukan aristokrasi buruh dengan borjuasi ditentukan oleh hubungannya dengan alat-alat produksi. Pada awal abad ke-21, pengamatan Hobsbawm sangat tepat, karena kelas buruh tidak terlibat dalam kerja yang ekstensif seperti di masa lalu.

Kelas dari orang-orang yang tidak berpunya tetapi juga tidak bekerja tidak akan mampu menggulingkan para penghisap. Hanya kelas proletar, yang memelihara tatanan masyarakat, yang memiliki kekuatan untuk mewujudkan revolusi sosial yang sukses. Dan sekarang kita melihat bahwa, sebagai hasil dari kebijakan kolonial yang luas jangkauannya, proletariat Eropa telah mencapai sebagian situasi di mana bukan pekerjaannya yang menyebabkan keseluruhan masyarakat bisa bertahan melainkan oleh masyarakat koloni yang praktis diperbudak.[3]

Dengan demikian, Hobsbawm menegaskan, karena proletariat di inti kekaisaran (imperial core) kian tersingkir dari aktivitas ekonomi, maka hal itu menjadi dasar material dan ekonomi dalam mempertahankan sistem yang eksploitatif ini dan menjadi fondasi bagi munculnya jingoisme (chauvinism) sosial terhadap orang-orang tertindas di negara-negara koloni. Dengan absennya kepemimpinan serikat pekerja yang berprinsip, kelas pekerja kemudian secara organisasi terjebak pada ekonomisme (baca: kesadaran serikat buruhisme) yang hanya mementingkan dirinya sendiri sehingga konsekuensinya berbahaya bagi persatuan kelas pekerja.[4] Dengan cara ini, dan mengikuti Marx, sementara buruh sektor jasa dan borjuis-kecil pemilik bisnis, yang merupakan 80 persen dari seluruh tenaga kerja di AS, bukanlah penggerak utama ekonomi global. Sebaliknya, pekerja dan petani di Indonesia dan di seluruh Global South secara langsung menjadi subjek bagi pengerukan nilai lebih.

 

Buruh Berhak Istimewa (Privileged Workers) di Negara-negara Utara (Global North) Hari Ini

Sebagai kekuatan imperialis yang dominan sejak 1945 hingga kini, AS telah memperoleh keuntungan ekonomi karena statusnya sebagai kekuatan ekonomi, militer, budaya, dan polik yang hegemonik. Studi-studi ekonomi politik yang melimpah-ruah menunjukkan bahwa pembentukan dan konsolidasi tatanan keuangan di era pasca-perang tidak hanya menguntungkan kelas kapitalis tapi juga bagi kelas pekerjanya karena status istimewa mereka di pusat kekaisaran global. Fraksi kapitalis dominan di AS membutuhkan kelas pekerja yang kuat sebagai konsumen dari produk-produk dan layanan-layanannya.

Dengan kian meluasnya dominasi AS dari tahun 1970-an hingga awal abad ke-21, yang ditandai dengan relokasi produksi dari AS ke wilayah-wilayah berbiaya rendah baru di Negara-negara Selatan (Global South) seperti Indonesia, hal itu praktis mengubah pasar tenaga kerja karena pekerjaan yang dibayar dengan baik di bidang manufaktur diganti oleh sektor jasa perdagangan eceran (retail), dan keuangan. Secara bersama-sama, rekonstitusi pasar tenaga kerja AS yang menjauh dari produksi telah memecahkan masalah kelebihan produksi (overproduction) pada tahun 1970-an, dan merupakan sumber utama ketidakstabilan ekonomi dan politik. Tentara cadangan pengangguran juga bergeser dari AS dan negara-negara Global Utara lainnya, ke Global South. Di era pasca perang, rendahnya angka pengangguran selalu menjadi indikator ekonomi yang terlalu panas, karena pasar kapitalis khawatir bahwa upah akan merayap naik dan mengurangi tingkat keuntungan mereka. Ketika tingkat pengangguran menurun hari ini, pasar tetap stabil dan menjadi pertanda bahwa pasar konsumen tetap dinamis.

Meskipun upah telah dimoderasi sebagai konsekuensi dari melemahnya serikat buruh, AS menjadi tergantung pada kelas konsumen yang kuat untuk membeli barang-barang yang, terutama, diproduksi di luar negeri. Akibatnya, pasar kapitalis membutuhkan kelas pekerja yang sanggup membeli barang-barang produksi luar itu. Daya beli (purchasing power) pasar konsumen AS adalah yang terbesar di dunia dan, berdasarkan PDB per kapita, terus tumbuh. Di era modern, kelas pekerja yang mapan di AS dan inti imperialis ini adalah para aristokrasi buruh yang diuntungkan langsung dari eksploitasi tenaga kerja asing. Jadi, seperti dicatat Lenin, para pekerja AS dan Eropa hari ini tidak berbagi kepentingan politik material dengan 85 persen buruh dunia di Global South. Sebaliknya mereka bersekutu dengan borjuasi nasionalnya.[5] Karena mayoritas kelas buruh Amerika dan metropolitan adalah anggota dari aristokrasi buruh, maka kepentingannya menjadi bertentangan dengan kepentingan kelas buruh di Global Selatan yang terartikulasikan dalam bentuk nasionalisme sempit. Tujuannya adalah untuk mempertahankan keunggulan ekonomi yang diperolehnya melalui imperialisme.

Konsep aristokrasi buruh sebagai pendorong utama dalam kesadaran kelas dan tindakan politik ini, menurut saya, sangat penting digunakan untuk memahami watak populisme di Amerika dan di tempat lain. Kehadiran sektor buruh dengan hak istimwa bukanlah sebuah abstraksi tetapi memungkinkan kita untuk memahami gambaran fragmentasi yang menyebalkan dan menjijikkan. Sebagai pakar perburuhan dan sosialis, jauh lebih nyaman untuk melihat kelas buruh sebagai kekuatan terpadu yang kohesif. Adalah lebih baik untuk menyalahkan rendahnya persatuan kelas buruh dalam hubungan konfliktualnya dengan majikan yang rakus yang dikendalikan oleh negara kapitalis yang jinak, ketimbang menyaksikan perpecahan internal di dalam kelas pekerja.

 

Aristokrasi Buruh Metropolitan di Era Kontemporer

Menurut saya, keberadaan populisme secara langsung adalah untuk meredam konflik akibat kesenjangan global dan intensifikasi perjuangan kelas di pusat imperialis (imperialist center). Tujuannya adalah untuk mempertahankan hak istimewa ekonomi yang belum menurun bahkan semakin dalam melalui super-eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di Global South. Dengan demikian, kita bisa menjelaskan kemunculan pertumbuhan populisme sayap kanan yang mengkhawatirkan di dalam kelas pekerja Amerika. Sementara populisme juga diekspresikan di sebelah kiri, jelas bahwa erosi dan hilangnya serikat buruh yang memiliki gagasan-gagasan maju tentang keadilan dan hak-hak sosial pada level nasional, meskipun tentu saja tidak secara global, telah membuat para pekerja terbengkalai karena tidak adanya organisasi yang mewakili kepentingannya. Meskipun serikat buruh di AS memiliki hubungan yang lemah dengan anggotanya, namun begitu pekerjaannya melenyap, koneksi itu benar-benar hilang, dan para buruh itu harus berjuang sendiri.[6] Dalam kondisi ini, buruh kemudian cenderung bergabung dengan institusi-institusi agama yang mengampanyekan atau memajukan sovinisme atau sektarianisme sosial.

 

Gerakan Sosial dan Kebangkitan Sosialisme di Amerika?

Berdasarkan penelitian baru tentang imperialisme yang berfokus pada aristokrasi buruh, kita dapat menilai kerangka umum struktur kelas di AS. Jadi, jika kita mengikuti alasan dari Zak Cope, maka kelas buruh di AS adalah strata istimewa, yang secara kolektif mendapat keuntungan dari kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS melalui komoditas berbiaya rendah yang berasal dari dominasi imperialis. Dengan demikian, keseluruhan struktur kelas Amerika adalah penerima manfaat dari dominasi AS dan Barat atas perdagangan. Angkatan kerja berhak istimewa ini bukanlah minoritas buruh, tetapi telah meluas ke seluruh struktur kelas di AS, yang semuanya adalah penerima manfaat posisi AS pasca-perang sebagai kekuatan imperialis global yang dominan.

Sementara negara-negara metropolitan semakin didera oleh ketimpangan pendapatan yang sangat lebar, tercermin dalam slogan-slogan, “1 persen”, “buruh tidak tetap/precarious labor’”, “anti-fasisme”, dan ketertarikan yang meningkat pada “sosialisme”, sebuah pemeriksaan yang lebih dekat terhadap gerakan kiri, mengekspos reformisme yang tidak berusaha menjawab pertanyaan tentang kemiskinan dan eksploitasi global, tetapi redistribusi kekayaan di negara-negara kaya di Global Utara. Gerakan sosial dan arus politik tahun 2010 di AS, khususnya ‘Occupy Wall Street’ dan pertumbuhan dramatis dari Sosialis Demokrat Amerika (Democratic Socialist of America) setelah pemilihan Donald Trump pada tahun 2016, lebih mengkhususkan perhatian mereka pada ketidaksetaraan nasional ketimbang ketidaksetaraan global.

 

Quo Vadis, Buruh AS?

Untuk mengatasi masalah aristokrasi buruh di AS akan membutuhkan perjuangan yang signifikan dan terpadu. Berikut adalah beberapa kebutuhan utama

Kembalinya ideologi perjuangan kelas di A.
Pengakuan atas kegagalan serikat buruh yang ada, yang, setelah upaya selama beberapa dekade, telah gagal untuk mengubah dirinya sendiri.
Perjuangan melawan birokrasi buruh yang tidak memiliki kepentingan untuk memajukan kepentingan kelas buruh di dalam atau di luar negeri.
Hak istimewa telah ditanamkan dalam DNA kelas buruh borjuis kecil dan banyak serikat buruh, yang hanya mencari keuntungan buat mereka yang paling diistimewakan.
Untuk memajukan solidaritas, kaum buruh dan para aktivis di Global Utara harus membangun persatuan melawan imperialisme dan paham nasionalisme sempit dan menolak keberadaan super-profit yang diperoleh melalui eksploitasi buruh di Global South.
Pembangunan aliansi progresif global membutuhkan pengakuan atas kesenjangan global dan pembagian kelas lintas batas negara.

Jika kemajuan harus dibuat, maka menjadi kewajiban kita untuk mengenali kesalahan kita sendiri. Pertama, bagaimana ketimpangan global melemahkan kapasitas pmembangunan solidaritas kelas. Sebaliknya, ia menghasilkan populisme sayap kanan dan xenofobia di negara-negara Global Utara. Kita perlu menyalurkan populisme ini ke dalam perlawanan terhadap monopoli kapitalisme keuangan global dan mengidentifikasi ketidaksetaraan dan kemiskinan sebagai bentuk eksploitasi yang paling mendasar. Ini adalah langkah pertama yang penting, yang akan ditinjau kembali dan diuraikan dalam artikel selanjutnya.***

 

Immanuel Ness adalah profesor ilmu politik di Brooklyn College, City University of New York (CUNY). Prof. Ness adalah juga editor dari The Journal of Labor & Society, dan menulis puluhan buku dan artikel ilmiah, di antaranya Southern Insurgency: The Coming of the Global Working Class (2015) dan Immigrants Unions & The New US Labor Market (2005).

 

———

[1] See Friedrich Engels Preface to The Condition of the Working Class in England, Citation Marx and Engels on the Trade Unions, Edited by Kenneth Lapides; Written: by Engels, March 1, 1885 in “England in 1845 and 1885”; First Published: Condition of the Working Class in England, Progress Publishers 1977 Access date: June 12, 2018,

https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/condition-working-class-england.pdf

[2] V.I. Lenin, Imperialism and the Split in Socialism, Sbornik Sotsial-Demokrata No. 2, December 1916.

https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/oct/x01.htm

[3] Eric Hobsbawm “Lenin and the Aristocracy,” Monthly Review (Dec 1, 2012).

https://monthlyreview.org/2012/12/01/lenin-and-the-aristocracy-of-labor/?v=38dd815e66db (Accessed May 20, 2018)

[4] Ibid. Hobsbawm notes: “the more general argument about the dangers of “spontaneity” and “selfish” economism in the trade-union movement, though illustrated by the historic example of the late nineteenth-century British labor aristocracy, retains all its force. It is indeed one of the most fundamental and permanently illuminating contributions of Lenin to Marxism.Eric Hobsbawm, “Lenin and the ‘Aristocracy of Labor’, Monthly Review, December 1, 2012. Accessed May 20, 2018. https://monthlyreview.org/2012/12/01/lenin-and-the-aristocracy-of-

labor/?v=38dd815e66db

[5] See Samir Amin, The Sovereign Popular Project; The Alternative to Liberal Globalization, Journal of Labor and Society, 20:1, March 2017, pp.7-22.

[6] On the decline in American membership in trade unions and other social organizations, see Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2001).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.