MENDISKUSIKAN posisi sosialis yang mengusung gagasan intervensi pemilu sekarang ini bukan perkara yang mudah. Kegagalan politik kelompok sosialis untuk mendorong pendirian partai politik yang membawa agenda progresif untuk terlibat dalam pemilu 2019, menciptakan absensi bagi pilihan politik yang mumpuni bagi kepentingan rakyat pekerja. Pilihan antara Jokowi atau Prabowo dalam pemilu nanti tidak menciptakan perbedaan yang berarti. Dengan kata lain, intervensi dalam pemilu hanya akan mengantarkan perhatian rakyat pekerja dalam kontestasi elit yang penuh dengan tipu-tipu.
Namun dalam kesempatan kali ini, penulis hendak menyajikan argumen bahwa dalam pemilu 2019, agenda intervensi pemilu masihlah menjadi agenda krusial yang harus diperjuangkan oleh kalangan sosialis itu sendiri. Konteks sosial-politik terkini yang melingkupi momen proses elektoral membuat kepentingan untuk mengorganisir kepentingan rakyat pekerja untuk mendekatkan pada pusat kekuasaan negara melalui kanal pemilu menjadi sangat krusial. Menghadapi pemilu nanti, tanpa ada upaya intervensi justru berpotensi untuk memperkuat posisi manipulasi elit politik karena absennya kekuatan perlawanan politik yang muncul dari gerakan rakyat itu sendiri.
Sebelumnya, kita perlu memeriksa pilihan politik pemilu 2019 yang cukup gencar dipropagandakan oleh beberapa kalangan progresif Indonesia: golput (golongan putih). Pilihan golput seakan masuk akal sekaligus subversif karena ia berlandaskan logika perlawanan politik; bahwasanya pilihan-pilihan yang tersedia dalam pemilu tidak lebih dari tipu-tipu elit.
Terdengar logis memang. Akan tetapi masalahnya posisi golput mengabaikan perkembangan sosial politik dimana politisasi kesadaran massa semakin mengemuka dalam beberapa tahun belakangan ini. Fenomena ini dapat dilihat dari dua sisi: pertama, menunjukkan bahwa semakin intrusifnya penetrasi kepentingan kelas berkuasa untuk memengaruhi kesadaran massa. Kompetisi elit yang akut memungkinkan mereka untuk memanipulasi kepentingan yang berkembang di massa. Sementara sisi yang kedua, setidaknya menandakan bahwa massa memang mulai memiliki perhatian yang lebih terhadap kekuasaan negara sekarang ini. Massa mulai melihat –terlepas seberapapun naifnya pandangan mereka- bahwa problem yang dihadapi mereka hanya dapat dijawab jika kekuasaan negara ada dalam kontrol mereka.
Pengabaian ini memiliki implikasi yang buruk bagi massa yang semakin politis. Dengan memilih golput, kondisi politisasi yang dihadapi massa menjadi tidak tersentuh oleh aspirasi riil kepentingan rakyat pekerja. Absennya sentuhan ini membuat kalangan elite yang tengah berkompetisi semakin leluasa menancapkan pengaruh manipulatifnya dalam memobilisasi dukungan. Mungkin secara spontan akan muncul sebentuk “aspirasi kerakyatan” sebagai bagian dari strategi elite politik untuk mendulang suara. Akan tetapi kita semua sudah mahfum bahwasanya aspirasi ini tidak lebih sebagai “gincu politik.”
Pilihan golput semakin problematis ketika pemilu sudah berakhir dan pucuk pimpinan nasional telah ditentukan. Ketiadaan gerakan rakyat yang terorganisir untuk mengintervensi proses elektoral membuat konfigurasi kekuasaan yang ada pasca pemilu menjadi sepenuhnya dikuasai oleh kalangan elite. Ketika muncul ketidakpuasaan masyarakat terhadap pemerintahan hasil pemilu, mereka yang akan berhasil menangguk untung dari ketidakpuasaan itu, sekali lagi adalah kalangan elite politik. Semenjak penanaman modal politik sepenuhnya dilakukan oleh elite selama proses pemilu, referensi politik yang dimiliki oleh massa rakyat pekerja menjadi sepenuhnya di bawah pengaruh kepentingan elite itu. Hal inilah yang kemudian memperdalam hambatan pengorganisiran rakyat pekerja karena baik mereka yang puas atau yang tidak puas dengan pemerintah akan sepenuhnya diorganisir oleh kalangan elite tersebut.
Oleh karenanya bagi saya dalam kondisi kekinian kita, pilihan golput justru menjadi bagian dari proses depolitisasi massa. Mungkin akan terdengar sangat vulgar, namun saya melihat pilihan golput dapat menjadi bumerang bagi gerakan rakyat karena massa kehilangan orientasi untuk selalu terlibat dalam realitas politik kekuasan pemilu serta belajar dari pengalaman nyata tersebut. Pada akhirnya, golput mengondisikan situasi yang selalu diinginkan oleh kelas berkuasa Indonesia untuk membungkam aspirasi massa dalam mempertarungkan kepentingannya dalam ruang politik yang ada.
Implikasi praktis dari pilihan intervensi tentu adalah secara tegas memutuskan untuk memilih dalam pilihan politik yang tersedia. Akan tetapi bagi kalangan sosialis, masalah utamanya bukan terletak pada siapa yang dipilih, namun bagaimana proses pilihan politik itu dilakukan.
Hal yang penting diperhatikan tentu adalah realisme politik pemilu 2019 itu sendiri, dimana partai politik alternatif sepenuhnya absen. Dalam kenyataan ini, pilihan politik yang tersedia tentu dengan sendirinya didominasi oleh kekuatan politik anti-rakyat. Dalam konteks ini, penentuan pilihan politik sosialis selama pemilu harus berangkat dari prinsip utama politik sosialis itu sendiri: perjuangan kelas.
Dalam prinsip ini, maka penentuan pilihan harus dilakukan melalui pertarungan kepentingan. Calon yang akan dipilih harus dipertarungkan agenda serta program politiknya. Hal ini berarti, agenda serta program calon tidak dapat ditempatkan sebagai sesuatu yang terberi, namun sebagai titik referensi bagi kelompok sosialis untuk mendidik massa dalam membangun program berdasarkan kepentingannya sendiri dan mempertarungkan porgram tersebut ke calon dalam ruang politik pemilu yang ada.
Dalam logika pertarungan ini, maka upaya massa untuk memengaruhi calon tidak dapat dilakukan secara biasa. Mobilisasi massa harus menjadi senjata utama selama proses mendukung calon. Mobilisasi massa menjadi penting karena ia menjadi manifestasi dari kuasa aktual dari massa itu sendiri, yakni jumlah yang mayoritas. Dengan mendorong mobilisasi selama melakukan tuntutan, massa dapat membangun garis demarkasi terhadap kepentingan yang tidak berpihak. Mobilisasi massa sekaligus memanifestasikan ekspresi pertarungan yang konkrit dengan kelas kapitalis atau elite politik yang ada yang selama ini mendominasi ruang politik negara.
Selain itu, Mobilisasi massa dapat menjadi ruang pendidikan politik bagi massa secara praktis. Melalui mobilisasi, massa dapat melihat dan mengikuti secara langsung proses artikulasi kepentingan yang sedang dipertarungkan dengan calon yang ada. Proses keterbukaan ini memungkinkan keterpaparan politik calon terhadap pemilihnya. Dalam artian respon calon terhadap mobilisasi massa akan menunjukkan kepentingan siapa yang sebenarnya sedang diusung oleh sang calon selama pemilu itu sendiri. Dari pengalaman praktis inilah massa rakyat dapat belajar mengenai keterbatasan pemilu 2019 nanti yang dengannya membuka kemungkinan akan ruang pengorganisiran untuk penerimaan pembangunan partai politik alternatif.
Tantangan terbesar dari upaya intervensi sosialis adalah bagaimana itikad ini dapat menghasilkan capaian politik yang diharapkan. Di sini, kita perlu melihat kembali pengalaman pemilu sebelumnya (pemilu 2014) dimana keterlibatan (beberapa) elemen kiri dalam pemilu tidak banyak memengaruhi konstelasi kekuasaan yang ada. Tidak ada solusi umum terhadap masalah ini. Akan tetapi bagi saya, jawaban untuk masalah kegagalan intervensi bukan terletak pada gagasan intervensi itu sendiri. Tapi pada bagaimana intervensi itu dilakukan. Dalam artian, apakah ia dilakukan tanpa sadar hanya mengikuti gelombang spontanitas yang ada atau proses intervensi tersebut dilakukan secara terencana.
Dalam terang pemahaman ini, sebagai sosialis yang berpandangan ilmiah, tentu kita akan menempatkan perencanaan sebagai gagasan utama setiap aktivitas politik kita. Oleh karena itu, perencaan intervensi melalui perumusan strategi-taktik yang jelas dan terukur serta sikap disiplin dalam menjalankan strategi-taktik tersebut akan menjadi faktor yang menentukan bagi efektifitas keterlibatan sosialis pada pemilu 2019. Mungkin akan banyak yang sangsi dengan kemungkinan ini mengingat lawan yang dihadapi sangatlah kuat. Namun selama kalangan sosialis memiliki perencanaan yang matang untuk terlibat dalam ruang politik yang ada, selalu ada kemungkinan bahwa yang tertindas akan memenangkan pertarungannya melawan para penindas.***
Muhammad Ridha, anggota Partai Rakyat Pekerja