Kembalinya Sosialisme di Cina Sekarang?

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: New Straits Times

 

TEPAT pada 3 Mei 2018 kemarin, Partai Komunis Cina (PKC) memperingati 200 tahun kelahiran Karl Marx. Peringatan ini terbilang istimewa. Acara pembukaan peringatan sengaja diselenggarakan di gedung utama kegiatan kenegaraan Cina, Balai Besar Rakyat (the Great Hall of the People) yang terbuka bagi reportase publik domestik dan internasional. Dalam penataan visual acara, panitia memampangkan wajah Marx dalam pigura besar tepat sebagai latar utama panggung gedung. Xi Jinping, yang merupakan Sekretaris Umum PKC sekaligus Presiden Republik Rakyat Cina (RRC), bahkan secara langsung memberikan pidato pembukaan dalam acara peringatan tersebut. Dari kemewahan acaranya, PKC setidaknya hendak memberikan pesan ke masyarakat luas bahwasanya pemikiran Marx beserta warisan Marxisme-Leninismenya adalah integral dalam kemajuan pembangunan Cina.[1]

Kembalinya gagasan Marx dalam tubuh PKC tidak terlepas dari perkembangan terkini politik Cina. Agenda politik sosialisme, yang menurut banyak pengamat sudah ditinggalkan oleh pemerintah Cina, ternyata bangkit kembali. Pada acara peringatan ulang tahun ke 95 PKC, Xi menyatakan kepada seluruh kader partai bahwa membangun sosialisme untuk mencapai komunisme adalah agenda utama partai.[2] Pernyataan ini dilanjutkan kembali pada kongres ke 19 PKC, dimana Xi secara eksplisit menekankan secara berulang-ulang dalam pidato penutupan kongres, bahwasanya pembangunan yang dilakukan Cina selama ini adalah pembangunan sosialisme ilmiah, yang secara khusus disebut sebagai sosialisme dengan karakteristik Cina.[3]

Bagi saya pribadi, perkembangan politik di Cina tentu patut disyukuri. Politik sosialisme yang sempat tenggelam pasca runtuhnya Soviet, kembali mengemuka dalam wacana publik global. Apa yang dianggap sebagai gagasan usang oleh para pengamat, ternyata dapat bangkit kembali dengan vitalitas yang sama sekali baru. Bahkan di Cina, perbincangan tentang sosialisme dan Marxisme tidak hanya menjadi konsumsi akademisi kampus, namun menjadi isu-isu yang diperbincangkan kembali oleh masyarakat Cina. Terlepas dari diseminasinya dilakukan secara satu arah, dimana negara sepenuhnya menjadi promotor utamanya, kondisi ini setidaknya membantah para pembela kapitalisme bahwa sejarah telah usai dan sosialisme sudah terkubur untuk selamanya.

Walau begitu, sebatas mensyukuri tanpa memahami secara mendalam proses ini dapat menjebak kita untuk memahami kebangkitan kembali sosialisme di Cina secara karitatif. Hal ini dapat berdampak pada cara pandang yang dangkal karena cenderung melihat perkembangannya secara hitam putih nir-dialektis (seperti pertanyaan tentang apakah Cina itu sosialis atau kapitalis). Oleh karenanya, penting kita memeriksa kembali apa yang sebenarnya berlaku di balik kembalinya agenda sosialisme dalam politik Cina sekarang.

 

Problem Ekonomi-Politik Sosialis di Cina

Kebangkitan kembali sosialisme di Cina tidak terjadi dalam ruang kosong. Pasca krisis kapitalisme global 2008, jalan sosialisme pasar ala Cina dipaksa untuk ditinjau ulang. Orientasi ekonomi berbasis ekspor yang mengalami kemacetan karena turunnya permintaan pasar internasional harus diubah menjadi lebih fokus pada konsumsi domestik. Kebijakan upah murah yang selama ini menyokong ekonomi ekspor juga harus diganti dengan kebijakan yang mendorong peningkatan tingkat upah pekerja. Dengan kata lain, PKC harus menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi yang ada.

Penyesuaian ini yang kemudian menjadi dasar bagi kemunculan kembali retorika sosialisme dalam tubuh partai. Banyak pengamat yang menilai penggunaan retorika sosialis yang digembar-gemborkan partai adalah upaya PKC untuk memperkuat legitimasi politik di hadapan publik Cina yang semakin tertekan dengan lemahnya ekonomi yang ada. Untuk menghadapi perubahan serta tekanan publik, PKC perlu melakukan konsolidasi internal politik-ideologi-organisasi yang seiring dengan semangat sosialis. Tidak heran jika di bawah kepemimpinan Xi sejak tahun 2012, PKC melancarkan kampanye anti-korupsi besar-besaran. Selain itu PKC juga melakukan disiplin internal dimana para kader diwajibkan untuk hidup sederhana serta dilarang untuk bermewah-mewah. PKC bahkan memperkenalkan kembali kebijakan Mao Tse Tung tentang “garis massa” dimana seluruh kader PKC harus bertanggungjawab untuk melayani kebutuhan rakyat sehari-hari.

Mudah bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa perubahan sikap PKC sekarang tidak lebih dari sekadar permainan kekuasaan biasa. Di sini, retorika sosialisme menjadi sebatas alat untuk mendapatkan simpati massa guna mempertahankan kendali politik yang ada selama ini. Masalahnya pembacaan ini adalah pembacaan yang tidak lengkap, karena menganggap retorika sosialis sebatas alat mengabaikan fakta penting bahwa PKC sendiri adalah organisasi politik sosialis. Oleh karenanya kita justru perlu menggali lebih dalam status politik sosialisme dalam PKC itu sendiri.

Propaganda yang sering muncul di kalangan Kiri dunia barat, yang juga tanpa disadari diterima tanpa syarat oleh gerakan Kiri Indonesia, adalah politik produksi PKC adalah politik yang sepenuhnya pragmatis dibanding sosialis. Promosi ide sosialisme pasar hanya sebatas pembenaran yang dangkal terhadap upaya partai untuk mengimplementasikan produksi kapitalis di Cina. Tidak ada yang membantah bahwa PKC menerapkan ekonomi kapitalis di Cina. Namun kita perlu pula memahami mengapa Cina perlu melakukan implementasi ini.

Dalam evaluasinya terhadap praktik ekonomi-politik di Cina dibawah kepemimpinan PKC, Domenico Losurdo[4] beranggapan bahwasanya upaya untuk merealisasikan sosialisme tidak pernah bersifat final. Walau kelas kapitalis berhasil dijatuhkan, para komunis tetap harus menghadapi kapitalisme sebagai suatu sistem abstrak dengan segala gerak dan dinamikanya. Untuk itu, alih-alih melihat sosialisme sebagai agenda yang lengkap, sosialisme justru harus diakui sebagai politik yang penuh dengan eksperimentasi dalam menghadapi kelenturan abstrak dari kapitalisme.

Losurdo memberikan contoh pada bagaimana Uni Soviet mencoba untuk merealisasikan sosialisme. Komunis Soviet harus melakukan banyak penyesuaian agenda pembangunan dalam situasi yang riil mereka hadapi. Pasca revolusi, Rusia bukan sekadar menghadapi tingkat kemiskinan yang akut namun juga ancaman kontra-revolusioner yang muncul dari dalam maupun luar. Tidak heran jika dalam situasi ini agenda sosialisme era Soviet lebih serupa dengan suatu eksperimentasi perang. Pada fase awal sosialisme Soviet dibangun di atas gagasan “komunisme perang” (war communism) dimana pemerintahan revolusioner Bolshevik harus menghadapi ancaman kontrarevolusioner. Dalam situasi ini, sistem ekonomi dirancang untuk memenuhi kebutuhan darurat perang. Pada masa ini kelas kaya berhasil disingkirkan, namun implikasinya populasi Rusia menjadi sepenuhnya didominasi oleh kelas miskin dan sangat miskin.

Losurdo mencatat keresahan Lenin bahwa perkembangan ekonomi ini justru bertolak-belakang dengan ideal awal sosialisme sebagai upaya peningkatan kesejahteraan.[5] Pada Oktober 1920, di acara pertemuan Komunis Muda, Lenin mendeklarasikan bahwa Partai Komunis berkeinginan untuk mentransformasi Rusia dari negara miskin menjadi kaya. Di titik inilah kemudian Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) di bawah kepemimpinan Lenin, beberapa tahun kemudian memperkenalkan Kebijakan Ekonomi Baru (New Economy Policy, NEP) yang pada dasarnya memberikan ruang bagi ekonomi kapitalis untuk beroperasi guna mendorong kekuatan produktif Rusia.[6] NEP berhasil meningkatkan kinerja ekonomi Rusia secara perlahan. Namun kebijakan ini belum mampu untuk menciptakan ekonomi negara yang kuat. Pasca kepemimpinan Lenin, Stalin berupaya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Rusia. Di bawah kepemimpinannya, Ia menghentikan inisiatif NEP dan digantikan oleh kebijakan kolektifisasi serta modernisasi teknologi produksi.[7] Dengan kebijakan kolektifisasi dan modernisasi teknologi inilah kemudian Soviet Rusia mengalami percepatan ekonomi dalam jangka waktu beberapa dekade. Keberhasilan kebijakan ekonomi sosialis ini mampu pula mengantarkan Soviet menjadi negara dengan kekuatan besar yang dapat menghadapi hegemoni kapitalis AS.

Sosialisme Cina menghadapi situasi yang serupa tapi tak sama dengan Uni Soviet. Cina dihadapi pada masalah keterbelakangan ekonomi pasca memenangi perebutan kekuasan melawan kelompok nasionalis. Sama seperti Lenin, Mao melihat bahwas sosialisme bukanlah sosialisasi kemiskinan dan kesengsaraan. Segera setelah komunis berkuasa, PKC melancarkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas ekonomi Cina. Mao memperkenalkan kebijakan reforma agrarian yang komprehensif, yang didukung dengan inisiatif industrialisasi “lompatan jauh ke depan.” Namun sayangnya kebijakan ini masih sangat terbatas untuk meningkatkan tingkat ekonomi Cina.

Jawaban Mao terhadap keterbatasan ini adalah politik.[8] Sembari melakukan kritik terhadap Stalin yang dianggapnya terlalu deterministik-mekanistik dalam melihat perkembangan ekonomi sebatas kekuatan produksi, Mao berpendapat bahwa pembangunan ekonomi sosialis harusnya bersifat politis yakni mengikutsertakan massa. Ide inilah yang kemudian menghantarkan PKC di bawah Mao melakukan kampanye revolusi kebudayaan. Revolusi kebudayaan bertujuan untuk menghancurkan kekuatan kontra-revolusioner yang menggerogoti tubuh politik PKC yang menjadi hambatan ideologis praktik ekonomi sosialis.

Revolusi kebudayaan era Mao adalah praktik politik yang penting dalam menghancukan ilusi pembagian kerja yang berkembang dalam produksi kapitalisme melalui perlawanan terhadap birokratisme partai dan juga pengenalan solidaritas kelas lintas posisi sosial (mahasiswa-pekerja-petani). Namun sayangnya, revolusi kebudayaan juga gagal mendorong peningkatan ekonomi Cina. Setelah wafatnya Mao, PKC mengalami konflik internal yang tajam terkait masa depan orientasi kebijakan partai pasca revolusi kebudayaan. Konflik internal partai kemudian dimenangkan oleh faksi Deng Xiaoping yang lantas memperkenalkan reformasi ekonomi di Cina pada tahun 1978. Dalam fase PKC menganulir revolusi kebudayaan dan kemudian memperkenalkan implementasi kapitalisme di Cina yang kini dikenal sebagai sosialisme pasar.[9]

Dari dinamika kebijakan sosialis dari Mao sampai Deng, munculnya praktik sosialisme pasar perlu dipahami sebagai eksperimentasi sosialis dalam menjawab keterbatasan ekonomi di Cina. Sosialisme pasar ala Deng memperkenalkan kembali model ekonomi yang sudah diperkenalkan sebelumnnya melalui NEP di era Lenin. Deng juga menggunakan gagasan modernisasi Stalin untuk meningkatkan kekuatan produksi Cina dalam agenda reformasi ekonominya. Mengingat ia adalah bagian dari eksperimentasi sosialisme, kita perlu memahami mengapa dalam model sosialisme pasar, masih digunakan istilah sosialis. Karena memang ekperimentasi ini bukan benar-benar praktik kapitalisme murni.

Hal ini membuat politik sosialis Cina sekarang begitu unik. Walau ekonomi pasar di Cina sangat hidup, sektor ekonomi masihlah didominasi oleh sektor public yang dikuasai oleh negara. Selain itu, pengaruh politik kelas kapitalis begitu terbatas di Cina. Kelas kapitalis tidak dapat memengaruhi begitu saja keputusan politik yang telah ditetapkan oleh Politbiro PKC. Tidak heran jika dalam situasi pasar di Cina sangat terbuka untuk diintervensi oleh kekuatan negara, jika memang negara melihat koreksi ekonomi perlu dilakukan.[10]

Oleh karena itu, penggunaan retorika sosialis dalam kepemimpinan Xi sekarang tidak bisa dipahami sebagai retorika pragmatis PKC untuk mempertahankan legitimasi serta kendali politik belaka. Bagi saya, ada urgensi struktural tertentu yang membuat gagasan sosialisme dengan karakteristik Cina perlu dimobilisasi kembali oleh PKC. Penting kemudian melihat kemunculan kembali gagasan sosialisme di Cina ditempatkan secara proporsional dalam kaitannya dengan konteks historis perkembangan kapitalisme terkini yang dihadapi oleh PKC itu sendiri.

 

Lalu, Dimanakah Letak Perjuangan Kelas?

Saya mengakui bahwa pembacaan ini berkesan simpatik dalam melihat posisi politik sosialis PKC. Simpati ini cenderung untuk mengaburkan kenyataan bahwa politik sosialis Cina adalah politik sosialis yang bersifat satu dimensi. Karena sosialisme ilmiah Cina sepenuhnya hanya berurusan dengan masalah “ekonomi” atau “kekuatan produktif.” Jika memang PKC adalah organisasi politik Marxis, lalu dimana letak agenda “relasi produksi,” “perjuangan kelas,” atau lebih tepatnya “politik proletariat” dalam politik sosialisme Cina sekarang?

Dalam menjawab pertanyaan ini, sekali lagi, kita tidak dapat memahami perjuangan kelas dalam sosialisme pasar di Cina terlepas dari dinamika historis kapitalisme secara keseluruhan, sebagai suatu sistem dunia. Sulit untuk menafikan bahwa model sosialisme pasar ala Cina adalah sistem ekonomi yang gagal. Dengan sosialisme pasar, Cina berhasil memunculkan dirinya sebagai kekuatan global baru. Hal ini tentu memiliki dampak terhadap konstelasi kuasa dunia dimana kekuatan imperialis global mendapat tantangan dari Cina sebagai kekuatan sosialis tersendiri.

Tentu saja kemunculan kekuatan sosialisme Cina di ranah global tidak berlangsung secara mulus. Kita menemukan bagaimana Cina masih menciptakan ancaman atau berkonflik dengan negara lainnya.[11] Akan tetapi pada saat yang sama, kehadiran Cina dan dukungannya dapat berguna bagi setiap kekuatan Kiri progresif yang sedang melakukan konfrontasi dengan kekuatan imperialisme. Misalnya pada pengalaman negara-negara Kiri Amerika Latin yang berhasil memenangkan serta mempertahankan agendanya karena kedekatan politik dengan Cina.[12] Belum lagi pengalaman kemenangan Partai Komunis Bersatu Nepal dalam Pemilu 2018, dimana dukungan Cina mengubah konstelasi dukungan publik yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap Partai Kongres yang selalu didukung oleh India[13]. Contoh-contoh ini setidaknya memberikan gambaran nyata betapa kehadiran sosialis Cina sebagai kekuatan baru dapat berguna bagi perjuangan kelas dalam sistem kapitalisme global sekarang.

Masalahnya tentu pada level domestik, apa yang disebut sebagai sosialisme Cina masih sulit dikategorikan sebagai suatu bentuk “politik proletariat.” Di bawah kekuasaan PKC sekarang, kelas pekerja Cina masih kesulitan untuk memenuhi hak-hak sosial-ekonominya. Hanya segelintir pekerja formal yang mendapatkan perlindungan sosial dari Negara. Sementara kehidupan banyak pekerja migran Cina juga sangat memprihatinkan, dimana mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Keterbatasan pemenuhan hak-hak kelas pekerja diiringi dengan minimnya ruang pengorganisasian serikat buruh yang independen dari kendali negara. Dampaknya, setiap perjuangan buruh untuk mendapatkan hak ekonominya dapat berujung pada kriminalisasi. Tanpa adanya perimbangan kekuatan dari buruh terorganisir, pembangunan sosialisme pasar Cina justru menciptakan kondisi ketimpangan ekonomi yang tinggi di masyarakat.

Namun kita perlu melihat proses perjuangan kelas di Cina secara lebih mendetail. Ekspresi perjuangan kelas melalui perjuangan buruh dalam menuntut hak-haknya mungkin mengalami represi. Namun dalam ranah yang lain, upaya revitalisasi Marxisme dan agenda sosialisme dalam tubuh PKC sekarang ini membukakan ruang pertarungan untuk memenangkan agenda kelas pekerja. Salah satu bentuk konflik yang patut menjadi perhatian adalah munculnya kembali berkembangnya tradisi pemikiran Maoisme dalam situasi Cina kontemporer.[14] Ada yang berpendapat bahwa kemunculan kembali gagasan Mao adalah bagian dari PKC untuk membangkitkan sentimen patriotik dan nasionalis dari warga Cina.[15] akan tetapi pada kenyataanya, pemikiran neo-Maoisme ini justru digunakan untuk mengkritisi perkembangan kapitalisme di Cina yang justru menciptakan ketimpangan serta ketidakadilan. Kalangan Neo-Maois berkontribusi dalam melakukan kritik terhadap kekuasaan Xi yang dianggap menyimpang dari pemikiran Mao.[16] Tidak heran jika dalam beberapa kesempatan, aktivis yang mengusung gagasan Marxis-Maois ikut menjadi korban dari represi negara.[17] Menariknya di tengah perkembangan ini, PKC tidak dapat berbuat banyak untuk membatasi kebangkitan Maoisme karena gagasan ini adalah bagian integral dari keberadaan historis PKC itu sendiri.[18]

Dalam perkembangan kebangkitan Maoisme sekarang, kita dapat melihat setidaknya tengah terjadi perjuangan kelas melalui pertarungan ideologi dalam tubuh PKC sebagai organisasi sosialis. Secara resmi mungkin kita tetap dapat melihat bahwa kepemimpinan PKC sekarang tidak bisa dikatakan sepenuhnya bergaris Maois. Namun mengatakan bahwa PKC kebal terhadap kritik Maois juga keliru. Sedikit banyak perubahan sikap PKC yang kembali mendorong kebijakan “garis massa” tidak terlepas dari pertarungan ideologi dalam partai. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk melihat PKC sebagai organisasi politik yang dinamis dimana pertarungan politik merupakan proses yang tak terelakkan.

Mungkin hal ini terdengar terlalu optimistis, namun pertarungan ideologi dalam tubuh PKC sekarang setidaknya membuat kita sadar bahwa garis politik PKC belumlah final. Pertarungan internal ini setidaknya membuka peluang bagi terjadinya perubahan garis politik partai, dari yang tadinya sebatas “kekuatan produktif” semata menjadi bergerak ke urusan “relasi produksi” yang mulai peduli pada pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi kelas pekerja Cina.

 

Penutup

Akhirul kalam, sebagaimana setiap fenomena sosial yang kompleks, memahami kebangkitan agenda sosialis di Cina mengharuskan premis yang sama. Keberhasilan serta kekurangan eksperimentasi sosialis di Cina adalah buah dari respon PKC dalam menghadapi kondisi objektif yang ada. Alih-alih melihatnya secara hitam putih, kita perlu memahaminya sebagai pembangunan sosialisme di Cina dalam konteks historis kapitalisme itu sendiri. Kepopuleran kembali retorika sosialisme sekarang di era Xi Jinping, tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan sosialisme Cina secara keseluruhan. Hanya dalam pemahaman ini kita dapat bersolidaritas secara kritis dengan rakyat Cina yang sedang mengupayakan pembangunan sosialisme yang realistis untuk direalisasikan.***

 

Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)

 

————

[1] https://www.youtube.com/watch?v=EN58Cl35xQQ&t=177s

[2] https://www.youtube.com/watch?v=cnAqrQbW85k&t=465s

[3] https://www.youtube.com/watch?v=NW7SNbG9BWY&t=297s

[4] Losurdo, Domenico. “Has China Turned to Capitalism?—Reflections on the Transition from Capitalism to Socialism.” International Critical Thought 7.1 (2017): 15-31.

[5] Ibid. 16

[6] https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1921/oct/17.htm

[7] https://www.marxists.org/reference/archive/stalin/works/1951/economic-problems/index.htm

[8] https://www.marxists.org/reference/archive/mao/selected-works/volume-8/mswv8_66.htm

[9] http://www.cpim.org/marxist/200102_marxist_deng_yang.htm

[10] https://www.theguardian.com/business/2015/sep/07/chinese-market-interventions-yuan-stock-markets

[11] Selain itu mulai muncul perdebatan apakah dengan Cina menjadi kekuatan global baru ia menjadi bagian dalam imperialism itu sendiri? Lihat misalnya http://my.internationalviewpoint.org/spip.php?article3468. Untuk bantahan terhadap argumen ini lihat Taylor, Ian, and Yuhua Xiao. “A Case of Mistaken Identity:“China Inc.” and Its “Imperialism” in Sub‐Saharan Africa.” Asian Politics & Policy 1, no. 4 (2009): 709-725.

[12] https://www.jacobinmag.com/2016/07/pink-tide-latin-america-chavez-morales-capitalism-socialism/

[13] https://sputniknews.com/asia/201712291060395173-nepal-election-china-pivot-india/

[14] https://www.ft.com/content/63a5a9b2-85cd-11e6-8897-2359a58ac7a5

[15] https://www.nytimes.com/2017/04/03/world/asia/maoists-for-trump-in-china-fans-admire-his-nationalist-views.html

[16] https://medium.com/@dylanleviking/neo-maoist-reading-club-a-left-maoist-reaction-to-xi-jinpings-constitutional-amendments-f0c0a66c49ee

[17] Salah satunya adanya Zhang Yunfan, seorang mahasiswa doktoral Universitas Peking yang ditangkap oleh pihak kepolisian karena terlibat aktif dalam kelompok diskusi Marxis dan juga aktivitas pengorganisiran kelas pekerja lainnya. Lihat https://www.quora.com/What-are-some-opinions-on-Zhang-Yunfan-being-arrested-in-a-reading-group-by-the-police-of-Panyu-Guangzhou-despite-his-being-a-pure-Marxist-and-Maoist-and-promoting-Marxism

[18] http://www.scmp.com/news/china/policies-politics/article/2125541/chinese-scholars-sign-open-letter-calling-release

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.