Kredit ilustrasi: feroviarul.ro
REFORMASI bergema lebih awal di Medan, Sumatera utara, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Tanggal 30 April 1998, delapan kampus di Medan, yakni AMIK Kesatria, STIKP, ITM, UMSU, UNIKS, UMA, IAIN Sumatera Utara, dan IKIP Negeri Medan berdemonstrasi di sekitar kampus mereka masing-masing. Mereka membawa poster bertuliskan “Laksanakan Sidang Istimewa”, “Satu Nusa Satu Bangsa…Koq Ada Pelor”.[1] Mereka melalui rute Jalan Sutrisno/Antara ke Jalan Laksana, lalu ke Jalan Amaliun dan kemudian bergerak ke Jalan Masjid Raya, kemudian ke Jalan Brigjen Katamso lalu ke Jalan Djuanda, Ahmad Dahlan, dan berakhir di Jalan Imam Bonjol. Di jalan Imam Bonjol, mereka berorasi di depan kampus Harapan. Mereka menuntut segera dilakukan reformasi politik, ekonomi, dan hukum. Tujuan utama mereka sesungguhnya hendak berdemonstrasi ke DPRD Sumut. Namun, aparat keamanan menghadang mereka di Jalan Masjid Raya.[2]
Di tempat berbeda, di kampus UMSU yang letaknya berhadapan dengan ITM, berkumpul ratusan mahasiswa menggelar poster panjang terbuat dari kain warna merah bertuliskan “Kampus Bukan Arena Untuk Tembak-Menembak”. Mereka tidak bisa keluar dari area kampus karena aparat keamanan telah memblokir beberapa ruas jalan di sekitarnya, termasuk sebagaian jalan lingkar Stadion Teladan yang dekat dengan kampus tersebut. Sambil membentangkan poster, mereka berjalan mendekati pasukan keamanan. Begitu pasukan keamanan bergerak, mereka mundur lagi ke depan kampus ITM. Tidak lama kemudian, muncul lemparan batu ke arah aparat keamanan. Batu-batu kecil juga melayang yang diperkirakan dilontarkan dengan ketapel. Menyusul kemudian lemparan bom molotov. Akibat pelemparan itu, salah seorang petugas keamanan terkena batu di wajah dan menyebabkan giginya patah. Ronald Siahaan, mahasiswa ITM, terkena peluru petugas. Dia harus dirawat di rumah sakit. Dalam aksi tersebut, pihak keamanan menciduk seorang mahasiswa yang mencoba melarikan diri dari kampus ITM.[3]
Di Jalan Willem Iskandar, mahasiswa IKIP Medan, Universitas Medan Area, dan IAIN Sumatera Utara menggelar aksi sejak pagi pukul 9.30. Mereka sempat keluar dari kampus namun segera kembali ke kampus masing-masing karena dihadang aparat. Sementara di Tanjung Sari, letak kampus UNIKA ST Thomas, aksi unjuk rasa semakin memanas. Warga setempat bergabung dan melempari petugas kemanaan yang berjaga-jaga di lokasi tersebut. Mereka membakar ban dan kayu di tengah jalan untuk menghadang pasukan anti-huru-hara mendekat ke depan kampus. Massa pun melempari petugas dengan batu, menggunakan ketapel, dan bom molotov. Aparat membalas dengan menembakkan gas air mata. Petugas berhasil menangkap 13 orang.[4]
Berbeda dengan kampus UMSU dan UNIKA yang berakhir rusuh, mahasiswa STIKP memilih menggelar unjuk rasa berupa pemajangan beberapa pamflet dan mimbar bebas. Pamflet-pamflet yang terbuat dari kertas karton itu diletakkan di depan kampus mereka di Jalan Sisingamangaraja.[5]
Pada 1 Mei terjadi dua unjuk rasa besar di Medan. Unjuk rasa pertama terjadi di UISU. Pagi itu, sekitar pukul 9.00, mahasiswa UISU berbaris di depan kampus di Jalan Sisingamangaraja. Tujuan mereka adalah ke kantor DPRD Sumatera Utara. Mereka membawa poster-poster. Beberapa personil aparat keamanan mencoba berdialog agar mahasiswa mengurungkan niatnya itu. Sementara itu, pasukan anti-huru-hara sudah memagar betis Jalan Pelangi dan Jalan Sisingamangaraja. Dialog yang awalnya tampak berjalan tenang tidak berhasil menemukan kata sepakat. Mahasiswa bergerak memasuki Jalan Pelangi yang sudah diblokir. Petugas segera menghadang. Kemudian mahasiswa seolah-olah hendak bergerak ke arah Jalan Turi. Pasukan keamanan juga bergerak menghadang. Mahasiswa tampaknya kehilangan kesabaran. Tak punya pilihan lain, mereka kemudian menerobos barisan barikade pasukan anti-huru-hara. Aksi dorong-mendorong pun tak terelakkan. Petugas berusaha mendorong massa mundur sambil memukulkan pentungan ke tubuh mereka. Mendapat tekanan dari aparat, massa bergerak mundur ke dalam kampus. Sementara pasukan anti-huru-hara mulai meletuskan tembakan ke udara hingga puluhan kali. Dari dalam kampus, massa melempari aparat dengan batu yang membuat petugas keamanan terpaksa mundur sekitar 50 meter dari kampus UISU. Hingga pukul 10.30, perang batu diselingi tembakan terus berlansung antara mahasiswa dan aparat keamanan. Massa kemudian membakar satu unit sepeda motor yang terparkir di luar kampus. Dibantu pelajar SMU, massa terus menggempuri petugas keamanan dengan batu. Sekitar pukul 11.45, dua mobil taktis Brimob Poldasu menembakkan gas air mata ke arah massa. Beberapa anak sekolah dasar yang letak sekolahnya bersebelahan dengan kampus UISU, terkena tembakan gas air mata. Bahkan ada satu orang yang pingsan. Aksi baru reda sekitar pukul 16.00.[6]
Ratusan mahasiswa UISU diblokir aparat keamanan saat hendak menuju gedung DPRD Sumut.
Sumber: Waspada, 2 Mei 1998.
Sementara itu, di kampus Universitas HKBP Nomensen di Jalan Sutomo, aksi berlanjut hingga sore hari. Di sekitar kampus rumah-rumah penduduk, toko, gedung perkantoran, outlet Kentucky Fried Chicken (KFC), dan Hotel Sahid Angkasa mengalami kerusakan pada kaca-kaca bagian depan karena terkena lemparan batu dari dalam kampus. Mahasiswa juga melempari petugas anti-huru-hara dengan batu dan bom molotov. Tak dapat dielakkan, aksi balas-membalas lemparan pun terjadi. Petugas memukuli seorang mahasiswa yang tertangkap di sebuah warung makan seberang kampus hingga babak belur. Petugas juga memukuli masyarakat yang menonton yang berkerumun di luar kampus. Gas air mata yang ditembakkan petugas ke arah massa tidak mampu meredam aksi. Masyarakat yang awalnya menonton saja bergabung dengan mahasiswa dan menyerang aparat keamanan dengan lemparan batu. Petugas melarang wartawan memfoto aksi tersebut. Dalam aksi itu, sebelas mahasiswa UHN, dua laki-laki dan sembilan perempuan, ditangkap dan dibawa ke Poltabes Medan.[7] Sementara itu, seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara harus dirawat di rumah sakit. Dia sebenarnya tidak ikut berunjuk rasa. Saat itu dia sedang makan lontong di warung dekat kampusnya di Jalan Willem Iskandar. Tiba-tiba datang satu truk petugas keamanan dan kemudian menangkap siapa saja yang ada di warung tersebut. Dia mengalami geger otak karena digebuki sekitar 30 petugas.[8]
Sedikitnya 200 toko dan perkantoran di beberapa kawasan inti kota Medan terpaksa tutup dan menghentikan aktivitasnya akibat aksi unjuk rasa mahasiswa itu.[9]
Aksi di kampus UHN kembali terjadi keesokan harinya. Dalam aksi ini masyarakat dan mahasiswa bergabung. Massa bergerak ke sebuah show room mobil. Mereka membuka pintu dengan paksa dan mendorong keluar sebuah mobil mini bus Mazda dan menggulingkannya untuk kemudian membakarnya. Dua mobil lain juga dirusak. Kaca-kaca show room tidak luput dari lemparan batu. Kaca depan Hotel Elbruba dan KFC, dekat kampus UHN, juga menjadi sasaran lemparan batu massa. Pihak rektorat meliburkan seluruh kegiatan akademik UHN hingga 9 Mei.[10]
Hingga hari Minggu, 3 Mei, Poltabes Medan telah memeriksa ratusan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Namun, tidak seorang pun ditahan. Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Ismed Yuzairi mengatakan pihaknya tidak pernah menyuruh dan menyarankan prajurit Bukit Barisan menggunakan senjata untuk mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa. Namun, dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang aksi aparatnya di lapangan.[11]
Aksi mahasiswa hanya libur sehari di hari Minggu. Awal pekan, 4 Mei, mahasiswa IKIP Medan berdemonstrasi di dalam kampus. Paling tidak sekitar 500 orang terlibat dalam aksi tersebut. Mereka menyanyikan lagu-lagu nasional. Selang beberapa saat, mereka mencoba berdemonstrasi keluar dari kampus dan menerobos pasukan keamanan yang berjaga di luar kampus. Mereka berpawai di sekitaran kampus. Polisi melihat aksi itu berpotensi menimbulkan kerusuhan. Polisi kemudian menghentikan mereka. Kontak fisik pun terjadi. Mahasiswa kemudian melempari petugas dengan batu, memanah dengan ketapel, dan melempar bom molotov. Petugas membalas aksi tersebut. Mahasiswa juga membakar ban dan tumpukan kayu di badan jalan untuk menghalangi pasukan anti-huru-hara mendekat. Melihat pasukan anti-huru-hara bertambah banyak, mahasiswa masuk ke dalam kampus dan menutup pintu pagar. Selanjutnya mereka melempari petugas dengan batu dari dalam kampus.[12]
Truk pasukan anti-huru-hara pecah kaca depan akibat lemparan batu dalam aksi unjuk rasa di Kampus IKIP Medan, Jalan Pancing, Senin, 4 Mei. Sumber: Waspada, 5 Mei 1998.
Sekitar pukul 19.00, aksi unjuk rasa mulai reda. Karena mengira situasi sudah kondusif, beberapa mahasiswa memutuskan keluar dari kampus. Rupa-rupanya polisi menghadang mereka di gerbang.[13] Polisi membentak mereka dengan kata-kata kasar. Juga dengan kata-kata cabul. Laki-laki disuruh berjalan berjingkrak beriringan sambil memegang bahu masing-masing. Kemudian, SN, salah seorang dari mahasiswa yang keluar itu, diremas payudaranya setelah kerudungnya direnggut paksa hingga terlepas. Dia juga dipeluk. Sebelum diremas, si polisi itu membuka resteling celananya dan menunjukkan kemaluannya ke SN dan teman-temannya seperti seakan-akan hendak melakukan pemerkosaan. Perlakuan bejat itu membuat SN pingsan.[14]
Warga menyaksikan tindakan aparat tersebut. Mereka pun menjadi geram. Segera terbentuk sekutu antara mereka dan mahasiswa. Malam itu juga massa dari berbagai penjuru mendatangi pos polisi lalu lintas di jalan Pancing. Mereka berusaha mencari polisi itu. Isu pelecehan seksual itu beredar begitu cepat sehingga warga semakin ramai ikut bergabung. Yang dicari tidak tersua. Polisi mencoba membubarkan massa. Namun, tindakan itu semakin membuat warga marah. Mereka semakin merangsek ke pos polisi. Polisi yang merasa semakin terkepung kemudian meminta bantuan kepada Polsekta Percut Sei Tuan. Tak berapa lama kemudian bala bantuan datang. Warga semakin marah melihat penambahan pasukan itu. Mereka kemudian melempar bom molotov ke arah mobil truk yang terparkir di depan pos polisi. Batu-batu pun beterbangan. Bahkan, mereka membakar mobil truk dan sepeda motor yang terparkir di depan pos, mengobrak-abrik semua isi pos tersebut lalu membakar brankas dan perlengkapan kantor yang ada di dalamnya dan kemudian menghancurkan pos polisi itu. Kerusuhan itu berlangsung sekitar sejam, pukul 20:00 hingga 21:00. Aksi itu berhenti setelah kota gelap gulita karena listrik sengaja dimatikan.[15]
Di malam yang gelap, massa melanjutkan aksi mereka. Mereka kemudian bergerak ke pusat-pusat pertokoan di sepanjang jalan Pancing. Mereka juga membakar ban di jalan. Sejumlah toko di sepanjang jalan itu dirusak dan dijarah isinya. Di tempat yang lain, di jalan Moh. Yamin, juga terjadi perusakan dan penjarahan. Di jalan ini, Buana Plaza, menjadi sasaran amuk massa. Mereka menghancurkan pusat perbelanjaan tersebut. Di jalan Letda Sujono, massa membakar beberpa ruko (rumah toko), sebuah mobil truk, sebuah mobil pick up, dan sebuah sepeda motor milik polisi. Di jalan M. Yakob, sebuah rumah dihancurkan dan massa menjarah barang-barang elektronik yang terdapat di rumah tersebut. Di jalan Buluh Perindu, massa membakar dua unit kendaraan roda empat. Aksara Plaza dan toko-toko di sekitarnya juga tak luput dari perusakan dan penjarahan. Aparat keamanan menembakkan senjata api ke udara untuk menghalau massa. Massa pun kemudian kocar-kacir. Mereka berlarian ke beberapa penjuru kota.[16] Sekelompok massa juga bergerak ke arah Rumah Sakit Umum Pirngadi. Di sepanjang jalan mereka melempari rumah-rumah penduduk dan perkantoran. Di antara massa terlihat ada yang membawa senjata tajam. Namun, sebelum mencapai Pirngadi, mereka dicegat aparat keamanan. Aparat bertindak tegas membubarkan kerumunan massa itu. Massa kemudian terpecah menjadi beberapa kelompok. Sebagian dari mereka bergerak ke Sukaramai. Di sini mereka melempari toko-toko dan menjungkirbalikkan mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan. Sampai Selasa dini hari, sekitar pukul 1.00, kerusuhan masih terus berlangsung.[17]
Lantai dasar Buana Plaza di Jalan Aksara Medan hancur berantakan dilempari massa pada Senin, 4 Mei, malam. Sumber: Waspada, 5 Mei 1998.
“Perekonomian Medan Lumpuh”, demikian satu berita utama koran Medan.[18] Pusat-pusat perbelanjaan seperti Deli Plaza, Perisai Plaza, Medan Plaza, Medan Mall, Pusat Pasar, Medan Baru Plaza tutup total. Pertokoan juga melakukan hal yang sama. Hampir di setiap kawasan bisnis kota Medan seperti Jalan Gatot Subroto, Yos Sudarso, HM Yamin, Brigjen Katamso, SM Raja, Pemuda Baru, Semarang, Cirebon, Thamrin, Aksara tidak ada toko yang buka. Demikian juga dengan bank dan perkantoran. Sementara itu, di Pelabuhan Belawan, puluhan truk yang sudah memuat barang dari kapal tidak berani meneruskan perjalan ke Medan. Begitu juga sebaliknya. Aktifitas bongkar-muat barang sepi. Beberapa kapal terpaksa tidak membongkar muatannya karena truk pengangkut tidak ada.[19]
Sebuah mobil sedan Suzuki Baleno milik PT Hari Rezeki Kita Semua dibakar massa di Jalan Brigjen Katamso, Kampung Baru, Rabu siang, 6 Mei. Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.
Tanggal 6 Mei kerusuhan semakin menyebar ke berbagai penjuru Medan. Kerusuhan, pelemparan, pembakaran, dan penjarahan ruko terjadi di Pulau Brayan, Glugur/Jalan Sutomo, Kampung Baru/Brigjen Katamso, Titi Kuning, Jalan Sampali, Jalan Krakatau, Kampung Lalang, Kampung Madras/Jalan Zainul Arifin, Mandala By Pass, Simpang Limun/Jalan Sisingamangaraja, Tanjungsari, dan Martubung. Di Simpang Limun, dua foto studio diobrak-abrik dan dijarah massa berikut empat toko di sampingnya. Dari sebuah show room Bursa Motor, massa mengeluarkan puluhan sepeda motor dari ruang pajang, lalu ditumpuk di pinggir jalan dan kemudian dibakar. Petugas keamanan baru tiba di lokasi setelah api sudah melahap tumpukan kendaraan itu. Massa kemudian berhamburan berbaur dengan warga yang menonton aksi mereka tersebut. Sebagian lari ke gang-gang kecil di kawasan tersebut. Begitu petugas meninggalkan lokasi, massa kembali datang. Mereka membongkar studio Setia Baru, mengobrak-abriknya lalu membakarnya. Api dari studio itu segera merambat ke toko di sampingnya. Dalam waktu singkat tiga toko terbakar. Warga berusaha memadamkan api sampai pemadam kebakaran tiba.[20]
Setelah mengambil berbagai jenis mobil, kursi kantor dan lainnya massa membakarnya di luar gedung show room Bursa Motor di Jalan Sisingamangaraja dekat Simpang Limun pada Rabu 6 Mei. Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.
Sepanjang jalan dari Percut sampai ke Aksara terlihat bekas amukan massa. Bangkai mobil tergeletak di pinggir jalan. Di sepanjang jalan Medan Tembung juga bergelimpangan belasan bangkai bekas mobil terbakar. Di Tembung belasan sepeda motor milik satu show room juga habis dibakar. Demikian juga dengan pertokoan. Di Jalan Sutomo Ujung, massa melempari Bank Lippo, Bank Bali, show room sepeda motor. Ruko di sepanjang jalan tersebut tutup total. Begitu petugas keamanan tiba, massa pun bubar. Di Jalan Krakatau massa melempari ruko dan perkantoran dan membalikkan sebuah mobil ke tengah jalan. Sementara itu, di Pulau Brayan, massa menyeret puluhan sepeda motor dari salah satu show room dan kemudian membakarnya di tengah jalan. Tiga bank, yakni Bank Mestika beserta ATM-nya, BDNI, dan BRI dirusak. Massa juga merusak pertokoan dan perkantoran dan pemukiman milik warga keturunan Tionghoa yang sebagian bersembunyi di dalam rumah karena ketakutan dan tidak sempat mengungsi ke tempat lain menghindari huru-hara. Di Kampung Baru, satu mobil dibakar massa di tengah jalan.[21]
Dalam kerusuhan di berbagai tempat itu, dilaporkan lima orang tewas dan 80 orang luka-luka terkena tembak. Empat dari lima korban tersebut tewas terbakar di ruko di Jalan Sutrisno pada Selasa 5 Mei. Keempat korban itu adalah tiga orang warga keturunan Tionghoa (tidak diketahui identitasnya) dan seorang remaja bernama Bobi, 13 tahun, penduduk Jalan Brigjen Katamso. Sedangkan seorang lagi adalah pemuda bermarga Sihotang, penduduk Perumnas Mandala yang tewas dalam kerusuhan di Mandala. Sedangkan 80 orang yang luka akibat tertembak tercatat dari kerusuhan yang terjadi di Pulau Brayan, Simpang Limun, Kampung Baru, Sempali, Medan Percut, Krakatau, dan Mandala. Para korban luka itu mayoritas berasal dari mahasiswa dan pelajar. Bahkan, ada yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.[22]
Kaca-kaca gedung Bank Lippo di Jalan Sutomo Ujung pecah akibat dilempari massa pada Rabu 6 Mei. Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.
Jejak-jejak aksi massa tidak hanya terlihat dari kehancuran gedung dan mobil. Juga tak semata-mata menyisakan korban meninggal dan luka-luka. Hilangnya rasa aman, terutama bagi kalangan orang kaya, menjadi salah satu dampak huru-hara. Kompleks perumahan Setia Budi Indah, salah satu perumahan mewah di Medan, mendapat pengawalan ketat dari petugas keamanan. Penjagaan itu dimulai pada hari Kamis, 7 Mei 1998. Sebelumnya, perumahan ini menjadi salah satu sasaran massa. Pintu gerbang masuk ke perumahan dibuka setengah saja sehingga mempersulit setiap orang yang akan masuk.[23]
Sementara itu, kondisi kota Medan berangsur normal. Pada 8 Mei sudah tampak toko-toko mulai buka. Petugas keamanan disebar di hampir setiap sudut kota. Mereka terdiri dari pasukan dari Kostrad yang dikirim dari Jakarta, Marinir, dan Kopassus. Mereka juga berjaga di depan toko-toko. Pusat kota Medan sudah tidak terdapat lagi aksi kerusuhan.[24] Di Delitua, hampir seluruh toko, kedai nasi dan penjual bahan bangunan kembali membuka usahanya. Saat aksi kerusuhan, para pedagang keturunan Tionghoa tidak berani membuka tokonya. Tidak demikian dengan warga “pribumi”, mereka tetap berjualan. Di bagian depan toko-toko tampak tulisan “Milik Pribumi”, “Usaha Muslim”, “Usaha Sihombing”.[25]
Di daerah pinggiran Medan justru masyarakat semakin khawatir. Daerah Marelan, Martubung dan Belawan penjarahan terjadi. Dari ketiga daerah itu petugas keamanan menangkap 25 tersangka pelaku penjarahan. Mereka ditahan beserta barang bukti hasil jarahannya.[26] Demikian juga di Tembung, Batangkuis, Tanjungmorawa, Lubukpakam, Perbaungan, Pangkalanbrandan, Binjai, Tebingtinggi, dan Pematang Siantar. Seakan-akan aksi kerusuhan itu menular. Daerah-daerah tersebut bergolak mulai Kamis 7 Mei. Sebagian masyarakat memilih mengungsi ke rumah famili untuk menghindari kemungkinan terburuk. Ribuan karyawan hingga 9 Mei tidak bisa bekerja karena pabrik, toko, ataupun perusahaan masih banyak yang tutup. Timbul pula kekhawatiran para karyawan itu kehilangan pekerjaan mengingat banyaknya toko dan pabrik dibakas massa.[27]
Hal yang sama terjadi di kota-kota di luar Medan. Di Pematangsiantar, Jumat pagi 8 Mei, massa menjarah secara paksa gudang penyimpanan besar di Jalan Patuan Nagari dan Jalan Cokroaminoto. Begitu juga di beberapa tempat di daerah pinggiran Siantar, massa menjarah kilang padi dan gudang beras sebuah perusahaan. Massa juga menjarah dua toko milik warga Tionghoa. Kerusuhan itu membuat kota Siantar lengang. Nyaris hanya petugas keamanan yang berjaga-jaga yang tampak berada di jalan-jalan. Kota itu tampak lumpuh. Para pengusaha enggan membuka usahanya sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sembako.[28]
Di Perdagangan, seorang wanita yang sedang hamil dilaporkan meninggal. Dia berusaha mempertahankan hartanya dari amukan massa. Di Indrapura, pada 8 Mei dini hari, isi sejumlah toko di kota itu disikat habis oleh ribuan orang yang datang dari segala penjuru Indrapura. Dalam aksi massa yang diperkirakan menelan kerugian hampir Rp 1 miliar ini 8 orang yang tertangkap tangan menjarah ruko-ruko itu ditangkap dan dibawa ke Kodim 0208 Asahan di Kisaran, sementara 12 orang ditahan di Koramil Indrapura dan 6 orang lagi dimintai keterangan di Polsek Indrapura.[29]
Kepolisian Sumatera Utara memberikan data-data dampak kerusakan hingga 4 Mei 1998. Tercatat sebanyak 270 ruko/gudang dibakar, 295 dirusak dan 88 dijarah. Selain itu 18 rumah dibakar, 14 dirusak dan 30 dijarah. Sebanyak 34 kendaraan roda empat/truk 34 unit dibakar, 13 dirusak, sementara 37 sepeda motor dibakar, 4 dirusak. Korban yang terdata masing-masing mahasiswi 6 orang luka berat dan 15 orang luka ringan, warga masyarakat 6 orang luka berat dan 36 orang luka ringan, petugas 23 orang luka-luka, sementara 4 orang meninggal masing-masing tiga masyarakat umum dan seorang lagi masih dalam penyidikan. Kapolda mengatakan belum ditemukan indikasi penembakan secara langsung kepada massa.[30] Sementara itu, Poltabes Medan mencatat terhitung sejak tanggal 4 Mei hingga 7 Mei 1998 sebanyak 423 orang ditangkap, 372 orang dibina, 51 orang ditahan. Di luar Medan, Polres Deliserdang: 28 orang ditangkap, 9 orang ditahan, 19 orang dibina. Polres Simalungun: 265 orang ditangkap. Polres Langkat: 55 orang ditangkap, 3 orang ditahan, dan 52 orang dibina.[31]
“Eksodus” Orang Tionghoa
Sejak 4 Mei jalanan di kota Medan tak pernah sepi dari aksi unjuk rasa. Tanggal 8 Mei aksi kerusuhan sudah mulai reda. Keadaan kota yang semakin kondusif tidak membuat warga, terlebih ketururunan Tionghoa, sudah merasa aman. Arus keberangkatan melalui kapal laut dan pesawat justru meningkat. Di pelabuhan Belawan, pelayaran ke Penang, Malaysia, mengalami lonjakan penumpang. Timbul desas-desus yang mengatakan bahwa pemeriksaan di Bea dan Cukai cenderung dilonggarkan. Petugas Bea dan Cukai dikabarkan bersekongkol dengan warga yang mau ke luar negeri. Mereka disebut-sebut ber-“hubungan samping” dengan penumpang kapal sehingga hal yang ditakutkan pemerintah, yakni “pengaliran rupiah” ke luar negeri, menjadi tak terawasi. Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan larangan membawa dan memasukkan uang ke Indonesia lebih dari lima juta rupiah.[32]
Di kantor Imigrasi Kelas I dan Kantor Imigrasi Polonia mengalami peningkatan pemohon paspor pasca-kerusuhan. Dari data Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sumatera Utara, untuk enam UPT (Unit Pelaksana Teknis) Imigrasi yang ada di Sumut seperti Imigrasi Kelas I Medan, Imigrasi Polonia Medan, Imigrasi Belawan, Imigrasi Pematangsiantar, Imigrasi Tanjungbalai dan Imigrasi Sibolga, bulan Januari telah dikeluarkan sebanyak 2258 paspor, Februari 2589 dan Maret 3662 paspor perorangan. Sedangkan paspor keluarga, bulan Januari 88 paspor, Februari 116 dan Maret 123 paspor, di mana separoh lebih dikeluarkan oleh Imigrasi Kelas I Medan. Kebanyakan pemohon itu adalah warga keturunan Tionghoa. Mereka memilih pergi ke luar negeri untuk alasan keamanan. Mereka akan kembali bila situasi sudah benar-benar aman. Sebagian yang lain memilih tinggal sementara di hotel-hotel di pusat kota. Hotel menjadi pilihan utama karena relatif lebih aman. Sementara orang Tionghoa yang tinggal di daerah pinggiran Medan seperti Percut, Sei Tuan, Tembung, Lubuk Pakam memilih mengungsi ke tempat famili di pusat kota Medan karena tidak memiliki cukup uang pergi ke luar negeri.[33]
Sementara itu, beberapa maskapai menambah penerbangan. Diyakini akibat kerusuhan yang melanda Medan beberapa hari itu, arus keberangkatan ke luar negeri dari Medan langsung ke Singapura atau melalui Medan-Batam-Singapura meningkat tajam. Garuda Indonesia tujuan Medan-Batam hingga tanggal 11 Mei selalu penuh. Maskapai Silk Air mengatakan banyak penumpang yang pergi ke Singapura untuk sementara karena alasan keamanan. Beberapa orang kaya Medan memiliki keluarga di Singapura. Beberapa di antara mereka bahkan memiliki rumah di sana. Silk Air melakukan penerbangan dua kali per hari tiap hari Rabu, Jumat, dan Minggu. Mereka mengaku masih banyak penumpang yang belum tertampung.[34]
***
Seiring situasi keamanan berangsur aman, bahkan sudah pulih, sejumlah warga Medan berkeliling kota melampiaskan rasa gembira. Hilir-mudik kendaraan mulai ramai memadati jalan-jalan di pusat kota. pusat-pusat perbelanjaan sudah banyak yang buka. Tempat-tempat hiburan malam di kawasan Petisah yang sebelumnya nyaris tanpa pengunjung, terlihat mulai ramai. Daerah pinggiran kota Medan tidak terjadi lagi kerusuhan massa. Kondisi aman dan terkendali ini tidak terlepas pula dari kegiatan Siskamling Swakarsa yang diterapkan warga di sejumlah tempat di Medan.[35]
Namun, pada 14 Mei, ketenangan kota yang sudah mulai normal kembali terusik. Beredar rumor tentang adanya kerusuhan kembali. Warga kota kembali panik. Di beberapa tempat juga menerima ancaman bom. Medan Plaza di Jalan Iskandar Muda, menerima ancaman bom dari penelepon gelap sekitar pukul 11.00. Demikian juga dengan Medan Mall. Mereka ditelepon penelepon gelap pukul 13.00. Dikatakan akan ada ledakan bom di pusat perbelanjaan terramai di Medan itu. Hotel Semarak di Jalan Sisingamangaraja juga mengalami hal yang sama. Pukul 15.15 hotel itu menerima ancaman bom dari penelepon gelap. Di hotel ini, kata penelepon gelap, terpasang 10 bom waktu yang siap meledak. Tim penjinak bom dari kepolisian Sumatera Utara segera dikerahkan ke lokasi-lokasi tersebut. Setelah melakukan pemeriksaan, tim penjinak tidak menemukan satu pun bom. Sementara itu, Thamrin Plaza di Jalan Thamrin diisukan akan dibakar massa.[36]
Isu kerusuhan tidak saja membuat panik masyarakat melainkan merepotkan pihak keamanan karena terpaksa mengerahkan personilnya ke seluruh tempat berkembangnya isu tersebut. Memilih tidak mengambil resiko, para pemilik usaha di jalan-jalan utama Medan memilih menutup tempat usahanya. Plaza Medan Baru di Jalan Iskandar Muda dan deretan toko di sekitarnya memilih untuk tidak buka. Keputusan itu, tanpa mempertimbangkan benar atau tidaknya isu yang beredar, diperkuat oleh aparat keamanan yang segera berjaga di depan toko mereka. Hal yang sama terjadi di Jalan Surabaya, Jalan Bogor, Jalan Cirebon, Jalan Sutomo, Jalan Yos Sudarso, Jalan Gatot Subroto, Jalan Majapahit, Jalan KH Zainul Arifin, Jalan Ahmad Yani, Jalan Pemuda, Jalan Mesjid, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Sisingamangaraja serta sejumlah kawasann yang berada di pusat kota. Kota Medan tampak seperti kota mati.[37]
Di sisi kota yang lain, pada 15 Mei para nasabah harus antri mengambil uang melalui ATM. Bank-bank swasta di Medan menghentikan aktivitasnya. Bank-bank tersebut menempelkan pengumuman di dinding yang menyatakan kerusakan di pusat bank mengharuskan mereka berhenti beraktivitas. Salah satu bank, BCA, hanya menyediakan pintu kecil bagi nasabah dan karyawan.[38] Di Medan, BCA mengoperasikan satu kantor cabang utama dan empat kantor capem masing-masing di Jalan Bukit Barisan, Jalan Asia, Jalan Komodor Laut Yos Sudarso dan Jalan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, BCA juga mengoperasikan sebanyak 21 unit anjungan tunai mandiri (ATM) yang tersebar di berbagai kantor cabang pembantu, pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan perguruan tinggi di kota Medan.[39]
***
Mahasiswa kembali berdemonstrasi. Mereka menuntut reformasi dilaksanakan secepatnya. Mahasiswa Unika St Thomas melakukan aksi mogok makan. Mereka tidak akan berhenti sebelum tuntutan reformasi yang diperjuangkan tercapai. Selain itu, sebelas mahasiswa kampus tersebut menuntut penggantian Kabinet Pembangunan VII dan segera mengadakan Sidang Istimewa MPR. Aksi mogok makan ini akan dibuat estafet: bila regu pertama semakin lemah kondisinya maka akan digantikan regu berikutnya. Sementara 50 mahasiswa Universitas Darma Agung dan Institut Sains Teknologi Pardede melangsungkan aksi keprihatinan serta ungkapan belasungkawa terhadap peristiwa berdarah Trisakti, dengan mengadakan mimbar bebas di depan rumah walikota Medan di Jalan Walikota setelah niat mereka menuju Taman Makam Pahlawan terhenti. Di kampus Nommensen Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, aksi mimbar bebas juga berlangsung. Mereka menuntut reformasi segera dilaksanakan dan mengutuk aksi penembakan hingga menyebabkan tewasnya enam mahasiswa Trisakti dalam peristiwa 12 Mei 1998 di Jakarta. Aksi serupa berlangsung di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Jalan Sisingamangaraja. Mereka menaikkan bendera hitam di sisi bendera merah putih sebagai tanda duka cita atas peristiwa Trisakti. Rektor dan pejabat Yayasan UISU meminta mahasiswa terus menyuarakan reformasi.[40]
Pada 16 Mei, mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan aksi damai di DRPD Sumatera Utara. Aksi itu juga diikuti oleh beberapa dosen USU. Mereka long march dari kampus USU hingga ke kantor DPRD. Di sepanjang jalan mereka ‘memaksa’ kantor-kantor instansi dan bank segera mengibarkan bendera merah putih setengah tiang di depan kantor masing-masing. Menurut mereka, hal itu sebagai tanda bahwa rakyat Indonesia memang betul merasa berduka cita atas meninggalnya mahasiswa Universitas Trisakti dalam memperjuangkan reformasi di Jakarta. Aksi ini awalnya berjalan tertib. Mereka meminta MPR secara tegas menentukan sikap mengenai mundur tidaknya Soeharto. Selain itu mereka mendesak Sidang Istimewa segera dilaksanakan. Mereka juga meminta penghapusan lima paket UU Politik dan mencabut UU Subversif serta mengusut tuntas kejadian di Universitas Trisakti Jakarta dan kasus pelecehan seksual mahasiswa IKIP Medan, agar pelakunya di-Mahmil-kan. Ketua DPRD Sumut HM Iskak, didampingi Prof Dr. Mustafa Siregar, Dr H T Syaifuddin, Drs. H. Fadlan Tahir, M. Natsir, HM Hafiz memberikan penjelasan secara bergilir. Bahkan HM Iskak juga memberikan semacam pengakuan, bila reformasi tidak berjalan maka 54 anggota DPRD Sumut akan mundur.[41]
Mahasiswa yang sedang mendengar orasi para anggota dewan tiba-tiba dikejutkan dengan pengejaran mahasiswa terhadap seseorang yang sedang memfoto para demonstran. Mahasiswa keberatan dengan aksinya itu. Mahasiswa menduga dia aparat keamanan berpakaian preman. Dia langsung diserbu oleh mahasiswa yang lain hingga petugas berseragam PM mengamankan oknum tersebut. Tentara dari Kodam Bukit Barisan segera melakukan pengamanan saat aksi sudah menjadi rusuh. Mahasiswa melempari petugas keamanan. Serda BI Panjaitan dari Keuangan Dam I/Bukit Barisan terjatuh terkena lemparan batu.[42] Kepalanya berlumuran darah. Melihat ini, petugas Dakhura yang berjaga-jaga kontan naik darah dan menembakkan senjata sehingga ribuan mahasiswa yang berada di halaman gedung panik, lalu lari masuk ke dalam gedung hingga kaca depan hancur. Teriakan panik dan marah mulai muncul dari arah mahasiswa ketika tiga rekan mereka tumbang terkena peluru karet di bagian perut, bahu dan lengan kiri. Sedangkan dua mahasiswi pingsan karena takut.[43]
Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Ismend Yuzairi segera mengeluarkan pernyataan. Pasukannya di lapangan tidak pernah diperintahkan menembak para demonstran. Menurutnya penembakan itu terjadi karena spontanitas petugas melihat rekannya terluka terkena lemparan batu. Pangdam menyesalkan aksi tersebut karena telah menimbulkan korban di dua belah pihak. Dijelaskannya, dua bintara Kodam mengalami gegar otak dan dirawat di Rumah Sakit Kodam. Meski demikian, Pangdam meminta maaf atas kejadian berdarah itu dan berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. Oknum yang bersalah pasti akan diperiksa dan dijatuhi hukuman.[44] Sementara itu, korban dari mahasiswa dirawat di rumah sakit Elisabeth. Para mahasiswa dan dosen terus berdatangan menjenguk, tak terkecuali dari aparat keamanan.[45]
Di waktu yang bersamaan dengan aksi mahasiswa tersebut, ribuan warga Medan keturunan Tionghoa memadati Bandara Polonia. Mereka memilih meninggalkan Medan yang kembali bergolak. Pada umumnya mereka terbang ke Kuala Lumpur, Penang, dan Singapura menggunakan pesawat Silk Air, Malaysia Air, dan Garuda Indonesia. Garuda Indonesia harus membuka jalur penerbangan ekstra tujuan Penang dan Malaysia karena Silk Air dan Malaysia Air kewalahan melakukan pengangkutan.[46] Menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, beredar isu akan ada lagi gerakan massa. Selain melalui bandara, arus keberangkatan ke luar negeri kembali melonjak di pelabuhan Belawan.[47] Mereka yang memilih jalur laut adalah mereka yang tidak bisa lagi mendapat tiket pesawat terbang atau mereka yang tidak mampu membeli tiket pesawat.[48]
Dari Jakarta dilaporkan, pemerintah Indonesia telah menyetujui 105 penerbangan pesawat carter untuk mengevakuasi ribuan warga asing yang ingin keluar dari Indonesia akibat kerusuhan di Jakarta. Ada beberapa bandara yang disetujui sebagai embarkasi evakuasi warga negara asing, yakni Bandara Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusumah, Husein Sastranegara dan Juanda Surabaya. Ada juga permintaan penerbangan carter Jakarta-Bali namun ditolak karena melanggar azas sabotase. Singapura dan Hongkong menjadi tempat terbanyak tujuan evakuasi. Kemungkinan besar mereka akan kembali lagi ke Indonesia saat situasi sudah betul-betul aman.[49]
Isu akan ada aksi besar-besaran tersebut membuat masyarakat Medan membanjiri pasar-pasar tradisional membeli sembako. Mereka membeli sembako dalam jumlah besar. Harga beras, minyak tanah dan minyak goring dilaporkan tidak mengalami peningkatan. Berbeda dengan harga sayur-mayur yang melambung tinggi.[50] Sejumlah bank-bank swasta di Medan diserbu nasabah yang akan menarik dana dalam jumlah besar sehingga terjadi rush. Dua bank di Medan yang paling ramai diserbu nasabahnya yakni BCA dan BII di Jalan Zainul Arifin. Nasabah berebutan antri di depan counter-counter untuk segera mencairkan dananya, begitu juga di ATM-ATM. Nasabah dan karyawan bank tampak panik, apalagi pada dinding-dinding di bank itu ditempelkan tulisan yang memohon agar para nasabah maklum karena pelayanan kliring hanya berlaku hingga pukul dua siang. Tidak sedikit pula nasabah yang menggerutu karena di cabang-cabang pembantu bank BCA diterapkan penarikan tunai dibatasi hanya sampai Rp 5.000.000. Kondisi itu membuat mereka terpaksa menarik uang dari ATM. Hal yang sama juga terjadi di BII dan beberapa bank swasta lainnya.[51]
Sementara itu, di kampus UNIKA St Thomas hingga Sabtu, 16 Mei, masih terus melanjutkan aksi mogok makan. Kali ini yang melakukan aksi mogok bertambah dua orang, yakni Hotland dari Fakultas Pertanian dan Johanes Cavlin T dari Fakultas Hukum. Dengan demikian, jumlah mahasiswa yang melakukan aksi mogok makan menjadi 15 orang, terhitung sejak Kamis, 14 Mei.[52]
Di Bawah Naungan Ketua
Ketika semua kota dalam keadaan membara, ada satu wilayah di kota Medan yang tidak tersentuh sama sekali oleh kerusuhan. Wilayah ini dihuni oleh banyak orang Tionghoa, meski tidak bisa disebut sebagai daerah pecinan. Nama tempat itu adalah Sekip. Wilayah ini berada di Kecamatan Medan Petisah, Medan Barat.[53] Selama huru-hara bulan Mei 1998, sejauh penelurusan berita-berita di surat kabar daerah, tidak ditemukan berita tentang adanya kerusuhan di daerah ini. Di tempat ini berdiri kantor pusat Ikatan Pemuda Karya, organisasi yang dikenal orang Medan sebagai organisasi preman. Ketuanya adalah Olo Panggabean. Olo biasa dipanggil Ketua. Peran Olo Panggabean dengan IPK-nya yang sangat penting menjadikan daerah itu sama sekali tidak tersentuh kerusuhan.[54]
Olo Panggabean di ulang tahunnya ke-65. Kredit foto: Vice
Olo Panggabean[55] lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean. Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK.
Wilayah kekuasannya terpusat di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikannya terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan Koordinasi Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Selain dikenal dengan sebutan “Ketua”, Olo juga dikenal sebagai “Kepala Preman”. Di setiap kendaraan Olo, plat mobilnya selalu diakhiri dengan “KP”, untuk “Kepala Preman”. Olo dikenal sebagai raja judi karena menguasai perjudian di Sumatera Utara. Dia sosok misterius. Tidak gampang menemukan keberadaannya. Ke manapun dia pergi selalu diikuti oleh berlapis-lapis pengawal. Beberapa kali dia berhadapan dengan kepolisian karena perkara judi namun selalu lolos. Namun, setelah Jenderal Sutanto menjabat sebagai Kapolri tahun 2005, bisnis Olo diberantas sampai ke akar-akarnya. Kerajaan bisnis judinya pun hancur. Olo kemudian mendirikan beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan juga perusahaan otobus. Olo Panggabean meninggal pada 30 April 2005.
IPK adalah organisasi preman yang cukup terkenal di Medan. Tidak diketahui pasti kapan organisasi ini berdiri. Namun, setelah keluarnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, IPK memilih Golkar sebagai “tempat menyalurkan aspirasi politiknya”. IPK kemudian menyebut organisasi ini sebagai bagian dari Keluarga Besar Golkar. Dukungan mereka terhadap Golkar ditunjukkan melalui bantuan-bantuan pengamanan setiap pemilu berlangsung.[56]
Seperti pada setiap organisasi pada lazimnya, IPK membuat struktur organisasi yang boleh dikatakan “gemuk”. Di tingkat pimpinan pusat—selain ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara—mereka memiliki dewan pimpinan dan dewan penasihat. Dewan pembina dijabat oleh Muspida Tingkat I Sumatera Utara, DPD Golkar Tingkat I Sumatera Utara, DPD Gakari Tingkat I Sumatera Utara. Sementara dewan penasehat dijabat oleh Kolonel P. Tampak Sebayang, Kolonel Pol. Otto Simanjuntak, dan Sabar Nainggolan. Sementara itu mereka memiliki tujuh biro, seperti roganisasi kaderisasi dan keanggotaan, pendidikan dan latihan, kesiswaan dan kemahasiswaan, olahraga dan kebudayaan, pengabdian masyarakat dan kerohanian, peranan wanita, dan penerangan dan hubungan masyarakat.[57]
Masyarakat Medan mengenal IPK sebagai organisasi yang gemar berderma. Mereka menyumbang untuk korban bencana alam, mengadakan pengobatan gratis bagi keluarga kurang mampu, mengadakan sunatan massal, membagikan sembako dan sarung ke panti-panti asuhan pada hari raya Idul Fitri, membantu biaya operasi di rumah sakit, dan memberikan beasiswa ke keluarga kurang mampu.[58] Sementara di internal IPK, organisasi ini berupaya dan berjuang mengaryakan anggotanya sebagai penjaga parkir, karyawan bengkel atau doorsmer, penjaga malam di komplek-komplek perumahan, satpam, pramuniaga di toko-toko dan restoran, cleaning service di plaza-plaza, pedagang asongan, atau dikaryakan sebagai karyawan tetap pada tempat-tempat hiburan seperti Medan Fair dan Taman Ria.[59]
***
Dapot tidak mengingat tanggal persis ketika massa mencoba memasuki kawasan Sekip melalui Bundaran Majestik di Jalan Gatot Subroto. Ketika massa semakin mendekat, sekitar tiga ribu anggota IPK berpakaian loreng hitam-biru menyambut kedatangan mereka. Mereka berbaris sepanjang bundaran. Masing-masing mereka membawa perlengkapan “perang” seperti linggis, kelewang, kayu balok, tombak, panah, dan sejenisya. Dapot bercerita, kawasan pertokoan persis di seberang Bundaran Majestik sudah hancur dirusak massa. Namun, di seberang bundaran menuju Sekip sama sekali tidak tersentuh. Melihat ribuan anggota IPK menghadang, massa pun memutuskan mundur. Sementara semua rumah dan toko di kawasan Sekip sudah tutup. Olo Panggabean sudah mengetahui sedari awal bahwa daerah Sekip akan menjadi sasaran massa. Pada pagi harinya, perintah tegas diberikan Ketua: “Pagar semua itu, jangan kasih masuk. Yang lewat matikan.” Selain memagar Bundaran Majestik, anggota IPK juga disebar di jalan-jalan menuju Sekip, juga seluruh daerah Petisah. Di Simpang Barat mereka melarang segala jenis kendaraan dari arah Binjai menuju Medan. Mereka juga menjaga Medan Plaza. Dapot mengatakan mereka berjaga selama sepuluh hari.
Ketika ditanya apakah anggota IPK mencukupi menjaga wilayah sedemikian luas, Dapot mengatakan setiap anggota IPK dari cabang-cabang IPK di seluruh kelurahan yang ada di Medan mengirim anggotanya. Selain itu setiap anggota diperbolehkan membawa hingga satu atau dua orang. Orang-orang yang diajak memanfaatkan situasi itu untuk mendapatkan uang. Di malam harinya, setelah “perang” selesai, pengakuan Dapot, setiap orang mendapatkan 300 ribu rupiah. Tidak hanya itu saja, selama mereka berjaga mereka disediadakan makan siang dan rokok. Massa IPK sebanyak itu disediakan makan siang oleh satu rumah makan besar yang ada di kawasan Sekip, Rumah Makan Garuda. Setiap hari selama jaga, kata Dapot, rumah makan tersebut menyediakan makan siang mereka. Sementara untuk rokok, mobil besar Gudang Garam dan Sampoerna datang ke Sekip. Mereka dijatah satu bungkus rokok per hari. Pengambilan makanan dan rokok dibagi ke setiap kepala cabang kelurahan. Setelah mendapatkan makanan dan rokok mereka harus menandatangani biar tidak ada yang mengambil dua kali. “Enaklah saat itu. Kalikan saja, 300 ribu kali sepuluh hari,” kata Dapot. “Sehingga saat itu banyak yang mengatakan kepanjangan IPK itu “ikut pasti kaya”.”
Pertanyaan besar yang timbul kemudian adalah dari mana IPK mendapatkan dana untuk jasa pengamanan tersebut? Atau hubungan seperti apa yang terjalin antara orang Tionghoa di Sekip dengan IPK?
IPK, kata Dapot, hidup dari memeras orang Tionghoa. Sementara orang Tionghoa di Sekip tahu betul bahwa mereka harus memberikan “setoran” kepada siapa saja yang bisa memberi mereka keamanan. Praktik-praktik pemerasan yang dilakukan IPK lebih kelihatan ketimbang yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini kelurahan. Kepala Lingkungan, misalnya, memperlakukan mereka berbeda dengan warga non-Tionghoa dalam hal mengurus urusan administrasi kependudukan. Orang Tionghoa selalu membayar lebih mahal dari warga non-Tionghoa.
Setiap anggota IPK ditugaskan mengutip uang keamanan dari tiap rumah atau pertokoan orang Tionghoa. Dapot dan empat orang temannya (di Sekip mereka dikenal sebagai Lima Pandawa) sudah membagi-bagi rumah mana saja yang harus mereka kutip uang keamanannya. Mereka berlima harus mengutip 30 rumah tiap orang setiap bulan. Artinya ada 150 rumah yang mereka kutip dalam sebulan. Mereka kemudian mendatangi rumah-rumah yang sudah dibagi tersebut setiap hari satu rumah. Sebelum memanggil pemilik rumah, tendangan keras sudah menghantam pagar rumah. “Uang keamanan,” demikian mereka biasa berteriak. Lalu pemilik rumah akan menyahut untuk kemudian memberikan setoran keamanan. Dapot menyebut setiap rumah wajib memberiakn 100 ribu per rumah per bulan. Pemilik rumah kemudian diberikan kuitansi pembayaran lengkap dengan stempel IPK. Demikian setiap hari rumah digilir dikutip hingga di akhir bulan Dapot sudah berada di rumah ke-30. Dapot mengatakan tidak ada orang Tionghoa yang tidak memberikan uang keamanan. Demikian juga, setiap rumah hanya bisa dikutip sekali dalam sebulan. Bila ternyata dikutip lebih dari sekali, “Bisa bahaya kalau Ketua tahu.”
Menjelang hari raya seperti Natal atau Idul Fitri, IPK akan membagi-bagikan amplop ke setiap rumah. Perayaan Natal, misalnya, pada tanggal 23 Desember mereka akan membagikan amplop berisi kuitansi kosong ke setiap rumah. Keesokan harinya mereka akan kembali mengutip amplop tersebut. Tidak dipatok jumlahnya, namun Dapot mengatakan sebelum orang Tionghoa memasukkan uang ke dalam amplop tersebut mereka akan menelepon teman-temannya menanyakan jumlah yang mereka berikan sehingga setiap amplop dari setiap rumah akan sama jumlahnya. Dapot menceritakan pengalamannya. Saat itu dia harus pulang kampung ke Samosir. Dia ingin membawa anaknya yang masih kecil menemui kakek-neneknya. Dapot kemudian meminta uang keamanan untuk dua bulan ke beberapa rumah karena duitnya tidak mencukupi untuk pulang kampung.
Selain itu, mereka mengutip uang keamanan bagi siapa saja yang membangun rumah. Setiap kali ada pasir bangunan teronggok di depan rumah, mereka segera mendatangi tempat tersebut. Orang Tionghoa yang membangun ruko dikutip satu juta rupiah. Terkadang ada perlawanan dari tukang, dan itu artinya mereka sedang dalam bencana. “Babi, sini kau sini kau, turun, turun kau. Belum siap urusannya ini, baluhap. Pande-pandean kau kerja. Nggak tau kau ini siapa? Ini kau tanya dulu bos kau, uda siap gak sama abang-abang?” Tukang itu kemudian menelepon si pemilik bangungan. Setelah datang ke lokasi, pemilik rumah dibentak. “Jadi maccem mana? Kau pun asal-asal aja, macam negara abang aja negara ini kami tengok. Kalau gak kami datangi gak mau orang abang nelepon. Apa bisa gini-gini aja rupanya ini? Jadi mau berapa, berapalah abang kasih ini?” Sebelum uang sejuta diberikan, bangunan tersebut tak bisa dilanjutkan dibangun.
Orang Tionghoa di Sekip, sebagaimana di tempat lain di Medan, membentengi rumah mereka dengan pagar berlapis. Di Medan dikenal dengan gerbang harimau. Menurut I. Wibowo, sebagaimana dikutip Chang-Yau Hoon (2012), membangun pagar tinggi di sekeliling rumah dan pemasangan gerbang pengaman menggambarkan hal ini sebagai bentuk “internal exit”, dalam arti orang Tionghoa tidak meninggalkan tempat kediaman, namun mereka “keluar” dari masyarakat. Perilaku membentengi diri ini, menurut Chang-Yau Hoon, adalah bentuk tindakan bela-diri yang didorong oleh rasa takut, mengingat sebelumnya mereka sering dijarah.[60] Di tempat lain, Tsai Yen-ling menyebut komunitas yang tinggal dalam benteng tersebut sebagai gated-community, komunitas tergerbangkan. Yen-ling mengatakan orang Tionghoa merasa aman dari perubahan-perubahan tak terduga.[61]
Tidak diketahui pasti kapan praktik pemungutan uang keamanan terhadap orang Tionghoa oleh IPK dimulai. Namun, menarik membandingkan praktik yang sama dengan yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila di kota yang sama, Medan. Tsai Yen-ling, dengan mengutip Loren Ryter (2002), menggambarkan permulaan praktik “jasa” keamanan terjadi:
One night, while his neighbors were fast asleep, Pendi went outside and gathered stones the size of kendondong fruit … which he threw against the [corrugated iron] roofs of the homes of his mainly ethnic Chinese neighbors. Pendi ran inside his house via the back door. The Chinese … immediately woke up and opened their doors. Pendi then pretended to be awoken and to be angry that his sleep had been disturbed. The Chinese didn’t know who had thrown the stones. Maybe some of them suspected Pendy, but they didn’t have the guts to accuse him. [He repeated this “drama” for several nights.] Finally, these Chinese agreed to ask Pendi to guard against these disturbances and promised him a monthly compensation that was not too shabby. Since then, Pendi received routine monthly “security money”[62]
Bagi orang Tionghoa, Pemuda Pancasila dipandang sebagai kumpulan kriminal “busuk”, oportunistik, dan kasar. Sementara Olo Panggabean dan IPK dipandang berbeda karena mereka meminta uang keamanan dari mereka namun tidak untuk menciptakan rasa tidak aman.[63] Itulah yang terjadi pada peristiwa huru-hara Mei 1998. Dalam gerbang harimau mereka diperlakukan sebagai objek pemerasan. Namun, ternyata, hal ini tidaklah sesederhana itu. Orang Tionghoa, seperti ditulis Tsai Yen-ling, tahu bahwa sumber ketakutan adalah juga sumber keamanan. Mereka menjadikan IPK sebagai alat untuk mengenyahkan organisasi lain, Pemuda Pancasila, yang mereka anggap sebagai organisasi yang hanya “mengambil” saja namun tidak memberikan “imbalan” sebagai gantinya. IPK pun kemudian menjaga “basis keuangan” mereka dengan sangat baik ketika sedang berada dalam situasi krisis. Dengan demikian, terjadi hubungan saling menguntungkan antara orang Tionghoa dengan IPK.
Suharto Lengser
Sementara itu, Soeharto masih enggan untuk mengundurkan diri. Hal ini tampak saat Soeharto menerima Sembilan tokoh di Istana Negara. Sembilan tokoh ini disebut juga “Walisongo”. Mereka adalah Nurchlish Madjid, Abdurahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, K.H. Ali Yafie, Malik Fadjar (dan lainnya). Soeharto sendiri menyebut pertemuan ini sebagai konsultasi. Soeharto diyakinkan bahwa tuntutan mahasiswa tidak lain tidak bukan menghendaki kemunduran dirinya. Dikatakan Soeharto menunjukkan kebelumrelaannya memenuhi tuntutan itu. Soeharto berusaha memberikan berbagai alternatif sehingga terkesan berbelit-belit dan hanya mengulur waktu. Soeharto meyakinkan kesembilan tokoh tersebut bahwa dia sendiri akan memimpin reformasi dengan cara me-reshuffle kabinet, membentuk komite reformasi, melaksanakan pemilu secepatnya, dan dia tidak bersedia dicalonkan lagi menjadi presiden.[64]
Tim ISAI menulis, “Malam harinya (19 Mei), Soeharto memanggil Mensesneg Saadillah Mursyid dan Yusril Ihza Mahendra, staf khusus sekretaris kabinet. Mereka ditugaskan menyusun daftar calon anggota komite reformasi. Rencananya, komite ini akan diumumkan bersamaan dengan kabinet baru hasil reshuffle pada Kamis, 21 Mei 1998. Dalam komite yang rencananya beranggotakan 45 orang ini, Soeharto mengusulkan 20 nama. Sisanya diusulkan oleh Saadillah dan Yusril. Berbagai nama, seperti Amien Rais, Gus Dur, bahkan Arbi Sanit, atau para tokoh kritis yang dulu tak terbayangkan bisa didengarkan suaranya saja oleh pemerintahan, kini berusaha dirangkul Soeharto. Malam itu, Soeharto seakan mendapat jalan keluar dalam mengatasi krisis kepercayaan. Dan malam itu, ia masih bisa tidur dengan tenang.”[65]
Koalisi dalam Golkar yang digalang untuk mendesak Soeharto mundur melancarkan pukulan telak terakhir. Bila pada tanggal 19 Mei Soeharto masih yakin mampu mengendalikan krisis, sehari kemudian dia harus menggugurkan keyakinannya itu. Lima koalisi di dalam tubuh Golkar—Habibie-Akbar-Ginanjar-Hendropriyono-Harmoko—melancarkan pukulan terakhir yang membuat Soeharto “KO”. Kelima kubu ini bersatu melalui keputusan 14 orang yang menolak diangkat Soeharto menjadi menteri. Mereka menandatangai kesepakatan bersama. Mereka adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsyah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng.[66]
Soeharto merasa dikhianati dengan surat pengunduran 14 menteri itu. Keadaan semakin meruncing ketika Mensesneg Saadillah melaporkan bahwa komite reformasi yang ditugaskan ke mereka untuk dibentuk belum bisa terbentuk. Dari 45 nama yang ada pada mereka, hanya tiga orang yang menyatakan kesediaannya. Soeharto betul-betul terpukul. Soeharto mungkin tidak akan begitu tersakiti bila orang-orang yang diminta duduk di komite reformasi yang akan dibentuk menolak direkrut. Namun, ada beberapa nama dari 14 orang itu yang dianggap pernah diselamatkan Soeharto. Bahkan beberapa dari mereka memberikan masukan kepada Soeharto tentang reshuffle kabinet. Emha Ainun Nadjib menyebut tindakan keempatbelas orang itu sebagai “kudeta yang diperhalus”.[67]
Golkar tidak ingin hancur ditelan amuk massa. Masa-masa indah bersama Soeharto sepertinya harus segera diakhiri. Kalau selama ini tak ada satu orang pun yang berani meminta Soeharto untuk tidak mencalonkan diri kembali sebagai presiden, maka Golkar, melangkah melampaui itu. Golkar bukan memutuskan agar Soeharto mundur, tapi menyerukan sidang istimewa MPR untuk mendepaknya dari kekuasaan. Harmoko kemudian memberi ultimatum kepada Soeharto: mundur pada hari Jumat (22 Mei) atau menghadapi sidang istimewa pada hari Senin (25 Mei). Tak cukup sampai di sana, tanggal 20 Mei orang-orang dekat Soeharto pun kemudian mundur berjamaah dari kabinetnya. Angkatan bersenjata yang dikerahkan ke Senayan sebanyak 15.000 personel tak sanggup menghentikan pendudukan gedung parlemen oleh 30.000 massa rakyat. Dengan demikian pilar penopang terakhirnya sudah runtuh. Soeharto mengumumkan mundur sebagai presiden pada 21 Mei dan digantikan oleh wakilnya. B.J. Habibie.[68]
Beberapa kelompok mahasiswa di Medan menggelar beberapa aksi menyatakan dukungan kepada presiden baru.[69] Hal yang berbeda disampaikan mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Dalam aksi ke kantor DPRD Sumatera Utara pada 25 Mei, mereka mengatakan pemerintahan Habibie hanyalah pemerintahan transisi, bukan permanen. Mereka menuntut Habibie mencabut undang-undang subversif dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Selain itu mereka mendesak pemerintah mengusut harta kekayaan Suharto.[70] Sementara beberapa organisasi lembaga swadaya masyarakat di Medan mengatakan pengunduruan diri Suharto tidak konstitusional karena tidak disertai pertanggungjawaban kepada MPR. Sehingga menurut mereka pengangkatan Habibie sebagai presiden tidak memiliki landasan juridis, politik, dan moral.[71]
Sementara itu warga Tionghoa dan juga warga lain yang memilih pergi ke luar negeri sewaktu kerusuhan, sudah berangsur kembali ke Medan. Dilaporkan di Pelabuhan Belawan, pada tanggal 23 Mei beberapa kapal dari Penang atau Batam mengangkut penumpang 488 orang. Demikian juga keesokan harinya, sebanyak 925 penumpang tiba di Belawan dari Penang dan Batam.[72]
Hari-hari sesudahnya kemudian adalah masa-masa yang dikenal dengan sebutan Era Reformasi.***
Penulis adalah Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah, UGM
————
[1] Sebelumnya, satu bom molotov meledak saat aksi mahasiswa sedang berjalan. Aparat keamanan juga menciduk 14 orang.
[2]Waspada, 1 Mei 1998.
[3]Waspada, 1 Mei 1998.
[4]Waspada, 1 Mei 1998.
[5]Waspada, 1 Mei 1998.
[6]Waspada, 2 Mei 1998.
[7]Waspada, 2 Mei 1998.
[8]Waspada, 4 Mei 1998.
[9]Waspada, 2 Mei 1998.
[10]Waspada, 3 Mei 1998.
[11]Waspada, 5 Mei 1998.
[12]Waspada, 5 Mei 1998; Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 14-16.
[13] Kapoltabes Medan Kol. Pol Nono Supriyono mengatakan sekitar pukul 19.00 petugas keamanan meninggalkan IKIP Medan karena menilai situasi sudah aman. Belasan mahasiswa berhasil diamankan. Waspada, 5 Mei 1998.
[14] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 16. IKIP Medan dalam laporannya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menuliskan berikut ini: “Kejadian pelecehan seksual itu terjadi saat mahasiswa mau pulang pukul 18.30 WIB setelah terjadi kesepakatan dengan aparat keamanan. Mahasiswa kemudian diangkut dengan menggunakan bis IKIP Medan. Ternyata begitu mahasiswi (jumlahnya sekitar 600 orang) keluar dari pintu gerbang IKIP Medan, oknum petugas keamanan memperlakukannya dengan tidak wajar dan sangat tidak manusiawi dengan meremas pantat dan buah dada, menunjang, memukul, menelanjangi dan memaki dengan kata-kata kotor. Perlakuan ini terjadi di sepanjang jalan dari pintu gerbang sebelah timur sampai persimpangan jalan umum yang jaraknya lebih 500 meter. Sementara bagi mahasiswa yang diangkut dengan menggunakan bis dihentikan petugas di depan pintu gerbang sebelah timur. Oknum petugas langsung masuk ke dalam bis dan memukuli mahasiswa yang ada di dalam bis dengan membabi-buta dan emosional.” Mimbar Umum, 16 Mei 1998.
[15] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17.
[16] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17-18; Waspada, 5 Mei 1998.
[17]Waspada, 5 Mei 1998; Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17-18.
[18]Waspada, 7 Mei 1998.
[19]Waspada, 7 Mei 1998.
[20]Waspada, 7 Mei 1998.
[21]Waspada, 7 Mei 1998.
[22]Waspada, 7 Mei 1998. Harian Waspada merinci sebagian korban luka tembak. Fery Padli, 12 tahun, pelajar SD di Mandala, penduduk Jalan Tangguk Bongkar, tertembak peluru petugas di paha kanan. Nazamuddin, 15 tahun, pelajar SMP Al-Wasliyah Medan, tertembak peluru di perut kanan. Jakson, 18 tahun, pelajar STM di SImpang Limun, tertembak di pinggang kanan. Andi, 17 tahun, penduduk Jalan Cucak Rawa Perumnas Mandala, tertembak di dada kanan. Hepi Tambunan, 25 tahun, penduduk Jalan Tangguk Bongkar, tertembak di dada kanan. Rahman, penduduk Jalan Bersama Mandala, ditembak dengan peluru tajam petugas di depan Kantor Polsekta Percut Sei Tuan. Salman, 17 tahun, mengalami kritis, diduga terterbak dalam aksi massa di Simpang Limun. Penduduk Mandala menjelaskan mereka tertembak tidak hanya oleh peluru petugas, namun mereka menduga para penduduk warga keturunan Tionghoa memiliki senjata api. Seorang mahasiswa juga terkena tembakan peluru petugas: Ratna Murniati Silalahi, 21 tahun, tertembak di pahanya.
[23]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[24]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[25]Mimbar Umum, 12 Mei 1998.
[26]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[27]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[28]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[29]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[30]Mimbar Umum, 14 Mei 1998.
[31]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[32]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.
[33]Waspada, 7 Mei 1998.
[34]Mimbar Umum, 10 Mei 1998.
[35]Mimbar Umum, 10 Mei 1998.
[36]Mimbar Umum, 15 Mei 1998.
[37]Mimbar Umum, 15 Mei 1998.
[38]Mimbar Umum, 16 Mei 1998.
[39]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[40]Mimbar Umum, 16 Mei 1998.
[41]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[42] Serda BI Panjaitan, korban pelemparan batu, meninggal di Rumah Sakit Kodam pada hari Minggu, 17 Mei. Orangtua BI Panjaitan tidak mau menyalahkan siapa-siapa untuk kematian puteranya tersebut. Mereka sudah memasrahkan kepergiaannya dan mengatakan memahami aksi mahasiswa menuntut reformasi. BI Panjaitan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan Medan. Mimbar Umum, 19 Mei 1998.
[43]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[44]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[45]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[46]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[47]Mimbar Umum, 18 Mei 1998.
[48]Mimbar Umum, 20 Mei 1998. Harianto, bukan nama sebenarnya, mengatakan orang-orang keturunan Tionghoa yang pergi ke luar negeri saat kota Medan dilanda huru-hara berasal dari kalangan berada. “Bagaimana dengan orang yang tidak berduit?” tanya Hariyanto. “Yah, tinggal di Medan.” Lagipula, tambah Hariyanto, pergi ke luar negeri tidak akan menyelesaikan masalah, malah semakin mempertegas bahwa orang Tionghoa “hanyalah numpang” di Indonesia. “Ini negara kami juga,” kata Hariyanto. Wawancara, …….
[49]Mimbar Umum, 19 Mei 1998.
[50]Mimbar Umum, 20 Mei 1998.
[51]Mimbar Umum, 20 Mei 1998.
[52]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.
[53] Jumlah penduduk Tionghoa di kelurahan Sekip tahun 1992/1993 sebesar 4.310 orang dari total 9.296 orang, atau sebesar 46,36 persen.[53] Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang. Mereka menjadikan lantai satu rumah mereka sebagai tempat berdagang sementara lantai duanya sebagai tempat tinggal. Kantor Kelurahan Sekip, 1992/1993 dalam Kencana Sembiring Pelawi dan Hilderia Sitanggang (penyusun), Corak dan Pola Hubungan Sosial Antar Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan, hal. 37.
[54] Untuk peran yang dimainkan IPK dalam beberapa hari kerusuhan hebat di Medan didasarkan pada wawancara dengan mantan anak buah Olo Panggabean. Namanya minta disamarkan sehingga saya sebut saja namanya Dapot.
[55] Biografi singkat Olo Panggabean diambil dari https://pagonprakoso.wordpress.com/2012/03/08/3-preman-paling-berpengaruh-di-indonesia/, diakes 11 Mei 2017.
[56] Jaanri P. Hutabarat, Peranan IPK Sebagai Wadah Organisasi Kepemudaan di Sumatera Utara (1987-2000), (Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002), hlm. 35-36.
[57]Ibid.,hlm. 17-18.
[58]Ibid.,hlm. 39-46.
[59]Ibid.,hlm. 47-48.
[60] Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-Suharto: Budaya, Politik dan Media. (Jakarta: Yayasan Nabil-LP3ES, 20012), hlm. 185-186.
[61] Tsai Yen-ling, Spaces of Exclusion, Walls of Intimacy: Rethinking “Chinese Exclusivity” in Indonesia. Indonesia 92 (Oktober 2011), hlm. 126.
[62] Loren Ryter (2002) dalam Tsai Yen-ling, Spaces of Exclusion, Walls of Intimacy: Rethinking “Chinese Exclusivity” in Indonesia. Indonesia 92 (Oktober 2011), hlm. 145.
[63]Ibid.,hlm. 149.
[64] ISAI, Golkar Retak?. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 73-74.
[65]Ibid., hlm. 74.
[66]Ibid., hlm. 75-76.
[67]Ibid., hlm. 78.
[68] Dian Purba, Yang Tidak Hadir di Museum HM Suharto. IndoPROGRESS.com, https://indoprogress.com/2015/06/yang-tidak-hadir-di-museum-hm-soeharto/ (diakses 8 Agustus 2017)
[69]Mimbar Umum, 24 Mei 1998.
[70]Mimbar Umum, 26 Mei 1998.
[71]Mimbar Umum, 25 Mei 1998.
[72]Mimbar Umum, 25 Mei 1998.