Tiga Argumen Penyikapan Gerakan Buruh terhadap Perpres Tenaga Kerja Asing

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Publik News

 

KELUARNYA Perpres no. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), kembali menciptakan pembelahan sikap dan ketidaksepakatan dalam tubuh Gerakan Buruh Indonesia. Di satu sisi, ada elemen gerakan buruh yang melihat bahwa perpres ini adalah legalisasi atas praktik “neo-kolonialisme” karena akan membuat lapangan pekerjaan di Indonesia dikuasai oleh pekerja asing. Pekerja dipaksa untuk berkompetisi secara brutal dalam kondisi lapangan kerja yang semakin terbatas. Sementara dari elemen yang lain, perpres ini perlu disikapi secara hati-hati karena menggunakan retorika “anti neo-kolonialisme” tanpa penjelasan yang mencukupi hanya akan membuat gerakan buruh tergiring pada gagasan chauvinis-rasis. Penerimaan atas gagasan chauvinis-rasis ini berbahaya bagi gerakan buruh itu sendiri karena menggerogoti semangat solidaritas internasional kelas pekerja serta memecah belah kesadaran pekerja kelas untuk melawan kelas kapitalis.

Posisi yang kedua tentu adalah posisi yang tidak kita harapkan dari gerakan buruh. Promosi gagasan “melawan neo-kolonialisme” namun minus kekuatan politik kelas pekerja hanya akan menggiring perlawanan gerakan buruh pada sebatas kompetisi antar faksi kapitalis. Gerakan buruh akan mudah terkooptasi dalam aliansi faksi kapitalis tertentu yang dirugikan dengan adanya penetrasi investasi asing. Dalam pengalaman modern Indonesia, preseden Peristiwa Malari 1974 adalah bukti sejarah dimana retorika anti kolonialisme hanya alat semata bagi konflik elite di lingkaran Suharto untuk melakukan negosiasi ulang terhadap investasi Jepang. Belum lagi dengan keberadaan konstelasi politik sekarang, dimana gagasan anti-kolonialisme sempit dengan wacana “anti asing-aseng” digunakan oleh faksi elit tertentu untuk memobilisasi dukungan. Besar kemungkinan posisi gerakan buruh yang “anti kolonialisme” justru menjebak gerakan buruh untuk masuk dalam pertarungan elite yang ada.

Yang diperlukan kini adalah membangun narasi yang rasional serta logis bahwa penyikapan terhadap perpres haruslah bersifat konsisten untuk melawan kapitalisme dan imperialisme. Untuk itu, menjadi penting untuk menjangkarkan semangat solidaritas internasional kelas pekerja dengan realitas material yang tengah berlaku sekarang ini. Setidaknya, menurut saya, ada tiga argumen yang dapat diajukan dalam menyikapi perpres ini.

Pertama, kita perlu memahami terlebih dahulu kondisi material yang melatarbelakangi munculnya kebutuhan akan TKA. Kondisi material ini adalah perkembangan kapitalisme yang berlaku di Indonesia saat ini. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja,[1] mayoritas TKA yang bekerja di Indonesia adalah tenaga profesional yang memiliki keahlian tertentu. Ini bermakna bahwa kualitas pekerja yang berasal dari Indonesia mayoritas tidak memiliki kualifikasi sebagai pekerja terampil. Sebagai contoh, jika pekerja profesional Malaysia dengan Indonesia dibandingkan, maka pekerja profesional Malaysia mencapai 20 persen dari keseluruhan total tenaga kerja domestik, sementara Indonesia hanya 5 persen dari seluruh pekerja produktif domestik.[2]

Fakta keras ini setidaknya menunjukkan adanya problem mendasar dari buruknya kualitas kapitalisme Indonesia. Kapitalisme yang berlaku selama ini dibangun di atas basis kualitas sumber daya manusia yang rendah. Berdasarkan data BPS per Februari 2017,[3] dari total kurang lebih 124 juta pekerja yang bekerja di Indonesia, kurang lebih hanya 14 juta pekerja yang memiliki latar belakang perguruan tinggi (akademi/diploma atau universitas). Mayoritas pasar tenaga kerja domestik Indonesia diisi oleh pekerja dengan latar belakang SD sampai dengan SMP. Rendahnya tingkat pendidikan dalam pasar tenaga kerja tentu menjadi kendala struktural dalam mendorong peningkatan kualitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari kondisi ini adalah bagaimana kelas kapitalis Indonesia yang selama ini menguasai negara bersikap sangat pragmatis, mereka tidak memiliki proyeksi masa depan mengenai penciptaan ekonomi yang berkualitas. Selain itu, situasi ini memiliki arti politik produksi tertentu. Dalam ranah produksi, rendahnya tingkat pendidikan pekerja menciptakan peluang yang lebih tinggi bagi pemberi kerja untuk bertindak semena-mena. Untuk itu, pengalaman banyak pekerja Indonesia yang mengalami situasi kerja yang tidak layak harus dilihat dalam kondisi struktural kapitalisme Indonesia sekarang dimana mayoritas rakyat Indonesia tidak dapat mencicipi bangku pendidikan tinggi.

Kedua, kita perlu pula menyikapi fakta lain yang berkembang yang terkait dengan perpres yakni munculnya sentimen anti Cina. Sentimen ini muncul mengingat Cina dianggap sebagai kekuatan yang mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia. Untuk menjelaskan situasi ini, konteks perkembangan tertentu dari kapitalisme Indonesia menjadi penting. Sentimen anti Cina sangat terkait dengan terjadinya perubahan tren investasi di Indonesia. Pada tahun 2015, realisasi investasi Cina meningkat 26 persen melampaui rata-rata investasi mereka dalam jangka waktu lima tahun.[4] Peningkatan investasi ini mencapai puncaknya pada 2017, dimana Cina mengisi daftar lima besar negara investor yang menanamkan uang nya di Indonesia.[5] Sentimen ini semakin menguat ketika peningkatan investasi Cina berbarengan dengan meningkatnya jumlah TKA Cina di Indonesia. Berdasar data kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TKA Cina mengisi kurang lebih 28 persen dari total keseluruhan TKA di Indonesia.[6]

Untuk menjawab problem ini, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana investasi Cina beroperasi selama ini. Alih-alih melihatnya eksklusif pada pengalaman Indonesia semata, perlu kiranya melakukan perbandingan dengan negara lain yang sudah lebih dahulu menerima investasi Cina. Di sini, pengalaman negara-negara benua Afrika dapat menjadi rujukan. Dalam suatu observasi tentang kontribusi perusahaan Cina terhadap ekonomi Afrika, Xiaoyang (2016)[7] menunjukkan bagaimana operasi perusahaan Cina tidak berbeda dengan keberadaan banyak perusahaan lainya. Logika perhitungan keuntungan-kerugian yang biasa diterapkan perusahaan berlaku juga dalam perusahaan Cina.

Dalam kaitan investasi dan tenaga kerja di wilayah non-Cina, perusahaan Cina dihadapkan pada dilemma khusus. Dilema ini sangat terkait dengan proses alih teknologi dari Cina ke negara non-(berbahasa) Cina. Untuk melakukan operasi organisasi, teknologi, serta proses awal produksi, perusahaan Cina tidak dapat menggunakan pekerja lokal karena adanya hambatan bahasa. Diperlukan waktu yang biasanya cukup lama untuk melatih serta memastikan pekerja lokal dapat berbahasa mandarin, khususnya untuk kepentingan operasional. Masalahnya kemudian, mempekerjakan pekerja dari Cina langsung memakan biaya yang lebih mahal. Banyak perusahaan Cina tersebut harus mengalokasi biaya pekerja yang lebih tinggi untuk dapat menarik minat pekerja Cina untuk bekerja di negara lain.[8] Tidak heran jika kemudian tren ketenaga-kerjaan pekerja Cina di Afrika akan cenderung mengalami perubahan dalam jangka panjang. Banyak perusahaan Cina di Afrika akan menurunkan jumlah pekerja dari Cina hanya sampai maksimal 20 persen dari keseluruhan posisi kerja di perusahaan Cina tersebut.

Fakta ini setidaknya menunjukkan bahwa menyatakan investasi Cina sebagai ancaman bukanlah pernyataan yang koheren karena operasi perusahaan Cina tidak jauh berbeda dengan operasi perusahaan pada umumnya. Menyatakan anti investasi Cina harus diiringi dengan anti investasi dari negara lain yang selama ini beroperasi di Indonesia. Suatu posisi yang menurut saya tidak logis.

Argumen ketiga sekaligus yang terakhir, kita perlu memahami bahwa relaksasi kebijakan TKA ini tidak berhubungan dengan upaya struktural untuk mendorong penekanan tingkat upah. Beberapa argumen yang muncul dari Gerakan Kiri melihat bahwa perpres tersebut akan meningkatkan kompetisi antar pekerja yang dengannya akan menurunkan tingkat upah pekerja secara keseluruhan untuk mempertahankan rezim upah murah.

Walau secara intuitif argumentasi ini benar, namun secara kontekstual argumen ini tidak memiliki dasar material yang mencukupi. Dengan perkembangan kapitalisme global yang masih dihantui oleh lemahnya perbaikan ekonomi pasca krisis 2008, maka kebijakan mempertahankan upah murah akan berkontribusi pada pelemahan ekonomi secara keseluruhan karena dapat menyebabkan penurunan tingkat konsumsi domestik. Bagi negara-negara yang menggantungkan ekonominya pada ekspor, lemahnya ekonomi global tentu akan berdampak pada penurunan permintaan dari negara lain. untuk itu, negara-negara eksportir seperti Cina[9] dan Vietnam[10] misalnya, mulai menerapkan kebijakan upah yang tinggi untuk memastikan adanya kepastian permintaan dalam negeri.

Argumentasi ini tidak hendak mengatakan bahwa upah yang berlaku sekarang sudah mencukupi bagi pekerja. Tidak ada upah yang mencukupi bagi pekerja selama ada eksploitasi serta perampasan nilai oleh kapitalis. Yang hendak diajukan di sini adalah bagaimana upah dilihat dari sudut pandang pihak kapitalis itu sendiri. Bagi para kapitalis, upah yang berlaku di Indonesia sudah dianggap tinggi karena selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.[11] Oleh karenanya, dalam situasi kapitalisme sekarang, kelas kapitalis justru tidak memiliki kepentingan untuk mengembalikan ekonomi Indonesia ke era rezim upah murah melalui penciptaan surplus pekerja asing karena berimplikasi buruk pada ekonomi secara keseluruhan.

Dari tiga argumen ini, setidaknya kita dapat menyimpulkan dua posisi yang penting bagi gerakan buruh dalam menyikapi perpres TKA itu. Pertama, gerakan buruh harus mulai menuntut negara untuk menyelenggarakan pendidikan gratis sampai dengan perguruan tinggi. Lemahnya kualitas ekonomi Indonesia yang berbasiskan pekerja dengan mutu pendidikan yang rendah adalah kondisi struktural yang memunculkan kebutuhan akan TKA yang mayoritasnya adalah pekerja profesional. Tuntutan ini tentu adalah lompatan kualitatif yang sangat diperlukan bagi gerakan buruh untuk keluar dari cara pandang ekonomistik yang selama ini membatasi kapasitas politik gerakan buruh itu sendiri; kedua, gerakan buruh harus menuntut pemerintah untuk mewajibkan seluruh TKA agar berbahasa Indonesia. hal ini mengingat para TKA tersebut memiliki kerentanan yang sama dengan pekerja Indonesia. Apakah perusahaan tersebut dari Cina atau negara lain, perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan TKA akan beroperasi lazimnya perusahaan kapitalis. Dengan mewajibkan para TKA untuk berbahasa Indonesia, terbuka peluang untuk melakukan pengorganisiran terhadap para TKA oleh organisasi buruh Indonesia. Dalam situasi ini tentu tidak ada ruang untuk pemecahbelahan kesadaran pekerja oleh pihak kapitalis, karena baik TKA atau pekerja Indonesia sama-sama merasakan kontradiksi produksi kapitalisme di perusahaan.***

 

Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja

 

——-

[1] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3902993/tenaga-kerja-asing-mudah-masuk-indonesia-apa-kata-pengusaha

[2] https://economy.okezone.com/read/2016/02/27/320/1322907/jumlah-tenaga-kerja-profesional-di-ri-kalah-dengan-malaysia#lastread

[3] https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/05/1909/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-dan-jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008-2017.html

[4] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3153572/meningkat-26-realisasi-investasi-china-di-2015-lampaui-rata-rata-5-tahun

[5] https://ekbis.sindonews.com/read/1224240/34/investasi-china-di-indonesia-terus-meningkat-1501065490

[6] https://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/17/171733726/jumlah-tenaga-kerja-asing-dari-china-di-indonesia-tertinggi-sejak

[7] Xiaoyang, Tang, Does Chinese Employment Benefit Africans? Investigating Chinese Enterprises and their Operations in Africa. African Studies Quarterly, Vol 16 (3-4). 107-128.

[8] Ibid, hal. 110

[9] https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2013/06/pdf/das.pdf

[10] https://www.aseantoday.com/2016/06/vietnam-time-to-stop-the-delusion-of-cheap-labour/

[11] https://economy.okezone.com/read/2017/11/16/320/1814976/fakta-ump-indonesia-naik-8-71-malaysia-5-singapura-cuma-2-7

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.