Berkaca Dari Demo Menolak Perdagangan Manusia NTT di Kupang

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: kupang.tribunnews.com 

 

PADA 28 Maret 2018 lalu, masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali turun menduduki jalanan di Kupang. Kali ini mereka berdemo menolak perdagangan manusia NTT. Mereka mengusung kurang lebih dua agenda politik utama. Pertama, menolak praktik perdagangan manusia. Kedua, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan tunggakan persoalan perdagangan manusia NTT selama ini.

Demo menolak perdagangan manusia NTT ini mengundang berbagai macam reaksi, baik di media masa lokal maupun di media sosial. Bagi kelas menengah yang kenyamanannya diganggu oleh demo, misalnya kemacetan akibat demo, cenderung memberikan reaksi negatif. Mereka berkomentar, mengapa para migran ke luar negeri? Kenapa tidak tinggal di kampung dan bekerja menjadi petani? Resiko ditanggung sendiri jika ingin merantau ke luar negeri. Apalagi, merantau tanpa surat-surat yang legal.

Namun, tidak semua kelas menengah memberikan reaksi semacam itu, khususnya bagi kelompok aktivis “salon” dan kaum agamawan. Aktivis “salon” dan kaum agamawan ini merupakan kelas menengah. Jika tak berasal dari kalangan menengah (atas), mereka, misalnya, tidak bisa menyelenggarakan diskusi tentang perdagangan manusia NTT di Hotel Neo Kupang, salah satu hotel berbintang di Kupang, pada hari yang sama dengan diselenggarakannya demo menolak perdagangan manusia NTT di Kupang. Tidak sekadar berdiskusi, kelas menengah agamawan dan aktivis ini berdiskusi sambil dimeriahkan oleh Zutto Akustik dari Kelurahan Air Mata (Pos Kupang, 28/3/2018). Kelompok ini mendukung demo dimaksud tetapi dengan syarat. Syaratnya adalah bahwa demo bersangkutan mestinya dilakukan dengan damai dan tenteram. Jangan sampai ada kerusakan barang-barang publik seperti taman bunga dan pintu pagar kantor gubernur NTT. Tidak boleh ada kotoran yang berserakan dan harus berjalan dengan damai dan tertib sehingga tidak menimbulkan kerusuhan dan kemacetan.

Namun, bagi kaum sederhana dan miskin, terutama keluarga korban, reaksinya terhadap demo dimaksud tentu saja positif. Bersama kaum tertindas inilah para aktivis “sejati” terlibat dan bergerak menyusun strategi perlawanan. Para aktivis “sejati” ini bahkan menyusun jalannya demo dan bergerak bersama rakyat. Bersama para aktivis “sejati,” kaum miskin ini terlibat secara serius dan bahkan menaruhkan nyawanya di hadapan aparatus negara, yakni polisi dan polisi pamong praja. Tujuan mereka murni dan suci. Mereka ingin persoalan perdagangan manusia segera diselesaikan. Peti mati yang diarakkan selama demo memberikan gambaran bahwa mereka ingin agar masalah perdagangan manusia NTT segera diselesaikan agar tidak ada lagi korban jiwa di masa depan.

Lalu bagaimana dengan reaksi pemerintah? Reaksi pemerintah biasanya (selalu) bersifat teknis dan normatif. Di satu sisi, menyikapi jalannya demo di lapangan, pemerintah NTT menyiapkan pasukan keamanan agar demo berlangsung tertib dan damai. Si sisi lain, atas tuntutan demo perdagangan manusia NTT di Kupang, bukannya berjanji menyelesaikan tunggakan persoalan perdaganganan manusia NTT baik persoalan ekonomi politik maupun persoalan hukum, gubernur NTT, Frans Leburaya malah menjawab “Pemerintah NTT tidak melarang orang keluar daerah atau berpergian, asalkan harus ikuti prosedur” (Pos Kupang, 28/3/2018).

Reaksi teknis dan normatif gubernur ini seolah ingin mencuci mata terhadap akar persoalan perdagangan manusia NTT. Seolah-olah perdagangan manusia NTT terjadi akibat kesalahan masyarakat NTT itu sendiri. Padahal, perdagangan manusia NTT hanyalah efek domino dari ketidakberjalannya pemerintahan yang efektif di NTT. Korupsi masih merajalela di tubuh birokrasi, politik (dan gereja) di NTT. Kemiskinan terus menggurita. Ketimpangan agraria terus menganga, yang seolah diciptakan dan dibiarkan oleh pemerintah. Dan masih banyak kasus lain yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, terutama di masa pemerintahan gubernur Frans Leburaya.

Pemerintah NTT tidak seyogyanya menyalahkan masyarakat yang pergi ke luar negeri secara ilegal, sebab keilegalan kepergian mereka ke luar negeri disebabkan oleh mandegnya kinerja pemerintah dalam menyejahterahkan masyarakatnya sendiri. Banyak migran NTT yang ke luar negeri secara ilegal karena kesulitan ekonomi sebagai akibat ketimpangan struktural. Mereka ke luar negeri secara ilegal karena kesulitan ekonomi, dan hal itu membuat mereka mengambil jalan pintas. Apalagi, proses pengurusan passport dan visa berbelit-belit dan memakan biaya mahal untuk masyarakat kecil. Juga, perlu diingat, banyak masyarakat NTT yang berangkat secara legal pun kerap tersandung dalam kasus perdagangan manusia, bahkan sampai perdagangan organ tubuh, di luar negeri. Karena itu, jawaban gubernur NTT terhadap demo perdagangan manusia NTT kali ini adalah bagai jawab seorang “Pilatus” yang ingin mencuci tangan dari keteledorannya sendiri mengurus pembangunan di NTT.

Dari reaksi-reaksi di atas, pertanyaannya, apakah dua agenda politik demo ini akan berhasil menghapus perdagangan manusia NTT? Menurut saya, tidak. Alasannya adalah bahwa kedua agenda politik itu tidak menyentuh akar persoalan perdagangan manusia NTT. Karena itu, reaksi masyarakat dan pemerintah seolah mengambang dan cenderung tidak menyentuh akar persoalan perdagangan manusia NTT. Reaksi negatif dan cenderung teknis dan normatif itu bukan saja disebabkan oleh keengganan politik kelas menengah dan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan, tetapi juga diakibatkan oleh tuntutan politik para pendemo yang kurang menyasar inti persoalan. Akibatnya, pemerintah, juga kelas menengah, bisa berkelit dengan jawab-jawaban normatif dan teknis untuk mencuci tangan dari akar persoalan.

Sejatinya, akar persoalan perdagangan manusia NTT, menurut saya, bukanlah akibat dari kurangnya kesadaran masyarakat NTT bahwa manusia adalah makhluk yang sederajat dan tak patut diperdagangkan, dan, karena itu, diperlukan sebuah demo untuk menyadarkan mereka. Bukan pula perdagangan itu terjadi akibat kemandegan kinerja kerja pihak keamanan, terutama pihak kepolisian. Tetapi, akar perdaganan manusia itu adalah akibat ketimpangan relasi sosial dan ekonomi di NTT yang terus membatu sejak jaman kerajaan, jaman kolonial, dan bahkan hingga kini di NTT.

Karena masyarakat NTT mayoritas adalah petani, maka salah satu akar persoalan ini sejatinya terbenam liat dalam relasi sosial ekonomi dalam sektor pertanian yang menyebabkan hanya segelintir orang yang menikmati surplus pertanian di NTT. Kesenjangan kepemilikan tanah di NTT dan perampasan terus-menerus terhadap tanah masyarakat entah secara legal maupun ilegal oleh pemerintah, institusi adat, korporasi dan institusi swasta dan keagamaan merupakan akar terdalam dari perdagangan manusia NTT.

Karena persoalan relasi kekuasaan inilah yang menjadi akar persoalannya, maka perdagangan manusia hanya bisa diselesaikan jika ketimpangan relasi kekuasaan ini dipotong putus dengan upaya perbaikan struktural dalam relasi agraria di NTT. Karena itu, agenda politik demo perdagangan manusia NTT di Kupang harusnya melampaui dua tuntutan teknis dan normatif di atas.

Rakyat bersama aktivis, juga mahasiswa, mestinya dalam demo dimaksud harusnya juga menuntut hal-hal yang lebih radikal, seperti kembalikan tanah-tanah adat yang dirampas pemerintah dan korporasi di NTT. Demo harus juga menuntut korupsi dalam tubuh birokrasi, politik dan gereja lokal. Atau, tuntutan itu bisa berupa melawan gereja yang memungut kolekte dan iuran gereja terlalu besar untuk sekadar membangun gereja yang terlampau megah untuk mengangkat martabat pastor dan pendeta. Tuntutan itu bisa juga berupa tolak program-program pembangunan masyarakat NTT yang berbau membangun dinasti politik. Selain tepat sasar akar persoalan perdagangan manusia NTT, tuntutan-tututan yang lebih radikal ini bisa pula menarik minat kelas menengah yang dirugikan oleh akar persoalan struktural yang sama ini. Karena itu, reaksi miris dan miring kelas menengah mungkin bisa sedikit diredam, dan aliansi gerakan yang lebih besar bisa dibangun untuk sebuah gerakan perubahan yang lebih besar dan tepat sasar.

Akhirnya, terlepas dari kelemahan tuntutan demo perdagangan manusia NTT kali ini, demo ini harus diapresiasi setinggi-tingginya. Sebab, demo ini menunjukkan bahwa masyarakat NTT melek politik di tengah kealpaan pemerintah mengurus masyarakatnya sendiri.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.