Kredit ilustrasi, Cartoon Movement
YANG membedakan analisa Marxis dengan analisa-analisa lainnya yang berangkat dari tradisi pencerahan adalah komitmennya terhadap perubahan. Analisa tidak pernah ditempatkan untuk dirinya sendiri, namun sebagai upaya untuk melihat realitas yang lain yang tersingkap dalam penelusuran atas masalah yang dianalisa itu sendiri, yang kemudin dapat berguna untuk memajukan agenda kelas pekerja. Gagasan utama dari banyak tulisan tentang “merebut populisme” mencoba untuk selaras dengan prinsip ini. pada kesempatan kali ini, artikel ini akan berupaya untuk mengajukan apa implikasi praktis dari posisi “merebut populisme” sekaligus menyimpulkan konsekuensi strategis politik kiri Indonesia sekarang.
Kelas itu Penting!
Dalam banyak pendiskusian tentang populisme, masih banyak kalangan yang melihat bahwa kita dapat mengabaikan dinamika kelas dalam melihat populisme. Supriatma (2017) misalnya berpendapat bahwa populisme harus ditempatkan dalam gerakan tanpa identifikasi kepentingan kelas tertentu, tanpa artikulasi ideologi tertentu. Sebagai fakta empiris hal ini tentu tidak terhindarkan mengingat populisme sebagai peristiwa politik selalu muncul melalui penangguhan perbedaan kelas (suspension of class difference, lihat Hadiz 2016). Namun perhatian yang berlebihan terhadap “penangguhan” akan membuat kita abai bahwasanya populisme justru selalu muncul dalam relasi kelas yang selalu penuh tensi, yang mana konfigurasi kekuasaan yang ada (alias status quo) harus selalu melakukan respon atas tensi tersebut.
Sebagai ekspresi politik, populisme tentu terbuka bagi manipulasi kelas berkuasa. Suatu hal yang lumrah dalam kenyataan politik yang karakteristik utamanya adalah tentang pertarungan kekuasaan. Akan tetapi kita perlu merefleksikan lebih dalam bahwa kefektifan tekanan dari populisme selalu mensyaratkan adanya politisasi kemarahan kelas pekerja. Tanpa adanya artikulasi dari kelas pekerja, penggunaan retorika populis dapat tidak ada artinya. Konstruksi politik yang antagonistik antara elit vis a vis rakyat kecil dalam retroika populis dapat menjadi tidak berguna ketika posisi tertentu dari kelas pekerja diabaikan dalam konstruksi tersebut.
Bagi saya, pembacaan ini kongruen dengan asal muasal sosial kemunculan gerakan populis itu sendiri. Dalam sejarahnya, gerakan awal populisme dapat dirujuk pada pengalaman gerakan solidaritas petani dan pekerja industrial pada wilayah selatan dan barat Amerika Serikat pada tahun 1877, dalam rangka menentang kebijakan penurunan harga bibit dan nilai mata uang sembari mendukung tuntutan pekerja industrial (Jager 2018). Belum lagi kita mengingat pengalaman Narodnaya Volya yang merupakan gerakan populis Rusia awal abad 19, yang menjadi inspirasi awal bagi munculnya gerakan revolusioner bergariskan politik Marxisme.
Pembacaan seperti ini tentu tidak meyangkal fakta bahwa gerakan populis tidak sama dengan gerakan politik yang berbasis kelas. ketidakjelasan ideologi serta kaburnya program politik yang hendak ditawarkan dari gerakan populis itu sendiri adalah umum dan nyata. Apa yang hendak ditekankan di sini adalah kita perlu menyadari bahwa momen populis perlu dibaca dalam hubungannya dengan perkembangan tertentu dari dinamika perjuangan kelas. Tanpa menghubungkannya dengan dinamika perjuangan kelas, kita akan kehilangan kekuatan penjelasan tentang mengapa populisme bisa muncul dan berlaku efektif dalam situasi politik yang ada.
Populisme dan Problem Politik Demokrasi Elektoral
Pada kesempatan sebelumnya, saya berpendapat bahwa kemunculan populisme belakangan ini tidak dapat dipisahkan dari problem ekonomi politik, khususnya terkait dengan kontradiksi terkini dari perkembangan kapitalisme era Jokowi. Namun jika diperkenankan untuk melakukan oto-kritik, pembacaan ini masih terlalu umum dalam memahami keberadaan populisme. Hal ini mengingat kontradiksi kapitalisme tidak melulu menciptakan respon politik populis. Di sini kita perlu mengelaborasi lebih lanjut kondisi politik khusus yang mendorong kemunculan populisme.
Bagi saya, ada sesuatu yang unik dari ekspresi politik populis sebagai sebagai bentuk gerakan yang tidak terpisahkan dari perkembangan politik negara modern. Suatu politik dapat dikatakan bersifat populis jika ia setidaknya harus memenuhi tiga kriteria ini:
- Penggunaan retorika anti elit dengan prasangka yang bersifat lintas kelas
- Penekanan pada strategi politik non insitusional/formal
- Berorientasi pada perubahan representasi politik dalam sistem demokrasi yang ada
Ketiga kriteria yang diajukan sangat terkait dengan problem demokrasi elektoral sebagai suatu sistem representasi politik. Retorika populis yang sangat anti elit dapat muncul dari keterputusan representasi antara wakil dengan konstituennya dalam sistem demokrasi yang ada. Keterputusan ini menciptakan bagi-bagi prasangka lintas kelas karena pengalaman “terputus” dari para wakil dapat terjadi oleh siapapun terlepas dari posisi kelasnya. Keterputusan representasi ini menciptakan kondisi untuk menciptakan persepsi tentang kegagalan institusi yang ada yang memberikan justifikasi bagi gerakan populis untuk melakukan dorongan politik di luar institusi formal.
Khusus pada kriteria nomor tiga, penekanan pada “perubahan representasi” mengacu pada kenyataan bahwa walau politik populis memobilisasi ekspresi anti-elit dan anti-sistem, para aktor populis selalu berorientasi pada penguasaan negara. Politik populis selalu berupaya untuk mengubah relasi representasi politik yang berlaku dalam sistem demokrasi elektoral dimana kekuatan populis harus masuk ke dalamnya. Tidak heran jika kemudian walau para populis memiliki ketidakpercayaan terhadap sistem elektoral, mereka akan tetap berkompetisi dalam langgam sistem politik yang tersedia. Disinilah politik populis justru mengoptimalisasi (alias mengeksploitasi) langgam politik elektoral yang ada untuk memenangkan agenda mereka.
Pembacaan ini dapat membantu kita untuk memahami situasi kebangkitan populisme sekarang dan respon terhadapnya. Dalam kondisi krisis representasi elektoral seperti ini, kelompok Islamlah yang dapat mengoptimalisasi keadaan untuk kepentingan mereka. Peminggiran yang dilakukan Jokowi terhadap kelompok Islam berbanding terbalik dengan akomodasi luas pada era kekuasaan SBY. Hal inilah yang menciptakan basis politik bagi kemunculan populisme Islam. Akan tetapi setelah mobilisasi populis 212 dilakukan terdapat relasi politik yang resiprokal antara rezim Jokowi dengan populis Islam. Rezim Jokowi meluncurkan wacana populisme nasionalis untuk menandingi kemunculan populisme Islam. Situasi inilah kita menemukan pembelahan politik terkini dalam masyarakat.
Melalui pembacaa ini pula kita dapat keluar dari kebingungan yang massif karena dalamnya pembelahan politik yang ada sekarang. Relasi “bolak-balik” antara aktor populis Islam dengan rezim politik Jokowi sekarang harus dilihat sebagai bagian dari pertarungan representasi dalam sistem yang ada. Alih-alih melihat kondisi sekarang sebagai konflik antara narasi politik Populisme Islam melawan Populisme Nasionalis, kita justru perlu memerhatikan bagaimana upaya akomodasi (dan disakomodasi) terjadi di balik pertarungan narasi ini. Tidak heran jika kemudian dalam kondisi aktual, kalangan Islamis dan rezim Jokowi tidak terlalu larut dengan koherensi wacana mereka. Kalangan Islamis dapat mengusung wacana “NKRI Bersyariah,” sementara di ujung sana kalangan nasionalis dapat mewartakan “Islam Toleran.” Apapun proses inilah kemudian kemarahan massa kelas bawah yang muncul dalam momen populis akan dikanalisasi dalam proses negosiasi antar mereka yang bertarung.
Menuju Intervensi Politik Kiri
Sudah sangat Jelas bahwa dalam relasi “bolak-balik” ini, massa kelas bawah yang termobilisasi dalam gerakan populis yang ada hanya menjadi instrumen politik kekuasaan elit. Akan tetapi sepenuhnya tergantung dalam posisi ini mengabaikan kenyataan sosial mengenai politisasi kemarahan kelas bawah. Di sini kita perlu pendiskusian secara lebih mendalam.
Dalam penjabaran yang saya ajukan dalam kesempatan sebelumnya bahwa kunci untuk menghentikan populisme sekarang adalah dengan merebut akar populisme itu sendiri, yakni basis sosial kelas pekerja dan kelas bawah. Merebut populisme dengan kata lain adalah merebut dukungan dari kelas pekerja dan kelas bawah itu sendiri. Hal ini mengingat populisme tidak akan dapat beroperasi sebagai populisme jika elemen dari kelas bawahnya berhasil untuk dibongkar.
Dalam upaya merebut dukungan ini, gerakan Kiri dapat mengusung agena populismenya sendiri. Namun pekerjaan rumah yang lebih pelik, menurut saya, adalah mengenai kapasitas politik dari gerakan Kiri untuk mengintervensi kesadaran kelas bawah yang termobilisasi oleh populisme yang berkembang. Harus diakui bahwa gerakan Kiri sebagai politik yang terorganisir masih banyak memiliki keterbatasan. Namun dengan kemunculan politisasi kemarahan kelas pekerja sekarang ini, maka menjadi penting kemudian untuk membicarakan intervensi politik dengan memperhatikan keterbatasan yang ada.
Harus diakui juga bahwa sampai sekarang instrumen untuk intervensi, yakni partai peserta pemilu yang dibangun oleh gerakan Kiri, belumlah ada. Namun demikian masih terdapat kemungkinan politik yang dapat didorong melalui upaya mengajukan agenda politik Kiri secara terbatas dalam ruang politik yang ada. Dalam momen elektoral 2019 nanti, gerakan Kiri perlu mendiskusikan secara serius untuk mengusung program politik kelas dengan menggunakan kendaraan partai yang nanti bertarung dalam pemilu. Terdengar seperti proses politik oportunis karena sudah pasti program politik kelas akan mudah untuk larut dalam politik partai yang korup. Namun hal ini dapat diantisipasi jika gerakan Kiri itu sendiri mampu mengorganisasikan proses intervensinya secara terpimpin dan terkordinasi. Disinilah diperlukan pendiskusian mendalam mengenai strategi serta taktik intervensi pemilu. Bagi saya, ini adalah kesempatan yang penting bagi pertumbuhan gerakan Kiri untuk membuat dirinya tetap relevan dalam era populisme sekarang, sembari mempersiapkan diri untuk membangun partai untuk pemilu 2024 nanti.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)