Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
DI TULISAN sebelumnya, hikmah yang bisa dipetik ialah bahwa ilmu tidak hanya mengajarkan bahwa bisa jadi esensi hal-ihwal kebalikan dari bentuk tampakannya, tapi juga menjelaskan mengapa esensi bisa punya bentuk tampakan yang kebalikannya itu. Di samping memberi tahu kalau tubuh orang yang meminum minuman beralkohol akan jadi lebih dingin, bukannya lebih panas, ilmu juga menjelaskan mengapa indra perasa kita mengabarkan panas, alih-alih dingin, kepada otak pusat dari tubuh yang sedang terjadi diasupi minuman beralkohol. Di dalam perbendaharaan katanya para penulis filsafat inilah kesatuan dialektis antara esensi dan bentuk tampakan.
Para kader partai-partai politik terkemuka bicara soal dan mungkin juga berpikir bahwa mereka berjuang demi kepentingan negeri dan kesejahteraan rakyat, tapi kita tidak bisa menilai orang tersebut menurut apa yang mereka katakan atau apa yang mereka pikir tentang diri mereka sendiri. Seseorang yang berpikir dirinya sendiri baik tidak selalu begitu kenyataannya, ibarat para peminum minuman beralkohol yang berpikir tubuhnya menghangat padahal suhu tubuhnya justru susut. Bisa jadi juga ada banyak orang yang merasa partai-partai itu memajukan kepentingan mereka. Tapi ‘perasaan’ ini tak ada bedanya dari perasaan si peminum yang merasa hangat, atau ‘perasaan’ anak TK yang merasa matahari bergerak dari Timur ke Barat.
Kalau ada orang bilang bahwa matahari sedang begerak, itu memang yang tampak di mata orang itu, dan ini penjelasan yang paling gampang diterima, persis seperti perasaan bahwa minum menghangatkan tubuh seseorang. Masalahnya, ‘perasaan’ ini mudah juga mengecoh orang. Ketika anak TK diyakinkan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi dari Timur ke Barat, dengan mudah dia akan teryakinkan karena indra penglihatannya memang membuktikan demikian. Tanpa perlu penyelidikan bertele-tele, tidak butuh tetek-bengek model, rumus, hipotesis kerja, dan cukup dengan mata telanjang saja, semua anak TK akan teryakinkan oleh ‘teori’ bahwa mentari bulat itulah yang mengitari bumi, bukan sebaliknya. Dan orang-orang dewasa yang meyakinkannya sama sekali tidak sedang berbohong. Sebagian besar dari mereka, seperti halnya anak-anak TK yang sedang mereka yakinkan itu, cuma sedang mewartakan kembali keterangan yang tertangkap oleh indranya.
Masalahnya, sebagian kecil orang dewasa yang sedang meyakinkan anak-anak TK itu sebetulnya tahu bahwa bukan mentari yang bergerak mengelilingi bumi tapi sebaliknya, dengan sengaja meyakinkan bahwa realitas itu persis sama dengan tampakannya. Ketika sebagian kecil itu sekaligus juga orang-orang yang pegang kekuasaan atas negara dan modal atau setidaknya bekerja di bawah kepentingan para pemegang kekuasan atas negara dan modal sehingga cukup dengan aura kekuasan itu saja mereka mereka bisa dengan amat sangat mudah meyakinkan orang-orang kebanyakan, termasuk dengan iming-iming bonus pohon buah yang terbalik akar di atas buahnya di bawah kelak di kehidupan setelah kehidupan yang satu ini, dan menjadikan ‘teori’ mereka sebagai ‘teori’ sejati. Kalau sudah begitu tak mudahlah tugas seseorang yang tak punya kekuasaan untuk menguak realitas dan mengabarkannya kepada orang kebanyakan di bawah kondisi yang di situ ada pembatasan atau bahkan pendepakan semua penjelasan lain selain ‘teori sejati’ itu.
Bisa jadi inilah alasan yang memungkinkan situasi yang di situ partai-partai politik mapan, kendati mewakili elite masyarakat yang jumlahnya tak akan lebih dua persen dari populasi, sanggup mendapatkan sembilan puluh delapan persen suara kelas pekerja dan kaum tani di pemilihan umum. Seperti siluman-siluman di cerita Sun Go Kong, partai-partai mapan yang ‘berjuang demi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat’ dan bukan demi melindungi kepentingan ekonomi-politik mereka itu hidup dari menghisap derita yang memberat di punggung hidup orang kebanyakan yang terlalu sibuk untuk menyambung hidup dari hari ke hari, menyambung tabungan dari liburan tahun ini ke liburan di tahun berikutnya, yang terlalu letih lesu bahkan untuk bertanya akan kebenaran pernyataan elite-elite partai mapan di televisi. Mereka yang tak punya waktu untuk berilmu itulah yang mudah menjadi mangsa bagi ilusi yang di situ realitas dipersamakan dengan tampakan yang tiada lain ialah kebalikannya.
Ilmu, yang memperpendek jarak pikiran manusia ke realitas namun dengan jalan panjang dan makan waktu serta tenaga supaya bisa sampai ke sana, terlalu mewah buat kebanyakan orang. Selain itu, alih-alih memberikan jawaban ringkas yang langsung menciptakan damai hati, biasanya ilmu justru membawa satu pertanyaan ke pertanyaan lain yang seringkali berujung ke mempertanyakan semua hal bahkan yang sudah dianggap wajar nyaris semua manusia di bumi. Di tengah ketidakpastian apakah lepas kontrak tahun depan mereka akan dikontrak kerja lagi atau tidak, di tengah tekanan ketidakpastian apakah usaha kecil-kecilan mereka bisa tetap bertahan dari gempuran penurunan nilai rupiah dan barang impor atau tidak, di tengah dahaga akan kepastian di antara jiwa-jiwa yang letih itu, ilmu malah menambah soal dengan tidak memberi kepastian mutlak nan universal dan berlaku tak hanya di Semenanjung Arabia tapi juga di pelosok Gunung Kidul atau di lembah dingin Siberia. Justru kepastian macam itulah yang tidak bisa ilmu berikan karena pada dasarnya ilmu itu anti-kemapanan (karena kepastian mutlak ialah batu penjuru kemapanan). Ilmu akan berhenti menjadi ilmu dan malih rupa menjadi ideologi ketika dimapankan. Itulah kenapa sejak kelahirannya bersama pikiran-pikiran terbuka Jaman Antik, tak sedikit pihak yang tak begitu suka kepada ilmu. Bukan kepada produknya yang bisa membuat produksi menjadi lebih efisien, yang bisa bikin kendali politik jadi lebih efektif, dan membuat peperangan jadi lebih mematikan, tapi lebih ke cara kerjanya, ke pola pikirnya yang selalu mempertanyakan, yang selalu bikin perkara baru ketika perkara lama baru saja dianggap beres.
Kekuasan politik mapan tentu saja selalu punya kepentingan untuk ambil untung dari berhentinya perkembangan pikiran orang banyak di tingkat kebiasaan anak TK yang gampang percaya kepada tampakan realitas alih-alih kepada realitasnya sendiri; yang mudah takzim kapada gerhana bulan total sambil bersyukur kepada keagungan-Nya ketimbang kepada fakta bahwa peristiwa itu adalah hal biasa di dalam astronomi; yang gampang heran kepada pensil yang kelihatan bengkok ketika dicelupkan ke air dalam gelas ketimbang fakta bahwa itulah yang disebut ilusi optika; yang mudah bangga kepada pertumbuhan ekonomi 5% ketimbang kepada fakta bahwa di balik angka itu ada segunung hutang dan konsesi yang harus ditanggung seluruh populasi hingga puluhan tahun mendatang. Mereka punya kepentingan kuat dalam melestarikan atau setidaknya membiarkan keadaan ini. Itulah mengapa setiap ilmu baru biasanya mengembangkan dirinya dengan terlibat di dalam perjuangan melawan kekuatan-kekuatan mapan nan adidaya. Kaum sarjana di masa silam yang membuktikan kenyataan dan mewartakan bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari, tak cuma dimasukkan ke penjara tapi juga ke dalam neraka. Dulu juga tak sedikit sarjana yang dipaksa menanggalkan temuannya dengan imbalan bisa tetap hidup dan menghirup udara pagi musim semi tahun-tahun yang akan datang karena rupanya penjelasannya membawa serta ketakukan bagi kelas penguasa di masa itu. Padahal, temuannya itu hanya terkait dengan fakta bahwa planet-planet, seperti halnya bumi, berputar mengitari matahari, sebuah fakta yang tak banyak urusannya dengan politik dan ekonomi selain bahwa penjelasan planet-planet bergerak itu tak cocok dengan tafsir agamawan atas kiasan di Kitab Suci. Dan karena para penafsir Kitab Suci juga sekaligus para pengurap raja-raja, menampik kesahihan ‘teori suci’ mereka sama saja dengan berontak kepada raja-raja yang diurapinya.
Jadi, kalau saat ini ada sarjana yang menemukan sesuatu yang serupa dengan para ilmuwan alam masa silam, sesuatu yang tak cocok dengan pandangan umum para elite politik-ekonomi tentang sesuatu terkait dengan gejala sosial—yang merupakan wilayah yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan-kepentingan hidup banyak orang—alamiah saja kalau apa yang mereka wartakan melahirkan rentetan cerca, umpatan, tekanan, dan sejenisnya. Seperti halnya raja-raja yang diurapi para padri masa silam, raja-raja masa kini yang diurapi kekuasaannya oleh padri-padri borjuasi juga orang-orang arif bijaksana yang tak ingin kekuasaannya tersingkir lantaran mereka mendiamkan ada ilmu yang penjelasannya atas tatanan sosial tempat mereka hidup di dalam dan menghidupinya itu tak cocok dengan kepentingan borjuis-borjuis pengurap. Setiap ilmu yang berupaya untuk mengorek borok di balik moleknya paras pertumbuhan ekonomi dan pembangunan; setiap ilmu yang berusaha menjelaskan bahwa impor beras, pematokan harga jual beras, sama sekali tak ada urusannya dengan meningkatkan taraf hidup kaum tani, bukan pula untuk menunjang kehidupan kaum buruh kota agar lebih makmur, tapi supaya UMR bisa tetap rendah dan dengan begitu porsi yang bisa dikeruk pengusaha dari operasi bisnis lebih mantap buat akumulasi modal, tentu bukanlah wajah ilmu yang dikehendaki penguasa manapun. Termasuk penguasa yang akan sodara, sidang pembaca, akan pilih di Pemilu 2019 nanti.***