Pekerja Berserikat, Pekerja Kuat

Print Friendly, PDF & Email

TIDAK bisa dipungkiri bahwa penetrasi gurita pasar global sudah sedemikian dalam hingga memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekonomi besar dunia dengan pertumbuhan mencapai 5,2% pada tahun 2017, tentu ikut merasakan dampaknya. Hal ini terutama sangat dirasakan seluruh angkatan kerja Indonesia yang berjumlah total 128,06 juta jiwa, dengan jumlah penduduk yang bekerja 121,02 juta. Tuntutan upah murah dari kapital multinasional memaksa para pekerja untuk menjual tenaganya dengan imbalan upah yang sangat rendah. Di DKI Jakarta, misalnya, Upah Minimum Regional (UMR) pekerja hanya bernilai sekitar 3,6 juta Rupiah. Banyak pihak, terutama pemerintah dan kelompok sipil terkait, tentu menyadari tantangan global ini dan mencoba berbagai cara untuk menangkalnya.

Salah satu metode yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah terus mengupayakan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lewat berbagai cara, seperti alokasi dana untuk beasiswa yang terus naik. Hal ini tentu baik mengingat peringkat kualitas SDM Indonesia yang masih rendah, yakni pada posisi ke-65 dari 130 negara. Perlu dicatat bahwa upaya peningkatan kualitas SDM itu juga masih rawan masalah, seperti misalnya dari 279 Balai Latihan Kerja, hanya 52 yang beroperasi dengan baik. Upaya tersebut juga masih perlu perbaikan. Namun, ada satu hal yang sebetulnya sangat penting tapi kerap kali luput dari diskursus seputar persaingan kerja global: Serikat Pekerja. Saya akan menjelaskan bagaimana Serikat Pekerja dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan persaingan pasar tenaga kerja global yang semakin menjerat kita semua sebagai pekerja.

 

Jalan Sunyi Perserikatan Indonesia

Pada masa pemerintahan pra-Orde Baru, kelompok buruh merupakan kekuatan politik yang sangat diperhitungkan. Hal ini secara langsung disebabkan oleh pertumbuhan politik perserikatan pekerja yang sangat masif. Saat itu, hampir seluruh pekerja dari berbagai sektor membentuk serikatnya masing-masing. Bahkan, setiap partai politik memiliki hubungan afiliasi ideologis atau bahkan sayap serikat sendiri. Sebutlah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau SOBSI. Serikat buruh yang secara ideologis sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia ini, menurut catatan terakhir tahun 1962 dari Donald Hindley dalam bukunya The Communist Party of Indonesia 1951-1963, mewakili 3,277,032 pekerja dari berbagai sektor di seantero Indonesia. Mereka mempunyai 165 cabang dan terus berekspansi ke pelosok daerah. Naas, perkembangan serikat pekerja terjegal keras setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta.

Berbagai serikat pekerja, termasuk SOBSI, ikut direpresi bersamaan dengan dilarangnya PKI oleh pemerintah Orde Baru (Orba) itu. Hal ini kemudian berujung pada peleburan semua serikat pekerja ke dalam organisasi bentukan (Orba), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada praktiknya, SPSI hanya menjadi kepanjangan tangan rezim Orba dalam mengontrol pergerakan buruh. Sepanjang masa Orba dinilai sebagai periode kelam bagi gerakan perserikatan pekerja. Barulah menjelang masa reformasi, dunia perserikatan kembali membuncah lewat pembentukan berbagai serikat alternatif yang lebih radikal dan secara eksplisit berada di posisi bertentangan dengan pemerintah karena memiliki aspirasi kelas, hingga akhirnya rezim Orba jatuh pada tahun 1998.

 

Reformasi dan Pasar Global

Kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 seakan menjadi penanda dimulainya era baru yang dikenal secara luas sebagai era “reformasi”. Era reformasi ini oleh masyarakat luas diharapkan menjadi era yang menjanjikan kehidupan yang lebih adil dan bebas. Dengan segala kekurangannya – jalan kita masih sangat panjang menuju demokrasi yang ideal – era reformasi ini memang banyak memberikan kelonggaran dalam kehidupan masyarakat, ketimbang era di bawah Orba. Dalam konteks dunia perserikatan pekerja, hal ini tentu juga berlaku.

Pada masa reformasi, pemerintah mulai menjamin hak-hak berserikat pekerja dengan meratifikasi Konvensi ILO nomor 87 tahun 1948 lewat Keppres nomor 83 tahun 1998 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie. Kemajuan ini memperkuat daya tawar kolektif buruh melalui serikat-serikat mereka yang secara hukum terlindungi. Hal itu kemudian berbuah pada ratifikasi beberapa Konvensi ILO lain dan penerapan Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 yang secara tegas melindungi kebebasan berserikat – lengkap dengan ancaman hukum bagi mereka yang menghalangi. Namun sayang, rupanya berbagai kemajuan tersebut tidak serta-merta menghilangkan segala stigma negatif yang telah puluhan tahun dibentuk pada masa Orba terhadap pergerakan serikat pekerja dan politik progresif pada umumnya. Hal ini terlihat jelas pada hasil Pemilu-Pemilu pasca Orba. Dalam beberapa kali pemilihan itu, elektabilitas partai-partai elektoral progresif, termasuk mereka yang memiliki corak kelas pekerja kuat – dan memang menjadi naungan banyak serikat pekerja – seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau Partai Buruh, kalah bersaing dengan partai-partai mapan yang hidup sejak zaman Orba. Bahkan, kelompok politik yang maju secara pesat sejak masa reformasi adalah berbagai faksi Islam, bukan kelompok progresif.

Kekuatan politik pekerja yang lemah menyebabkan aspirasi politik mereka kurang terwakili dalam pemerintahan. Ditambah lagi, gerakan progresif pasca Orba mengalami perpecahan akut yang juga berimbas pada sektor perserikatan. Banyak serikat yang kemudian berafiliasi dengan kelompok politik oligarki, alih-alih membentuk poros sendiri. Wajarlah bila dalam perjalanannya, gerakan serikat pekerja kurang mampu dalam membendung, atau paling tidak menyeimbangkan, dampak buruk dari jeratan pasar global. Pasca ’98, modal asing dapat dengan mudahnya masuk tanpa memperhitungkan hak-hak dasar pekerja seperti upah layak, jaminan kesehatan, atau keamanan pekerjaan. Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup pesat pasca krisis finansial ’98 dan jatuhnya rezim Soeharto, angka rata-rata kenaikan upah bergerak sangat lambat, yakni sebesar 32% pada tahun 1998-2016 merujuk pada data BPS. Di tahun 2016, rata-rata upah minimum dari seluruh regional hanya Rp 1.997.819, kontras dengan PDB Indonesia yang cukup tinggi di tahun yang sama, yakni Rp 12.406,8 triliun. Fenomena ini menunjukkan ketimpangan akut yang semakin meroket; (semakin gencarnya) liberalisasi pasar hanya menguntungkan pengusaha – lokal maupun multinasional. Begitupun dengan hak-hak pekerja yang walaupun secara legal-formal telah dilindungi, pada praktiknya masih banyak penyelewengan – seperti ketidakadilan dalam pengupahan, hingga praktik union busting yang masih marak terjadi. Dimulainya era reformasi telah membuka lebar-lebar pintu ekonomi Indonesia terhadap ekspansi kapital dengan segala bentuk eksploitasi yang secara inheren terkandung di dalamnya.

 

Serikat Pekerja Sebagai Sumber Kekuatan

Pasar global yang menjalar masuk dengan deras pasca reformasi juga membawa bersamanya berbagai permasalahan pelik, termasuk dalam ranah ketenagakerjaan. Globalisasi pasar tenaga kerja mendorong tenaga kerja lokal untuk turut bersaing dengan sesama pekerja dari wilayah lain. Hal ini kemudian mendorong tuntutan akan tenaga kerja dengan daya saing tinggi namun dengan upah yang murah. Negara Indonesia sebagai salah satu pemasok tenaga kerja terbanyak di dunia, ikut dalam lingkaran setan ‘perang upah minimum’ dengan berbagai negara dengan populasi banyak lainnya – yang umumnya merupakan negara berkembang, seperti India, Tiongkok, dan Vietnam. Dalam rangka mendorong arus investasi asing untuk menanamkan modalnya, negara-negara tersebut cenderung mengesampingkan kesejahteraan pekerjanya. Indonesia misalnya, dengan pertumbuhan upah minimum yang relatif lambat, secara konsisten mampu menempati peringkat di atas 50 dalam Indeks Kompetitif Global yang dipublikasi Forum Ekonomi Dunia (WEF), terutama dalam beberapa tahun terakhir. Daya kompetitif tersebut kemudian membuat Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi investor. Sayangnya, iklim investasi yang ramah bagi investor tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan pekerja yang signifikan. Di tengah perang upah minimum inilah serikat pekerja dapat menjadi senjata ampuh bagi para pekerja untuk meningkatkan daya tawar mereka dalam meningkatkan kesejahteraan.

Fungsi utama serikat pekerja sebagai alat perwakilan bagi pekerja sudah menjadi kebutuhan vital. Melalui serikat, seorang pekerja dapat memperkuat daya tawarnya terhadap pemodal di atas meja negosiasi dalam mewujudkan berbagai tuntutannya. Serikat juga dapat menawarkan opsi-opsi alternatif untuk melawan lainnya, seperti perjuangan via jalur hukum atau mogok kerja. Selain itu, serikat pekerja sebagai organisasi massa memiliki berbagai fungsi sosial lain, seperti pendidikan – praktis maupun politik – atau berbagai fungsi kekerabatan. Fungsi kekerabatan tersebut kian terasa relevan di tengah maraknya ‘wabah kesepian’ yang terutama banyak menimpa generasi muda. Keanggotaan seorang pekerja di serikat, paling tidak, dapat menjamin adanya ruang untuk berkumpul dan bercengkrama dengan orang lain.

Sepanjang sejarahnya, serikat pekerja juga merupakan komponen penting, jika bukan utama, dari gerakan politik progresif. Serikat pekerja telah berhasil memenangkan banyak sekali konsesi bagi pekerja yang hingga sekarang masih kita rasakan manfaatnya, seperti batas 8 jam kerja, hari libur, cuti, tunjangan, dan sebagainya. Serikat pekerja dari sektor industri manufaktur dan pertanian, khususnya, dengan massanya yang banyak menjadi tulang punggung dari gerakan politik progresif di berbagai tempat. Revolusi Rusia yang menjatuhkan rezim otokratik monarki Rusia di bawah Tsar Nicholas, dapat berhasil karena mendapatkan dukungan luas dari massa buruh pabrik dan tani. Amerika Serikat juga punya sejarah panjang gerakan dengan catatan mogok kerja terbesar terjadi pada tahun 1959, dengan jumlah pemogok mencapai 500.000 pekerja. Begitupun di Indonesia. Pemberontakan tahun 1926 terhadap pemerintahan kolonial Hindia-Belanda diinisiasi oleh aksi-aksi pemogokan serikat pekerja. Para anggota serikat pekerja sendiri juga memiliki ikatan soliditas kelas yang kuat antar sesamanya. Soliditas yang tercipta berdasarkan memori kolektif akan ketertindasan bersifat kuat dan sarat dengan corak kelas. Tidak heran, gerakan-gerakan progresif lainnya seperti gerakan perempuan dan kaum rentan serta minoritas juga memiliki kedekatan yang kuat dengan serikat pekerja

Model sistem sosial serikat pekerja juga dapat menjadi embrio bagi organisasi masyarakat alternatif. Banyak varian ideologi progresif radikal yang mengusung pengorganisiran masyarakat ke dalam serikat pekerja sebagai jalan menuju dunia tanpa kelas. Tujuan akhir dari gerakan semacam itu biasanya ingin menghapus sistem pengupahan dan menggantinya dengan penguasaan moda ekonomi langsung oleh para pekerja untuk dikelola bersama-sama secara demokratis. Varian ini umumnya dianut oleh mereka yang memiliki tendensi anarkisme – menolak konsep negara. Realisasi yang paling dekat ada pada berbagai eksperimen kooperasi pekerja di berbagai belahan bumi, seperti apa yang dilakukan oleh pekerja di Argentina: menduduki pabriknya yang bangkrut dan menjalankannya secara demokratis. Di tengah iklim kerja yang kian eksploitatif ini, pengelolaan mandiri (self-management) oleh para pekerja sendiri menjadi alternatif yang sangat menarik.

Sederet hal baik dari serikat pekerja itu semua rupanya belum mampu untuk menarik para pekerja bergabung atau membentuk sendiri serikat pekerja. Tercatat hanya 2.717.961 pekerja yang terdaftar di Kemenakertrans atau hanya 2,18 persen dari jumlah penduduk bekerja per Mei 2017. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, stigma-stigma negatif masih melekat erat dengan serikat pekerja. Di samping beban sejarah politik progresif, peliputan media seputar aksi-aksi serikat pekerja juga umumnya negatif. Tiap kali ada aksi demonstrasi atau mogok, media kerap kali berfokus pada hal-hal yang tidak relevan seperti kendaraan pribadi yang dipakai demonstran, sampah yang bertebaran pasca aksi, dan sebagainya, namun abai atau kurang memberitakan tuntutan maupun konteks aksinya. Iklim bekerja juga kurang mendukung pembentukan serikat, seperti yang sudah disebutkan di atas terkait masih maraknya praktik union busting.

Potensi kekuatan daya tawar yang dapat diberikan oleh serikat pekerja tidak bisa kita tampik begitu saja. Di tengah persaingan perang upah minimum global, khususnya antara negara-negara berkembang kaya tenaga kerja, kita harus dapat memanfaatkan betul sistem serikat pekerja. Berangkat dari situ, kita juga perlu menjawab tantangan-tantangan yang kemudian muncul dari dunia perserikatan. Serikat pekerja harus mampu menyerap lebih menyeluruh tenaga kerja di Indonesia; membuat serikat menjadi organisasi yang menarik bagi mereka untuk mau ikut terlibat. Perlu dipertimbangkan juga konteks-konteks pengorganisiran di tiap sektor yang sudah barang tentu berbeda-beda, seperti misalnya pekerja sektor informal yang relatif sulit untuk berserikat karena berbagai ketidakmudahannya dalam bekerja di bidang-bidang yang tak menentu. Dengan jumlah yang banyak – sekitar 16,4 juta pekerja – industri kreatif juga perlu dipertimbangkan untuk pengorganisiran serikat pekerja. Beberapa pekerjanya sendiri juga sudah berinisiatif untuk berserikat, seperti yang dilakukan anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Terakhir, fungsi serikat pekerja juga harus lebih optimal – kembali memegang teguh tujuan pendiriannya yang semata-mata hanya untuk memajukan kepentingan kelasnya sendiri, alih-alih menjadi alat politik bagi oligarki dan pemodal.***

 

Penulis adalah mahasiswa di Universitas Indonesia. Saat ini aktif di sebuah inisiatif kooperasi kecil bernama “Kolektiva”.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.