Bergereja Berarti Melawan

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Anakpawis Partylist

 

SEBENARNYA, apakah gereja itu? Gereja, selama ini, selalu dipahami hanya sebatas gedung. Biasanya, itu adalah tempat orang Kristen berkumpul tiap hari Minggu. Bayangan kita langsung melompat pada sederetan kursi dan altar. Tata liturgi, lantunan musik kidung pujian, dan keheningan tampak menjadi nuansa utamanya. Singkatnya, gereja terlukis hanya sebagai tempat sembahyang menghaturkan sembah pada Tuhan, Sang Pencipta.

Tapi, benarkah penggambaran gereja yang demikian? Inikah gereja yang dituturkan Alkitab?

Tulisan ini mencoba untuk mengajukan sebuah perspektif – yang mudah-mudahan – baru tentang gereja. Sudutnya mengambil dari pemikiran Paulus. Dialah rasul, yang disebut-sebut, paling berpengaruh dalam roda sejarah Perjanjian Baru. Apa dan bagaimana peran gereja menurut Paulus?

Untuk itu, tulisan ini akan memulai dari isi pikiran Paulus mengenai identitas umat pilihan. Kemudian, kita akan coba melihat tantangan yang dihadapi Paulus dan gereja perdana. Dari situlah nanti, saya akan mencoba merumuskan, apa definisi gereja menurut Paulus.

 

Siapakah Umat Pilihan Itu?

Teologi covenant (perjanjian) adalah gerbang pertama untuk memahami pemikiran Paulus. Khususnya, tentang umat pilihan Allah. Inilah yang menjadi fondasi dari doktrin pemilihan (election) dari Yudaisme. Bisa dikatakan, doktrin ini jugalah yang menjiwai seluruh bangunan teologi dan worldview dari Rasul prolifik ini.

Sekilas tentang teologi covenant. Perjanjian ini melibatkan antara Allah dan bangsa Israel. Sejak dari penciptaan, Allah sudah memerintahkan kepada “manusia pertama” untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kejadian 1: 26-28). Lalu kemudian janji itu ‘diulangi’ lagi kepada Nuh pasca air bah (Kej. 9:1). Puncaknya, pakta itu kembali ditegaskan kepada Abraham (Kej. 12 dan 17: 1-2).

Secara garis besar, janji itu dibagi dalam tiga bagian penting.[1] Pertama, Tuhan menjanjikan kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi sebuah bangsa. Janji ini digenapi ketika bangsa Israel tinggal di Mesir (Keluaran 1: 7). Kemudian, bangsa itu akan menjadi umat kepunyaan Tuhan (I will be your God). Peristiwa ini diinagurasikan dalam peristiwa di Gunung Sinai (Keluaran 19-20). Janji terakhir, dan yang paling penting, adalah bangsa Israel akan menduduki tanah perjanjian yang melimpah susu dan madu (Keluaran 33:3).

Janji “negeri yang penuh susu dan madu” ini sentral. Artinya, perjanjian itu bersifat duniawi, bukan surgawi. Itu adalah perlambang sebuah kehidupan tanpa kelaparan. Sebuah kondisi sosial dimana penduduknya tidak menderita. Israel tidak lagi diperbudak seperti di Mesir. Hak hidup mereka dijamin tidak dirampas dalam paket kerja paksa. Itu adalah sebuah imajinasi bahwa Israel akan mandiri sebagai bangsa.

Sifat dari perjanjian ini, dalam Yudaisme, adalah eksklusif. Artinya, janji ini berlaku khusus hanya bagi orang Israel yang disunat pada hari kedelapan (Kej. 17. 12). Bangsa lain di luar Israel dianggap kafir (goyim). Bahkan, Israel memandang mereka, sering kali, dalam nuansa permusuhan. Sampai-sampai, mereka memetaforkan bangsa asing itu sebagai ‘anjing’; mahkluk yang menjijikkan, pemakan bangkai, dan sesuatu yang dianggap najis[2]. Oleh karena itu, bangsa Israel – melalui Torah – melarang untuk berelasi dengan bangsa luar karena dianggap setara dengan bersentuhan pada sesuatu yang dianggap najis.

Namun, apakah Paulus masih memegang narasi ‘chauvinistik’ ini dalam mendefinisikan umat pilihan Allah? Jawabannya antara ‘ya’ dan ‘tidak’.

Ya, karena Paulus masih memegang teguh narasi covenant sebagai dasar dari gerakan dan pemikiran teologisnya. Paulus yakin bahwa tujuan ultimat dari perjanjian itu adalah rencana tunggal Allah untuk memperbaiki tatanan dunia.[3]

Tapi di sisi lain, tidak. Karena Paulus ternyata mendefinisikan ulang hampir semua terma-terma teologis yang menjelaskan pakta perjanjian antara Allah dan Israel. Misalnya, Israel sejati, keturunan Abraham, orang Yahudi vs. orang Yunani, dsb.

Kesimpulannya, jika klasifikasi umat pilihan Allah awalnya ditentukan dari keturunan darah, maka bagi Paulus itu tidaklah demikian. Akar dari “Israel yang sejati” adalah mereka yang percaya pada Yesus sebagai Mesias serta peristiwa kematian dan kebangkitan-Nya.[4]

 

Dimana Umat Pilihan Itu?

Pada umumnya, mimbar khotbah gereja selalu mengajarkan bahwa dunia ini, bagi orang Kristen, hanyalah persinggahan sementara. “Salib di muka, dunia di belakang,” begitu katanya. Kekristenan, dewasa ini, sepertinya tidak menaruh perhatian pada realitas material-objektif dari kenyataan hidup sehari-hari. Apalagi, untuk mengubahnya. Sebaliknya, seluruh aktivitas kekristenan, zaman now, hanya tertuju pada surga yang ‘diimani’ ada ‘di sana’ – entah dimana.

Bagaimana menurut Paulus? Apakah Paulus juga menganggap dirinya sekarang sedang menuju surga? Sejurus kemudian melupakan realitas dunia yang ditinggalinya? Di surga sanakah umat pilihan itu menurut Paulus?

Paulus meyakini kematian dan kebangkitan Yesus. Sehingga, dia pun percaya bahwa Sang Mesias sudah jadi pemerintah penguasa dunia. Dialah Raja di atas segala raja (1 Timotius 6:15). Itulah tanda keyakinannya bahwa pilar Kerajaan Allah sudah tegak.

Walau demikian, Paulus menyadari bahwa kenyataan konkret belum seperti imajinasi dalam visi covenant Allah. Dunia masih penuh dengan penderitaan dan perampasan hak. Namun, karena Yesus sudah bangkit, Paulus sangat percaya bahwa, secara prinsipil, kuasa-kuasa jahat itu sudah ditaklukkan. Pendeknya, dunia yang ditinggalinya masih dalam kondisi yang buruk, tapi pilar-pilar penopangnya sudah diruntuhkan.

Kita kembali sejenak pada gagasan pokok covenant. Tujuan tunggal Allah dalam perjanjian adalah untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Oleh karena itulah, maka Tuhan menugaskan manusia sebagai penata layan-Nya (Kej. 1: 26). Dengan begitu, menjadi pengikut Yesus, bagi Paulus, tidaklah mengasingkan diri dari dunia ini. Sebaliknya, umat pilihan harus ikut berpartisipasi untuk mewujudkan visi perjanjian itu. Paulus menuntut umat Allah agar hidup sebagai warga negara dimana Yesus sudah bertakhta sebagai Raja. Sebuah pemerintahan yang diyakini akan merestorasi tatanan demi mewujudkan keadilan bagi Israel dan seluruh dunia. Umat pilihan itu ada sekarang di dunia.

 

Apa Masalah yang Sedang Dihadapi dan Apa Solusinya?

Paulus menganggap dosa sebagai akar dari segala penyakit dunia (Roma 3:12). Baginya, segala penderitaan dan kesengsaraan ditengarai karenanya.

Namun, bagaimana kita (kekristenan) mendefinisikan dosa? Secara umum, kita melihat dosa selalu dalam kacamata lensa moral-individual. Itulah sumber dari kerusakan dunia ini. Sehingga, satu-satunya solusi, yang umumnya diyakini oleh kelompok Kristen Injili, adalah peristiwa kelahiran baru. Yaitu mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.

Pengertian ini tentu saja ahistoris. Fakta menunjukkan bahwa orang-orang Kristen, yang mendaku sudah “lahir baru” pada kenyataannya, justru aktor perusak dunia. Sebut saja, misalnya, para pengusaha Kristen yang mencurangi karyawannya; para politikus Kristen yang terlibat korupsi dan praktik mafia; atau bahkan pendeta-pendeta yang terlibat kasus korupsi penggelapan dana gereja.

Fakta-fakta ini secara langsung menggugurkan pendapat di atas. Akar dari kerusakan dunia, ternyata, bukan kelalaian moral. Bukan pula karena manusia di bumi belum terlahir-barukan.

Dampak paling signifikan atas pengertian ini adalah sifat apolitis di hadapan kenyataan itu. Karena penderitaan dipahami sebagai akibat dari kesalahan moral-individual, maka usaha perbaikan pun dimaknai secara perseorangan. Dengan begitu, muncullah kekristenan monastik modern. Mereka menarik diri dari realitas dan masuk ke dalam bilik-bilik media sosial.

Apakah Paulus berpikir demikian? Bagaimana dia menganalisa dunia yang ditinggalinya? Apa kesalahan utama dari semua kenyataan hidup menurut Paulus? Lalu, solusi apa yang ditawarkannya?

Kenyataan konkrit Paulus pun adalah dunia yang rusak dan korup. Dia pun melihat kerapuhan moralitas manusia (Roma 1:22-24). Kasih menjadi dingin karena manusia terpecah dalam ragam kepentingan (1 Korintus 1:12). Banyak orang, seperti Demas, lebih mencintai dunia dan segala keindahan yang ditawarkannya (2 Timotius 4:10).

Realitas itu terjadi, menurut Paulus, karena dunia salah dalam memegang sebuah prinsip (Roma 1:25). Dunia akan menjadi baik, hanya jika meletakkan Yesus sebagai Kristus (mesias) dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Filipi 2:5-10). Pernyataan ini, secara vis a vis, sebenarnya sedang menentang dan menantang kaisar Romawi. Kala itu, sang kaisar juga didaku sebagai mesias, si raja damai. Artinya, akar dari dunia yang rusak ini, menurut Paulus, adalah struktural (imperium), bukan semata moral-individual.

Dalam kaca mata Paulus, imperium Romawi sudah kalah. Kaisar sudah tumbang. Kemenangan itu sudah tercapai lewat kebangkitan Yesus. Peristiwa kekalahan maut itu menunjukkan bahwa Yesus sebagai Raja Damai sejati.

Lalu kemudian, untuk menghadapi situasi ini, solusi apa yang ditawarkan Paulus? Berdoa, (dalam) roh dan kebangkitan.

“Tetaplah berdoa.” (1 Tes. 5.17), begitu nasihat Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Arahan ini bertujuan agar jemaat tetap menjaga pengharapannya. Dalam ayat ini, Paulus menggunakan kata proseuchomai (pros + euchomai yang artinya mengharap). Paulus tidak menggunakan kata deesis (Lukas 2:37) atau deomai (Lukas 21:36) dimana secara literal juga berarti berdoa, tapi penekanannya pada permohonan, meminta sesuatu.

Kemudian hidup dalam roh harus dipahami sebagai anti tesis dari iblis. Jika iblis adalah metafora pengacau tatanan, maka roh berusaha untuk menertibkannya.

Sederhananya, bagi Paulus, harapan akan sebuah tatanan yang tertib dan adil harus terus dipelihara. Inilah bahan bakar utama bagi jemaat perdana kala itu.

Konfrontasi dengan imperium menjadi kata kunci gerakan Paulus. Dengan itu, Paulus berusaha menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dia ingin menegakkan kebenaran Allah (dikaiosune theou).[5] Yesus sebagai Mesias harus memerintah dunia dan memperbaharui tatanan. Anak Allah yang bangkit itulah yang akan merestorasi keadilan dan menciptakan damai di dunia.

Dengan begitu, bagi Paulus, kekristenan merupakan sesuatu yang agresif. Dia menyerang segala hal yang tidak sesuai dengan visi Kerajaan Allah. Umat pilihan, dalam pemikiran Paulus, tidak memalingkan wajah dari kenyataan. Sebaliknya, dia memelototinya dengan gairah untuk mengubahnya.

Dengan tujuan inilah Paulus melakukan perjalan misi untuk mendirikan gereja (ekklesia) dihampir seluruh domain wilayah imperium. Ini adalah bagian dari solusinya untuk menegakkan kedaulatan Yesus, Anak Allah sebagai Kristus atas dunia.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ekklesia ini bekerja?

 

Kapan Kerajaan Allah Tiba?

Ini adalah pertanyaan paling menarik. Bagaimana menurut Paulus? Kapankah Kerajaan Allah itu segera tiba?

Sama seperti Yesus, Paulus meyakini bahwa Kerajaan Allah itu sudah tiba (Lukas 17:21). Dia mewujud dalam Yesus yang mati dan kemudian bangkit. Kebangkitan Yesus adalah inaugurasi dari kerajaan itu. Tapi, kondisi itu belum lengkap (incomplete) karena kenyataan belum paralel dengan visi covenant . Artinya, kenyataan hari ini adalah persilangan antara Kerajaan Allah yang sudah tegak dengan proses yang terus sedang terjadi untuk mencapai keparipurnaannya (already but not yet).

Nah, dalam masa penantian itu, apa yang umat Allah harus lakukan? Paulus menjawab: bergereja.

Gereja dalam pemikiran Paulus bukanlah semata-mata untuk kepentingan ritualistik belaka. Gereja juga bukan sebagai sarana “istirahat” dari kesibukan dan tekanan dunia kerja. Gereja bukan buat keren-kerenan. Apalagi, sebagai tempat untuk mencari pacar.

Gereja, bagi Paulus, selalu berada dalam ketegangan antara “yang eskatologis” dan “yang sekarang.” Gereja adalah penantian pada sesuatu yang pasti datang. Sifatnya praksis, bukan abstrak. Walau menunggu, tapi dia bertindak (sekarang) dalam masa penantian itu (expectation).

T. Wright, seorang teolog Inggris, mengumpamakannya dengan persiapan seseorang yang akan menyambut tamu. Jika seseorang sedang menanti temannya datang, katankanlah untuk makan malam, maka selama penantian itu tuan rumah akan bekerja. Dia akan sibuk untuk mempersiapkan hidangan bagi si tamu.

Begitupun dengan bergereja. Bagi Paulus, ketika menanti kegenapan Kerajaan Allah, gereja tidak boleh diam dalam kepasifan yang jumud. Sebaliknya, gereja harus bertindak, bekerja, dan menunjukkan identitasnya untuk menyambut tibanya Kerajaan Allah. Gereja adalah sebuah komunitas yang mengafirmasi dan memvalidasi kenyataan final (masa depan) lewat perilaku hari ini.

Misalkan saja dunia akrab dengan penindasan. Dalam visi covenant, cara ini tentu tidak dibenarkan. Alasannya karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang meletakkan semua manusia setara sebagai gambar Allah. Dengan begitu, gereja harus hidup dengan cara sebaliknya. Dia harus melawan penindasan itu, bukan melestarikannya. Pendeknya, cara hidup gereja adalah model bagaimana ketika Kerajaan Allah itu sudah tegak berdiri absolut. Gereja adalah anti tesis dari kehidupan dunia, yang diklaim Paulus penuh dosa.

Akhirnya, gereja harus terlibat mentransformasi kenyataan. Ini sebagai tindakan untuk menyambut kenyataan masa depan kegenapan tegaknya Kerajaan Allah. Sehingga, dimensi sekarang dan masa depan sama-sama vital. Dengan kata lain, fokus utamanya adalah di dunia sekarang, bukan nanti. Dunia ini harus diperbaiki dalam orientasi penantian Kerajaan Allah.

Pendeknya, bergereja berarti melawan. Dia melawan segala cara-cara hidup yang tidak sesuai dengan etika Kerajaan Allah. Gereja harus mengajukan sebuah proposal, sebagai tandingan dari kebudayaan yang ditawarkan oleh imperium kala itu. Karena Kerajaan Allah sudah tegak (incomplete), maka gereja menjadi teladan bagaimana cara hidup jika kerajaan itu sudah datang (complete). Paulus menantang gereja sebagai tempat untuk mempraktikkan sebuah gaya hidup “masa depan” yang secara radikal berbeda. Kalau tidak salah, ini kita sebut dengan istilah “progresif”, bukan?***

 

Penulis adalah Penatua Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba

 

———–

[1] Gerhard von Rad, “Old Testament Theology”, (London: SCM Press Ltd., 2975), hlm. 129-135.

[2] Coba lihat bagaimana Yesus “menguji” iman perempuan Siro-Fenisia. Ketika itu, Yesus menganalogikan perempuan asing itu dengan anjing (Markus 7:27).

[3] N. T. Wright, “Justification: God’s Plan and Paul Vision”. (USA: Intervarsity Press, 2009), hlm. 67.

[4] N. T. Wright, “Paul and the Faithfulness of God, (Minneapolis: Fortress Press, 2013), hlm. 546.

[5] Perlu dipahami, kebenaran Allah selalu bicara dalam konteks keadilan (law court).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.