RAKYAT miskin, terutama mereka yang tidak menjadi bagian dari kelas pekerja, merupakan salah satu objek diskusi yang mungkin masih penuh dengan ketidakjelasan dalam tradisi Marxisme (lihat Bussard 1987; Draper 1972). Ini terutama terkait dengan ekspresi politik mereka, yang dalam tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels sering disebut dengan nada negatif dan peyoratif sebagai lumpen-proletariat. Pengertian umum, terutama yang mengacu pada Manifesto Komunis (1848), amat tegas menyebutkan lumpen-proletariat sebagai kelas yang reaksioner, konservatif, dan berbahaya bagi perjuangan kelas karena mereka mudah disuap untuk mendukung kepentingan kelas kapitalis. Tapi apa dan siapa sebenarnya yang disebut oleh Marx sebagai lumpen-proletariat? Mengapa Marx dan Engels amat sinis menjelaskan peran politik lumpen-proletariat dalam masyarakat kapitalis?
Para teoretisi Marxis selama ini telah keliru memahami lumpen-proletariat sebagai kelompok sosial (underclass, non-kelas) dengan bentuk keagenannya yang spesifik, yakni yang reaksioner dan berbahaya. Kekeliruan itu sama persis dengan pandangan yang secara eksklusif menempatkan kelas pekerja sebagai agen transformatif yang utama dan satu-satunya.
Menurut saya, konsep lumpen-proletariat digunakan oleh Marx dan Engels untuk menjelaskan kategori subjektivitas atau keagenan terlepas dari posisi objektif kelasnya dalam relasi produksi. Artinya, Marx sebenarnya juga memahami potensi revolusioner tidak hanya melekat pada kelas pekerja, tetapi juga ada pada rakyat miskin. Sebaliknya, potensi non-revolusioner juga ada pada keduanya. Pembedaan Marx (1847) dalam The Poverty of Philosophy tentang class-in-itself dan class-for-itself menegaskan hal itu. Yang pertama merujuk sebagai posisi objektif dalam relasi produksi, sementara yang lainnya lebih dipahami sebagai kesadaran, subjektivitas dan keagenan yang dibentuk. Dengan demikian, proletariat adalah kategori subjektivitas yang progresif, revolusioner dan diperlukan dalam perjuangan kelas. Kategori ini tidak selalu melekat pada kelas pekerja, seperti halnya lumpen-proletariat yang tidak melekat sebagai bentuk subjektivitas rakyat miskin. Lumpen-proletariat adalah kategori keaganen yang menjadi anti-tesis dari proletariat. Oleh karena itu, definisi kelas pekerja tidak bisa dipertukarkan begitu saja dengan konsep proletariat, begitu juga rakyat miskin dengan lumpen-proletariat. Dengan kata lain, bentuk subjektivitas tidak semata-mata ditentukan oleh posisi objektif dalam relasi produksi, melainkan terutama oleh proses sejarah pertentangan kepentingan dalam proses perkembangan masyarakat kapitalis.
Kekeliruan Para Akademisi Marxis
Dalam tradisi Marxisme, sebenarnya bukan hanya rakyat miskin di luar kelas pekerja yang didefinisikan secara negatif oleh Marx. Para petani, kelas sosial utama dalam masyarakat pra-industri, juga tergolong sebagai kelompok yang diabaikan bisa memiliki potensi revolusioner. Namun, pandangan tentang kelompok ini, sebagaimana dikemukakan Bovenkerk (1984), telah berhasil direhabilitasi dalam berbagai studi akademik yang menunjukkan bahwa banyak gerakan revolusioner ditopang terutama oleh kaum tani. Sementara pemahaman terhadap rakyat miskin, baik yang di desa maupun di kota, belum sepenuhnya berhasil direhabilitasi dalam tradisi Marxisme.
Ketidakberhasilan merehabilitasi konsep lumpen-proletariat dan asosiasinya dengan rakyat miskin, sebenarnya di satu sisi bertolak dari dominannya pernyataan-pernyataan tegas Marx dan Engels sendiri yang memang bernada negatif. Di sisi lain, sebagai anti-tesis terhadap konsep lumpen-proletariat, Marx dan Engels juga menandaskan bahwa potensi revolusioner secara eksklusif ada pada kelas pekerja (proletar) karena posisinya dalam relasi produksi yang menjadi objek eksploitasi nilai lebih, fondasi kapitalisme. Namun, pemahaman akan hal ini tidak bisa dilepaskan dari penjelasan mengenai pembentukan kesadaran kelas dalam konteks perkembangan masyarakat kapitalis di Eropa abad ke-19.
Munck (2013) menyebutkan bahwa tradisi Marxisme telah meletakkan lumpen-proletariat berada di luar relasi produksi dan struktur kelas, dan karena itu mereka tidak dapat dianggap sebagai aktor sejarah. Sebab, secara eksistensial mereka dapat hadir dalam masyarakat apapun, baik tribal, feodal, kapitalis atau yang lain. Pontoh (2010) juga memandang konsep ini lebih sebagai “sindiran atau umpatan yang lahir dari kesombongan kalangan Marxis ortodoks,” untuk tidak menyebut kekeliruan Marx dan Engels sendiri secara langsung.
Untuk menghindari ambiguitas itu, para akademisi Marxis umumnya mengganti konsep lumpen-proletariat dengan istilah yang dianggap lebih netral, seperti informal proletariat (Mike Davis 2009), non-industrial urban proletariat (James Petras 2003) atau non-industrial proletariat (Max Lane 2010). Persoalannya, keduanya memiliki penekanan yang berbeda sehingga sebenarnya tidak begitu saja bisa digantikan.
Lumpen-proletariat dianggap problematik karena selama ini dipahami sebagai kelompok sosial yang sekaligus melekat orientasi politiknya yang khas. Sementara istilah penggantinya, lebih menekankan sebagai kelompok sosial (kelas) dalam suatu relasi produksi yang bentuk keagenannya tidak dapat dipahami secara esensialis bernada negatif. Istilah baru ini umumnya digunakan untuk menunjukkan bahwa rakyat miskin juga bisa punya potensi revolusioner. Dengan kata lain, Marx dan Engels selama ini dianggap telah salah dan sembarangan memahami rakyat miskin dengan konsep lumpen-proletariat.
Max Lane (2010), misalnya, terkesan amat meromantisasi peran informal proletariat, hanya karena kelompok ini mendominasi populasi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya terindustralisasi dan karena itu dianggap dapat mengemban agenda politik radikal bersama dengan kelas pekerja. Faktanya, kaum miskin kota di Indonesia justru lebih banyak terserap dalam praktik politik yang reaksioner dan konservatif seperti dapat diamati pada mobilisasi kelompok-kelompok kekerasan. Artinya, argumen Lane sebenarnya lebih menggambarkan sebagai harapan ketimbang hasil observasi akademik yang objektif. Pandangan semacam itu mirip dengan penilaian gegabah dari tradisi anarkis, seperti yang dikemukakan oleh Ian Wilson (2015), yang percaya kelompok kekerasan–karena basis pengorganisasiannya kaum miskin kota–adalah organisasi transisi yang dapat melahirkan gerakan progresif. Berkebalikan dengan Marxisme, tradisi anarkis secara esensialis melihat rakyat miskin justru dapat mengemban peran revolusioner.
Sementara itu, Franz Fanon (1963) sebagaimana Mao Tse-Tung (1967) berusaha mempertahankan istilah lumpen-proletariat tetapi dengan menambahkan karakter revolusioner kepadanya jika kelas sosial ini memperoleh panduan dan pengorganisasian yang tepat. Revolusi di Cina dan gerakan kemerdekaan di Afrika yang terutama ditopang oleh lumpen-proletar adalah gambaran yang dikemukakan oleh Mao dan Fanon untuk mendukung argumen tersebut. Menurut Fanon (1963), jika lumpen-proletariat tidak diorganisasikan oleh kekuatan progresif, maka mereka akan menjadi elemen kontra-revolusioner. Konsekuensinya, konsep lumpen-proletariat dipahami dalam pengertian yang amat berbeda dari yang semula digunakan oleh Marx dan Engels. Di samping itu, baik Fanon maupun Mao tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai kondisi-kondisi yang membuat suatu panduan dan pengorganisasian tertentu dapat membawa rakyat miskin memiliki agensi revolusioner.
Lumpen-Proletariat sebagai Bentuk Subjektivitas Politik
Manifesto Komunis (1848) adalah karya yang paling sering dirujuk dalam memahami konsep lumpen-proletariat. Konsep ini dipahami sebagai:
“kelas yang berbahaya, sampah masyarakat, kelompok yang terbuang secara pasif sebagai sisa dari masyarakat sebelumnya, yang akan tersapu oleh gerakan revolusi proletariat; namun kondisi kehidupannya, bagaimanapun, mempersiapkannya menjadi bagian dari alat suap untuk politik yang reaksioner.”
Dari sini, definisi yang bernada negatif dan peyoratif itu terutama berasal. Padahal, karya ini semestinya ditempatkan bukan sebagai tulisan yang bersifat ilmiah-akademik, melainkan lebih sebagai propaganda politik dalam rangka perjuangan kelas pada masa itu. Pada titik ini, seharusnya dapat dimengerti bahwa Manifesto Komunis tidak bisa menjadi satu-satunya rujukan dalam memahami bagaimana Marx menjelaskan bekerjanya kapitalisme, termasuk soal lumpen-proletariat serta asosiasinya dengan ekspresi politik rakyat miskin.
Pada karya yang lebih akademik, Kapital Vol. 1, Marx (1887) hanya menyitir sekali istilah lumpen-proletariat terkait dengan surplus relatif populasi dalam relasi produksi. Di sini disebutkan komponen lumpen-proletariat terdiri dari kelompok yang menjadi bagian dari penopang relasi produksi sebagai cadangan tenaga kerja serta yang tidak menjadi bagian darinya seperti orang tua yang sudah tidak bisa bekerja serta para bandit dan kriminal. Sementara pada tulisan yang lain seperti di The Class Struggle in France 1848-1850, Marx (1895) menyebut lumpen-proletariat sebagai bagian dari proletariat secara general.
Pada The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Marx (1852) menyebut segala yang terbuang dari relasi produksi, yang tidak menjadi bagian darinya sebagai lumpen-proletariat. Mereka dimobilisasi oleh Bonaparte ke dalam milisi Mobile Guard untuk menghadapi revolusi proletariat. Namun, di sini Marx juga menyebutkan Louis Bonaparte sebagai bagian dari lumpen-proletariat itu, sebagai pemimpin darinya. Aristokrat finansial juga termasuk menjadi bagian dari yang disebut sebagai lumpen-proletariat karena mengakumulasi kekayaan tidak dari relasi produksi, tetapi dengan merampok milik orang lain di antaranya melalui pengaturan pajak. Engels dalam The Role of Force in History (1896) juga menyebutkan aristokrat Prussia sebagai bagian dari lumpen-proletariat aristokrat.
Singkatnya, dalam menjelaskan lumpen-proletariat sebagai “kelompok sosial”, tidak ada rumusan yang tetap baik dari Marx maupun Engels. Penggunaan konsep ini tidak hanya merujuk pada rakyat miskin yang selama ini dipahami dalam tradisi Marxisme, tetapi juga mencakup kelas atas, termasuk kelas pekerja. Pada kasus kegagalan gerakan pemberontakan di Brussel tahun 1884, misalnya, Engels menyebut seluruh kelas pekerja sebagai lumpen-proletariat. Artinya, definisi yang tetap dari konsep ini lebih terkait sebagai ungkapan kekecewaan dan kemarahan Marx dan Engels atas kegagalan berbagai gerakan revolusi di Eropa abad ke-19. Henderson (1976) juga menemukan bahwa Engels menggunakan istilah ini untuk menyebut musuh-musuhnya.
Engels (1850) dalam The Peasant War in Germany sebenarnya juga menjelaskan lumpen-proletariat dengan sinis sebagai “gerombolan yang bisa dibeli dan dibayar untuk segentong anggur”. Menariknya, beberapa hari menjelang kematiannya, pernyataan ini direvisi oleh Engels (1968) yang dikemukakan dalam suratnya kepada Karl Kautsky pada tanggal 21 Mei 1895. Di sini Engels menyatakan kesalahannya yang mendasar dalam menjelaskan lumpen-proletariat dan berniat merevisi The Peasant War. Menurut Engels, rakyat miskin sebagai pre-proletariat adalah elemen yang memungkinkan terjadinya revolusi di daerah suburban di Paris tahun 1979.
Dari sini, ada dua hal yang patut diklarifikasi. Pertama, tidak seperti tuduhan para teoretisi Marxis pada umumnya, Marx dan Engels tidak mendefinisikan subjektivitas rakyat miskin secara esensialis sebagai semata-mata reaksioner dan anti-revolusi; mereka juga memiliki potensi sebagai bagian dari gerakan progresif. Kedua, lumpen-proletariat lebih dipahami sebagai bentuk subjektivitas yang bertentangan dengan kepentingan perjuangan kelas, yang dapat mencakup semua elemen kelas.
Pemahaman ini akan lebih jelas jika kita menelisik pembedaan konseptual antara class-in-itself dengan class-for-itself. Yang pertama merujuk pada posisi kelas dalam relasi produksi, seperti kelas pekerja atau underclass. Sedangkan yang kedua mengacu pada pembentukan kesadaran kelas dalam kaitannya dengan perjuangan kelas, sebagai proletariat atau lumpen-proletariat. Artinya, kelas buruh karena posisinya dalam relasi produksi, tidak secara mekanik akan memiliki kesadaran kelas sebagai proletariat. Sebagaimana dikemukakan E.P. Thompson (1963), kesadaran kelas adalah proses historis yang tidak begitu saja terbentuk semata-mata karena posisi ekonominya sebagai agen kelas. Kesadaran kelas sebagai proletariat atau sebagai lumpen-proletariat dibentuk dan ditransformasikan dalam proses sejarah konflik-konflik kepentingan.
Pandangan semacam ini merupakan kritik terhadap determinisme ekonomi dalam tradisi Marxisme. Posisi ekonomi seseorang tidak secara mekanik menentukan bentuk kesadaran politiknya. Subjektivitas rakyat miskin dengan demikian juga tidak ditentukan oleh keberadaan pemimpin atau panduan-panduan yang dapat membuat mereka menjadi revolusioner atau menjadi reaksioner seperti dikemukakan oleh Mao atau Fanon, melainkan dibentuk oleh konflik-konflik kepentingan yang menyejarah yang menyertai proses pembentukan negara dan perkembangan kapitalisme. Proses sejarah ini yang melahirkan kondisi-kondisi maupun kendaraan yang tersedia dalam pengorganisasian kaum miskin kota, yang menentukan arah subjektivitas mereka menjadi reaksioner atau revolusioner.***
Penulis adalah PhD Candidate di Asia Institute, The University of Melbourne, Australia
Kepustakaan:
Bovenkerk, Frank. 1984. “The Rehabilitation of the Rabble: How and Why Marx and Engels Wrongly Depicted the Lumpenproletariat as a Reactionary Force.” Netherlands Journal of Sociology, 20 (1): 13-41.
Bussard, Robert L. 1987. “The ‘Dangerous Class’ of Marx and Engels: The Rise of the Idea of the Lumpenproletariat.” History of European Idea, 8 (6): 675-692.
Davis, Mike. 2009. Planet of the Slums. New York: Verso.
Draper, Hal. 1972. “The Concept of the ‘Lumpenproletariat’ in Marx and Engels.” Economies et Societes, 6 (12): 2285-312.
Engels, Frederick. 1850. The Peasant War in Germany. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/peasant-war-germany.pdf
Engels, Frederick. 1896. Marx-Engels Correspondence 1985: Engels to Kautsky in Stutgart. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1895/letters/95_05_21.htm
Engels, Frederick. 1896. The Role of Force in History. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1887/role-force/index.htm
Fanon, Frantz. 1963. The Wretched of the Earth. New York: Grove Press.
Henderson, W.O. 1976. The Life of Frederick Engels. London: Frank Cass.
Lane, Max. 2010. “Indonesia and the Fall of Suharto: Ploterarian Politics in the ‘Planet of Slum’ Era.” The Journal of Labor and Society, 13: 185-200.
Marx, Karl. 1847. The Poverty of Philoshopy: Answer to the Philosophy of Poverty by M. Proudhon. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Poverty-Philosophy.pdf
Marx, Karl. 1852. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/18th-Brumaire.pdf
Marx, Karl. 1884. Manifesto of the Communist Party. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Manifesto.pdf
Marx, Karl. 1887. Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf
Marx, Karl. 1895. The Class Struggle in France 1848-1850. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Class_Struggles_in_France.pdf
Munck, Ronaldo. 2013. “The Precariat: A View from the South.” Third World Quarterly, 34 (5): 747-767.
Petras, James. 2003. The New Development Politics: The Age of Empire Building and New Social Movements. USA: Ashgate.
Pontoh, Coen Husain. 2010. “Ekspresi Politik Kaum Miskin Kota.” IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/2010/08/ekspresi-politik-kaum-miskin-kota/
Thompson, E.P. 1963. The Making of the English Working Class. New York: Vintage Book.
Tse-Tung, Mao. 1967. Selected Works, Vol. I. Peking: Foreign Language Press.