Janji Kosong Pembangunan NYIA: Perampasan, Pengusiran, dan Penghapusan Hak Atas Ruang Hidup demi Kapitalisme

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi:Aktual.com

 

SEJAK menjabat sebagai presiden, Joko Widodo telah menjadikan infrastruktur sebagai sector yang prioritas pembangunannya. Ini dibuktikan dengan perencanaan 245 proyek di seluruh wilayah Indonesia.[1] Salah satu mega-proyek yang paling ambisius diantaranya adalah New Yogyakarta International Airport (NYIA), bandara baru yang rencananya akan berlokasi di Wates, Kulon Progo. Dengan pertimbangan keterbatasan kapasitas bandara Adisutjipto, proyek ini merupakan pembangunan jalur cepat yang rencananya akan difungsikan mulai April 2019. Keberadaan bandara ini diharapkan dapat memperlancar arus transportasi dari dan ke Yogyakarta. Namun, apa benar pembangunan tersebut inklusif, dalam artian dapat menyejahterakan masyarakat yang berkehidupan di sekitarnya? Analisis ini akan menunjukkan sisi lain dari pembangunan NYIA: bahwa bukannya memberi kehidupan, ia justru mengasingkan warga sekitar dari ruang hidup itu sendiri.

 

Akumulasi Primitif dan Perampasan dalam Pembangunan

Sebelum membahas perampasan kesejahteraan dalam kasus penggusuran NYIA, mari kita bahas dasar teorinya terlebih dahulu. Teori yang dipakai dalam artikel ini, yakni akumulasi melalui perampasan (dispossession) milik David Harvey, adalah pengembangan dari teori akumulasi primitif (primitive accumulation) Karl Marx. Ia menyatakan bahwa prasyarat berfungsinya kapitalisme adalah pengusiran kelas proletar (pekerja), melalui “perampasan” kepemilikan pekerja atas kapasitas produksinya (kemampuannya bekerja) serta “pelemparannya” sebagai tenaga kerja yang terasingkan[2] ke pasar tenaga kerja. Lebih jelasnya, Marx menyebutkan bahwa proses ini adalah proses reifikasi ganda pekerja, yang 1) mentransformasikan perannya dari produsen langsung menjadi pekerja bayaran; dan 2) mengubah fungsi sosial alat produksinya, dari sarana subsistensi menjadi akumulasi kapital.[3] Pengusiran dalam akumulasi primitif adalah prasyarat akumulasi kapitalistik—artinya pengusiran pekerja dari tanahnya harus dilakukan agar roda kapitalisme dapat berjalan, dan akumulasi kekayaan para pemilik modal dapat berlangsung.[4] Masalahnya, akumulasi kapital yang berlebihan sendiri menciptakan surplus yang tidak dapat diberdayakan.[5] Pendiaman surplus kapital tersebut beresiko mendevaluasi nilainya, sehingga potensi akumulasi lebih lanjut akan tersia-siakan. Di sisi lain, keseluruhan sistem kapitalisme lanjutan mengalami krisis akibat turunnya rate of profit—sehingga pemberdayaan surplus tersebut menjadi vital dalam upaya menyelamatkan kapitalisme.[6]

Harvey mengembangkan solusi atas kondisi kontradiktif tersebut dengan teori akumulasi via perampasan. Harvey beranggapan bahwa krisis karena akumulasi yang berlebihan—ditandai dengan kelebihan modal, komoditas, maupun pekerja yang beredar di pasaran; tanpa adanya outlet untuk memberdayakannya—hanya dapat diselesaikan melalui “spatio-temporal fixes”. Sederhananya, ia menggariskan dua solusi penyerapan surplus melalui displacement kapital: 1) displacement spasial, dimana kapital diberdayakan untuk membuka infrastruktur kapitalisme di lokasi lain; dan 2) displacement temporal, dimana kapital dipergunakan sebagai investasi dalam proyek-proyek fisik dan sosial berjangka panjang, yang hasilnya hanya bisa diraup di masa depan.[7] Dengan kata lain, surplus tadi hanya dapat diperbaiki melalui eksternalisasi kapital dengan penangguhan lintas ruang dan waktu—yang terwujud dalam produksi space bagi kapitalisme, organisasi teritorial divisions of labor, pembukaan kompleks sumber daya, penciptaan ruang-ruang dinamis akumulasi kapital, hingga penetrasi formasi sosial yang telah ada oleh relasi kapitalistik.[8] Dalam perkembangannya, penangguhan spasial-temporal ini dimediasi oleh negara sebagai institusi dengan legitimasi untuk menciptakan kredit dan kapital fiktif dalam rangka memobilisasi surplus kapital. Harvey berargumen bahwa solusi eksternal ini adalah cara dominan masyarakat kapitalistik untuk menyelesaikan kontradiksinya, mengingat solusi internal—yakni redistribusi kekayaan—mengharuskan kelas pemilik modal untuk memberikan previlesenya pada kelas pekerja. Tentunya, para pemilik modal akan memilih mempertahankan hirarki sosial tersebut agar dapat terus menjalankan akumulasi kapital.[9]

Bagian selanjutnya akan menjelaskan bagaimana proses yang penuh dengan ketidakadilan ini tercermin dalam pengaturan pembangunan NYIA di Yogyakarta.

 

Akumulasi via Perampasan dalam Pembangunan NYIA

Dalam kasus proyek bandara New Yogyakarta International Airport di Kulon Progo, perampasan dan penangguhan kapital tadi menjadi tulang belakang penindasan negara kapitalistik terhadap masyarakatnya sendiri. Pertama, akumulasi primitif mewujud dalam pengambilan paksa[10] tanah warga Kulon Progo, yang memutus relasi antara masyarakat lokal dan tanah di mana ia berkehidupan. Dalam hal ini, reifikasi ganda terjadi: 1) pengasingan peran warga, dari produsen hasil bumi di tanah sendiri menjadi pekerja bayaran di sektor-sektor lain; dan 2) perubahan fungsi sosial tanah, dari sarana subsistensi menjadi kapital. Dengan kata lain, warga Kulon Progo yang dulunya bertani untuk menghidupi komunitasnya tiba-tiba dirampas dari tanah sumber penghidupannya, dan dipaksa “menjual diri” ke pasar tenaga kerja. Keterampilan mereka bertani belum tentu dihargai di pasar kerja tersebut sehingga mengasingkan mereka yang kesulitan beradaptasi. Di samping itu, proses pembebasan lahan hanya menghargai tanah warga sebagai kapital yang bisa diperjualbelikan—hal ini mengesampingkan nilai-nilai sosiokultural tanah sebagai sumber kehidupan yang berkelindan dengan realitas sosial warga Kulon Progo. Oleh karenanya, kompensasi yang diberikan pembangun/pemerintah atas pengorbanan masyarakat tersebut tidak dapat dikatakan mencukupi.[11] Lagipula, meski aturan perlindungan masyarakat telah dibuat untuk menghindarkan hal-hal semacam ini dalam pembebasan lahan, namun aturan tersebut 1) tidak mengharuskan adanya transparansi publik dalam skema transfer lahan; 2) tidak memberikan masyarakat lokal posisi tawar lebih untuk menegosiasikan lahan—sehingga negosiasi kompensasi hanya sebatas formalitas, mengingat kepentingan pembangunan akan selalu dimenangkan; 3) proses legal yang kompleks dan mahal cenderung mengintimidasi warga untuk tidak mengambil jalur hukum ketika hak mereka terlanggar.[12] Ketiga faktor tersebut memarginalkan kepentingan warga dalam upaya memperjuangkan tanah mereka sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan NYIA adalah proyek pro-kapital yang mengasingkan masyarakat dari haknya atas ruang hidup, tanpa memperdulikan kesejahteraan masyarakat lokal sendiri.

Kedua, jika proyek NYIA adalah pembangunan yang dilakukan atas dasar kekerasan, mengapa proyek ini tetap dijalankan? Harvey akan menjawab bahwa alasan pembangunan NYIA bukan hanya sebab-sebab pragmatis saja—semisal, kelebihan kapasitas bandara Adisutjipto—melainkan juga didasari oleh upaya displacement dalam mengatasi krisis akumulasi berlebih akibat pembangunan di Yogyakarta. Seperti umum diketahui, pembangunan di Yogyakarta mencapai tingkat pertumbuhan yang eksplosif selama dekade terakhir—dibuktikan dengan tren PDRB yang meningkat tiga kali lipatnya.[13] Meski demikian, tingkat ketimpangan Yogyakarta yang sangat tinggi (per September 2016, rasio Gini di Yogyakarta mencapai angka 0,43—lebih besar dari rerata rasio Gini nasional[14]) menunjukkan bahwa mayoritas pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh kelas pemilik modal. Hal serupa juga ditunjukkan dari minimnya pengeluaran seperlima penduduk di segmen termiskin, yang jumlahnya hanya sebesar 5,7 persen dari total pengeluaran penduduk Yogyakarta.[15]

Jika dibaca dengan kacamata Marxis, ketimpangan ini merupakan gejala nyata dari proses akumulasi kekayaan yang terjadi dalam pembangunan di Yogyakarta. Menariknya, Harvey juga memprediksi bahwa krisis yang berakar dari akumulasi berlebih ini—yakni surplus kekayaan, serta devaluasinya—diselesaikan melalui displacement kapital dalam bentuk pembangunan NYIA. Displacement tersebut nampak dalam fungsi NYIA sebagai eksternalisasi kapital lintas ruang dan waktu, yaitu 1) displacement spasial, mengingat proyek ini dibangun di luar area pembangunan utama Yogyakarta—tepatnya di Wates, Kulon Progo; 2) displacement temporal, dimana NYIA berperan sebagai investasi berjangka panjang—alias keuntungan dari proyek bandara ini baru akan diterima di masa mendatang. Melalui pembangunan NYIA, surplus kapital yang “diam” dapat diputar ulang dalam bentuk investasi eksternal, sehingga menghilangkan risiko devaluasi surplus dan memungkinkan akumulasi kapital di Yogyakarta untuk terus berjalan. Solusi devaluasi surplus yang lain, yakni redistribusi kekayaan internal—misal melalui program-program sosial yang meratakan kekayaan—tidak dijalankan, karena solusi ini mengharuskan para pemilik modal (khususnya pihak pembangun dan Sultan sendiri, sebagai pemilik mayoritas tanah yang dijamin via hak eigendom) untuk menyerahkan previlese mereka.

Kembali ke kasus nyatanya, partisipasi berbagai pihak di balik NYIA (termasuk diantaranya pemodal lintas negara dengan dukungan pemerintah nasional) menyiratkan bahwa kondisi krisis kapitalisme ini tidak hanya menghantui Yogyakarta semata. Siklus akumulasi-surplus-devaluasi juga nampak dalam pembangunan berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai tingkat perwujudan eksternalisasi kapital. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan kapitalistik, termasuk diantaranya yang sedang terjadi di negeri kita, adalah proses creative destruction—dalam rangka menciptakan lebih banyak kapital, ia menghancurkan ruang-ruang hidup yang telah ada dan menggantinya dengan ruang-ruang kapital baru.

Ketiga, negara sendiri berperan sebagai institusi yang melegitimasi pembangunan sebagai akumulasi via disposesi. Dalam kasus NYIA, peran legitimasi negara nampak dalam dua aspek: pembuatan regulasi yang “melegalkan” perampasan lahan, serta penguatan aspek paksaan dari perampasan tersebut. Pertama, melalui kekuasaannya membentuk undang-undang, negara dapat membentuk mekanisme legal yang melegitimasi perampasan tanah masyarakat, sekaligus memperkuat posisi tawar pihak pembangun. Misalnya saja, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggariskan mekanisme konsinyasi sebagai kompensasi pembebasan lahan. Mekanisme tersebut memperbolehkan pengambilan lahan masyarakat via pembayaran yang “dititipkan” ke pengadilan setempat, apabila 1) pemilik lahan menolak ganti rugi maupun putusan pengadilan; atau 2) lahan yang bersangkutan bermasalah secara hukum.[16] Di atas kertas, pembebasan tanah tersebut baru diperbolehkan setelah putusan hukum dan kompensasi diberikan, serta warga terkait telah diberitahu secara tertulis. Dalam praktiknya, hal yang terjadi justru sebaliknya—pengakuan dari warga menunjukkan bahwa PT Angkasa Pura I tidak pernah menunjukkan itikad menawar tanah, dan warga sendiri tidak menerima surat peringatan dari peradilan setempat.[17] Ganti rugi yang diatur mekanisme konsinyasi menjadi janji kosong belaka, mengingat warga yang menolak pembangunan tidak pernah mendapatkan kompensasi tersebut.[18] Selain tidak efektif melindungi kepentingan konstituennya, negara yang mengabaikan aspek monitoring dan penegakan hukum juga turut berperan dalam melegitimasi perampasan lahan masyarakat. Partisipasi aktif negara tersebut semakin nampak dalam bagaimana negara sendiri memobilisasi pasukan bersenjata ke lapangan—bukannya untuk melindungi warga, melainkan untuk mengintimidasi resistensi dan mempermulus kelancaran pembangunan.[19]

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa corak pembangunan di Indonesia masih pro-kapital—dibuktikan dalam maraknya kekerasan serta penyingkiran masyarakat, serta bagaimana kepentingan warga sekitar seringkali tidak terepresentasikan dalam proyek-proyek nasional. Analisis Marx dan Harvey akan menunjukkan aspek menarik pembangunan kapitalistik Indonesia, yakni 1) pembangunan, sebagai upaya reproduksi ruang, tidak lain adalah cara kapitalisme mempertahankan hidupnya; 2) sebagai prasyarat pembangunan, pembebasan lahan selalu mengasingkan warga sekitar—baik dalam relasi sosialnya, maupun dalam relasinya dengan alam; dan 3) negara justru berperan sebagai institusi yang melegitimasi perampasan tersebut. Meski pembangunan seharusnya dilakukan demi “kemakmuran rakyat”—per Pasal 33 UUD 1945—pembangunan di Kulon Progo (dan Indonesia secara keseluruhan) masih belum dapat memenuhi janji tersebut. Ia akan selalu menjadi proses yang memarginalkan masyarakat demi kepentingan segelintir orang yang menguasai kapital.***

 

Penulis adalah mahasiswa di Dept. Hub Internasional, UGM, Yogyakarta


Kepustakaan:

Apinino, Rio. “Kronologi Pengosongan Lahan Untuk Bandara Menurut Warga Kulon Progo”. Tirto.Id. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 25 Desember 2017. https://tirto.id/kronologi-pengosongan-lahan-untuk-bandara-menurut-warga-kulon-progo-cAPH

Badan Pusat Statistik Provinsi DIY. Data Strategis Daerah Istimewa Yogyakarta 2017. Data Strategis DIY. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2018.

Hafidh, Muhammad I. “Pembangunan NYIA Hilangkan Lahan Penghidupan Warga”. Balairungpress.Com. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 25 Desember 2017. http://www.balairungpress.com/2017/12/pembangunan-nyia-hilangkan-lahan-penghidupan-warga/

Harvey, David. “The ‘New’ Imperialism: Accumulation By Disposession”. Socialist Register 40, no. 1 (2004).

Marx, Karl. Das Kapital: Kritik Der Politischen Oekonomie. 1st ed. Berlin: Verlag von Otto Meisner, 1867.

Primadhyta, Safyra. “Yogyakarta Punya Ketimpangan Ekonomi Tertinggi Di Indonesia”. Cnnindonesia.Com. Modifikasi terakhir 2018. Diakses 7 Februari 2018. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170201154328-92-190589/yogyakarta-punya-ketimpangan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia.

Putsanra, Dipna. “PN Wates Sebut Ada 222 Perkara Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo”. Tirto.Id. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 25 Desember 2017. https://tirto.id/pn-wates-sebut-ada-222-perkara-konsinyasi-lahan-bandara-kulon-progo-cA9K

Saputri, Maya. “YLBHI Minta Penggusuran Paksa Warga Kulon Progo Dihentikan”. Tirto.Id. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 25 Desember 2017. https://tirto.id/ylbhi-minta-penggusuran-paksa-warga-kulon-progo-dihentikan-cA7v.

Smith, Julian, Agung Wiryawan, & David Ray. “National Strategic Projects: 55 New Projects Included In PSN List”. Pwc.Com. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 25 Desember 2017. https://www.pwc.com/id/en/media-centre/infrastructure-news/may-2017/national-strategic-projects–55-new-projects-included-in-psn-lis.html.

Zaman, M. Q. “Land Acquisition And Compensation In Involuntary Resettlement”. Culturalsurvival.Org. Modifikasi terakhir 2017. Diakses 26 Desember 2017. https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/land-acquisition-and-compensation-involuntary-resettlement.

 

————-

[1] Julian Smith, Agung Wiryawan & David Ray, “National Strategic Projects: 55 New Projects Included In PSN List”, Pwc.Com, modifikasi terakhir 2017, diakses 25 Desember 2017, https://www.pwc.com/id/en/media-centre/infrastructure-news/may-2017/national-strategic-projects–55-new-projects-included-in-psn-lis.html

[2] Marx menggunakan istilah “unattached labor” (pekerja yang tidak terikat) untuk menamai kondisi ini, dimana pekerja yang terasingkan dari kapasitas produksinya terpaksa “menjual diri” dalam pasar tenaga kerja. Dorongan sukarela untuk mereifikasi nilai kerja pribadi tersebut didasari pertimbangan untuk menjamin kelangsungan hidupnya dan generasi selanjutnya—mengingat gaji dan tunjangan hanya dapat didapatkan sebagai imbalan dari penyerahan kerja pada para pemilik modal. Dikutip dari Karl Marx, Das Kapital: Kritik Der Politischen Oekonomie, edisi pertama. (Berlin: Verlag von Otto Meisner, 1867).

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] David Harvey, “The ‘New’ Imperialism: Accumulation By Disposession”, Socialist Register 40, no. 1 (2004).

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Dalam wawancara dengan Balairung Press, Muhammad al-Fayyadl menyebutkan bahwa pembebasan tanah warga untuk proyek NYIA pada dasarnya adalah perampasan, karena aspek kesukarelaan (akad) warga dalam menyerahkan tanahnya tidak dihargai. Laporan dari Tirto.id menunjukkan bahwa masyarakat diintimidasi dengan kekerasan untuk menyerahkan tanahnya, antara lain via mobilisasi aparat, pemutusan aliran listrik, perusakan rumah dan fasilitas umum, serta kekerasan terhadap warga lokal dan pengunjuk rasa. Dikutip dari Muhammad I. Hafidh, “Pembangunan NYIA Hilangkan Lahan Penghidupan Warga”, Balairungpress.Com, modifikasi terakhir 2017, diakses 25 Desember 2017, http://www.balairungpress.com/2017/12/pembangunan-nyia-hilangkan-lahan-penghidupan-warga/; dan Rio Apinino, “Kronologi Pengosongan Lahan Untuk Bandara Menurut Warga Kulon Progo”, Tirto.Id, modifikasi terakhir 2017, diakses 25 Desember 2017, https://tirto.id/kronologi-pengosongan-lahan-untuk-bandara-menurut-warga-kulon-progo-cAPH

[11] Sistem relokasi, yang dibuat untuk mengkompensasi pembebasan lahan warga, tidak dapat disetarakan dengan pengorbanan mereka—mengingat 1) hilangnya tanah sebagai sumber penghidupan individual dan masyarakat; 2) tempat relokasi yang disediakan jauh dari fasilitas publik dan pusat-pusat aktivitas ekonomi; dan 3) eksternalitas relokasi, seperti adaptasi sosial dengan lokasi baru, tidak diperhitungkan dalam skema tersebut. Kasus-kasus pembangunan dengan relokasi paksa semasa Soeharto misalnya, menunjukkan bahwa masyarakat yang dipindahkan kehilangan lebih dari 50% penghasilannya pasca relokasi. Tentunya, kerugian ekonomi tersebut tidak menunjukkan keseluruhan dampak relokasi, mengingat pertimbangan kompensasi yang lebih etis baiknya juga memperhitungkan faktor eksternalitas yang barusan disebut. Dikutip dari M. Q. Zaman, “Land Acquisition And Compensation In Involuntary Resettlement”, Culturalsurvival.Org, modifikasi terakhir 2017, accessed December 26, 2017, https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/land-acquisition-and-compensation-involuntary-resettlement

[12] Beberapa contoh nyata kelemahan aturan ini adalah 1) tidak adanya poin yang menggariskan hak masyarakat untuk menentukan bentuk resettlement seperti apa yang mereka dapatkan—sehingga proses relokasi menjadi pemaksaan yang berdasar kepentingan pengembang; 2) adanya mekanisme konsinyasi yang melegitimasi aksi perampasan lahan oleh pengembang (hal ini akan dijelaskan di bagian selanjutnya). Dikutip dari Dipna Putsanra, “PN Wates Sebut Ada 222 Perkara Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo”, Tirto.Id, modifikasi terakhir 2017, diakses 25 Desember 2017, https://tirto.id/pn-wates-sebut-ada-222-perkara-konsinyasi-lahan-bandara-kulon-progo-cA9K

[13] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa PDRB (produk domestik regional bruto) per kapita Yogyakarta meningkat pesat, dari Rp8.845,00 di tahun 2006 menjadi Rp29.589,00 di tahun 2016. Dengan kata lain, rerata jumlah nilai tambah bruto dari seluruh sektor perekonomian di Yogyakarta meningkat tiga kali lipat dalam dekade terakhir. Meski demikian, perhitungan ini tentu tidak sensitif terhadap ketimpangan distribusi kekayaan individual. Dikutip dari Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, Data Strategis Daerah Istimewa Yogyakarta 2017, Data Strategis DIY (Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2018).

[14] Rasio Gini—atau koefisien Gini—adalah ukuran ketimpangan kekayaan penduduk di suatu wilayah. Rasio Gini di Yogyakarta yang dikalkulasi oleh BPS ini misalnya, diukur dari jumlah pengeluaran per segmen masyarakat. Dikutip dari Safyra Primadhyta, “Yogyakarta Punya Ketimpangan Ekonomi Tertinggi Di Indonesia”, Cnnindonesia.Com, modifikasi terakhir 2018, diakses 7 Februari 2018, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170201154328-92-190589/yogyakarta-punya-ketimpangan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia.

[15] Ibid.

[16] Bermasalah secara hukum di sini berarti lahan tersebut adalah tanah sengketa, sedang disita, dijadikan jaminan, atau pemilik lahan hilang keberadaannya. Dikutip dari Maya Saputri, “YLBHI Minta Penggusuran Paksa Warga Kulon Progo Dihentikan”, Tirto.Id, modifikasi terakhir 2017, diakses 25 Desember 2017, https://tirto.id/ylbhi-minta-penggusuran-paksa-warga-kulon-progo-dihentikan-cA7v

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Lihat catatan kaki nomor 10.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.