Beban Perempuan Dalam Menyangga Gerak Urbanisasi (1)

Print Friendly, PDF & Email

Potret perkebunan sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai. Kredit foto: LifeMosaic

Catatan: penulis akan mengetengahkan serial eksplorasi tentang Masyarakat Urban dan The Everyday Life, yang di dalamnya menampakkan problem-problem berbasis gender. Selama ini cerita tentang The Everiday Life dalam Masyarakat Urban nampak dipandang biasa dan kurang menarik, tetapi penulis termasuk yang menyetujui pada pandangan bahwa problem berbasis gender dan kelas, baik di ranah struktur basis maupun supra-struktur, dibentuk dalam aktivitas sehari-hari. Semoga eksplorasi ini ada gunanya bagi pembaca!

 

 

SAMAKAH apa yang dilakukan masyarakat urban di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dan di Jakarta pada pagi hari, tengah hari dan malam hari? Cobalah Anda imaginasikan: Bualemo adalah sebuah tempat di pedalaman, yang sekitar 20 tahun lalu merupakan hutan belantara yang lebat dan banyak ular di dalamnya. Orang-orang Gorontalo telah bermigrasi ke sana sejak awal abad 20, dan kemudian keluarga-keluarga dari Jawa dan Bali yang miskin (tanpa tanah) didatangkan pula ke sana melalui program transmigrasi Orde Baru sejak 1980an untuk membuka hutan dan bercocok tanam di situ. Saat ini, Kecamatan Bualemo yang luasnya mencapai 862.00 km2 dihuni oleh penduduk sebesar 16.703 jiwa dan kepadatan penduduknya sekitar 5200 jiwa/km2. Bandingkan dengan Jakarta yang ditetapkan sebagai kantor pusat korporasi dagang Belanda pada 1619 dan selanjutnya ditetapkan sebagai ibukota negara Indonesia. Penduduk Jakarta sebesar 10.199.700 jiwa (2016) yang bermukim dalam wilayah daratan seluas 661, 2 km², dan kepadatan penduduknya sekitar 15.052.84 jiwa/km2. Dengan membandingkan jumlah penduduk, luas wilayah dan status kota, maka apa yang dapat kita bayangkan mengenai aktivitas masyarakat urban, perempuan dan laki-laki di masing-masing wilayah ini?

Sudah tentu aktivitas[1] masyarakat urban di Bualemo dan Jakarta serupa tapi tak sama. Apa yang sama bahwa masyarakat urban itu secara umum melakukan tiga aktivitas, yaitu kerja untuk memperoleh uang (yang disebut upah atau gaji), belanja untuk memperoleh berbagai hal yang dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup sebagai masyarakat, dan beristirahat untuk memulihkan raga dan jiwa. Apa yang berbeda bahwa perkembangan masyarakat urban ditentukan oleh jenis (sektor) industrinya, dan hal ini berimplikasi pada transformasi tenaga kerja, keragaman aktivitas dan dominasi waktu industri terhadap waktu kosmos. Tulisan ini berusaha untuk menyingkap beban perempuan dalam proses urbanisasi dengan membandingkan kehidupan urban di Bualemo dan Jakarta.

 

Pengertian Masyarakat Urban

Dalam pemahaman awam, istilah masyarakat urban seringkali dipahami sebagai orang-orang yang menghuni pinggiran kota, biasanya mereka pendatang dari “desa” yang bekerja di “kota”. Maka istilah urbanisasi dipahami sebagai proses perpindahan orang-orang dari desa ke kota. Pemahaman ini jauh berbeda dengan yang dimaksud oleh Henri Lefebvre –seorang filsuf dan sosiolog yang menggeluti studi urban— mengenai the urban society. Lefebvre mendefinisikan masyarakat urban adalah masyarakat yang dibentuk oleh proses industrialisasi. Apa yang dimaksud proses urbanisasi paralel dengan industrialisasi, di mana proses industrialisasi itu menghisap dan mendominasi corak pertanian pra-industri. Itu artinya perlahan tapi pasti, corak pertanian pra-industri yang selama sebelumnya menjadi modus kerja masyarakat petani (apapun jenis pertaniannya) menjadi tersubordinasi di bawah industri —yang memproduksi segala sesuatu secara massal melalui buruh upahan dan terhubung dengan kekuatan ekonomi global. Konsekuensinya telah mengubah secara radikal keadaan masyarakat petani (rural) menjadi masyarakat urban yang mengalami transformasi terus menerus, dari bentuk masyarakat urban lama kepada yang lebih baru (dalam transformasi itu seringkali terjadi diskontinyuitas). Maka menjadi masyarakat urban artinya menjadi masyarakat industri, di mana corak produksi dan konsumsinya mengikuti skema industrialisasi lokal, nasional dan global[2].

Itu sebabnya, saya mengklaim bahwa masyarakat Bualemo, yang seringkali dipahami sebagai masyarakat rural, tak sepenuhnya sesuai fakta. Fakta masyarakat Bualemo sejak industrialisasi ekstraktif beroperasi di sini, sesungguhnya masyarakat tersebut telah bergerak menuju fase urban pada tingkat yang belum solid seperti masyarakat Jakarta. Masyarakat Bualemo belum mencapai manufakturisasi sebagai tenaga kerja, tetapi kebutuhan konsumsi mereka sudah banyak tergantung pada industri manufaktur.

Menurut Lefebvre, habitus masyarakat urban dibentuk pada level keluarga yang praktik itu terjadi di dalam area pemukiman atau komplek hunian, seperti apartemen, townhouse, atau model-model perumahan modern yang dibangun oleh developer. Model apartemen dan perumahan modern dengan artsitektur seragam telah terjadi di Jakarta, tetapi tentu saja belum terjadi di Bualemo. Di Bualemo, masyarakat setempat masih dalam proses membangun rumah-rumah permanen dari bata yang berderet di sepanjang jalan yang kini mulai diaspal.

Adapun habitus itu dibentuk sehari-hari melalui aktivitas rutin yang berulang-ulang, seperti makan, tidur, memasak, mengasuh anak, mencari nafkah, menyapa tetangga, membersihkan rumah, mencuci kendaraan, bercinta, dan sebagainya, dan tentu saja sebagai sebuah ideologi yang tak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Pada level tindakan sehari-hari ini terbentuklah way of living, pola, karakter, model kultur, dan nilai masyarakat urban. Level keluarga dan komplek hunian (private house) itu terhubung satu sama lain sebagai sebuah kota (city) yang dilengkapi dengan jalan, taman, rumah ibadah, dan bangunan fisik lainnya yang melayani kebutuhan masyarakat urban. Di atas kedua level ini terdapat power yang mengendalikan perkembangan masyarakat urban, yaitu sebuah kekuatan (bisa dalam bentuk oligarki dan korporasi) yang menguasai negara dan menggerakkan modal ke dalam berbagai macam industri. Kekuatan (power) inilah yang mengkreasi ruang dan menciptakan pembagian kerja secara sosial di dalam ruang tersebut untuk kepentingan produksi, pemupukan kapital, pasar konsumsi dan pemupukan tenaga kerja upahan.

Kekuatan itulah yang mengkreasi Jakarta sebagai megapolitan dan Bualemo sebagai wilayah yang sedang berkembang menuju kota. Pengertian “kota” menurut Lefebvre adalah gejala aglomerasi (pengelompokan) wilayah urban, di mana masing-masing wilayah dimodernisasi (oleh perencana tata kota, yaitu pemerintah dan pengusaha) untuk memenuhi kebutuhan jalur lalulintas industri, pemukiman modern, pasar konsumsi yang tidak terbatas pada pangan, perbankan, dan berbagai pembangunan fisik institusi ekonomi-politik dan sosial-budaya (termasuk pendidikan). Titik berangkat dan perkembangan masyarakat urban berbeda-beda tergantung pada keberhasilan sejarah industrialisasi dalam mensubordinasikan (1) pertanian dalam dominasi industri sebagai fase pertama, dan (2) pada fase kedua mensubordinasikan urbanisasi di bawah industri, kekuatan global mensubordinasi urbanisasi, dan urbanisasi mensubordinasi habiting (tindakan sehari-hari sebagai proses pembentukan habitus).

Dengan demikian fase perkembangan masyarakat urban di Bualemo dan Jakarta berbeda. Dalam banyak hal, Bualemo dan secara keseluruhan Kabupaten Banggai berada pada fase awal urbanisasi yang dikendalikan oleh korporasi ekstraktif. Adapun Jakarta telah mengalami fase kedua dan seterusnya, dimana masyarakat urban itu berada dalam subordinasi kekuatan industri global yang didorong oleh industri manufaktur, jasa dan keuangan. Masyarakat urban Jakarta hidup sehari-hari dalam ritme industri manufaktur, jasa dan keuangan yang tidak tergantung pada “waktu kosmos” (perputaran bumi mengelilingi matahari atau waktu alam), melainkan memiliki “waktu industri” yang bergerak mengikuti alur produksi, distibusi dan konsumsi. Adapun masyarakat urban di Bualemo masih bergerak mengikuti “waktu kosmos”, sekalipun sebagian telah mengikuti “waktu industri” ekstraktif yang masih tergantung pada waktu kosmos (musim hujan dan kemarau, musim tanam dan panen, ketersediaan bahan-bahan alam, dll). Perbedaan ini mempunyai konsekuensi pada terciptanya kontradiksi di dalam pembagian kerja, yang dapat berbuah adanya beban ganda atau bahkan multibeban dalam kehudupan masyarakat urban. Transformamsi pembagian kerja menjadi beban kerja itu sangat kelihatan berdasarkan gender.

 

Aktivitas Masyarakat Urban dan Fetisisisme

Menurut Lefebvre, aktivitas sehari-hari masyarakat urban terbagi ke dalam aktivitas kerja (mencari nafkah), aktivitas mengisi waktu istirahat (leisure time), dan aktivitas untuk private life —hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan pribadinya sebagai manusia, seperti aktualisasi cinta, relasi dengan anggota keluarga, kebebasan, dll. Selain itu majemuk dan tidaknya aktivitas masyarakat urban berkorelasi dengan keragaman komoditas dan fetisisme (pemujaan terhadap barang atau sesuatu) yang diciptakan oleh trend pasar global.[3] Maka semakin beragam komoditas, dan apalagi jika berhasil menjadikannya sebagai pemujaan (fetisis), maka sesuatu itu akan diproduksi dalam volume yang lebih besar. Implikasinya bahwa kebutuhan terhadap tenaga kerja upahan (buruh blue collar dan white collar) semakin meningkat.

Pada sektor industri perkebunan, kelapa sawit dewasa ini sedang menjadi komoditas di pasar global. Para pemilik modal beramai-ramai menanamkan investasinya untuk perkebunan sawit, dan pemerintah daerah berlomba-lomba membuka daerahnya untuk perkebunan sawit. Sebagai barang komoditas, kelapa sawit saat ini mendatangkan uang, dan petani pun tersubordinasi ke dalam perkebunan kelapa sawit (petani beralih menanam kelapa sawit dan meninggalkan tanaman pangan). Maka kelapa sawit menjadi barang pemujaan, bahkan kelas petani pun memuja kelapa sawit karena faktanya menghasilkan uang lebih besar daripada pertanian pangan. Mungkin di sejumlah daerah lainnya, petani kelapa sawit lebih ‘kaya’ ketimbang petani palawija dan padi. Tetapi petani kelapa sawit yang kaya itu berkorelasi pula dengan kepemilikan atas tanahnya yang luas.

Pada sisi yang lain, ketika kelapa sawit menjadi komoditas dan pemujaan, terjadilah transformasi tenaga petani menjadi buruh perkebunan sawit. Perkebunan sawit di Bualemo banyak merekrut tenaga kerja perempuan, dan para perempuan ini merupakan perintis kerja buruh di perkebunan sawit (laki-laki masih bertahan sebagai petani atau peternak). Mereka memilih kerja sebagai buruh karena tuntutan kebutuhan terhadap uang yang tak dapat dipenuhi secara cepat oleh hasil pertanian. Selain itu berdatangan buruh-buruh dari luar Bualemo hingga menciptakan aktivitas baru: warung-warung makan, penyedia jasa rumah kontrakan, pedagang keliling untuk barang-barang konsumsi, tukang bengkel sepeda motor, tukang cuci pakaian, dan lain sebagainya. Dalam transformasi ini sesungguhnya uang menjadi komoditas dan alat tukar yang dipuja-puja, ketimbang barang natura yang dihasilkan oleh petani Bualemo. Apalagi barang natura tidak bisa untuk membeli kebutuhan rumah tangga baik yang primer, sekunder maupun tersier.

Orang-orang di Bualemo sekarang mengenal hiburan untuk mengisi waktu santai dan selepas kerja dan private life di “pasar malam”. Pasar malam ini merupakan bisnis keliling yang dilakukan oleh pedagang ritel pada peringkat menengah ke bawah, yang sekarang keluar masuk kampung, bahkan sampai kampung di pinggir hutan (telah menjadi trend di seluruh Indonesia). Di situ merupakan forum orang berjualan makanan yang bukan pokok, pakaian, sepatu, tas, jam tangan, ponsel, kosmetik (seluruhnya produk manufaktur), lalu ada komidi putar (mainan anak-anak yang orang dewasa pun ikut menikmatinya), terkadang ada pula panggung musik dangdut atau pemutaran film. Para ibu dan anak perempuan merupakan pengunjung pasar malam terbesar dan pasar malam ini seperti forum yang membuat mereka riang gembira. Sementara para bapak lebih suka nongkrong di warung kopi sembari merokok dan menonton dangdut. Lalu anak-anak remaja telah berani menunjukkan private lifenya di tempat publik, seperti berpacaran, ataupun keluarga-keluarga di Bualemo mulai mengenal private life yang diekspresikan dalam bentuk pergi bersama (ibu, bapak dan anak) ke pasar malam untuk makan soto dan sightseeing di pasar malam tersebut.. Hanya saja, di Bualemo, belum seluruhnya terpancar sinyal untuk ponsel, sehingga masyarakat di situ masih mengisi waktu santai dan private life dengan berkunjung sosial ke rumah kelaurga atau kenalan dekat.

Di Jakarta, pola pasar malam ini sudah masuk ke dalam konsep mal dan masyarakat urban di sini menjadikannya sebagai tujuan plessure (untuk mengisi leissure time). Begitu pula smartphone (ponsel) telah menjadi alat yang menangkup ketiga aktivitas masyarakat urban sekait dengan kerja, waktu santai dan private life. Smartphone menjadi barang pemujaan masyarakat urban di Jakarta, karena melalui benda kecil itu seseorang dapat melakukan ketiga aktivitas tersebut secara efisien.

Jakarta dan daerah pinggiran penyangganya sebagian wilayahnya menjadi kawasan indsutri atau komplek pabrik-pabrik manufaktur. Sebagai contoh perusahaan Polytron di Tangerang, yang sebelumnya memproduksi LED TV, kulkas, radio, maka pada 2014 merambah ke produksi ponsel. Dengan tingginya belanja masyarakat urban Jakarta terhadap ponsel, maka jam produksi Polytron berkorelasi dengan permintaan pasar tersebut. Waktu industri manufaktur ini sama sekali tidak tergantung pada kosmos dan jam biologis tenaga kerja, dan karena itu dibuat sistem kerja bergantian pada pagi, sore dan malam. Maka waktu aktivitas masyarakat urban di Jabodetabek tidak mengikuti pagi, siang dan malam, dan untuk itu industri jasa yang lain melayani kebutuhan masyarakat urban ini. Transportasi tersedia selama 24 jam, toko ritel seperti Indomart, Alfamart, K-24, dll, buka selama 24 jam, coffee shop pun buka sampai menjelang pagi. Persisnya waktu bergulir mengikuti kebutuhan industri dan konsekuensi yang mengikutinya. Bagi masyarakat urban Jabodetabek yang beristirahat di rumah dapat berlangganan TV kabel yang menyediakan acara hingga 24 jam pula.

Karena padatnya aktivitas kerja produksi di Jakarta, maka aktivitas untuk mengisi waktu santai dan private life menciptakan komoditas-komoditas di dalamnya, antara lain pelayanan jasa istirahat atau jasa untuk relaksasi dalam berbagai bentuknya dan kerahasiaan tempat untuk urusan private life. Tentu hal ini tergantung pada level kelas sosial yang tersusun dalam masyarakat urban itu sendiri. Semakin tinggi kelas sosial, semakin dapat membeli sarana dan pelayanan leissure time dan private life yang sophisticated. Sayangnya, sarana pelayanan jasa lebih banyak diberikan kepada laki-laki berdasarkan asumsi bahwa mereka inilah pencari nafkah keluarga. Sebaliknya, para perempuan banyak diserap menjadi tenaga pelayanan jasa di sektor bisnis tersebut.***

 

Bersambung ….

 

———–

[1] Pengertian tentang aktivitas berbeda dengan kerja. Apa yang dimaksud aktivitas adalah sesuatu tindakan untuk berpartisipasi dalam menunaikan kebajikan hidup, sedangkan kerja diartikan sebagai aktivitas untuk menghasilkan sesuatu (tidak selalu berimplikasi langsung pada upah)

[2] Henri Lefebvre, The Urban Revolution, (Minneapolis & London: University of Minnesota Press, 2003)

[3] Henri Lefebvre, Critique of Everyday Life, (London & New York: Verso, 1991)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.