Tasawuf dan Pembebasan

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: SlideShare

 

ADA dua poin utama yang akan kita diskusikan untuk menakar kadar progresivitas tarekat, yakni pada level gagasan dan gerakan. Yang pertama, dalam sepanjang sejarahnya tarekat telah berfungsi sebagai kritik pada kebekuan beragama yang menyelimuti hampir seluruh rentang historis dijalankannya Islam di muka bumi. Pada bagian ini kita akan kemukakan kritik kontemporer yang diajukan kalangan tasawuf pada kondisi mutakhir peradaban manusia, dengan memotret secara garis besar gagasan yang diusung para perenialis seperti Hosein Nasr dan lainnya. Sedangkan yang kedua, bagaimanapun juga tarekat telah menjadi bagian penting perlawanan rakyat yang terjadi tak hanya di Indonesia, tapi berlangsung di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Namun, kita hanya akan memfokuskan pada pengalaman gerakan tarekat di Nusantara baik pada masa kolonial maupun pasca kolonial.

Dari kedua level tersebut kita akan menguji seberapa tangguh tarekat mampu menjadi bagian integral perlawanan rakyat menghalau imperialisme, khususnya di Indonesia. Apakah mungkin tarekat mentransformasi dirinya menjadi gerakan perlawanan yang solid terhadap kapitalisme serta menjadi bagian dari gerakan rakyat menghalau kapitalisme? Pada level apakah itu bisa dijalankan?

 

1. Level Gagasan: Kritik Kontemprer Tasawuf Pada Kehidupan Modern

Kritik yang diajukan oleh kelompok yang menamakan gerakannya dengan apa yang disebut sebagai perenialisme atau tradisionalisme, seperti Hosein Nasr,[1] dan beberapa sarjana Barat yang mengkaji sufisme seperti Louis Massignon, Rene Guenon, Titus Burckhart, Henry Corbin, Ananda K. Coomaraswamy, Martin Lings, Frithjof Schuon dan lainnya, pada kondisi mutakhir kehidupan manusia saat ini adalah sirnanya posisi Allah dalam jagat historis manusia. Bagi mereka kehidupan modern dengan seperangkat nilai yang berada di dalamnya: rasionalisme, empirisme, dan materialisme, telah mencoret posisi dan peran yang Ilahiah dalam kehidupan. Sehingga abad ini, meski ditaburi dengan gemerlap pencapaian kapital dan tingkat kemakmuran yang tiada bandingannya dalam sepanjang sejarah umat manusia, hanya menyisakan kondisi yang mengenaskan baik bagi pengalaman personal maupun komunal umat manusia.

Manusia meski tampak rasional, sesungguhnya dibimbing oleh keserakahan untuk mengakumulasi kapital yang mengakibatkan kerusakan moral dan sosial, ketimpangan, kehancuran lingkungan dll. Bagi mereka, menjadi penting untuk dikembalikannya posisi agama atau secara spesifik, spriritualisme dalam jagat kehidupan umat manusia. Lebih jauh, para perenialis melihat modernisme (lebih-lebih materialisme), sebagai biang kemerosotan kehidupan manusia karena telah menghapus visi keilahiahan atau dimensi transendental dalam hidup manusia. Berbeda dengan pandangan Marx, kalangan spiritualis melihat problem aleniasi manusia yang paling mendasar bukan pada kondisi dimana kelas pekerja dihisap tenaganya untuk mengakumulasi nilai lebih, tapi disebabkan oleh hilangnya jangkar kehidupan yakni “Allah”.[2]

Pemikiran filsafat dan sains modern yang mendasari peradaban modern, menurut Frithjof Schuon, salah seorang juru bicara perenialisme terkemuka, telah terlepas dari philosophia perrenis (filsafat keabadian).[3] Maka tugas dari filsafat perenialisme atau katakanlah tasawuf hari ini adalah mengembalikan hubungan harmoni antara Yang Suci (Sacred) dan Yang Sekular (Profan) yang telah diluluhlantakkan oleh rasionalisme dan materialism modern.

Kritik yang diajukan kalangan perenialis, sebagaimana intelektual Islam lainnya, berangkat dari kegagalan memahami filsafat materialisme yang berakar pada pemikiran Epikurus, dan puncaknya pada materialisme Marx, dengan memandangnya melulu sebagai urusan pengejaran materi berupa kekayaan. Mereka menuding filsafat materialisme sebagai biang yang memotivasi manusia hanya untuk berburu kekayaan sehingga melakukan penindasan. Dengan kata lain, materialisme direduksi sebagai paham yang memuja materi atau benda-benda dan kekayaan. Dengan cara ini mereka memasukkan kapitalisme dan sosialisme ke dalam satu kotak: ‘perusak dunia’. Alih-alih menggali asal usul penghisapan dari situasi objektif mode of production kapitalisme, mereka justru makin mengaburkan persoalan fundamental dari mata rantai penghisapan. Persis seperti mengharapkan tatanan sosial berubah dengan sendirinya setelah para kaum borjuis bertaubat dengan tetap mengakumulasi kapital dengan menghisap kelas pekerja asal tidak melampaui batas, atau berharap kaum borjuis berkenan untuk menyerahkan alat produksinya dan beralih menggilai Allah dengan hidup sederhana ala petapa.

Dalam kesempatan kali ini, kita tidak akan mengulas secara fundamental hal ihwal filsafat materialisme dan menunjukkan kekeliruan para pengkritiknya—atau lebih tepatnya olok-olok terhadapnya—seperti diidap banyak intelektual, yang memulai kritiknya dengan selalu mendikotomikan antara yang transenden dan yang profan, antara yang abadi dan tidak abadi, antara yang suci dan yang tidak suci, antara yang Ilahiah dan yang insaniyah, yang menegasikan satu dengan lainnya. Namun terlepas dari kekeliruan tersebut, perenialisme atau spiritualisme dengan watak teologisnya yang inklusif, melalui agendanya dalam mencari titik temu antar agama di dunia pada asal mula kebenaran yakni Allah[4], memberi peluang bagi perdamaian atau setidaknya mengeliminasi puritanisme bergama yang berujung pada pertikaian antar agama. Gagasan pencarian titik temu agama-agama yang diusung para perenialis mendapatkan pondasinya dari gagasan al-Hallaj mengenai Wahdat al-Adyan (penyatuan agama-agama). Gagasannya yang dianggap berbahaya dan menyesatkan dan mendapat tuduhan terlibat dalam gerakan politik syiah Qaramithah yang merupakan musuh khalifah al-Muqtadir Billah yang sunni,[5] yang akhirnya mengantarkannya ke dalam penjara dan diekskusi dengan keji. Bagi al-Hallaj Allah itu unik, satu dan sendiri,[6] yang bisa didekati melalui beragam cara, dan tak pernah bisa ditangkap secara tunggal. Maka tiap definisi atas Allah dilihatnya sebagai sesuatu yang sia-sia dan tak ada gunanya.[7]

 

2. Level Gerakan: Pengalaman Kolonial dan Pasca Kolonial di Indonesia

Pada masa kolonial Hindia Belanda dan revolusi Indonesia, tak bisa dipungkiri, tarekat,[8] sebagai sebuah gerakan sosial, telah mengambil peranan penting dalam berbagai episode perlawanan rakyat.

Seperti diulas Martin Van Bruinessen, banyak pemuda yang siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam yang dipimpin oleh para guru tarekat. Di Sukabumi, misalnya, kiai Ahmad Sanusi seorang guru tarekat yang sangat terkenal dengan kekebalannya, banyak membai’at para pemuda yang ikut aktif dalam revolusi yang datang kepadanya. Begitu pula dengan cerita di Banten, seorang kiai Abdurrahim Maja, seorang guru debus yang memimpin laskar Sabilillah, banyak didatangi oleh pemuda yang turut dalam revolusi, meski sang kiai pada akhirnya gugur dalam pertempuan di Tangerang.[9] Dan cerita-cerita serupa yang banyak kita temukan dalam banyak catatan sejarah perlawanan rakyat di bumi Nusantara.

Namun pada masa pasca kolonial, ordo-ordo tarekat yang dipimpin oleh para guru mursyid dengan ribuan jamaahnya telah kehilangan elan progresifnya, dan hanya berfungsi, tak lebih sebagai “Gudang Suara” politik oligarki. Bahkan di era Orde Baru, beberapa kalangan guru tarekat memberi dukungan terbuka pada pemerintahan Suharto yang berlangsung secara korup dan lalim. Telah menjadi rahasia umum, sebagai imbalan atas loyalitas dan dukungannya pada pemerintahan Suharto, guru tarekat akan mendapat berbagai fasilitas dari pihak penguasa, baik berupa pamor politik maupun sumbangan besar finansial bagi berlangsungnya organisasi atau pesantren yang dipimpinnya.

Salah sebuah skandal besar dalam sejarah tarekat di Indonesia adalah keterlibatan tokoh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jombang, Musta’in Romli yang menyatakan secara terbuka dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa 1970-an. Posisinya segera saja menimbulkan reaksi keras dari kiai-kiai lainnya, khususnya dari Pesantren Tebuireng yang dimotori oleh salah seorang guru seniornya, Adlan Aly, yang mengambil posisi oposisi dari pemerintahan Suharto. Bahkan terhadap posisi Musta’in, para kiai memberinya label sebagai pengkhianat NU yang waktu itu menyerukan kembali kepada khittah.[10]

Meski demikian, Musta’in bukanlah orang pertama dalam tarekat yang turut dalam permainan politik di Indonesia, bahkan menjadi penyokong Orde Baru. Pada masa awal kemerdekaan, seorang guru tarekat bernama Jalaluddin dari Bukittinggi yang mendirikan Partai Politik Taraket Indonesia yang disingkat PPTI, menjadi pendukung setia Bung Karno. Nanti pada tahun 1961, partai tarekat pertama dalam sejarah Indonesia modern ini, untuk mengikuti tuntutan keadaan, mengubah statusnya menjadi ormas bernama ‘Persatuan Pembela Tarekat Islam.’ Yang menarik adalah, setelah kejatuhan Sukarno, Jalaluddin dan PPTI masuk Golkar dan menjadi pendukung setianya. Pada tahun 1971, Ia menganjurkan seluruh simpatisannya atau jamaahnya memilih partai Golkar, yang sekaligus menandai PPTI sebagai underbouw Golkar untuk tarekat. Mungkin karena terlampau kaburnya posisi antara yang menunggangi dan yang ditunggangi dalam hubungan Golkar dan PPTI, sehingga PPTI lebih dikenal sebagai organisasi Golkar untuk tarekat ketimbang organisasi tarekat yang mendukung Golkar.[11]

Terdapat catatan menarik mengenai perebutan pengaruh di tubuh Golkar, antara PPTI pimpinan Jalaluddin, dan JATMI, organisasi tarekat pimpinan Musta’ain Romli yang juga loyalis Golkar. Untuk mengisi kekosongan kharismatik Musta’in, setelah wafatnya pada 1984, janda Musta’in yang terkenal sebagai ahli strategi mencoba melakukan berbagai upaya agar JATMI diakui sebagai komponen resmi Golkar, namun terhalang oleh PPTI yang lebih dulu menjadi organ resmi Golkar untuk urusan tarekat.[12]

Kalau kita cermati, cerita heroik perlawanan tarekat umumnya hanya terjadi di masa kolonial dan menjelang revolusi Indonesia dan tidak berlangsung di masa pasca kolonial ketika Indonesia secara politik merdeka. Tentu saja terdapat beberapa argumen yang bisa dengan mudah menjelaskan kenapa kondisi itu bisa terjadi. Pertama, sebagaimana temuan Bruinessen, sejak semula tarekat tidak mengambil posisi sebagai inisiator gerakan perlawanan, kecuali hanya dalam beberapa kasus minor. Bisa jadi kondisi ini tak hanya spesifik pengalaman di Indonesia, tapi secara universal di belahan dunia Islam lainnya. Kedua, kaum tarekat melakukan perlawanan terhadap penjajah karena memandang kolonialisme Belanda sebagai pemerintahan kafir, yang akan berbeda sikapnya pada pemerintahan yang dianggap Islam (baca: dipimpin orang Islam), dimana tarekat cenderung akomodatif. Bahkan pihak yang menyokong Orde Baru seperti Musta’in berargumen bahwa sufisme harus mengambil peran dalam pembangunan Orde Baru dengan memberi perimbangan pembangunan material dengan pembangunan spiritual. Ini menandakan satu hal, bisa jadi seandainya para penjajah adalah kaum muslim tak akan ada perlawanan sebagaimana terjadi pada pemerintahan Orde Baru, kalangan tarekat mengambil pendekatan akomodatif bahkan kolaboratif terhadap kekuasaan.[13] Ketiga, meski memiliki tendensi politis, tarekat bukanlah suatu gerakan perlawanan berbasis analisis kelas. perlawanan tarekat, kalaupun bisa dianggap demikian, adalah perlawanan di tingkat kultural yang biasanya menjadi oposisi kekuasaaan dengan mengajukan kritik moral pada berlangsungnya kekuasaan yang korup dan kejam. Para sufi memilih mengasingkan diri dengan berkhalwat, yang secara tak langsung berfungsi sebagai kritik terhadap penguasa yang dikritiknya, ketimbang membangun perlawanan fisik secara terbuka. Keempat, bisa jadi, penjelasannya tidak terletak pada kondisi empiris sebagaimana dimuka, tapi memang terdapat limitasi teoritik yang memungkinkan tarekat sebagai sebuah gerakan untuk cenderung akomodatif dan kolaboratif dengan kekuasaan, yang artinya kondisi aksiologis seperti demikian didetermasi oleh kondisi ontologisnya. Namun ini masih memerlukan telaah lebih jauh untuk membuktikannya.

 

Penutup

Dalam perdebatan teologis, kalangan modernis dan gerakan puritan Islam menolak tasawuf sebagai bagian integral dalam Islam dengan berpijak pada sebuah hadis: “la rahbaniyyata fi al-Islam” yang berarti tiada kerahiban dalam Islam. Terlepas dari sahih tidaknya hadis yang diperkirakan muncul pada abad ketiga hijriyah tersebut, setidaknya kalangan penolak tasawuf menjadikan hadis tersebut sebagai penguat tafsir ayat 27 surat al-Hadid yang menyinggung masalah kerahiban, dan bahkan mengharamkannya. Meski tak ada bukti secara langsung bahwa Nabi Muhammad pernah mencetak para sufi di kalangan masyarakat muslim, namun setidaknya ada dua sahabat Nabi yang dianggap sebagai sufi yakni Abu Dzar al-Ghifari, dan Hudzaifah. Bahkan nama yang pertama, Abu Dzar, telah ditahbiskan sebagai simbol perlawanan oleh seorang pemikir revolusi Iran, Ali Syari’ati. Abu Dzar, bagi Syari’ati merupakan sosok ideal seorang muslim yang hidup secara sederhana dengan menjadi zahid sekaligus berani teriak lantang menentang keserakahan dan kelaliman. Dalam catatan sejarah, Ia dikenal sebagai seseorang yang paling berani mengkritik dan menentang kekuasaan keluarga Muawiyah bin Abi Sofyan.

Akar dari penolakan kalangan modernis dan gerakan puritan Islam telah ada sejak lama. Ibnu Hambal, misalnya, menganggap tasawuf sebagai gerakan yang mengacaukan pikiran yang mengakibatkan kaum muslim lebih memilih berkhalwat atau berkasih ria dengan Allah ketimbang beribadah secara lahir.[14] Sedangkan, kaum Mu’tazilah dan Zahiriyah menganggap ajaran Isyq (kerinduan atau cinta) secara teoritik sama dengan tasybih (berimajinasi tentang Allah) yang berbahaya bagi iman kaum muslim.

Terlepas dari semua perdebatan sah atau tidaknya tasawuf dalam Islam, bila kita merujuk pada makna literal tasawuf yang berasal dari bahasa arab, al-Tashawwuf yang merupakan masdar (kata kerja yang dibendakan) dari fi’il khumasi (kata kerja dengan lima huruf dasar yakni: tashawwafa) yang dibentuk dari kata shawwafa yang berarti memakai wol, yang dari kata tersebut lahirlah sebutan sufi untuk orang Islam yang menjalani kehidupan sufistik dengan tidak kemaruk dengan dunia dengan mencukupkan diri hanya pada Allah, atau ketika kita merujuk kata sufi yang merupakan musytaq (bentuk derivatif) dari kata shafiyyun yang berarti bersih,[15] maka sesungguhnya tasawuf dan kehidupan para sufi selaras dengan visi Marxisme dan Sosialisme untuk lebih mengutamakan nilai guna ketimbang nilai lebih dengan mengakumulasi kapital. Namun untuk menggenapi pembebasan yang dilakukan, maka tak lagi memadai pembebasan mental ala tarekat yang tak mengubah apa-apa dari kondisi ketimpangan dan penghisapan yang diakibatkan oleh kapitalisme. Artinya tak ada yang bisa disebut sebagai pembebasan selama rakyat tidak mendapatkan hidup yang layak dan setara. Tak ada pembebasan selama rakyat masih dibiarkan melarat sedangkan para tokoh tarekat hidup dengan penuh kemewahan harta—sembari berkolaborasi dengan para oligarki dan borjuis— yang seringkali bersembunyi dibalik frase ‘zuhud batiniyah’ sebagai pembenarannya, yaitu argumen yang menyatakan bahwa meski badannya bertaburan harta benda namun hatinya tetap tertuju pada Allah.[16]

Setidaknya, dengan melucuti beberapa hal yang selama ini menjadi residu dalam spiritualisme Islam, seperti elitisme yang termanifestasi dalam kepatuhan pada guru murysid tanpa syarat, merekonsruksi konsepsi kewalian yang lebih kompatibel dengan akal sehat dan lebih manusiawi (manusia yang menyejarah). Dengan jalan ini, tarekat bisa diselamatkan dari kebangkrutannya dari kubangan lumpur feodalisme yang anti egalitarianisme yang memposisikan guru mursyid sebagai pusat kebenaran atas semua hal. Konsekuensi dari pelucutan ini adalah lahirnya tarekat yang sama sekali baru baik dalam definisi dan gerakannya. Gerakan tarekat tak lagi akan terpaku pada idola seperti mursyid, tapi pada nilai. Bahkan lebih jauh perlu dilakukan redefinisi pengertian spiritualisme yang bisa diuji dengan ketat secara publik dan tidak lagi menjadi ruang gelap nan misterius yang absurd yang hanya digenggam oleh satu dua tangan manusia. Jika tidak, gerakan tarekat, hanya akan menjadi komoditas politik para elitnya untuk mendulang banyak keuntungan sebagaimana seringkali terjadi.

Alhasil, melalui pelucutan elemen-elemen destruktif dalam tarekat, kelak bisa kita harapkan akan lahir spiritualisme materialis nan revolusioner, yang tak sekadar mengajak kaum protelar bersabar dalam kemiskinan dan menjadi objek penderita, tapi menjadikannya sebagai subjek sejarah, melalui perjuangan kolektif manusia tertindas melawan penghisapan dan perusakan alam. Merekalah yang selanjutnya akan mengelola bumi dan kehidupan ini secara kolektif bersama pepohonan, dan hewan yang semuanya mempunyai posisi penting bagi kelangsungan hidup, yang terdapat dalam konsepsi materialis Marx terhadap alam, yang pada hakikatnya juga bernilai spiritual. Bahkan kita berani berandai-andai, anak-anak kita nanti, pada suatu kehidupan yang cerah bisa mengakui “cacing sebagai waliyullah yang harus dimuliakan sebab telah membantu daur kehidupan di muka bumi, yang tanpanya kita semuanya musnah.”

Tulisan pendek ini hanyalah sebuah pembuka bagi berlangsungnya kajian lebih jauh atas tarekat dan spiritualiasme yang mengeram harapan akan lahirnya suatu spiritualisme yang lain, dan yang baru, yang lahir dari rahim materialisme dan kondisi objektif yang menjadi tantangan umat manusia kontemporer akan pentingnya kesetaraan dan kelestarian kehidupan. Dengan demikian, siapapun juga bisa menjadi spiritualis, pun seandainya tanpa terang ordo sufi dan agama, atau semua bisa membela spritualisme dengan jalan yang sama sekali lain, dengan tidak membiarkannya terus berada dalam kubangan lumpur kebekuan yang anti kritik. Artinya tarekat dan spiritualisme yang naif harus tetap dikritik tapi tidak dengan semangat purifikasi Islam sebagaimana selama ini mengemuka. Maka saya ingat pernah terlibat dalam sebuah perdebatan terbuka dengan seorang puritan Islam yang menolak spiritualisme dengan semangat penyucian Islam. karena saya selalu menganggap kritik semacam itu sebagai lelucon, saya pun menyanggahnya dengan kelakar riang gembira: ‘berbeda dengan mabuk harta, se-absurd, se-naif dan se-ilusif apapun mabuk Allah (yang konsekuen) tak akan menimbulkan masalah, karena tak ada penciptaan kondisi tertentu yang menghisap manusia lainnya, sehingga, kalaupun itu dianggap tindakan sia-sia, tak akan ada satu manusia pun yang dirugikan, selain hanya merugikan dirinya sendiri’. Wallahu’alam.***

 

———–

[1] Lihat misalnya dalam Komarudin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut Hossein Nasr, dalam M. Dawam Raharjo (Ed.), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 1987), hal. 183-209, atau karya-karya Hosein Nasr seperti Knowledge and the Sacred, dan Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man dll.

[2] Di Barat sendiri, kritik atas kehidupan peradaban Barat yang kehilangan spiritualitasnya bisa kita lihat dalam karya Rene Guenon, The Crisis of Modern World, dan Oswald Spengler dengan karyanya, The Decline of the West.

[3] Lih. Frithjof Schuon, Understanding Islam, (London: Unwin Paperbacks, 1981).

[4] Lihat misalnya, Frithjof Schuon, Mencari Titik temu Agama-Agama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Penerbit Pustaka Firdaus, 2003) atau Hazrat Inayat Khan, The Unity of Religious Ideals, (London: Barrie and Jenkins, 1974).

[5] Hamka, Tasawuf Perkembangan & Pemurniannya, (Jakarta: Panjimas, 1986), hal. 124.

[6] Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj, Mystic and Martyr of Islam, vol 3, (New Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 316. Dalam salah sebuah sajaknya ia menulis, “He is Allah the living. Allah is One, Unique, Alone and testified as One. Both the One and th profession of Unity of the One are in Him and from Him. From Him comes the distance that separates others fr om His Unity. The knowledge of tauhid is an autonomous abstract cognizance”. Al-Hallaj, The Thawasin, (Barkeley and London: Diwan Press, 1974), hal. 52-53.

[7] Opcit., Louis Massignon, hal. 317.

[8] Perlu saya ingatkan, yang kita tekankan di sini, ketika menyebut tarekat adalah sebagai ordo sufi serta peran sosialnya atau posisinya dalam gerakan sosial, daripada sebagai konsep spiritualisme Islam yang umumnya ditempatkan sebagai maqam atau tingkatan setelah syari’ah.

[9] Opcit., Martin van Bruinessen, hal. 468.

[10] Dukungan Mustain Romli pada Golkar dan Suharto menjadi awal mula perpecahan tarekat Qadiriyah wa Naqysabandiyah khususnya di Jombang. Sebagian besar khalifah (wakil mursyid) dan badal-nya (pengganti wakil mursyid) yang berpidah kiblat kepada Kiai Adlan Ali Cukir yang juga menjadi guru senior di pesantren Tebuireng Jombang. Sehingga pada pemilu 1977, dan 1982, gudang suara berupa jamaah tarekat tidak terjatuh pada partai berlambang beringin. Ibid., hal. 471.

[11] Ibid., hal. 472.

[12] Ibid., hal. 494.

[13] Ibid., hal. 192.

[14] Bahkan pengikutnya Ibn Hanbal seperti Abu Zur’ah menganggap tasawuf sebagai paham sempalan kaum zindiq.

[15] Sebagai sebuah kosa kata dalam tradisi Islam, al-Shufi, sudah dipergunakan sejak abad VIII M, ketika dipergunakan oleh Jabir bin Hayyan, seorang ahli kimia dari Kufah bermadzab Syi’ah yang memilih hidup zuhud.

[16] “Pembebasan”, sebagaimana dikatakan Marx dan Engels, “adalah tindakan historis, bukanlah tindakan mental, dan terjadi dalam kondisi-kondisi historis, yakni pada tataran industri, perdagangan, pertanian, hubungan (sosial dan produksi), …” Karl Marx & Frederick Engels, The German Ideology, (Moscow: Progress Publishers, 1976), hal. 44.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.