APA sih yang bikin beda ilmu dan opini? Bukankah keduanya sama-sama produk wicara tentang realitas hal-ihwal?
Perlu kiranya kita bedakan dulu antara pikiran orang tentang realitas dan realitas itu sendiri, karena tidak semua yang orang pikirkan persis sama dengan realitas yang dipikirkan itu. Meski ilmu dan opini itu sama-sama buah pikiran, tapi keduanya patut dibedakan.
Sebagai permulaan bolehlah kita sebut opini itu buah pikiran bersahaja, buah dari kesan-kesan indrawi atas realitas. Sementara ilmu ialah buah pikiran lebih pelik karena selain menyertakan kesan-kesan indrawi, juga bahwa kesan-kesan itu diperoleh dengan cara yang sistematis, terukur, dan melibatkan mata batin untuk tidak sekadar pasrah kepada godaan kesan-kesan itu. Jadi, boleh dikata antara opini dan ilmu hanya ada beda taraf saja. Meski begitu, beda taraf itu krusial karena di situ jarak antara buah pikiran dan realitas dipertaruhkan dan dengan demikian pula soal kebenaran.
Di antara orang yang suka minum minuman beralkohol, misalnya, ada semacam kepercayaan bahwa minuman itu bisa bikin tubuh kita hangat. Selewat takaran tertentunya malah memungkinkan kita buka jaket di tengah malam yang dingin. Orang yang belum pernah minum minuman beralkohol dan baru kali pertama juga melihat peminum buka jaket di tengah malam dingin, bisa jadi percaya bahwa alkohol memang membuat tubuh kita hangat. Bisa jadi si peminum juga akan meyakinkan dengan tambahan perkataan bahwa memang betul begitu adanya, tubuhnya jauh lebih hangat setelah minum minuman beralkohol. Ini kebenaran sosial karena tidak hanya diyakini si peminum tapi juga dibagi baik di antara para anggota sarekat peminum alkohol tengah malam, maupun oleh mereka yang melihat anggota sarekat itu di tengah malam dingin buka jaket tanpa menggigil kedinginan.
Akan tetapi, seberapa dekatkah keyakinan itu dengan realitas? Jauh sekali. Fakta sesungguhnya, fakta yang melampaui cerapan indrawi para anggota sarekat, ialah bahwa alkohol sama sekali tidak membuat tubuh peminumnya lebih hangat. Justru sebaliknya yang terjadi, suhu tubuh si peminum akan menyusut. Sampai taraf tertentu malah menyamai suhu ruang. Apa buktinya? Kalau tidak percaya, coba tanya saja kepada alat yang tak berpikiran, tak berperasaan, dan tak pernah berpihak kepada partai dan ideologi apapun: termometer. Lalu, mengapa si peminum anggota sarekat itu merasakan tubuhnya lebih hangat setelah minum alkohol? Kok bisa dia buka jaket di tengah malam yang dingin tanpa menggigil? Kalau betul termometer yang tak berideologi itu menunjukkan justru suhu tubuh si peminum itu mendingin, bagaimana kita menjelaskan perasaan hangat itu?
Ada miliaran syaraf di kulit manusia. Sekian ratus ribunya ialah yang berfungsi untuk menangkap gelagat suhu luar. Syaraf-syaraf di gerbang kompleks ini berperan sebagai satpam yang terus-menerus melaporkan ke syaraf pusat di otak ihwal fakta bahwa udara dingin telah menyusup. Gigil dan mengkeretnya tubuh adalah perintah otak ketika syaraf-syaraf penangkap dingin di kulit menangkap fakta adanya terpaan angin dingin dan segera melaporkannya ke pusat syaraf. Ketika seseorang meminum minuman beralkohol, satpam-satpam indrawi di gerbang kulit itu secara bertahap mulai ketiduran dan pudar daya waspadanya. Akibatnya, ketika suhu tubuh susut karena terpaan angin dingin dari luar, tak ada warta yang bisa sampai ke pusat syaraf di otak yang, pada saat normal, warta itu akan berujung perintah otak kepada seluruh organ dan jaringan untuk menjalankan program penghangatan tubuh berupa gigilan supaya ada panas yang tercipta dan mengkeretnya otot serta kulit supaya agregat ruang terbuka yang diterpa dingin mengecil. Karena alkohol bikin syaraf pencerap dingin ketiduran, akibatnya si peminum merasa tubuhnya lebih hangat padahal kenyataannya justru sebaliknya, suhu tubuhnya menurun.
Di dalam kasus tubuh hangat karena minum alkohol, buah pikiran orang per orang yang hanya bertopang pada cerapan indrawi dan perasaan saja, tidak hanya beda dari realitas tapi juga sampai ke simpulan yang bertentangan dengannya. Di sini pula ilmu tak hanya mengajarkan kita bahwa hakikat hal-ihwal bisa berkebalikan dari apa yang kita pikir atau rasa atau, kalau saya boleh pakai istilah filsafat, dari dunia fenomenal yang menampak ke benak kita lewat panca indra, tapi juga bisa menjelaskan dengan ‘dingin’ mengapa hakikat realitas itu punya bentuk tampakan yang ialah kebalikannya.
Kalau urusan kebenaran ilmu dan opini cuma sebatas lebih dingin atau justru lebih hangatkah tubuh kita setelah meminum minuman beralkohol, pertentangan keduanya tak akan begitu terasa. Si peminum tak akan begitu menggebu untuk membunuh si ilmuwan yang memberi tahu bahwa tubuhnya justru akan mendingin ketika minum alkohol. Si ilmuwan juga tidak akan kena hukuman apa-apa ketika di medsos dia mencuit kebenaran temuan ilmiahnya. Sarekat peminum alkohol tak akan ke polisi mengajukan tuduhan penistaan keyakinan kepada ilmuwan, mengerahkan ribuan orang dari front pembela keyakinan tubuh menghangat setelah minum untuk mendemo si ilmuwan, dan sebagainya. Tapi kalau titik yang di situ ilmu dan opini bertentangan menyertakan juga soal identitas dan kemapanan sosial, seringkali di situlah benturan mematikan terjadi.
Sebetulnya, sejak muncul di dalam peradaban manusia, ilmu, atau lebih tepatnya metode penyelidikan ilmiah, seringkali tak cuma bersitegang dengan opini umum dalam soal yang saat ini kelihatan sepele. Seringkali perjumpaannya malah mematikan. Bahkan boleh dikata metode ilmiah hadir lebih sebagai perlawanan terhadap opini umum ketimbang sebagai kelanjutannya. Metode ilmiah bukan konsekuensi logis dari metode opini. Alih-alih, ilmu ialah antitesisnya. Sementara ilmu memperpendek jarak antara buah pikiran dan realitas dengan jalan yang panjang, opini justru memperpanjang jarak keduanya dengan jalan yang pendek. Karena ilmu dan opini senantiasa ada di dalam ruang sosial tertentu, dan ruang-ruang itu bukanlah ruang hampa tanpa kepentingan politik dan ekonomi, tapi senantiasa medan pertarungannya, maka perjuangan ilmu tak pernah sepi dari tindasan ketika melawan opini umum.
Membikin pendek jarak pikiran dan realitas bukanlah perkara gampang. Apa pasal? Selain keterbatasan indrawi, pikiran manusia juga sudah sejak dini terselubung rajutan benang laba-laba yang bahannya tersusun baik atas jutaan opini dari masa-masa sebelumnya yang terbawa lewat tradisi maupun atas gempuran opini semasa. Coba kita periksa dampak keterbatasan indrawi kita terhadap buah pikiran yang dihasilkannya. Sejak nenek moyang manusia berkeliaran di Afrika ratusan ribu silam, mereka melihat bahwa mataharilah yang mengitari bumi karena mata kita memang secara kasat melihat matahari terbit di cakrawala timur dan terbenam di barat. Butuh masa ratusan ribu tahun untuk membalik opini itu dan menyatakan sebaliknya bahwa bukan matahari tapi bumi tempat yang kita pijaklah yang mengitari matahari. Realitas bahwa bumi mengitari matahari jauh panggang bagi pikiran manusia sebelum ilmu mendekatkannya. Bahkan ketika metode ilmiah sudah mendekatkannya, nasib pendekatan ini tak serta-merta bisa diterima sebagai opini. Butuh ratusan nyawa dan berlaksa nestapa di sisi orang berilmu untuk sampai ke lazimnya kebenaran bahwa mataharilah yang mengitari bumi, bukan sebaliknya. Tak perlu kiranya di sini penulis sampaikan kisah tentang nasib Perpustakaan Aleksandria beserta para ilmuwan di dalamnya saat kebangkitan Kristen di ketiak peradaban Romawi, atau kisah Inquisisi terhadap orang-orang macam Galileo dan kawan-kawan. Apa pasal? Karena melepas benang-benang opini-opini mati yang memberat lewat tradisi (dan organisasi juga saya kira) dan membelit pikiran manusia itu sulitnya bukan kepalang. Ketika opini sudah membatu menjadi dogma dan dogma sudah dianggap sebagai realitas itu sendiri sehingga tampak azali, ketika itu pula segala upaya mempertanyakan opini sama dengan mempertanyakan kebenaran azali.
Opini juga seringkali sangat berbahaya. Contohnya ialah opini bahwa alkohol bikin tubuh kita lebih hangat. Kalau kita berlama-lama di tempat dingin tanpa merasakan bahwa tubuh kita dingin karena minum alkohol, bahkan kita merasa gerah lalu membuka semua pakaian, kita bisa mati karena hipotermia. Lebih parahnya lagi, otak dari tubuh yang sedang diserang hipotermia itu, alih-alih membunyikan sirine tanda bahaya dan memerintahkan tubuh untuk segera menemukan sumber penghangat dari luar, justru menciptakan halusinasi yang indah-indah dan membuat kita terlena di dalam kedinginan mematikan. Reaksi kimia otak yang terserang hipotermia akan membuat kita membayangkan taman hijau berangin sepoi dengan gemericik air sungai di kejauhan, kupu-kupu ungu dengan kepak yang lamban, pancaran sinar hangat dari atas kepala, lambaian mantan berbaju pengatin di cakrawala, atau laporan royalti buku, dan sebagainya. Akhirnya, meskipun kita ‘bahagia’ karena halusinasi akibat hipotermia itu, tubuh kita akan mati. Dan itu artinya kita tidak bisa menyelesaikan Buku Kedua tentang Rosa Luxemburg yang sudah direncanakan akan beres sebelum akhir tahun ini.
Salah satu opini umum berbahaya yang sudah nyaris menjadi dogma saat ini ialah opini tentang kapitalisme yang oleh aparatus-aparatus ideologisnya terus-menerus digambarkan sebagai sistem yang akan menghangatkan tubuh sosial kita apabila kita menenggak ramuan-ramuannya. Dan satu-satunya ilmu yang bisa menyadarkan kita bahwa kapitalisme itu alih-alih bikin tubuh hangat justru mendinginkannya adalah kritik ekonomi politik. Tapi, jalan ilmu bukanlah jalan pendek nan damai. Jalan ilmu itu, kata Marx, terjal dan berliku. Hanya mereka yang punya keberanian dan kesabaran saja yang tak gentar oleh dakian-dakian meletihkan ke puncak bertabur cahayanya. Dengan ilmu itu setidaknya kita bisa menghindari kematian akibat hipotermia karena dinginnya terpaan kapital yang cuma peduli pada pelipatgandaan dirinya saja. Betapapun indahnya halusinasi itu, hipotermia tetap saja akan bikin kita mati, dan masyarakat yang mati tak layak untuk diperjuangkan.***