DALAM lima tulisan terakhir kita telah mendiskusikan perihal pergerakan benda-benda langit kasat mata dan mengenai filsafat Aristoteles yang mendasari model geosentris. Dari pengamatan-pengamatan benda-benda langit tersebut, terdapat kesan bahwa seluruh benda langit bergerak mengitari Bumi, dan bahwa pergerakan benda-benda langit dapat dimodelkan dengan baik menggunakan gerak melingkar beraturan. Ketika memodelkan gerak balik planet-planet, model geosentris harus berkompromi dengan menggunakan pergerakan lingkaran-dalam-lingkaran (lebih jelasnya dapat dibaca pada bagian ke-5). Karena itulah, model geosentris mampu menghitung posisi planet-planet di masa lalu dan masa depan1Namun demikian model ini tidak sepenuhnya bekerja. Secara periodik, model ini harus disesuaikan dengan keadaan saat itu, agar keakuratannya terjaga.. Selama kurang lebih satu milenium (10 abad atau seribu tahun), model geosentris menjadi paradigma ilmu pengetahuan yang dominan di Eropa dan Timur Tengah.
Aristarkhus dari Samos
Alternatif dari model geosentris, yaitu model heliosentris, telah dikemukakan semenjak jauh-jauh hari ketika model geosentris dikembangkan oleh filsuf-filsuf Yunani kuno. Model heliosentris menganggap bahwa Bumi-lah yang mengitari Matahari, dan demikian juga planet-planet kasat mata turut mengitari Matahari.
Jauh sebelum astronom Polandia Nikolaus Kopernikus2Nama Kopernikus dalam Bahasa Polandia adalah Mikołaj Kopernik. Nikolaus Kopernikus adalah namanya dalam Bahasa Latin., sekitar 18 abad sebelumnya, seorang astronom Yunani kuno telah mengemukakan ide mengenai model heliosentris. Aristarkhus dari Samos, hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi, adalah orang pertama yang diketahui mengusulkan bahwa Bumi dan planet-planet bergerak mengitari Matahari, dan juga bahwa Matahari sesungguhnya adalah bintang juga.
Tidak banyak yang diketahui mengenai Aristarkhus, karya-karyanya tidak ada yang selamat ke jaman kita. Kita mengetahui Aristarkhus dari tulisan-tulisan orang lain yang membahas karyanya. Seorang fisikawan, matematikawan, dan insinyur Yunani kuno, Arkhimedes (di sekolah kita mengenal namanya dari Hukum Arkhimedes), menulis sebuah buku berjudul Sang Penghitung Pasir. Dalam buku tersebut nama Aristarkhus disebut sebagai pengusul ide heliosentrisme:
Aristarkhus menulis sebuah buku yang berisi beberapa hipotesis… bahwa bintang-bintang dan Matahari tetap diam, sementara Bumi berevolusi mengitari Matahari sepanjang keliling sebuah lingkaran.
Model heliosentris menyelesaikan persoalan gerak balik planet-planet
Dengan menempatkan Matahari sebagai pusat gerakan planet-planet (termasuk juga Bumi), maka persoalan gerak balik planet-planet yang telah kita diskusikan pada bagian sebelumnya menjadi terselesaikan dengan sendirinya. Kita tidak butuh lagi episiklus-episiklus untuk memodelkan pergerakan planet-planet. Dalam model heliosentris, gerak balik tidak lain adalah konsekuensi dari kombinasi gerakan planet dan gerakan Bumi.
Sebagai ilustrasi, marilah kita lihat Gambar 1. Pada gambar ini, titik-titik biru menandai posisi Bumi pada selang waktu tertentu, sementara titik-titik oranye menandai posisi Mars pada selang waktu yang sama. Di ujung kanan kita dapat melihat bagaimana Mars bergerak apabila diamati dari Bumi. Karena Mars bergerak lebih lambat daripada Bumi3Ini bisa kita ketahui dari pengamatan pergerakan planet-planet. Mars butuh waktu 686.980 hari untuk bergerak satu orbit penuh, sementara Bumi butuh waktu 365.256 hari. Karena lintasan orbit Mars lebih besar dari Bumi (jari-jari orbit Mars sekitar 1.5 kali lebih besar daripada Bumi), kita bisa hitung dan simpulkan bahwa Mars bergerak lebih lambat daripada Bumi., maka pada suatu saat Bumi dapat bergerak “menyusul” Mars dan oleh karena itu, apabila dilihat dari Bumi, Mars terlihat bergerak “mundur”. Inilah yang kita amati di Bumi sebagai gerak balik.
Fenomena gerak balik tidak hanya diamati pada gerakan-gerakan “planet-planet luar” (istilah untuk planet-planet yang jaraknya dari Matahari lebih besar daripada jarak Bumi dari Matahari) seperti Mars, Jupiter, dan Saturnus, tetapi juga pada gerakan “planet-planet dalam” seperti Merkurius dan Venus. Video dari Vox berikut ini menjelaskan dengan baik sekali mengenai gerak balik Merkurius:
Paralaks bintang adalah konsekuensi dari model heliosentris
Salah satu konsekuensi dari pergerakan Bumi mengitari Matahari adalah adanya paralaks bintang, yaitu perubahan posisi bintang-bintang secara berkala, apabila posisinya diukur relatif terhadap bintang-bintang yang lebih jauh (dinamakan juga bintang-bintang latar). Ilustrasi paralaks bintang dapat dilihat pada Gambar 2. Apabila kita di Bumi (lingkaran biru) secara berkala mengukur posisi suatu bintang (lingkaran kuning, kita namakan saja bintang ini sebagai bintang program) relatif terhadap bintang-bintang latar4Bintang-bintang yang jaraknya lebih jauh ini pergerakannya amat sangat kecil dan dengan demikian dapat dianggap posisinya tetap., maka kita akan dapat mengamati perubahan posisi bintang program relatif terhadap bintang-bintang latar.
Paralaks tidak hanya diamati pada bintang-bintang, tetapi sesungguhnya adalah fenomena biasa apabila kita mengamati suatu benda dari posisi berbeda. Contoh lain dari paralaks adalah apabila kita mengamati suatu benda hanya dengan mata kiri, lalu hanya dengan mata kanan (Gambar 3). Cobalah Anda amati jari telunjuk Anda hanya dengan mata kiri, dan selanjutnya hanya dengan mata kanan (tanpa mengubah posisi jari). Bandingkan posisi jari telunjuk Anda relatif terhadap benda-benda yang lebih jauh di latar belakang. Relatif terhadap benda-benda latar, posisi jari akan berubah. Ini karena ada jarak antara kedua mata kita.
Akan tetapi, astronom-astronom pada masa Aristarkhus dan sesudahnya tidak mengamati adanya paralaks bintang. Aristarkhus berargumen, bintang-bintang pastilah begitu jauh jaraknya sehingga sudut paralaks tidak bisa diamati oleh peralatan yang ada pada jaman itu. Konsekuensinya, menurut Aristarkhus, bintang-bintang yang kita amati itu pada dasarnya adalah Matahari-Matahari lain, namun karena jaraknya begitu jauh maka sinarnya amat sangat redup dibandingkan sinar Matahari.
Spekulasi Aristarkhus ini sesungguhnya amat tepat karena sesuai dengan pengamatan modern, akan tetapi pada masa itu tidak ada cara untuk dapat membuktikan spekulasi ini. Ketiadaan paralaks bintang membuat posisi para pendukung model heliosentris menjadi sangat lemah dan menjadi penyebab model ini tidak banyak diterima oleh banyak orang-orang terpelajar.
Mengukur paralaks bintang: Dari kuadran hingga satelit astrometri
Mengukur paralaks bintang dengan demikian menjadi tantangan besar para astronom dari jaman ke jaman. Motivasi untuk mengukur paralaks bintang bukan hanya sebagai bukti bahwa Bumi bergerak mengitari Matahari, tetapi terutama karena besarnya sudut paralaks suatu bintang berhubungan dengan jarak bintang tersebut. Dengan mengetahui sudut paralaks sebuah bintang, maka jarak bintang tersebut dapat diperkirakan. Di dalam astronomi, mengetahui jarak bintang amat penting, karena dengan demikian kita dapat mengetahui seberapa terang sesungguhnya bintang-bintang5Terangnya bintang-bintang bergantung pada kecerlangan sesungguhnya bintang-bintang tersebut, dan juga pada jaraknya. Bintang yang amat sangat terang akan nampak redup apabila jaraknya jauh, sementara bintang yang redup dapat nampak terang apabila jaraknya dekat., dan apabila kita mengetahui kecerlangan sesungguhnya bintang-bintang, banyak hal yang dapat dipelajari dari bintang-bintang tersebut.
Berbagai usaha dilakukan astronom dari berbagai jaman untuk mengukur paralaks bintang. Tycho Brahe (Gambar 4), astronom terbaik dari masa pra-teleskop (masa sebelum teleskop digunakan astronom untuk mempelajari benda-benda langit), gagal mengukur paralaks. Ini karena alat ukur yang digunakan Tycho Brahe masih kurang teliti untuk dapat mengukur sudut paralaks.
Seberapakah besarnya sudut paralaks bintang? Sudut paralaks bintang terdekat dari Matahari kita, Proxima Centauri, adalah 0.768 detik busur. Satu detik busur adalah sudut sebesar 1/3600 derajat6Sudut 1 derajat dapat dibagi ke dalam 60 menit busur, dan 1 menit busur dapat dibagi lagi ke dalam 60 detik busur. Jadi 1 derajat terdiri atas 3600 detik busur. Lebih lanjut, 1 detik busur dapat dibagi lagi ke dalam 1000 milidetik busur, 1 milidetik busur dibagi lagi ke dalam 1000 mikrodetik busur, dan seterusnya.. Semakin jauh suatu bintang, semakin kecil sudut paralaksnya. Bintang-bintang lain tentunya akan memiliki sudut paralaks yang lebih kecil lagi dari ini.
Baru pada abad ke-19, di tahun 1838, astronom mampu mengukur sudut paralaks suatu bintang. Friedrich Wilhelm Bessel (Gambar 5), astronom dan matematikawan Jerman, dengan menggunakan sebuah teleskop yang cukup modern untuk jaman itu, berhasil mengukur paralaks sebuah bintang bernama 61 Cygni. Bessel mengukur paralaks bintang tersebut adalah 0.314 detik busur, dan memperkirakan jaraknya adalah 10.3 tahun cahaya7Satu tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh seberkas cahaya selama satu tahun. Kecepatan cahaya adalah 300 000 kilometer per detik. Oleh karena itu, satu tahun cahaya adalah jarak sebesar sekitar 10 trilyun kilometer.. Hasil yang diperoleh Bessel tidak jauh dari pengukuran modern, yaitu 0.285 detik busur.
Hingga hari ini, astronom terus bekerja mengukur sudut paralaks bintang-bintang. Pengukuran sudut paralaks adalah bagian dari astrometri, yakni cabang astronomi yang dikhususkan pada pengukuran posisi bintang seakurat mungkin. Dengan mengukur posisi suatu bintang secara berkala selama bertahun-bertahun, astronom dapat mengukur tidak hanya sudut paralaks tetapi juga gerak bintang-bintang. Salah satu hambatan dalam pengukuran posisi bintang adalah gangguan oleh atmosfer Bumi, karena atmosfer Bumi dapat membiaskan cahaya bintang dan menyulitkan pengukuran, seraya membatasi ketelitian pengukuran. Salah satu cara untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan cara melakukan pengukuran di atas atmosfer Bumi, dengan menggunakan satelit. Di tahun 1989, satelit astrometri pertama, Hipparcos diluncurkan dan beroperasi selama empat tahun. Dari pengukuran selama empat tahun tersebut, Hipparcos berhasil mengukur paralaks sekitar 120 ribu bintang di sekitar Matahari kita, dengan ketelitian sekitar 1 milidetik busur, sekitar 30 kali lebih baik dari pengukuran Bessel. Ketika saya masih kuliah S1 di Jurusan Astronomi ITB di Bandung, skripsi saya menggunakan data paralaks Hipparcos
Pelanjut satelit Hipparcos adalah satelit Gaia (Gambar 6) yang diluncurkan pada bulan Desember 2013. Satelit Gaia diharapkan akan beroperasi minimal selama 5 tahun dan akan mengukur sudut paralaks sekitar 1 milyar bintang(!) di sekitar Matahari kita, dengan ketelitian hingga sekitar 10 mikrodetik busur, kurang lebih seratus kali lebih baik dari pengukuran Hipparcos. Pada bulan September 2016, data tahap pertama telah dirilis, terdiri antara lain atas sekitar 2 juta paralaks bintang. Selama empat tahun, antara tahun 2012–2016, saya adalah bagian dari misi Gaia, sebagai postdoc di Heidelberg, Jerman.
Ketika sudut paralaks pertama kali diukur oleh Bessel pada tahun 1838, model heliosentris telah lama diterima sebagai fakta ilmiah, menggantikan model geosentris. Adanya sudut paralaks bintang-bintang semakin menguatkan pandangan bahwa Bumi, beserta planet-planet lain, bergerak mengorbit Matahari. Fenomena-fenomena lain yang membuktikan model heliosentris akan kita bahas di bagian-bagian selanjutnya. (Bersambung)
Catatan kaki[+]
↑1 | Namun demikian model ini tidak sepenuhnya bekerja. Secara periodik, model ini harus disesuaikan dengan keadaan saat itu, agar keakuratannya terjaga. |
---|---|
↑2 | Nama Kopernikus dalam Bahasa Polandia adalah Mikołaj Kopernik. Nikolaus Kopernikus adalah namanya dalam Bahasa Latin. |
↑3 | Ini bisa kita ketahui dari pengamatan pergerakan planet-planet. Mars butuh waktu 686.980 hari untuk bergerak satu orbit penuh, sementara Bumi butuh waktu 365.256 hari. Karena lintasan orbit Mars lebih besar dari Bumi (jari-jari orbit Mars sekitar 1.5 kali lebih besar daripada Bumi), kita bisa hitung dan simpulkan bahwa Mars bergerak lebih lambat daripada Bumi. |
↑4 | Bintang-bintang yang jaraknya lebih jauh ini pergerakannya amat sangat kecil dan dengan demikian dapat dianggap posisinya tetap. |
↑5 | Terangnya bintang-bintang bergantung pada kecerlangan sesungguhnya bintang-bintang tersebut, dan juga pada jaraknya. Bintang yang amat sangat terang akan nampak redup apabila jaraknya jauh, sementara bintang yang redup dapat nampak terang apabila jaraknya dekat. |
↑6 | Sudut 1 derajat dapat dibagi ke dalam 60 menit busur, dan 1 menit busur dapat dibagi lagi ke dalam 60 detik busur. Jadi 1 derajat terdiri atas 3600 detik busur. Lebih lanjut, 1 detik busur dapat dibagi lagi ke dalam 1000 milidetik busur, 1 milidetik busur dibagi lagi ke dalam 1000 mikrodetik busur, dan seterusnya. |
↑7 | Satu tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh seberkas cahaya selama satu tahun. Kecepatan cahaya adalah 300 000 kilometer per detik. Oleh karena itu, satu tahun cahaya adalah jarak sebesar sekitar 10 trilyun kilometer. |