Pilihlah olehmu menjadi pihak yang kalah tetapi benar. Dan jangan sekali-kali engkau menjadi pemenang tetapi zalim. (Phytagoras)
jalan raya dilebarkan/ kami terusir/ mendirikan kampung/ digusur/ kami pindah-pindah/menempel di tembok-tembok/dicabut/ terbuang/ kami rumput/ butuh tanah/ dengar!/ ayo gabung ke kami/ biar mimpi jadi Presiden! (Wiji Thukul)
Sinuwun,
SAYA beranikan diri untuk menulis surat ini, bukan karena saya penulis tapi saya warga biasa. Tinggal di Jogja sudah begitu lama. Dari kuliah hingga berkeluarga. Tiap kali melalui jalan-jalan di Jogja, saya selalu punya kenangan yang beda. Di Bunderan, saya ingat, banyak aktivis mahasiswa demo melawan kekuasaan Orde Baru (orba). Kini mereka ada yang berkuasa dan pastinya yang lain sudah bekerja. Saya ingat di alun-alun depan keraton itu, Sinuwun berpidato dengan gagah menuntut reformasi, meminta Soeharto untuk turun tahta. Sungguh pada saat itu saya bangga punya raja yang pemberani. Memahami perjuangan mahasiswa kemudian menyatakannya dengan terbuka. Kami menari girang kemudian lompat ke sana sini saat Soeharto kemudian tumbang. Sinuwun hari itu tampak muda, bersinar dan penuh wibawa. Jujur saya kemudian bangga ketika Sinuwun duduk bersama para pendobrak tahta Orba: Gus Dur, Amien Rais lalu ibu Mega. Kala itu saya seakan berjanji akan menjadi pendukung Sinuwun selalu dan selamanya.
Sinuwun percaya bahwa tahta itu untuk rakyat. Begitulah yang pernah Sinuwun nyatakan saat Sinuwun mengganti ayahanda yang dikenal arif, bijak dan merakyat. Saya pernah dengar kisah ayahanda, Sultan Hamengkubuwono IX, yang membantu penjual beras di Beringhardjo. Mengangkat karung pedagang beras tanpa sungkan. Terukir kisah itu hingga kini yang membuat saya meyakini Raja itu pelindung rakyat kecil. Adalah Keraton-tempat kediaman Raja-yang dulu jadi tempat pelindung para pejuang. Keraton juga tak sudi takluk dengan penguasa kolonial. Sebab Keraton tahu penjajahan apapun bentuknya akan membawa petaka. Terutama bagi rakyat Jogja yang saat itu kebanyakan bekerja sebagai Petani. Petani yang telah setia pada Keraton dan selalu mematuhi semua titah Raja. Sinuwun pasti punya banyak kisah bagaimana ayahanda selalu memuliakan, melindungi serta membantu mereka. Petani diberi tanah oleh Raja hingga petani dapat tinggal di tanah Keraton. Hubungan Keraton dengan Petani bukan sekedar Raja dengan Kawula, tapi Raja yang melayani kawulonya.
Kini Sinuwun pasti melihat petanda kalau rakyat mulai hidup sulit. Saat mana banyak sawah lenyap dan ketika petani bukanlah mata pencarian yang bikin bangga. Sinuwun pasti tahu banyak sawah di Jogja beralih peruntukan: digunakan untuk pendirian pabrik, perumahan hingga wisata. Para petani itu mulai khawatir. Bukan hanya karena sawahnya yang makin mengecil tapi juga suasana desa yang menghilang. Makin banyak orang ribut hanya untuk perkara sederhana, kian sering orang curiga pada yang berbeda dan tak lagi malu orang untuk mencaci maki tetangganya. Kearifan petani lama kelamaan tenggelam. Mereka bukan hanya kehilangan kearifan tapi saya kuatir mereka kehilangan sumber rujukan. Yang dulu pernah diperankan Keraton dengan cara luar biasa. Sumber bagi ajaran tentang perdamaian, perlindungan dan persamaan. Perdamaian yang membuat hidup rakyat tak dirudung oleh konflik. Perlindungan yang membuat hidup rakyat nyaman. Dan persamaan yang membuat rakyat merasa punya kehormatan. Kini semua itu akan terancam Sinuwun. Tak hanya oleh arus zaman tapi juga pilihan pembangunan yang telah diputuskan.
Pembangunan yang memutus rantai kehidupan masyarakat dusun. Di sana sini kota ditanami hotel bukan padi. Desa juga terus diubah jadi ruang wisata. Saat itulah tanah desa mulai diukur harganya. Mereka dituntut untuk mengorbankan tanahnya demi pembangunan. Baik itu pembangunan Bandara atau bangunan Industri. Seakan sawah itu sudah tak bisa lagi diandalkan sebagai tiang kemajuan. Sawah itu musti disulap jadi pabrik. Sawah itu sebaiknya jadi landasan pesawat terbang. Sawah itu harus lenyap karena ada kebutuhan yang lebih utama. Sungguh ini kebijakan yang dangkal dan sederhana. Karena sawah tak pernah merugikan siapapun: hasil panenya bisa kita makan, petaninya jadi tauladan dan jika dipandang sawah itu menampilkan keindahan. Tak elok jika kami mengajari Sinuwun betapa berartinya nilai-nilai desa yang jadi cerminan para petani. Mereka diikat dan terikat oleh tanahnya. Tanah telah menjadi sumber kekayaan mereka dan tanah pulalah yang membawa kita semua pulang ke alam baka. Kini tanah yang sama itulah yang kerap jadi sengketa.
Sinuwun pasti dengar Jogja darurat agraria. Dimana harga tanah sudah mahal. Tanah dicabut dari fungsi produktifnya. Tanah jadi bahan sengketa. Soal tanah yang dikuasai oleh segelintir orang kaya, hingga tanah yang makin sempit. Sinuwun lihat sehari-hari betapa pusat-pusat belanja menyita banyak tanah produktif. Hotel yang merampas hektaran sawah. Pembangunan perumahan melakukan hal yang sama. Tanah itu pulalah yang bawa soal kesenjangan jadi menganga. Jika petani tak lagi punya sawah, kalau sawah dilipat jadi bandara, maka petani tinggal jadi pekerja apa saja. Mungkin buruh, bisa satpam atau kuli bangunan. Tapi jika boleh jujur, petani tak punya banyak pilihan istimewa jika harus tanggalkan sawahnya. Mengubah sawah untuk kepentingan di luar petani hanya menjadi pintu menuju kemiskinan. Kemiskinan dan kesenjangan yang hingga hari ini jadi soal di Jogja. Lebih-lebih jika soal tanah kemudian melahirkan sengketa.
Semula tiap sengketa apa saja bisa diatasi dengan bicara. Tiap orang bisa saling menyatakan pandangannya dan lainnya bisa memberi jawaban. Suasana rembugan itu yang sering Sinuwun sampaikan. Apa pun masalahnya kalau bisa di rembug. Karena hidup memang tak bisa terhindar dari masalah. Yang penting sengketa itu tak membawa konflik terbuka. Orang Jawa itu mengenal budaya isin dan sungkan. Isin atau malu jika berbuat salah dan sungkan atau kuatir jika menyakiti sesama. Lebih utama bagi orang Jawa itu rukun ketimbang berseteru. Maka tiap tindakan yang merusak kerukunan jelas bisa bawa bencana. Tampaknya soal tanah ini bisa membuat kita semua membuang nilai rukun itu. Salah satunya konflik terbuka bandara Kulonprogo. Terdengar sikap aparat yang berlebihan: memukuli, menangkap hingga menahan anak-anak muda yang dituduh provokator. Pada mahasiswa yang sebenarnya hanya ingin membela dan melindungi petani. Sinuwun mohon menyatakan dengan terbuka kalau kita harus mengutamakan rembug. Rembug itu yang bisa membuat masalah tak melebar ke mana-mana dan tak bawa akibat berat.
Kini Sinuwun bisa menyaksikan efek semua kekerasan ini. Lima belas lebih mahasiswa ditahan. Beberapa luka karena dipukul, ditendang dan ditampar. Mereka datang ke Jogja untuk belajar bukan berkelahi. Mereka adalah anak-anak muda yang mau belajar sesungguhnya. Tak hanya dengan kuliah apalagi lomba tapi menemani petani yang berduka. Mereka bukan hanya ingin mempertahankan sawah tapi mengingatkan kita semua kalau pembangunan tak bisa dilakukan dengan cara memaksa. Bahwa pembangunan tak mungkin diputuskan dengan cara hukum semata. Juga pembangunan sebaiknya menghitung ongkos sosialnya. Semua itu butuh ketegasan Sinuwun. Karena semua orang memahami jika Sinuwun beri perintah maka aparat semua akan taat. Tolong perintahkan Sinuwun agar warga yang masih menolak itu tetap diajak rembug. Mereka itu kawula yang butuh dilindungi bukan diancam sana-sini. Jika mereka protes dan tak mau dapat ganti rugi tentu alasanya pokok dan prinsip. Mustinya Sinuwun bangga punya rakyat yang kehormatannya tak bisa dibeli dengan uang berapapun jumlahnya.
Saya ingin mengenang Sinuwun di masa Reformasi. Berdiri di alun alun dengan gagah. Tegas saat itu katakan kalau apa yang dilakukan mahasiswa itu benar. Mahasiswa yang menuntut Soeharto turun. Mahasiswa yang meminta agar demokrasi tegak di negeri ini. Sinuwun dulu berada di depan kami. Sinuwun pula berada di belakang kami. Hingga demo saat itu jadi kegiatan yang bahagia. Rakyat membawakan jajan di pinggir jalan. Rakyat gembira karena Sultan bersamanya. Hari itu waktu berjalan penuh haru: kami merasa memiliki Raja yang sesungguhnya. Kini Sinuwun masih Raja kami. Mahasiswa dulu dan kini tak ada yang beda. Kalau dulu kami lawan orba kini mereka bela petani. Sikap mereka tetap sama: melawan tiap bentuk penindasan dan menolak segala bentuk kekerasan. Hanya kini kami butuh Sinuwun seperti yang dulu. Memerintahkan agar mahasiswa dilindungi, mengajak tiap warga untuk berembug dan memerintahkan aparat untuk tak sewenang-wenang. Terhadap aparat yang terbukti menyeret, memukul dan melukai mahasiswa Sinuwun perlu tegakkan keadilan.
Tanah itu satu-satunya milik rakyat Sinuwun. Mereka bisa korbankan itu untuk kepentingan bersama jika Sinuwun mengatakanya. Mohon Sinuwun timbang ulang keputusan semua itu. Petani itu butuh diajak rembug untuk cari yang terbaik bagi hidup mereka. Sama halnya ketika Sinuwun ajak rembug mahasiswa. Hingga apa yang mereka katakan bisa jadi landasan keputusan Sinuwun. Membawa Jogja jadi kota budaya yang melindungi para petaninya atau tetap bersikukuh jadi kota yang berhamba pada modal dan laba. Kini keputusannya ada pada Sinuwun. Rakyat tetap akan membela dan mempertahankan haknya jika memang itu diyakini kebenarannya. Begitu pula mahasiswa akan tetap berjuang untuk membela dan melindungi rakyat. Tidak ada rasa takut mereka untuk ditangkap apalagi ditahan. Hanya sayang jika Jogja jadi perseteruan gila antara aparat dengan mahasiswa. Saatnya Sinuwun turun, bicara dan berkata: Jogja itu Istimewa karena punya petani yang memiliki keberanian luar biasa. Kalau Sinuwun berpihak pada petani yang lemah maka yang berubah tak hanya Jogja tapi juga arah pembangunan kita. Sinuwun belum terlambat untuk berpihak.
Matursuwun.***