Agama, Kapitalisme, dan Solidaritas Natal

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: The Gifts – blogger

 

SETIAP kali perayaan keagamaan dilangsungkan, Natal, misalnya, ruang publik kita akan segera dijejali dengan aneka iklan perusahaan swasta nasional dan transnasional yang mereklamekan ornamen religius perayaan bersangkutan. Iklan perusahaan itu membuat kaum beragama mengalami apa yang oleh Antonio Gramsci sebut sebagai hegemoni, yakni setuju (consent) melakukan konsumsi tidak berdasarkan kebutuhan tetapi keinginan.

Ditilik dari ilmu ekonomi, iklan perusahaan itu merepresentasikan suatu mazhab ekonomi klasik yaitu kapitalisme. Jika kapitalisme dimengerti sebagai sistem ekonomi dan politik di mana industri dan perdagangan sebuah negara dikendalikan oleh perusahaan swasta untuk memperoleh laba dari pada dikendalikan oleh negara, maka solidaritas sosial akan mudah dikikis karena ia menghamba pada sistem pasar bebas dengan prinsip utama mengejar laba semaksimal mungkin dan menekan pengeluaran seminimal mungkin. Anak kandung kapitalisme adalah exploitation de l’homme par l’homme.

Akan tetapi, dalam khotbah di mimbar, para pastor dan pendeta akan mengkhotbahkan Natal sebagai ungkapan solidaritas Allah dengan cara menjadi manusia dalam segala hal, kecuali dosa. Ungkapan solidaritas Allah diwujudkan dengan cara yang paling radikal: dilahirkan di palungan kandang binatang dan mati dibunuh di kayu salib Golgota.

Mengapa kapitalisme begitu dekat dengan agama?

 

Agama dan Kapitalisme

Sekurang-kurangnya, terdapat dua pandangan menjawabi pertanyaan di atas.

Pertama, agama memberi legitimasi atas kapitalisme. Wakil dari pandangan ini adalah Karl Marx dan Max Weber.

Terdapat empat kritik utama Marx tentang agama. Pertama, agama mengalienasi manusia dari kehidupan nyata di dunia ke kehidupan akhirat di surga. Kedua, agama merupakan ideologi kelas penguasa untuk melegitimasi kekuasaan politik dan ekonomi. Ketiga, agama menjadi candu atau obat bius masyarakat. Keempat, agama memberi legitimasi atas penderitaan, kesengsaraan dan kemiskinan manusia. Agama harus dihapus. Akan tetapi, agama merupakan produk kondisi sosial masyarakat yang tidak dapat dihapus. Jadi, agama hanya bisa dihapus dengan menghilangkan kondisi sosial yang mengakibatkan eksploitasi dan alienasi dengan membentuk negara komunis. Kondisi sosial yang harus dihapus itu adalah masyarakat kapitalis. Jika kapitalisme bubar, maka agama dengan sendirinya bubar (Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, 2013, pp. 23-28).

Dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Max Weber berpendapat, etika protestan khususnya Calvinisme merupakan salah satu faktor penyebab kemajuan atau kebangkitan kapitalisme rasional di Eropa Barat. Pertama, praktik askese merangsang dan mendukung perkembangan ekonomi kapitalisme modern. Kedua, etos kerja yang tinggi untuk mengakumulasi modal di satu sisi dan menghindari cara hidup boros di sisi lain dilihat sebagai upaya menjawabi panggilan Tuhan. Ketiga, interpretasi pekerjaan sebagai sebuah panggilan membuat para penganut Calvinisme tidak melarikan diri dari pekerjaan dan tugas-tugas di dunia, melainkan terlibat aktif di dalamnya. Keempat, ajaran predestinasi, keselamatan manusia merupakan hak prerogatif dan wewenang mutlak Allah di satu sisi dan manusia bisa meramal bahwa ia dipilih Allah untuk diselamatkan atau tidak melalui keberhasilan dalam pekerjaan di sisi lain membuat para penganut Calvinisme gigih bekerja untuk meyakinkan diri bahwa ia diselamatkan (Ibid., pp. 65-71).

Kedua, agama mengkritisi perkembangan kapitalisme lanjut. Jurgen Habermas dalam “Religion in der Oeffentlichkeit” dan “Pre-political Foundations” berpendapat, agama mampu memainkan peran publik menciptakan solidaritas sosial dan mengkritisi perkembangan modernitas yang keluar rel (Entgleisung der Moderne) (Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, 2016).

Menipisnya solidaritas sosial membuat warga berubah menjadi monade yang terisolasi satu sama lain dan bertindak atas dasar kepentingan diri. Dalam tataran yang lebih luas, pasar yang belum mengalami demokratisasi sebagaimana halnya negara tampil semakin dominan. Liberalisasi ekonomi melalui praktik ekonomi neoliberalisme dengan aktor utama lembaga keuangan dunia (IMF, WTO dan Bank Dunia) dan perusahaan-perusahaan transnasional telah memiskinkan mayoritas penduduk miskin di dunia terutama di Negara-negara berkembang dan memperkaya segelintir penduduk kaya.

Dalam Theorie des kommunikativen Handelns, Habermas muda mengkritik perkembangan modernitas kapitalistis karena mempermiskin hubungan-hubungan komunikatif menjadi hubungan-hubungan strategis yang mengekor mekanisme birokrasi dan pasar (F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, 2009, p. 214).

Habermas mengkritik dua sikap sosial masyarakat paskatradisional karena pertama, hanya mengenal keakraban dalam keluarga dan lingkungan teman akrab yang berorientasi konsumtif; dan kedua, menggunakan pendekatan utilitaristik terhadap masyarakat dan negara sesuai dengan keuntungan terbesar yang dapat diharapkan. Jika kesosialan dan solidaritas antarmanusia rapuh, maka demokrasi, HAM dan kesejahteraan tidak akan berlanjut (Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, 2005, p. 197).

Habermas berpendapat, masalah perkembangan modernitas yang keluar rel, menipisnya solidaritas sosial, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi akibat praktik sistem ekonomi neoliberalisme tidak dapat diselesaikan dengan rasio sekular semata, melainkan membutuhkan agama sebagai bentuk komunitarianisme universal yang sanggup memberi dorongan untuk membangun solidaritas sosial. “Berhadapan dengan masalah penderitaan yang tak terhindarkan, ketidakadilan…, kontingensi yang dialami dalam penderitaan, kesepian, sakit dan kematian, filsafat postmetafisik tidak dapat menyediakan penghiburan sebagaimana dapat dilakukan oleh agama dengan mengajarkan, bagaimana dapat menanggung semua itu dalam Terang yang lain.”

 

Solidaritas Natal

Jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2016 yang sebanyak 1.149.920 orang (22,01%) naik menjadi 1.150.080 orang (22,19%) pada September 2016 dari total penduduk NTT 5,3 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh bulan itu, 160 orang NTT jatuh miskin, diakses Selasa (28/11). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per/kapita per/bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan Provinsi NTT tahun 2016 adalah Rp322.947,00/kapita/bulan. Jadi, sebanyak 1.150.080 orang NTT pada 2016 lalu hidup dengan pengeluaran di bawah Rp322.947,00 per/bulan. Jika biaya sekali makan minimal Rp10 ribu saja atau Rp30 ribu/hari, maka mereka masih minus Rp600 ribu untuk bisa makan tiga kali sehari. Dengan kata lain, 1 juta lebih orang NTT hanya makan sekali sehari. Jika kalkulasi kasar ini tepat, maka 1 juta lebih orang miskin ini tidak punya pendapatan lebih untuk membeli ornamen Natal.

Ornamen Natal dibeli oleh 4 juta lebih orang NTT lainnya yang hidup dengan pengeluaran di atas Rp322.947,00 per/bulan. Angka itu masih bisa berkurang jika dikurangi dengan jumlah penduduk non-kristen dan penduduk yang tepat berada pada garis kemiskinan.

Jika saja kita berandai, 4 juta penduduk ini memiliki hati yang dermawan dengan menyumbang sebagian dari surplus ekonomi kepada 1 juta penduduk lain yang mengalami defisit ekonomi, mungkin saja ada sukacita Natal di NTT. Akan tetapi, mengharapkan kedermawanan hati segelintir penduduk kaya di NTT yang menyumbang gini ratio NTT periode September 2017 sebesar 0,359 untuk mengentas kemiskinan dan membawa keluar 1 juta orang miskin dari garis kemiskinan adalah sebuah ilusi, candu dan hiburan palsu.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium mengkritik kapitalisme, “beberapa orang terus membela teori trickle-down yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi, didorong oleh pasar bebas, pasti akan berhasil dalam mewujudkan keadilan yang lebih besar dan inklusivitas di dunia. Pendapat ini, yang belum pernah dikonfirmasi oleh fakta, mengungkapkan kepercayaan mentah dan naif dalam kebaikan mereka memegang kekuatan ekonomi dan sakralisasi kerja dari sistem ekonomi yang berlaku. Sementara itu, yang dikecualikan masih menunggu.”

Saya berpendapat, Gereja Katolik di NTT perlu menunjukkan solidaritas kepada 1 juta lebih orang miskin ini. Solidaritas ditunjukkan tidak hanya dengan melakukan pelayanan sosial karitatif, melainkan dengan mengkritik sistem politik dan ekonomi yang timpang di NTT. Karena politik berkaitan dengan kekuasaan dan ekonomi berkaitan dengan penguasaan alat-alat produksi, maka Gereja Katolik harus pertama mengontrol kekuasaan agar tidak menjadi korup dan kedua melakukan pemberdayaan sosial ekonomi agar umat menjadi mandiri secara ekonomis dengan cara menguasai sumber-sumber produksi utama seperti tanah. Gereja mesti melawan segala bentuk perampasan tanah (landgrabbing) penduduk NTT untuk kepentingan akumulasi modal para kapitalis. Gereja Katolik juga harus berhenti membangun gedung-gedung gereja yang megah di tengah mayoritas umat NTT yang miskin.***

 

Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, Maumere, Flores

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.