Protestanisme di Persimpangan Jalan

Print Friendly, PDF & Email

Salah satu kegiatan Simposium. Kredit foto: Suarbudaya Rahadian

 

Etika Protestan telah berperan sebagai katalis utama bagi perkembangan kapitalisme, setidaknya menurut Max Weber. Maka, 500 tahun sejak Reformasi Protestan, apa yang bisa ditawarkan Protestanisme bagi gerakan progresif hari ini yang justru bercita-cita melampaui kapitalisme?

ETIKA Protestan dan Semangat Kapitalisme, adalah buku yang ditulis oleh sosiolog Jerman Max Weber, pada tahun 1905. Dalam buku ini, Weber berargumen bahwa Protestanisme, terutama aliran Calvinis, turut mendorong perkembangan Kapitalisme lewat kesesuaian nilai-nilai (etika) protestan seperti kejujuran, kerajinan, ketepatan waktu, dan hidup hemat, dengan semangat (spirit) kapitalisme[1]. Tulisan Benjamin Franklin tentang petuah untuk berinvestasi dan meraih kekayaan, dan sosok Franklin sendiri, dianggap Weber sebagai gambaran ideal semangat kapitalisme yang dipengaruhi etika Protestan[2]. Ia juga melihat bahwa negara-negara yang memiliki populasi Protestan lebih banyak (seperti Inggris atau Belanda), mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding negara dengan populitas mayoritas Katolik[3].

Terinspirasi oleh kaum Puritan, salah satu cabang Calvinisme, Weber lebih lanjut berargumen Reformasi Protestan yang dipantik Martin Luther memperkenalkan sebuah konsep baru – panggilan – yang terutama digali dari surat 1 Tesalonika 7. Walau bagi Luther makna panggilan masih dimaknai secara tradisional sebagai peran seseorang berdasarkan kedudukan sosialnya, bagi kaum Calvinis dan Puritan pemahaman ini berkembang lebih lanjut dimana pekerjaan (profesi, vokasi) menjadi tempat utama seorang Kristen melaksanakan panggilannya dalam mengerjakan keselamatan (salvation). Bagi Weber, konsep panggilan pun menjadi semacam landasan etis bagi pembagian kerja dalam kapitalisme[4].

Tesis Max Weber ini tak pelak menimbulkan asosiasi yang kuat antara Protestanisme dan Kapitalisme, setidaknya di kalangan akademisi atau sejarawan. Berbagai kritik pun dilayangkan terhadap tesis ini. Salah satunya yang terkenal adalah kritik dari Richard H. Tawney, yang justru sebaliknya mengemukakan bahwa kapitalisme telah lahir lebih dahulu dan turut memengaruhi Protestanisme dengan nilai-nilai oportunistiknya. Contohnya, embrio dari “spirit” kapitalisme yang sudah bisa dijumpai pada Venesia dan Florensia sebagai pusat merkantilisme di abad ke-15, jauh sebelum reformasi Protestan. Kemajuan di Inggris dan Belanda pun ditengarai sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dan penjelajahan ke Dunia Baru, ketimbang pengaruh etika Protestan[5].

Kritik lain terhadap Weber dilayangkan oleh H.M. Robertson, Malcolm H. MacKinnon, dan Giorgio Agamben masing-masing secara terpisah, dengan berfokus pada pemahaman Weber akan konsep panggilan Kristiani. Robertson berargumen bahwa konsep panggilan yang dipercayai kaum Calvinis dan Puritan bukanlah sebuah hal baru yang dibawa Protestanisme, melainkan konsep klasik yang sudah ada sejak era Santo Agustinus[6]. MacKinnon, lebih lanjut mengatakan bahwa konsep panggilan Calvinis dalam mengerjakan keselamatan adalah suatu panggilan rohani, bukan panggilan badani yang lalu diterjemahkan dalam pekerjaan sehari-hari[7]. Adapun Agamben melakukan analisis etimologis secara mendalam terhadap kata panggilan dalam surat 1 Korintus 7 (kaleo; klesis) dan menyimpulkan ada makna mesianik yang lebih mendalam dari sebuah panggilan Kristiani ketimbang sekedar profesi duniawi, apalagi menjadi agen kapitalisme[8].

Lantas, meskipun berbagai kritik dan koreksi telah diajukan terhadap tesis Weber tersebut, asosiasi antara Protestanisme dan Kapitalisme tak mudah untuk dihapuskan begitu saja. Mungkin tidak banyak orang awam yang membaca atau bahkan tahu soal buku Weber ini, namun dalam opininya tetap menganggap ada asosiasi yang kuat antara Protestanisme, atau setidaknya Kekristenan, terhadap kapitalisme dan eksploitasi modern. Pengalaman kolonial yang membekas pada masyarakat Dunia Ketiga akibat negara-negara barat “Kristen” tak bisa disangkal menjadi salah satu alasan utamanya. Contohnya, timbulnya asosiasi antara misionaris Kristen dengan kolonialisme di Afrika[9]. Ingatan semasa sekolah akan mata pelajaran sejarah dan negara penjajah dengan semboyan “Gold, Gospel, Glory” pun melintas di benak kita.

Amerika Serikat (AS) mungkin adalah karikatur terbaik, sekaligus paling ironis, dari asosiasi antara Protestanisme dengan Kapitalisme. Sebagai negara dengan umat Protestan terbanyak (18% populasi Protestan dunia)[10], AS adalah negara kapitalis terbesar di dunia dan paling bertanggung jawab atas ekspansi kapital ke seluruh dunia. Kekristenan Injili (evangelical), sebagai salah satu cabang Protestanisme utama di AS, pun tidak dikenal sebagai aliran yang ramah terhadap kelas pekerja dan kaum marjinal bahkan di negerinya sendiri[11]. Lantas, dengan segala beban dari asosiasi ini dan latar belakang historisnya, mampukah Protestanisme melampaui kapitalisme dan sebaliknya menjadi bekal kaum progresif, khususnya di Indonesia, untuk menghadapi serta mengubahnya?

Dalam semangat inilah, Simposium 500 Tahun Reformasi Gereja diselenggarakan. Pada pekan kedua Simposium yang bertajuk Protestanisme dan Isu Ketenagakerjaan di Indonesia, tesis Weber akan asosiasi Protestanisme dan Kapitalisme kembali digugat, sekaligus dilakukan penggalian kembali nilai-nilai Protestanisme yang dapat menjadi bekal pergumulan umat Protestan di Indonesia, khususnya kaum pekerja dalam menghadapi kapitalisme kontemporer. Kondisi riil kaum pekerja dan perlawanan kolektifnya dalam bentuk serikat pun turut dipaparkan oleh representasi garis depan perjuangan kelas pekerja, para pegiat serikat pekerja dan lembaga bantuan hukum.

Pendeta Rudiyanto dari Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), selaku salah satu pemrasaran, mengatakan bahwa sesungguhnya tesis Weber akan etika Protestan perlu ditelaah kembali secara kritis berdasarkan garis kelas. Nilai-nilai Protestan dan “spirit” kapitalisme seperti kejujuran, kehematan, rajin bekerja ternyata membawa dampak berbeda bagi kelas pekerja dibandingkan kelas borjuis. Bukannya kemakmuran atau panggilan keselamatan yang didapatkan dari peran sebagai kelas pekerja, melainkan alienasi dan eksploitasi. Beliau pun mengajak kita untuk mengambil api dari reformasi Protestan yang sesungguhnya memiliki akar revolusioner pada pemberontakan kaum tani di Jerman, dan membuang abunya yang kerap diasosiasikan dengan kapitalisme. Dengan memanfaatkan kisah-kisah relijius yang mengandung memori kolektif perjuangan dan subversi terhadap kelas penguasa, seperti kisah Yesus, Paulus, atau sejarah Reformasi Protestan itu sendiri, kita dapat mengarahkan ulang Protestanisme untuk kepentingan rakyat tertindas.

Reformasi yang diawali oleh perlawanan Martin Luther terhadap hierarki gereja Katolik, dengan cepat menyebar menjadi pergerakan akar rumput berbasis kelas yang dimotori oleh pastur-pastur radikal dan massa petani, seperti digambarkan oleh Engels dalam epos Perang Tani di Jerman[12]. Upaya untuk menggali kembali tradisi progresif ini pun dilakukan. Misalnya, Roland Boer berargumen bahwa kendati dikenal sebagai seorang materialis, Karl Marx secara tidak sadar telah menjelma sebagai Luther kedua, yang menggali ulang memori kolektif perjuangan massa dari Reformasi[13]. Dari sini, ada potensi untuk menghubungkan Reformasi dengan tesis perjuangan kelas Marxis.

Pelajaran berharga tentang praksis progresif Protestan pun bisa kita petik dari tokoh-tokoh ini. Owen Whitfield dan Claude C. Williams, dua penginjil Presbiterian AS yang berbeda ras di era segregasi hitam-putih (Jim Crow), mampu mengalahkan prasangka rasial mereka dan bekerja sama mengorganisasi buruh tani dan petani gurem (sharecroppers) di tahun 1939 untuk melawan peraturan pertanian yang dipandang tidak adil (Agricultural Adjustment Act, AAA)[14]. Di Indonesia, Pendeta Sugianto dari Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) mendampingi para petani Tulang Bawang, Lampung dalam konflik agraria dengan perusahaan, bahkan harus mendekam di tahanan karenanya[15]. Kisah mereka adalah salah satu contoh terbaik praksis progresif Protestan modern, dimana pendeta bergumul bersama jemaatnya tidak hanya secara rohaniah, namun juga material.

Pada akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal: Apa yang bisa ditawarkan Protestanisme bagi perjuangan melawan kapitalisme? Tulisan ini tentu tidak dapat menawarkan sebuah jawaban akhir yang pasti, namun sebaliknya, menawarkan sebuah ajakan bagi rekan-rekan Kristen dan agama lainnya untuk bersama menggali interpretasi dan praksis progresif dari agama untuk perjuangan rakyat Indonesia. Salah satunya, dengan berpartisipasi dan bertukar wacana bersama dalam rangkaian
Simposium 500 Tahun Reformasi Gereja.[16]***

 

Penulis adalah pegiat Diskusi Selasaan dan Rabuan Gereja Komunitas Anugerah (GKA) – Reformed Baptist Salemba

 

————-

[1] Weber, Max. 1905. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Parsons, T (penerjemah). 1930. New York: Routledge Classics. Hal. 16-18.

[2] Ibid., hal. 13-18.

[3] Ibid., hal. 3-9.

[4] Ibid., hal. 39-50

[5] Tawney, R.H. 1926. Religion and the Rise of Capitalism. New York: Harcourt.

[6] Robertson, H.M. 1933. Aspects of the Rise of Economic Individualism: A Criticism of Max Weber and His School.1959. New York: Kelley & Millman.Inc.

[7] MacKinnon, M.H. 1988. Part I: Calvinism and the Infallible Assurance of Grace: The Weber Thesis Reconsidered. The British Journal of Sociology, Vol.39, No 2. Hal. 143-177.

[8] Agamben, G. 1942. The Time That Remains: A Commentary on the Letter to the Romans. Stanford Junior University (penerjemah). 2005. California: Stanford University Press. Hal. 19-33.

[9] Maboyi, Aaron. 2015. Role of Religion in Colonialism. Chronicle (online). www.chronicle.co.zw/role-of-religion-in-colonialism/. Tanggal akses: 22 November 2017.

[10] Protestanism by Country. Wikipedia (online). en.wikipedia.org/wiki/Protestantism_by_country. Tanggal akses: 22 November 2017.

[11] Smith, S. 2016. Are Evangelical Churches Abandoning the Working Class?. Christian Post (online). www.christianpost.com/news/are-evangelical-churches-abandoning-the-working-class-163197. Tanggal akses: 22 November 2017.

[12] Engels, F. 1850. The Peasant War in Germany. Olgin, J.M (penerjemah).1926. New York: International Publishers.

[13] Boer, R. 2011. The New Luther? Marx and the Reformation as Revolution. Monthly Review Online (online). mronline.org/2011/01/18/the-new-luther-marx-and-the-reformation-as-revolution/. Tanggal akses: 22 November 2017.

[14] Gellman, E.S dan Jarod Roll. 2011. The Gospel of the Working Class. Chicago: University of Illinois Press.

[15] Danu, M. 2016. Pendeta Ditangkap karena Membela Petani. Berdikari Online (online). www.berdikarionline.com/pendeta-ditangkap-membela-petani. Tanggal akses: 22 November 2017.

[16]Simposium 500 Tahun Reformasi Gereja adalah serangkaian diskusi yang diadakan mulai 12 November hingga 17 Desember 2017 dengan tujuan menentukan arah dan pergumulan gerakan Protestan di Indonesia. Simposium diselenggarakan oleh Gereja Komunitas Anugerah-Reformed Baptist Salemba (GKA) bersama dengan Kristen Hijau dan organisasi progresif lainnya. Kami mengundang segenap pembaca untuk berpartisipasi dalam Simposium pekan ketiga dengan tajuk: Protestanisme dan Isu Perempuan di Indonesia pada tanggal 26 November 2017, pukul 14.00 WIB di gedung Lembaga Alkitab Indonesia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.