SEJAK masa kampanye pemilihan Presiden tahun 2014 sampai sekarang, hampir tiga tahun menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, Joko Widodo dan jajarannya sering dianggap sebagai rezim yang anti terhadap Islam. Anggapan tersebut diperkuat dengan beberapa kebijakan rezim ini yang dianggap anti Islam. Contohnya, pembubaran salah satu organisasi massa Islam yang dianggap anti-Pancasila dengan penerbitan Perppu Ormas. Status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim paling banyak di antara negara-negara lain di seluruh dunia membuat penulis memunculkan sebuah pertanyaan menarik. Mungkinkah Joko Widodo dan rezimnya secara politis bisa benar-benar anti dengan Islam?
Kajian tentang hubungan Islam dengan politik atau Negara di Indonesia sangat melimpah. Diantaranya ada yang berfokus pada aspek masyarakat seperti Ali dan Effendy (1986), Effendy (1994; 2004), Syamsuddin (1992), Feillard (1995), Hefner (1993; 2000). Atau yang berfokus pada aspek “Negara” seperti Nieuwenhuijze (1958), F Boland (1971), Lev (1972), Noer (1978), Hamzah (1998), Ma’arif (1983, 1985), Bruinessen (1995, 1996), Ramage (1995), Azra dan Umam (1998), serta Porter (2002). Dari berbagai kajian tersebut terdapat satu benang merah yang dapat kita tarik. Siapapun yang berkuasa di Indonesia, secara politis tidak mungkin lepas dari Islam.
Islam dan Kekuasaan di Indonesia dari Masa ke Masa
Hubungan antara Islam dan Negara di Indonesia bisa kita tarik sejarahnya sampai pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Ketika itu Islam menjadi faktor yang sangat penting bagi para penguasa kerajaan untuk mempertahankan kekuasaanya. Para penguasa membangun aliansi dengan para ulama dan memberikan para ulama tersebut jabatan sebagai penasihat penguasa. Masjid-masjid juga banyak didirikan pada zaman tersebut, utamanya di dekat istana-istana kerajaan yang beberapa diantaranya masih bisa kita lihat sampai sekarang. Gelar yang dipakai oleh para penguasa kala itu pun kental dengan nuansa Islam seperti Sunan, Sultan, atau Khalifatullah. Pada masa itu juga kebiasaan untuk menitipkan putra-putri para penguasa pada ulama-ulama terpercaya untuk belajar agama Islam di pesantren milik ulama-ulama tersebut lazim dilakukan.
Ketika Belanda berhasil menguasai secara politik dan ekonomi, sebagian besar wilayah yang sekarang disebut sebagai Indonesia, mereka yang notabene adalah pihak asing yang tentu saja tidak beragama Islam dan secara umum oleh umat muslim di wilayah tersebut dianggap sebagai kafir pun ternyata tak dapat lepas dari urusan-urusan yang berkaitan dengan Islam. Daniel Dhakidae mencatat bahwa salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat penting adalah kebijakan di bidang agama, dan dari semua kebijakan agama yang terpenting adalah kebijakan politik terhadap Islam yang ia katakan sebagai “Islamic politicy” (Dhakidae, 2003).
Bentuk konkret dari kebijakan politik agama pada masa kolonial Belanda adalah dibentuknya Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Voor Inlandsche Zaken). Melalui kantor inilah semua kebijakan politik menyangkut relasi sosial keagamaan dengan pribumi dikelola dengan sistematik dan modern, yang jejaknya dapat dilihat hingga saat ini (Saidi, dkk, 2004). Pemerintahan militer bala tentara Jepang yang melanjutkan estafet “penjajahan” di kepulauan Indonesia juga menaruh perhatian besar terhadap hubungannya dengan Islam. Salah satu kebijakan pemerintahan militer bala tentara Jepang berkaitan dengan Islam yang cukup penting adalah pendirian kantor urusan agama (Shumubu) dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian bertransformasi menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada akhir masa penjajahan Jepang, kelompok elit masyarakat modern Indonesia terbagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelompok Islam, kelompok Nasionalis, Sosialis, Komunis, dan Kristen (Anshari, 1997). Masing-masing kelompok ini mengusung ideologinya sendiri-sendiri. Namun dalam perjuangan ideologi negara, faksi-faksi ini bisa disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan agama yaitu Islam, dan kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan ideologi non-agama yaitu kelompok Nasionalis (Latif, 2005).
Untuk memecahkan ketegangan tersebut maka dibentuk panitia 9 (Maarif, 1985). Melalui pergumulan yang sulit pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu modus vivendi dengan merumuskan suatu gentle agreement tentang Pembukaan Undang-undang Dasar yang oleh Yamin dokumen ini dinamakan Piagam Jakarta – The Jakarta Charter (Maarif, 1985). Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan-nya, atas keberatan dari kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Kristen dari Indonesia bagian Timur, tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945 (Anshari, 1997).
Penghapusan tujuh kata tersebut tidak membuat penguasa di Indonesia pasca kemerdekaan lepas dari hubungan dengan Islam secara politik. Pasca kemerdekaan, menurut Dhakidae (2003), baik presiden Sukarno maupun Soeharto masih melanjutkan kebijakan pada bidang agama ala pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bahkan Dhakidae menyebut Sukarno dan Soeharto sebagai “Hurgronjesian” karena seolah-olah mengikuti saran dari Christian Snouck Hurgronje dalam urusan Islam seperti pemerintah kolonial Hindia Belanda (Dhakidae, 2003).
Hurgronje mengatakan bahwa ada dua jenis Islam di Indonesia yaitu Islam agama dan Islam politik. Menurut Hurgronje, pemerintah kolonial Hindia Belanda harus memberikan kebebasan seluas-luasnya, bahkan, kalau perlu, mendukung Islam agama. Bagi Hurgronje, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak boleh sekali-kali menghalangi mereka yang ingin pergi haji ke tanah suci Mekkah dan urusan peribadatan Islam lainnya. Tetapi di sisi lain pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak boleh memberikan kesempatan sedikitpun pada Islam politik dan kalau perlu menghalanginya dengan kekerasan (Dhakidae, 2003).
Rekomendasi Hurgronje ini dilanjutkan dengan sangat baik oleh rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno dan juga rezim Orde Baru Soeharto. Kedua rezim tersebut memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada Islam agama dan mengambil tindakan tegas dan keras pada Islam politik. Contohnya, Sukarno mengambil tindakan keras terhadap DI-TII/NII yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo serta membubarkan partai Islam Masyumi pada tahun 1960 setelah beberapa petingginya terlibat PRRI/Permesta. Soeharto pun mengambil tindakan yang sama dengan Sukarno, yaitu merepresi Islam politik dengan kebijakan fusi partai-partai politik Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan pemberlakuan asas tunggal Pancasila.
Meskipun bertindak keras terhadap Islam politik, namun Sukarno dan Soeharto pun tetap membutuhkan Islam untuk menopang stabilitas rezim mereka masing-masing. Sukarno, misalnya, dalam konsepsinya tentang revolusi tetap menyertakan kelompok agama (Islam) sebagai salah satu kekuatan revolusioner di Indonesia selain kelompok Nasionalis dan Komunis. Konsepsi Islam yang dikehendaki oleh Sukarno untuk menopang rezimnya adalah Islam yang revolusioner atau dalam istilah Sukarno “Api Islam”. Soeharto tak jauh berbeda dengan pendahulunya, kebijakannya mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta Bank Syariah Muammalah adalah beberapa contoh usahanya untuk menarik simpati umat muslim.
Penutup: State Islam dan Mungkinkah Secara Politis Penguasa di Indonesia Anti Terhadap Islam?
Kebijakan-kebijakan politik berkaitan dengan Islam yang telah dilakukan oleh para penguasa dari masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, kolonial Hindia Belanda, bala tentara Jepang, Sukarno, dan Soeharto adalah usaha untuk menciptakan apa yang disebut oleh Van Bruinessen (1996) sebagai State Islam (pemahaman Islam yang direstui Negara) atau yang disebut oleh Hefner (2000) sebagai Regimist Islam (pemahaman Islam yang direstui oleh Rezim). Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, State Islam yang berlaku adalah pemahaman Islam yang mendukung apapun kemauan Raja. Pada masa kolonial Hindia Belanda dan pendudukan bala tentara Jepang, State Islam yang berlaku adalah pemahaman Islam yang melanggengkan penjajahan kedua pihak tersebut di Indonesia. Pada masa rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno, State Islam yang berlaku adalah pemahaman Islam yang mendukung tercapainya revolusi di Indonesia yang selalu dicita-citakan Sukarno. Pada masa Soeharto, State Islam yang berlaku adalah pemahaman Islam yang mendukung seluruh program pembangunannya dan tidak mempertanyakan kekuasaanya. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap rezim yang berkuasa di Indonesia tidak mungkin tidak, pasti membutuhkan State Islam.
Lalu bagaimanakah State Islam atau pemahaman Islam yang direstui oleh Negara yang berlaku pada masa pasca reformasi khususnya di era Joko Widodo saat ini? Dengan berbagai program infrasturktur yang terus-terusan dikejar oleh rezim Joko Widodo maka State Islam yang berlaku adalah pemahaman Islam yang ramah modal dan mau menyetujui pembangunan-pembangunan infrastruktur fisik rezim yang saat ini berkuasa. Usaha rezim Joko Widodo untuk membangun pemahaman Islam yang ramah modal dan proyek infrastruktur ini dapat kita lihat dari usahanya merangkul organisasi-organisasi Islam untuk selalu mempromosikan Islam yang “damai”, “ramah”, “rahmatan lil alamin” (meskipun sangat bisa kita kritik bahwa pemahaman Islam yang direstui oleh rezim ini hanya damai, ramah, dan menjadi rahmat bagi para investor saja).
Jadi mungkinkah secara politis Joko Widodo dan rezimnya anti terhadap Islam? Kalau ingin tetap berkuasa, setidaknya sampai 2019 dan seluruh program pembangunannya lancar, jawabannya tentu saja tidak mungkin.***
Penulis adalah Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM angkatan 2014, anggota Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Fisipol UGM