Kredit ilustrasi: Putu Deoris
HAMPIR semua warga Indonesia yang terpapar media dan melewati pendidikan era Orde Baru tahun 1984-1998, kemungkinan besar akan mengingat secara jelas konteks keadaan, sejarah dan perasaan yang muncul di balik seruan “Darah itu merah, Jenderal!”. Bahkan bagi kami yang hanya dididik selama delapan tahun terakhir Orde Baru, kalimat ini mewakili lebih dari sekedar bagian sebuah dialog dalam film propaganda anti-komunis “Pengkhianatan G30S/PKI” (Pengkhianatan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia). “Darah itu merah, Jenderal!” adalah sebuah pintu gerbang ke referensi visual tertentu yang mengarah ke kenangan masa lalu dan narasi sejarah yang telah kami ikuti selama separuh hidup kami. Bahwa komunisme itu sebuah ideologi yang biadab dan mereka yang mengikutinya haus akan darah, kejam, gemar menyiksa. Bahwa mereka adalah sekelompok manusia tak bermoral yang anti-Pancasila maka pantas dibasmi.
Dalam menelusuri kebenaran kejadian G30S, berbagai skenario muncul dari beragam penelitian oleh sejarawan dan ilmuwan studi ke-Indonesia-an terhadap kasus G30S, termasuk laporan yang diterbitkan oleh Benedict Anderson pada tahun 1987, yang secara komprehensif menolak adanya penyiksaan kepada para jenderal berdasarkan temuan laporan otopsi pada tahun 1965 (Anderson, 1987, p.109). Beberapa penelitian lainnya bahkan menunjukkan masih terdapat ketidakpastiaan apakah memang Soeharto yang menghasut G30S atau apakah dia hanya memanfaatkan konflik yang telah ada antara militer dan PKI (Cribb, 2002, p.551). Akan tetapi, terlepas dari banyaknya penyelidikan untuk mengungkap masa lalu Indonesia yang kelam ini, merupakan hal menarik untuk dicatat bagaimana “kemarahan anti-komunis telah melampaui masa Orde Baru” (Heryanto, 2006, p.3) dan tetap hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia saat ini.
Tiga puluh tiga tahun setelah perilisan film “Pengkhianatan G30S / PKI” dan 19 tahun sejak Soeharto digulingkan dari kekuasaan (yang menandai berakhirnya pemutaran tahunan film tersebut), keberlanjutan amarah dan kebencian anti-komunis terhadap apapun yang mengandung kata ‘kiri’ di Indonesia menggambarkan bagaimana pengaruh propaganda anti-komunis Orde Baru begitu dalam mengakarnya dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang telah diusung dan ditanamkan Orde Baru masih sangat sulit untuk dibantah, padahal legitimasi kebangkitan Orde Baru seperti yang kita ketahui, dipenuhi ketidakpastian dan Soeharto pun sebagai pemimpinnya kini dilihat sebagai pemimpin yang otoriter dan korup? Seakan-akan pengetahuan sejarah dan interpretasi akan Pancasila dan konstitusi yang saat ini berasal dari Orde Baru telah final dan tidak dapat diganggu-gugat? Bahwa hal tersebut tak perlu dibuka kembali untuk sebuah dialog atau diskusi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain?
Di sinilah kita harus melihat bagaimana sebuah negara otoriter tidak hanya memiliki dominasi atau hegemoni terhadap perpolitikan negaranya, namun juga turut memiliki hegemoni terhadap produksi dan reproduksi pengetahuan, yang kemudian berperan langsung dalam pembentukan pola pikir masyarakatnya.
Dalam membicarakan pengetahuan, kita tidak bisa tidak membicarakan tentang pendidikan. Satu hal yang harus diluruskan ketika kita membicarakan seluk-beluk pengetahuan dan pendidikan (sekolah, guru, kurikulum dll), pengetahuan dan pendidikan tidaklah netral. Pendidikan adalah alat politik. Melalui pendidikan formal, negara tidak hanya berusaha menanamkan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan seperti membaca dan berhitung. Namun juga turut serta menanamkan nilai-nilai moralitas yang dianggap benar, legitimasi berdirinya negara dan pemerintahan tersebut, pandangan sosio-politik akan dunia dan bahkan juga pembentukan identitas kita.
Dengan kata lain, negara tidak hanya bermain di ranah epistemologi semata (segala hal yang berhubungan dengan teori ilmu pengetahuan) namun juga ontologi (hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan dan eksistensi diri). Maka bukan pernyataan yang berlebih jika sosiolog pendidikan Michael Young (1971) melihat institusi pendidikan formal, melalui pengetahuan yang direproduksinya, sebagai agen kontrol sosial.
Dikarenakan kekuatan dan kekuasaan yang inheren dalam pengetahuan dalam membentuk pola pikir kita (the politics of knowledge), mengendalikan produksi dan penyebaran pengetahuan adalah hal yang sentral dalam mempertahankan legitimasi rezim tersebut. Maka pengetahuan, melalui sistem pendidikan dan media, menjadi senjata hegemoni yang efektif untuk mengendalikan masyarakat dan mempertahankan kekuasaan rezim.
Ahli teori Marxis asal Italia, Antonio Gramsci, menyatakan ada beberapa karakteristik dari sebuah hegemoni (Hill, 2007). Pertama, Gramsci melihat bahwa persetujuan (consent) akan apa yang dimaksud dari “potret kehidupan”, berdasarkan pemahaman sebagian besar masyarakat. Kemudian hal ini direpresentasikan oleh mereka yang berkuasa di masyarakat dan pemerintahan. Kedua, sebagian besar pengetahuan akan nilai-nilai politik dan moral yang ada di masyarakat pada dasarnya merupakan nilai-nilai mereka yang berkuasa. Ketiga, ideologi umum ini kemudian dilihat sebagai “akal sehat” (common sense) oleh mayoritas masyarakat – di mana merupakan hal yang lumrah untuk memiliki pola pikir tersebut. Terakhir, Gramsci menyatakan bahwa persetujuan akan hegemoni pengetahuan dirangkul dengan damai (peaceful consent) oleh mayoritas tapi pemaksaan terkadang terjadi dalam bentuk kekerasan fisik yang digunakan terhadap minoritas pembangkang selama mayoritas menyetujuinya. Mungkin, pembubaran Seminar 1965 baru-baru ini adalah contoh nyata poin terakhir Gramsci.
Menggunakan teori hegemoni Gramsci sebagai kerangka analisa kami, berikutnya kami akan menelusuri secara singkat bagaimana negara telah membentuk hegemoni pengetahuan. Khususnya pengetahuan seputar komunisme di Indonesia menggunakan studi kasus film “Pengkhianatan G30S / PKI”. Kami juga ingin menekankan bahwa hegemoni ini tak hanya dibatasi di ranah pengetahuan perpolitikan atau sejarah semata, namun juga terukir dalam ranah kehidupan pribadi. Sebuah konsep yang dinamakan Gramsci sebagai integral politics (Hill, 2007). Dalam integral politics, kekuasaan yang totaliter tak mengenal batas antara negara dan warga negaranya. Hal yang kita anggap hanya sebatas ranah pribadi seperti moralitas, sebenarnya selalu berada di bawah pengaruh kepentingan publik. Ini adalah kekuasaan yang menyeluruh, kekuasaan terhadap jiwa dan raga.
Hegemoni kognitif, hegemoni afektif
Melalui hegemoni pengetahuan tentang komunisme, pembentukan sejarah dan mitos tentang G30S, Indonesia adalah contoh konkret sebuah negara yang telah sukses mengendalikan pola pikir masyarakatnya.
Penting untuk diingat bahwa film “Pengkhianatan G30S / PKI” adalah satu-satunya narasi kejadian 1965 yang diizinkan untuk diakses dan didiskusikan oleh publik Indonesia sampai tahun 1998. Pembatasan narasi alternatif G30S selain versi resmi negara adalah upaya negara dalam pembentukan common sense a la Gramsci, yakni apa yang masyarakat anggap sebagai hal yang benar, logis dan masuk akal. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan membungkam segala bentuk pengetahuan alternatif akan komunisme dan G30S. Namun, negara juga menjadikan narasi yang disokongnya sebagai narasi yang paling nyata melalui tarikan emosional film tersebut seperti penggunaan retorika nasionalisme dan empati terhadap korban dan keluarga korban G30S. Akan tetapi dalam narasi resmi ini, ketakutanlah yang menjadi kendaraan emosi utama dalam menanamkan logika berpikir tentang komunisme yang lazim dan pada akhirnya diamini oleh masyarakat kebanyakan.
Upaya pembentukan commonsense ini tidak hanya dilembagakan ke dalam sistem pendidikan melalui pemutaran tahunan film tersebut di sekolah atau bioskop di mana siswa-siswi Indonesia diminta untuk hadir pada jam sekolah. Namun, beragam keburukan yang dituduhkan terhadap komunisme ditanamkan dalam pengetahuan melalui mata pelajaran di sekolah. Sekali lagi, hal ini menunjukkan peran institusi pendidikan sebagai alat politik yang dikendalikan oleh mereka yang berkuasa.
Pengaruh film ini terhadap anak muda Indonesia dapat dilihat dari hasil jajak pendapat di SMA mengenai pemahaman mereka tentang “Pengkhianatan G30S/PKI” yang dilakukan oleh Kompas tahun 2002-2003 dan Tempo tahun 2000 (Heryanto, 2006, p.50-52). Beberapa poin penting dari temuan tersebut mengungkapkan bahwa film propaganda adalah satu-satunya sumber informasi tentang G30S dan bahwa 87 persen siswa telah menonton film ini lebih dari satu kali. Sebagian besar siswa juga percaya bahwa kebangkitan komunisme sangat mungkin terjadi dan bahwa buku tentang komunisme harus dilarang. Jajak pendapat juga menunjukkan bahwa “69 persen responden menganggap komunisme pada dasarnya buruk” dan “lebih dari 50 persen masih percaya bahwa komunis adalah pembunuh” (Heryanto, 2006, p.52). Melihat masih tingginya ketakutan terhadap komunisme, yang kerap bermanifestasi ke pembubaran acara atau diskusi yang bertemakan ‘kiri’, sangat tidak mengejutkan jika jajak pendapat serupa diadakan lagi sekarang dan hasilnya tidak berbeda jauh.
Tingginya kepercayaan anak muda terhadap narasi mengenai komunisme yang diusung Orde Baru menunjukkan bahwa propaganda anti-komunis yang diproduksi oleh “Pengkhianatan G30S/PKI” telah membentuk kerangka umum dan logika berfikir untuk “imajinasi dan diskusi publik tentang komunisme yang absah” (Heryanto, 2006, p.14). Ini adalah kerangka yang telah berhasil merekonstruksi sejarah, dengan membungkam narasi alternatif dan akhirnya menjadi referensi utama dan satu-satunya akan komunisme untuk lebih dari dua dekade.
Akan tetapi, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, hegemoni atas pengetahuan tidak hanya berhenti di dominasi pengetahuan kognitif semata. Hegemoni pengetahuan juga turut serta memengaruhi ranah afektif masyarakat. Menanamkan pengetahuan yang dipenuhi kebrutalan dan kekejaman komunisme di masa lalu akan dengan mudahnya melahirkan ketakutan dan kebencian. Maka merupakan sebuah kewajaran jika diskusi mengenai G30S dan komunisme atau pemutaran film yang memberikan narasi alternatif mengenai kejadian 1965-1966 kerap kali dihadapkan dengan pembubaran paksa dan mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Dalam Living in a State of Fear, Linda Green menjelaskan bagaimana rasa takut adalah motor yang efektif (dan afektif) bagi negara-negara yang menindas dan bagaimana pembungkaman menjadi “mekanisme kontrol yang kuat” yang “ditegakkan melalui ketakutan” (Green, 1995, p.189). Dalam kasus film “Pengkhianatan G30S/PKI”, pengulangan yang terjadi selama hampir dua dekade ini sebenarnya telah menciptakan situasi di mana pengetahuan tentang pembantaian tahun 1965 disimpan sebagai rahasia publik. Hal ini juga telah menghasilkan masyarakat yang terus-menerus berada dalam bayang-bayang ketakutan akan “bahaya laten komunisme”. Mirip dengan temuan Green dalam studi kasusnya tentang kekerasan politik di Guatemala, efek dari bahaya laten komunisme adalah “tidak hanya psikologis dan individual, tapi juga sosial dan kolektif” (Green, 1995, p.190). Dalam kasus Indonesia, hegemoni pengetahuan akan narasi G30S berkuasa atas pengetahuan dan memori kolektif masyarakat, yang secara efektif membangkitkan ketakutan kolektif. Ketakutan kolektif inilah yang menjadi kekuatan disipliner rezim untuk secara konstan merepresi masyarakat dalam mencari tahu narasi alternatif.
Decorated general. Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Michel Foucault dalam Discipline and Punish, berpendapat bahwa kekuatan disipliner dilakukan melalui ketidakterlihatan kekuatan tersebut untuk “mempertahankan penundukkan dan kedisiplinan individu” (Foucault, 1984, p.199). Mengingat tujuan utama “Pengkhianatan G30S/PKI” sebagai alat propaganda, penggunaan konsep kekuatan disipliner Foucault relevan untuk memajukan pemahaman kita tentang keefektifan “Pengkhianatan G30S/PKI” sebagai alat disipliner dan propaganda negara.
Dalam konteks Indonesia, kekuatan disipliner “Pengkhianatan G30S/PKI” bekerja dalam beragam bentuk pendisiplinan pikiran; masyarakat disiplin untuk percaya pada narasi utama, untuk melupakan realitas kekerasan ekstrim yang terjadi di masa lalu (pembantaian 1965-1966), untuk takut akan “bahaya laten komunisme” dan paling utama, takut mempertanyakan sistem pendisiplinan itu sendiri. Semua ini bertujuan untuk mempertahankan hegemoni pengetahuan.
Ini bukan berarti bahwa tidak ada ruang untuk memilih. Perlu kembali kita ingat, sejarah alternatif telah banyak muncul setelah tahun 1998, akan tetapi pendisiplinan pikiran telah begitu kuatnya mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia. Pendisiplinan melalui ketakutan bukan hanya sekadar ketakutan terhadap komunisme semata, akan tetapi nampaknya telah berevolusi menjadi ketakutan untuk mengetahui, untuk paham lebih dari apa yang diketahui masyarakat “pada umumnya”. Kutipan dari buku Andre Vltchek Indonesia: Archipelago of Fear sangat tepat untuk menggambarkan argumen kami mengenai ketakutan yang telah mengakar, “orang Indonesia sangat disiplin dalam ‘tidak memahami’. Meskipun informasi tersedia secara online dan dalam buku yang baru diterbitkan, sebagian besar memilih untuk tidak mengetahuinya, tidak mencari dan tidak mempertanyakannya” (Vltchek, 2012, p.37).
Hal ini membuka kemungkinan, seperti yang diutarakan oleh Gramsci, akan terbentuknya sebuah hegemoni yang dirangkul dengan damai (peaceful consent). Kita telah secara aktif memilih untuk tetap bebal, untuk tidak paham. Dan dalam kesenangan kita untuk tidak paham inilah muncul penjara pikiran yang tak mampu kita lihat, maupun kita pahami.
Pendidikan yang Memerdekakan
Melalui film “Pengkhianatan G30S/PKI” kita telah melihat bagaimana negara telah membentuk pengetahuan kognitif dan emosional masyarakat terhadap komunisme dan isu seputar G30S. Singkat kata, pembentukan pengetahuan ini dimulai dari film tersebut yang kemudian direproduksi oleh sistem pendidikan kita dan tumbuh secara organik di masyarakat. Bagaimana Indonesia telah berlaku sebagai hegemon pengetahuan merupakan sebuah master class bagaimana negara mempertahankan kekuasaannya dengan cara mematikan kesadaran kritis masyarakat.
Maka di sini kita harus menekankan pentingnya pendidikan yang transformatif, pendidikan yang bukan sekadar untuk kesuksesan ekonomi atau jabatan, bukan untuk kebutuhan pribadi saja hingga melupakan kesengsaraan mereka yang tertindas. Dibutuhkan pendidikan yang mampu mere-edukasi pikiran kita. Mengacu kembali ke cita-cita Ki Hajar Dewantara akan pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang memanusiakan:
”mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhireng pribadi,..”
– kemerdekaan fisik itu penting, tetapi jauh lebih penting kemerdekaan jiwa. Memerdekakan jiwa tugas pendidikan tiada akhir.”
Akan tetapi, pendidikan yang memerdekakan dan membebaskan hanya akan berhenti di retorika jargonistik semata jika kita tidak, mengutip sosiolog pendidikan Deb J. Hill (2007), “memeriksa cara-cara di mana pemahaman kognitif kita dibatasi dan dikebiri dan kepedulian sosial dan etika dilemahkan secara bersamaan”. Kita harus melihat apa yang memenjarakan kita, apa yang membelenggu kita. Kita harus terbuka terhadap keburukan, ketidaktahuan dan kebebalan kita.
Meminjam kerangka berpikir Marx, kita harus berani mengkritik sejarah pembentukan pola pikir dan pengetahuan kita pribadi. Di sini Gramsci dan Paulo Freire menekankan akan pentingnya pendidikan kritis yang dimulai dengan kesadaran diri, terutama bagaimana diri dibentuk oleh kepentingan negara dan masyarakat. Pendidikan yang memupuk kesadaran kritis tidak hanya menumbuhkan sikap kritis individu terhadap keadaan sosio-politik bangsanya namun pendidikan tersebut harus juga mampu membebaskan manusia dari kebinatangannya. Memanusiakan manusia. Hanya ketika kita telah menyadari hal ini, kita dapat dengan sungguh menyatakan bahwa kita telah merdeka, jiwa dan raga.
Dengan ini kami ingin mengakhiri tulisan kami dengan mengajak para pembaca untuk mengintepretasi ulang “peringatan G30S”. Bukan hanya sekadar memperingati “kudeta gagal” PKI, beserta kekejaman-kekejaman yang dituduhkan kepadanya, ataupun peringatan akan awal karir Soeharto sebagai pemimpin otoriter negara ini selama 32 tahun.
Namun sebagai momentum di mana sebuah negara telah dan masih dengan suksesnya membentuk hegemoni terhadap pengetahuan sosio-politik bangsa dan juga diri kita. Dari sejarah, definisi dan arah pembangunan negara sampai identitas kita, bahkan sebagai individu. Hari di mana dominasi Orde Baru terhadap sekolah, institusi pendidikan dan media, telah secara berkelanjutan mengerdilkan demokrasi menjadi sekadar sebuah sistem pemerintahan beserta pemilu yang diadakan beberapa tahun sekali. Bukan sebagai nilai luhur yang membudaya dan berupaya memanusiakan manusia melalui keterbukaannya terhadap diskursus pengetahuan.***
Ben K. C. Laksana adalah asisten peneliti dan asisten dosen di Fakultas Pendidikan, Victoria University of Wellington, Selandia Baru
Rara Sekar Larasati adalah mahasiswa S2 jurusan Antropologi Budaya di School of Social and Cultural Studies, Victoria University of Wellington, Selandia Baru
Kepustakaan:
Aditya, I. (2016, August 18). Pendidikan yang Memerdekakan. Retrieved from krjogja.com: http://krjogja.com/web/news/read/6341/Pendidikan_yang_Memerdekakan
Anderson, B. (1987). How did the Generals die? Indonesia, 43, 109-134.
Cribb, R. (2002). Unresolved problems in the Indonesian killings of 1965-1966. 42(4), 550-563.
Foucault, M. (n.d.). The means of correct training (from Discipline and Punish). In P. Rabinow, & P. Rabinow (Ed.), The Foucault Reader. New York: Pantheon Books.
Heryanto, A. (2006). State terrorism and political identity in Indonesia: Fatally belonging. New York: Routledge.
Hill, D. J. (2007). Hegemony and Education: Gramsci, Post-Marxism and Radical Democracy Revisited. Plymouth: Lexington Books.
Indonesia, B. (2017, September 16). Polisi dan ormas cegah Seminar 1965 di LBH Jakarta. Retrieved from BBC Indonesia: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41290897
Laksana, B. K. (2017, July 24). Pendidikan, Pembangunan dan Kesadaran Kritis. Retrieved from IndoProgress: https://indoprogress.com/2017/07/pendidikan-pembangunan-dan-kesadaran-kritis/
Vltchek, A. (2012). Indonesia: Archipelago of Fear. London: Pluto Press.
Young, M. F. (1971). Knowledge and Control: New Directions for The Sociology of Education. London: Macmillan.