Kredit ilustrasi: catequesiscadizyceuta.wordpress.com
“Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib. Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka.”
Kolose 2:14-15 – TB
MINGGU lalu, umat Muslim baru saja merayakan Idul Adha, hari raya yang identik dengan ritus qurban. Pada perayaan ini solidaritas jemaah dibangun melalui pembagian daging qurban dan berbagai kegiatan kebersamaan lain yang menyertainya. Selain bayangan seputar long weekend atau kelezatan kuliner khas Idul Adha, momen Idul Adha ini ternyata juga bisa membangkitkan perenungan rohani dalam benak orang Kristen. Sedikit banyak, prosesi qurban mengingatkan kita akan peristiwa serupa yang menjadi salah satu pokok ajaran Kristen: karya penebusan Kristus (Atonement). Sebuah narasi dan pemaknaan tentang kematian Yesus Kristus di kayu salib dan kebangkitannya .
Karya Penebusan Kristus
Di antara begitu begitu banyak aliran atau denominasi Kristen[1] dan keanekaragaman penghayatan keyakinannya, iman pada Kristus dan karya penebusanNya menjadi faktor yang mempersatukan semuanya ke dalam satu identitas Kristen – para pengikut Kristus (Kisah Para Rasul 11:26). Uniknya, meskipun terbagi ke dalam banyak aliran, doktrin penebusan dalam gereja-gereja di Indonesia masih didominasi oleh interpretasi Anselmus dari Canterbury (1033-1109) melalui teori pemuasan murka Allah (satisfaction theory). Menurut teori ini, Kristus dalam kematianNya dimaknai sebagai sosok korban tebusan untuk memuaskan murka Allah atas dosa manusia[2]. Manusia yang berdosa dianggap telah membangkitan kemarahan Allah dan layak dihukum Allah dalam kekekalan sebagai konsekuensinya. Karena semua manusia sudah jatuh ke dalam dosa melalui pelanggaran Adam, maka tidak ada satu manusia pun yang luput dari murka dan hukuman Allah.
Di satu sisi, Allah mengasihi manusia dan tidak menghendaki umat manusia terkena hukuman kekal, tapi di sisi lain jikalau belas kasihan Allah itu menutup mataNya dari kejahatan manusia dan membebaskan manusia berdosa begitu saja, maka keadilan dan kesucian Allah (yang tidak mungkin menoleransi dosa) dipertaruhkan. Sebagai solusinya, Anselmus mengembangkan satisfaction theory. Kristus perlu menjadi korban untuk menanggung kemarahan Allah dengan menjadi pengganti hukuman manusia yang berdosa supaya keadilan Allah tetap ditegakkan (dengan melimpahkan hukuman kepada Yesus Kristus melalui kematiannya di kayu salib) dan kasih Allah dapat diwujudkan karena murkaNya telah dilampiaskan pada Kristus yang nir dosa.
Interpretasi Anselmus ini dkembangkan lebih lanjut oleh kaum Protestan pada abad ke-16 lewat teori penal substitution[3]. Teori ini terutama dominan dalam ajaran Protestan, misal dalam pemikiran Martin Luther (1483-1546)[4], dan kemudian diradikalkan melalui konsep penebusan terbatas (limited atonement) yang diprakarsai oleh John Calvin (1509-1564). Dalam konsep limited atonement, konteks satisfaction theory dipersempit lingkupnya sehingga penebusan yang meredakan murka Allah hanya berlaku efektif pada orang-orang beriman yang terpilih sebelum dunia dijadikan (predestinasi)[5].
Pandangan lain yang juga cukup dominan di lingkaran gereja (terutama dengan tendensi liberal) terhadap penebusan adalah teori pengaruh moral Kristus (moral influence) yang dikembangkan oleh Peter Abelard (1079-1142) sebagai alternatif dari interpretasi Anselmus. Menurut teori ini, aspek utama kematian Kristus bukanlah sebagai korban pengganti manusia, tapi sebagai tanda cinta kasih Allah kepada manusia[6]. Penebusan Kristus yang memberi diri sebagai korban demi menyelamatkan murid-muridnya dari penghakiman massa yang tak berbelas kasihan dan pengadilan yang korup dipercaya dapat melembutkan hati manusia yang egosentris (berpusat pada diri sendiri) untuk menjadi altrusentris (berpusat pada orang lain).
Interpretasi karya penebusan Kristus yang terlalu berfokus pada dampak subjektif (baik doktrin penal substitution, limited atonement, maupun moral influence) dan diperkuat oleh tradisi Protestan yang kental dengan semangat individualisme menyebabkan Kekristenan modern berkembang menjadi agama yang bertendensi individualis, esoteris dan eksklusif. Kekristenan yang sejatinya berwajah kolektif, kini berganti rupa menjadi agama yang lebih mengutamakan pergumulan batin. Kekristenan pun nampak tak jauh berbeda dengan Eksistensialisme.
Dampaknya jelas. Ketika dihadapkan pada isu struktural, model Kekristenan individualis ini seakan terbata-bata dalam memberi jawaban. Realitas sosial yang kompleks tidak dapat dijawab dengan teologi yang hanya berfokus pada pergumulan batin individual semata. Kekristenan akhirnya mulai ditinggalkan oleh banyak pengikutnya yang merasa gereja belum mampu menjawab pergumulan nyata mereka, seperti permasalahan sosial, politik, dan ekonomi[7]. Lebih ironis lagi, Kekristenan yang dihayati hari-hari ini malah terlihat seperti “agama sakaratul maut” yang ujung pangkalnya hanya mempersiapkan orang menyongsong kematian[8] ketimbang menghadapi hidup beserta segala pergumulannya di dunia.
Christus Victor
Sebagai upaya untuk membawa Kekristenan keluar dari labirin subjektivitas, Gustaf Aulen (1879-1978), seorang teolog Lutheran dari Gereja Swedia, memperkenalkan kembali doktrin Christus Victor yang dianggap sebagai interpretasi orisinil peristiwa penebusan Kristus pada era gereja perdana (Patristik). Lewat bukunya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1931, Aulen memaparkan teori Christus Victor sekaligus mengkritik kedua interpretasi lainnya (satisfaction dan moral influence) yang secara historis lahir belakangan.[9]
Christus Victor menggambarkan pergumulan klasik antara kebaikan dan kejahatan, antara yang haq dengan yang bathil. Kemenangan Kristus atas kematian menjadi pertanda kemenangan mutlak atas kejahatan. Perlu dipahami, “Kebaikan” dan “Kejahatan” di sini tidaklah dimaknai secara abstrak atau moralistik, melainkan sebagai fenomena yang hadir secara nyata di dunia. Kristus hadir menyejarah sebagai manusia, bergumul bersama manusia, dan merasakan posisi orang tertindas dalam konteks masyarakat Yahudi di bawah penjajahan Imperium Romawi (Ibrani 2: 14-15). Selama hidupNya, Kristus berpihak pada orang-orang miskin dan teraniaya (Matius 5:3-12), yang liyan (Lukas 19:1-10, Yohanes 8:1-11), serta menentang kemapanan (Yohanes 2:19).
Di akhir narasi Injil, Kristus sendiri digambarkan mengalami ketidakdilan, menjadi pesakitan, dan dihukum dengan kejam walau tidak terbukti bersalah (Matius 27) – Pengalaman Yesus ini bukanlah hal asing bagi kaum buruh dan tani di Indonesia, kaum perempuan , LGBTQ, serta rakyat Papua. Namun alih-alih merayakan dan meromantiskan penderitaan, pada klimaksnya narasi Christus Victor menawarkan kemungkinan baru: Kristus yang dizalimi itu bangkit dari kematian. Allah berpihak dan membelanya sekalipun sejarah dan roh absolut menjatuhkan vonis kematian, Kristus oleh kuasa Allah dibangkitan dan membalik jalannya sejarah.
Inilah titik krusial teori penebusan Christus Victor. Kebangkitan Kristus dimaknai sebagai kemenangan Kristus atas sistem yang seolah mustahil untuk di retas. Retakan-retakan dan pembalikkan pada jalannya sejarah yang didaku absolut dan deterministik di goncang. Pada skema inilah harapan bagi umat yang tertindas itu bertumpu, yaitu bahwa Kristus turut bergumul bersama mereka, dan karena kebangkitanNya, maka kelak mereka akan menang sebagaimana Kristus juga telah menang melawan belenggu maut.
Menariknya, ternyata dalam pembacaannya atas kitab Yohanes, Friedrich Engels (1820-1895) juga mendapatkan kesimpulan yang sejalan dengan doktrin Christus Victor: bahwasannya benih-benih Kekristenan ditabur di atas fondasi pergumulan nyata di dunia yang diperkuat dengan keyakinan akan kemenangan kelak[10].
Christus Victor dalam Teologi Kontemporer: Melawan Rasisme, Kemiskinan, dan Patriarki
Jejak doktrin Christus Victor pun dapat kita temukan pada pemikiran teolog-teolog kontemporer yang berupaya menjawab permasalahan masing-masing lewat Kekristenan[11]. James Cone (1938 ––), seorang teolog kulit hitam dari Amerika Serikat, menghidupkan kembali semangat Christus Victor dalam upaya merumuskan “Teologi Hitam” di tengah kondisi opresi kaum kulit hitam di periode 1960an lewat karya-karyanya: A Black Theology of Liberation (1970) dan God of The Oppressed (1975). Sebagai korban rasisme sistemik, Cone melihat perlunya kaum kulit hitam merumuskan teologinya sendiri sebagai pegangan, kekuatan, dan bukti penyertaan Allah terhadap kaum kulit hitam dalam masa perjuangan hak-hak sipil.
Sebagaimana James Cone dan Jon Sobrino merefleksikan kemenangan Kristus dalam Teologi Hitam dan Teologi Pembebasan, Elizabeth Johnson (1941 ––), anggota Sisters of St. Joseph dari AS, berupaya menggali dan merefleksikan ulang tradisi Kekristenan untuk melawan patriarkisme, terutama dalam Gereja Katolik. Lewat karyanya, She Who Is (1992), Johnson menggali konsep Kristus dengan penekanan utama pada sifat-sifat feminin (sophia) dalam pelayanan dan karya penebusanNya, ketimbang pada sifat maskulinitas Tuhan yang dominan pada pemahaman tradisional. Kristus mewakili sekaligus laki-laki dan perempuan dalam inkarnasiNya, dan juga turut membebaskan perempuan lewat karya penebusanNya. Dengan demikian, kemenangan Kristus menjadi harapan dan landasan Kristiani akan pembebasan perempuan dari patriarki
Kemenangan Kristus dan Perjuangan Kaum Tertindas
Kemenangan Kerajaan Allah yang ditandai oleh kebangkitan Kristus memberikan harapan dan semangat bagi gerakan yang memimpikan sebuah tatanan masyarakat yang baru (utopia). Lewat penggalian ulang semangat Christus Victor seperti yang telah dilakukan oleh ketiga teolog di atas, Kekristenan dapat kembali menemukan relevansinya sebagai jawaban bagi umat Kristen dalam menghadapi Kapitalisme tahap akhir (late capitalism)[12] dengan menyediakan visi, spirit, dan landasan teologis untuk mewujudkan Kerajaan Allah (Matius 6:10) yang akan hadir menggantikan tatanan lama, Kapitalisme, yang menindas.
Sebagaimana pemaknaan qurban dalam Idul Adha dapat menginspirasi kawan-kawan Muslim untuk mewujudkan visi sosialistik Islam[13], pemahaman alternatif atas karya penebusan Kristus harusnya turut mendorong umat Kristen untuk bersolidaritas bersama umat Muslim dalam merumuskan teologi progresif yang mampu memberi harapan dan imajinasi baru dalam perjuangan kelompok tertindas, bahkan lebih jauh – perjuangan kelas. Teologi kaum tertindas di mana Kristus turut berjuang bersama para pekerja, pelajar, petani, perempuan, dan rakyat Papua memberi optimisme moral bahwa, semustahil dan sesulit apapun perjuangan pembebasan itu, kelak mereka akan menang melawan penindasan, sebagaimana Kristus pun telah menang atas segala kontigensi sejarah.***
Penulis adalah pegiat Diskusi Selasaan dan Rabuan Gereja Komunitas Anugerah – Reformed Baptist Salemba
Kepustakaan:
[1]List of Christian denominations. https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Christian_denominations. Wikipedia. Diakses 5 September 2017.
[2]Aulen, Gustaf. 2003. Christus Victor: An Historical Study of the Three Main Types of the Idea of Atonement. A.G Herber (penterjemah). 2003. Wipf & Stock: Amerika Serikat.
[3]Penal substitutionary atonement. https://www.theopedia.com/penal-substitutionary-atonement. Theopedia. Diakses 5 September 2017.
[4]Luther, Martin. Sermons by Martin Luther–Volume 2: Sermons on Gospel Texts for Epiphany, Lent, and Easter. J.N.Lenker (penterjemah). www.martinluthersermons.com/Luther_Lenker_Vol_2.pdf. Diakses 5 September 2017. Halaman 293-294.
[5]Definite atonement. https://www.theopedia.com/limited-atonement. Theopedia. Diakses 5 September 2017.
[6]Aulen, Gustaf. 2003. Christus Victor: An Historical Study of the Three Main Types of the Idea of Atonement. A.G Herber (penterjemah). 2003. Wipf & Stock: Amerika Serikat.
[7]Borowiec, Steven. (2017, 28 Mei). Why Young South Koreans Are Turning Away from Religion. Al-Jazeera. http://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/05/young-south-koreans-turning-religion-170524144746222.html. Diakses 5 September 2017.
[8]Hal ini tercermin misalnya didalam pernyataan visi misi gereja karismatik terbesar di Indonesia, Gereja Tiberias. https://web.facebook.com/gerejatiberiasindonesia/?rf=185973461561192&_rdc=1&_rdr
[9]Aulen, Gustaf. 2003. Christus Victor: An Historical Study of the Three Main Types of the Idea of Atonement. A.G Herber (penterjemah). 2003. Wipf & Stock: Amerika Serikat.
[10]Engels, Friedrich. 1894. On the History of Early Christianity. Institute of Marxism-Leninism (penterjemah). 1957. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1894/early-christianity/. Diakses 5 September 2017.
[11]Schweitzer, Don. 2010. Contemporary Christologies: A Fortress Introduction. Augsburg Fortress Publishers: Kanada. Halaman 55-72.
[12]Lowrey, Annie. (2017, 1 Mei). Why the Phrase ‘Late Capitalism’ Is Suddenly Everywhere. The Atlantic. https://www.theatlantic.com/business/archive/2017/05/late-capitalism/524943/. Diakses 5 September 2017.
[13]Murtadho, Roy. 2017. Idhul Adha: Apa Yang Kita Korbankan Ketika Ber-Qurban?. https://indoprogress.com/2017/09/idhul-adha-apa-yang-kita-korbankan-ketika-ber-qurban/. Diakses 5 September 2017.