Clara Zetkin: Sintesa Politik Identitas dan Kelas Melalui Revolusi

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: socialistworkeronline.net

 

Alles durch die Revolution!! Alles fur die Revolution!!
Semuanya melalui Revolusi, semuanya untuk Revulusi!
(Propaganda Clara Zetkin pada 1921 untuk mendukung Revolusi –perempuan– Komunis)

 

SIAPA yang belum mengenal Clara Zetkin?

Di kalangan aktivis penggagas sosialisme di Indonesia, namanya kurang sepopuler Rosa Luxemburg –sahabatnya sesama aktivis dari Jerman. Di kalangan aktivis gerakan perempuan dan buruh, tampak pula kurang dikenal. Sekali pun para aktivis merayakan Hari Perempuan Internasional setiap “8 Maret”, namun belum berarti mengenal penggagasnya.

Saya mengajak pembaca untuk mengenalnya lebih dekat, atau mempelajari pemikiran dan perjuangannya. Karena, dalam hemat saya, Clara Zetkin adalah teoritisi dan aktivis yang signifikan memperjuangkan pembebasan perempuan dan sosialisme melalui perjuangan kelas pekerja. Kalangan feminis Indonesia (generasi 1980-an — 2000-an) sama sekali tidak memberikan apresiasi terhadap Clara sebagai penggagas gerakan perempuan internasional. Bahkan, ketika memperingati “8 Maret” sebagai Hari Perempuan Internasional, kebanyakan aktivis perempuan dan feminis Indonesia melucuti peranan Clara sebagai pembuat sejarah perempuan dalam sejarah sosialisme awal abad 20.

Tentu saya belajar pada Clara Zetkin untuk memadu-padankan pemikiran feminisme dengan sosialisme. Sekali pun secara analitik, terjadi perkembangan yang lebih kompleks mengenai persoalan perempuan dan sosialisme dalam pemikiran feminis sosialis maupun feminis Marxist sejak dekade 1970-an hingga sekarang. Contohnya, Chandra Talpade Mohanty, seorang feminist sosialis kontemporer, berpendapat bahwa modal trans-nasional saat ini telah menjajah hingga ke tubuh/seksualitas, tenaga dan jiwa/mental perempuan Dunia Ketiga setiap harinya. Ini mengindikasi bahwa problem perempuan abad 21 jauh lebih kompleks di tengah sosialisme sedang dalam pergumulan yang belum terpadu.

Siapa Clara Zetkin?

Ia lahir di Jerman Timur pada 1857 dan meninggal pada 1933. Semenjak kecil ia sudah menyaksikan kehidupan buruh pabrik yang miskin di sekitar rumah tinggalnya. Ibunya, seorang aktivis feminis, yang mendorong Clara untuk melanjutkan kepemimpinan perjuangan perempuan. Ketika menginjak remaja, Clara belajar Marxisme pada seorang pendatang dari Rusia dan kemudian menikah dengan Ossip Zetkin —seorang aktivis gerakan sosial-demokratik dari Rusia. Karena aktivitas politiknya, Clara dan suaminya mengungsi ke Paris. Suami Clara sangat mendorong dan mendukung gairahnya untuk memperjuangkan isu perempuan di dalam gerakan sosial-demokratik. Di situ, Clara belajar terampil beragitasi-propaganda dan menulis. Pada 1889, Ossip meninggal dunia, dan Clara kemudian kembali ke Jerman bersama kedua anak laki-lakinya dan melanjutkan aktivitas gerakan di negeri sendiri.

Talenta Clara dalam perjuangan feminisme dan sosialisme yang terpenting adalah sebagai agitator yang menggunakan newsletter sebagai medianya. Ia banyak menerbitkan artikel, pamflet, dan menciptakan slogan-slogan perjuangan yang populer, seperti “Proletarier aller Lander, vereinigt euch”. Ia berkawan karib dengan Rosa Luxemburg sebagai sesama aktivis di dalam Partai Sosialis-Demokratik Jerman, dengan feminis sosialis dari Revolusi Bolshevik seperti Aleksandra Kollontai, Nadezhda Krupskaia (pasangan hidup Lenin), Inessa Armand dan tentu saja dengan V.I. Lenin. Clara-lah yang banyak melakukan diskusi tentang persoalan perempuan dalam revolusi komunis dengan Lenin.

 

Tiga Periodisasi Pemikiran Clara: Dari Sosial Demokrat ke Komunis Internasional.

Para peneliti sejarah mengakui bahwa Clara adalah seorang perempuan yang cukup produktif membangun komunisme. Kita dapat memelajari perjalanan pemikiran Clara dari gerakan sosial-demokratik menuju gerakan komunisme, di mana ia menempatkan persoalan perempuan sebagai subjek yang penting dalam sosialisme/komunisme.

Selama 1885-1917 (sebelum dan selama Perang Dunia I) Clara dikenal sebagai pemimpin gerakan perempuan sosialis di Jerman. Ia dan kawan-kawannya bekerja untuk isu perempuan, seperti isu hak dipilih bagi perempuan dalam pemilu (women’s suffrage) dan isu beban ganda perempuan sebagai ibu dan buruh (tenaga kerja kapitalis). Atas persoalan ini, Clara melakukan aktivitas politik untuk melawan penindasan perempuan dan kapitalisme. Para peneliti sejarah menempatkan Clara sebagai pemikir feminis sosialis yang handal setelah Friedich Engels dan August Bebel di Eropa.

Untuk mengenal perkembangan pemikiran Clara, para sejarawan mengikuti jejak politiknya berdasarkan tiga periode penerbitan newsletter yang ia dirikan dan pimpin. Ketiga newsletter itu ia berinama sesuai dengan perkembangan pemikirannya.

 

  1. “Die Gleichheit” (Kesamaan)

Inilah periodisasi pemikiran dan perjuangan Clara untuk kesamaan hak yang adil antara perempuan-laki-laki dalam perspektif sosialisme melalui gerakan sosial-demokrat.   “Die Gleichheit” adalah nama newsletter nya. Sekali pun pada masa itu para aktivis laki-laki menerima emanispasi perempuan, namun Clara berpandangan bahwa itu tidak serta merta meng-emansipasi cara pandang masyarakat. Sekali pun pada 1908, perempuan di Jerman telah memeroleh hak untuk berorganisasi dengan laki-laki, namun Clara meyakini bahwa perempuan harus diorganisir secara terpisah di dalam Partai Sosial-Demokratik Jerman karena diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung dan prasangka seksualitas belum pupus. Itulah mengapa dia menerbitkan newsletter yang khusus mengagitasi perempuan.

Clara berpendapat bahwa di masa itu perjuangan kelas telah mengeluarkan faktor seksualitas sebagai penentu penindasan perempuan. Contohnya, perempuan mempunyai seksualitas yang berfungsi untuk reproduksi manusia, namun hal ini justru diabaikan ketika menghitung nilai tenaga buruh. Kapitalisme tak hanya menindas tenaga buruh, melainkan juga menindas seksualitas perempuan yang di dalamnya melekat fungsi reproduksi manusia. Oleh sebab itu, revolusi sosialisme harus mampu menerobos tegangan antara masalah ke-tenaga-an dan ke-ibu-annya perempuan. Sosialisme harus mampu memaadu-padankan problem buruh perempuan sebagai perempuan dan sebagai tenaga upahan, antara pembebasan perempuan dan pembebasan kelas pekerja. Di sinilah nyata bahwa ada hal-hal yang harus dibedakan dalam sosialisme dan emansipasi perempuan, dan perbedaan ini ini seringkali menimbulkan tegangan teori dan praktik.

Pemikiran Clara itu berbeda dengan feminis borjuasi yang bertumbuh di Inggris dan Amerika Serikat, sekali pun Clara berasal dari kelas borjuasi yang mengalami kebangkrutan setelah ayahnya meninggal. Dalam perjuangannya, ia tak hanya menggalang perempuan borjuasi, namun juga mengajak mereka untuk melakukan aksi-aksi massa dengan perempuan proletar yang menjadi subjek perhatian Clara.

Die Gleichheit” yang dikelola Clara ternyata laris manis dilanggan perempuan. Pada 1909, pelanggannya mencapai 82,000 orang, bandingkan dengan anggota Partai Sosial-Demokratik Jerman yang berada di bawahnya, yakni 62, 259 orang. Pada 1914, pelanggannya melonjak menjadi 125,000 orang. Para pelanggan ini bukan hanya perempuan Jerman, melainkan perempuan skala internasional, mungkin disebabkan karena sejak 1907 Clara terpilih sebagai sekretaris dari Women’s Secretariat (yang kelak menyelenggarakan Konferensi Perempuan Internasional 8 Maret 1910 dan menetapkan hari itu sebagai Hari Perempuan –kelas pekerja– Internasional).

Seorang pelanggan “Die Gleichheit”, yakni Aleksandra Kollontai –feminis dari Rusia— pada akhrinya menjadi kawan karib Clara yang setia. Mereka mempunyai kecocokan gagasan, sehingga terjalin surat-menyurat yang produktif dan saling membutuhkan. Aleksandra membutuhkan Clara untuk membangun feminis sosialis di Rusia, dan sebaliknya Clara meminta Aleksandra rajin mengirim artikel untuk “Die Gleichheit” mengenai situasi perempuan kelas pekerja di Rusia. Mereka saling memanggil comrade, dan mendiskusikan isu hak dipilih perempuan, perlindungan ibu dan anak kelas pekerja, dan sebagainya.

Saking besar aspirasi perjuangan keduanya, surat-surat mereka menggambarkan perasaan masing-masing yang mendalam. Dalam surat-suratnya Clara memanggil “dear Kollontai”, dan sebaliknya Aleksandra mengungkapkan rasa perkawanannya dengan sepenuh hati dan jiwa kepada Clara. Jelasnya, kedua feminis sosialis ini membangun rasa perkawanan sebagai dua orang perempuan, dengan kesamaan nilai dan aspirasi dan bekerja bersama-sama memperjuangkan perempuan dan sosialisme. Clara dan Aleksandra merupakan simbol perempuan Jerman dan perempuan Rusia yang dipersatukan dalam “Die Gleichheit”.

Ketika pecah Perang Dunia I, Clara menghadapi kesulitan untuk menerbitkan newsletter nya. Partai Sosial-Demokratik Jerman (SPD) terbelah antara yang pro dan anti perang. Yang berhaluan kiri bersikap anti-perang dan memisahkan diri dari SPD dengan membangun Partai Sosial-Demokratik Independen (USPD). Sedangkan newsletter nya Clara didanai oleh yang berhaluan kanan yang pro-perang, namun Clara malahan berpropaganda anti-perang dalam “Die Gleichheit”. Sehingga pada 1916, SPD merebut majalah itu dari tangan Clara dan mengubah namanya menjadi Gewerkschaftliche Frauenzeitung. Rupanya Clara lebih mementingkan bekerja untuk solidaritas internasional ketimbang melakukan upaya pengambil-alihan newsletter nya itu. Ia telah tertawan oleh gaung Revolusi Bolsheviks di Rusia.

 

  1. Die Kommunistin”

Sesudah Perang Dunia I, Clara tetap melanjutkan perjuangan dengan menekankan transformasi perjuangan feminis pada kerja-kerja untuk mendukung revolusi komunis. Clara demikian gigih untuk membangun perempuan komunis di Jerman dan Rusia. Ia mempunyai harapan besar terhadap Revolusi Bolsheviks 1917, sebagaimana Revolusi Rusia 1905. Ia membuat propaganda bahwa “kemenangan kelas pekerja Rusia adalah kemenangan Jerman, adalah kemenangan Eropa, adalah kemenangan Internasional”.

Pada 1920 Clara melakukan perjalanan ke pelosok Sovyet-Rusia sekali pun dalam kondisi kesehatannya yang lemah. Ia datang ke pabrik-pabrik menjumpai buruh perempuan dan pimpinan serikat buruh. Ia terkesan dengan konsep “komunis sabtu-minggu”, semacam hari gotong royong untuk kerjabakti di pabrik maupun komunitas. Ia sangat terheran campur kagum menyaksikan orang Rusia sebagai pekerja yang berwajah gembira, yang dengan tulus bersedia memberikan tenaganya untuk kerjabakti. Clara kemudian belajar sekian lama pada kehidupan buruh dan petani dalam sovyet-sovyet dan memberikan penyadaran mengenai hak-hak perempuan di sana. Sekali pun ia tak dapat berbahasa Rusia, namun setiap Clara berpidato selalu padat dihadiri oleh kaum perempuan. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Elena Stasova –seorang feminis sosialis Rusia– dan tentu saja dengan Aleksandra Kollontai.

Sekitar 1919, ia mendirikan newsletter dwimingguan “Die Kommunistin” untuk dilanggan anggota perempuan Partai Komunis Jerman (KPD). Namun ia menjadi pemimpin redaksi di situ hanya sampai 1921, oleh sebab kepadatan kerjanya untuk propaganda komintern (komunis internasional). Sebagai catatan bahwa setelah Revolusi Bolsheviks, dibentuklah unit-unit partai komunis di seluruh dunia, di mana Clara, Rosa Luxemburg dan kawan-kawannya mendirikan Liga Spartacist yang kemudian bernama Partai Komunis Jerman (KPD) dan bergabung dengan Komintern pada 1919. Setelah Rosa meninggal pada 1919, Clara menjadi pemimpin komunis perempuan yang dominan di Jerman.

Die Kommunistin” selain memuat artikel tentang isu perempuan, seperti keadilan upah bagi buruh perempuan, perlindungan ibu-anak, mengatasi pengangguran perempuan, juga membahas tentang Manifesto Komunis. Sekali pun newsletter delapan halaman itu khusus untuk dilanggan oleh anggota perempuan KPD, namun tidak pernah melewatkan solidaritas internasional kepada Sovyet-Rusia dan keadaan perempuan pekerja di negara-negara Eropa lainnya. “Die Kommunistin” ini kemudian mandeg terbit pada 1929, bertepatan dengan komite perempuan komunis bertumbuhan di seluruh Eropa dan Clara lebih bersemangat menjadi agitator internasional.

 

  1. “Die Kommunistische Fraueninternationale” (Perempuan Komunis Internasional)

Perkembangan pemikiran Clara lebih bergiat untuk agitasi internasional ketimbang duduk manis di dalam Partai Komunis Jerman (KPD). Mengikuti anjuran Lenin, ia membentuk komite perempuan komunis di berbagai negara dan mempertemukan mereka dalam kongres untuk membahas tentang perempuan pekerja dan kesejahteraan sosial bagi ibu-anak. Dalam suratnya kepada Aleksandra, Clara mengutarakan idenya untuk membentuk Comunist Women International (Perempuan Komunis Internasional) melalui newsletter bulanan yang ia namakan “Die Kommunistische Fraueninternationale” (KFI). Mulanya ia berharap newsletter ini terbit dari Moskow sebagai sekretariat Communist Women International (CWI), namun ada kendala transportasi, sehingga proses pengerjaannya dilakukan di Jerman.

Clara berpandangan KFI sebagai newsletters CWI harus mendukung Internationale Ketiga. Itu sebabnya, KFI diterbitkan versi bahasa Perancis, Jerman, Rusia, dan Inggris. Rubrikasinya meliputi laporan perempuan komunis dari berbagai negara Eropa, penjelasan teoritis dan pengajaran komunisme. Ia merasa judul “Die Kommunistische Fraueninternationale” kurang menarik, namun ia berharap hal itu dapat dikreasi oleh Aleksandra Kollontai yang mengurus sekretariat CWI di Moskow.

KFI memuat topik artikel tentang program pemerintah untuk perlindungan ibu-anak, perlindungan pekerja seks, pelayanan kesehatan, agitasi internasional dan apresiasinya terhadap Lenin. Pemikiran Clara mengenai peranan perempuan dalam gerakan komunis sangat nyata, dan ia menyatukan gerakan perempuan proletar nonkomunis dengan gerakan perempuan borjuis dalam lingkaran “Die Kommunistische Fraueninternationale”. Tampaknya Clara berharap dapat merekrut mereka ke dalam gerakan komunis internasional serta membangun sisterhood (persaudaraan perempuan) komunis internasional.

 

Sintesiskan Politik Identitas dan Politik Kelas

Pada akhirnya saya harus menegaskan bahwa Clara Zetkin adalah feminis dan pejuang sosialis yang sejati. Sebab, sepanjang hayat hidupnya ia mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan kelas pekerja perempuan sebagai “perempuan” dan sebagai “kelas pekerja”. Ini bukan barang mudah untuk dituangkan dalam praktik politik dan revolusi. Clara telah membuktikan keberhasilan gerakan sosial-demokratik di Jerman tidak serta merta membawa pembebasan perempuan. Pengalaman di Jerman ini ia bandingkan dengan keberhasilan Revolusi Bolsheviks di Rusia dalam meng-emansipasi perempuan.

Pembebasan perempuan adalah ranah politik identitas yang berbeda dengan politik kelas. Keduanya dapat berkawin sekaligus berbenturan pada satu momentum yang sama maupun berbeda waktu. Ibaratnya, antara politik identitas dengan politik kelas kadang seperti sejoli pengantin yang mesra, namun tak jarang seperti sejoli yang bermusuhan –dan bisa-bisa terancam perrceraian. Saya yakin, perjalanan perjuangan Clara tak sesederhana yang terceriterakan di atas. Saya mengangkat hormat kepadanya, atas keberhasilannya mensintesiskan politik identitas dan politik kelas dalam Revolusi Bolsheviks dan Komunis Internasional (Komintern). Sesudah kemenangan Revolusi Bolsheviks, Clara tidak lantas memenjara politik identitas sebagaimana umumnya pengalaman perempuan dalam revolusi nasional, melainkan ia melebarkan sayap politik identitas tersebut dalam pembangunan Komintern.

Untuk abad 21 ini, pemikiran Clara Zetkin mungkin kurang diminati, sekali pun dalam pandangan saya, pemikirannya tetap relevan menjadi bahan kajian untuk membangun jembatan antara gerakan perempuan dengan kelas pekerja. Selama ini kita saksikan betapa setiap “8 Maret” aksi perempuan tak pernah didukung oleh kelas pekerja, dan sebaliknya setiap “1 Mei” aksi buruh tak didukung oleh aktivis perempuan. Padahal penentuan tanggal “8 Maret” dipungut oleh Clara Zetkin sebagai pengingatan atas gerakan protes buruh garmen di New York City pada 1857 dan 1908. Sehingga tidak adanya aksi dari gerakan buruh pada “8 Maret” dan sebaliknya absennya aksi perempuan pada “1 Mei” saya yakini sebagai kesuksesan kapitalisme menceraikan politik identitas perempuan dengan politik kelas pekerja.

Dengan mempelajari Clara Zetkin, menjadi sangat mendesak bagi kita untuk menanamkan feminisme di dalam perjuangan rakyat pekerja. Selain itu juga untuk mendiskusikan politik identitas perempuan dan politik kelas pekerja sebagai kesatuan yang berdialektika –tidak bertentangan, tetapi juga tidak saling mensubordinasi satu terhadap yang lain.***

 

Kepustakaan:

Liberty P. Sproat, “How Soviet Rusia Liberated Women: The Soviet Models in Clara Zetkin’s Periodical Die Kommnunistiche Fraueninternationale”, 2008

“Lenin on the Women Question”, interview Clara Zetkin kepada Lenin. https://www.marxists.org/archive/zetkin/1920/lenin/zetkin1.htm

Clara Zetkin, “World Wide Field of Activity of the Commintern, The Communist Internastional, No. 4 (New Series), pp. 18-40. https://www.marxists.org/archive/zetkin/xx/xx/activity.htm

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.