Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
TIDAK ada jalan pintas menuju ilmu pengetahuan. Begitu setidaknya menurut Karl Marx dalam magnum opusnya Kapital. Hal ini setidaknya juga berlaku pada proses pendidikan politik. Proses pentransmisian perspektif dalam pendidikan akan selalu menemui skeptisisme. Sayangnya, pertemuan ini bukanlah pertemuan yang mudah. Karena dengan skeptisisme suatu perspektif selalu dapat dimentahkan. Namun dalam ketidakmudahan ini, kita perlu memahami bahwa sikap skeptis akan selalu berguna bagi pendidikan. Karena dengan skeptisisme, setiap argumen akan selalu dipaksa untuk diperjelas maksudnya. Hal ini tentu akan membantu mempertajam argumentasi kita dan lebih memungkinkan perspektif tersebut diterima oleh orang lain.
Dalam semangat yang sama, skeptisisme adalah respon yang ditemukan dari pembacaan yang saya ajukan dalam artikel saya. Dari masalah ketidakyakinan atas argumen yang diajukan sampai dengan adanya keterbatasan atas analisa saya, harus diakui masih banyak yang masih skeptis (baca: kritis) atas perspektif yang coba saya tawarkan. Membiarkan skeptisisme ini tidak terjawab tentu tidaklah menjadi suatu masalah. Akan tetapi dalam perkembangan politik sekarang ini dimana ruang politik demokratis terancam untuk semakin mengecil, saya merasa perlu untuk melakukan klarifikasi serta pemberian tanggapan atas skeptisisme yang ada (kritik dari Abdil Mughis Mudhoffir serta tanggapan dari Ari A. Perdana dan Muhamad Fajar). Tentu untuk memberikan cara pandang yang lain yang membuka potensi untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Dengan resiko melakukan banyak pengulangan, artikel ini mencoba untuk memberikan kedalaman analitis atas posisi yang coba ditawarkan.
***
Pendalaman analitis akan dimulai dengan apa yang sebenarnya saya maksud dengan termin “populisme”. Harus diakui bahwa tidak ada definisi yang pasti tentang populisme. Bahkan di kalangan ilmuwan politik sendiri, tidak ada kesepakatan tentang termin ini. Hal ini mengingat populisme memang tidak memiliki substansi ideologi yang tetap. Ia selalu dapat digunakan oleh kalangan kanan ataupun kiri.
Namun terlepas dengan kesulitan ini, bagi saya, populisme masih dapat digunakan sebagai termin yang dapat menjelaskan fenomena sosial yang ada. Kapasitas penjelas itu terletak pada sensitivitas termin ini pada momen dinamis dari situasi politik yang ada (kontingensi). Populisme biasa digunakan untuk meneropong perkembangan politik modern tertentu dimana dalam tatanan negara yang ada, kelas yang berkuasa mengalami tantangan legitimasi. Tantangan ini bisa terjadi karena berbagai macam faktor, seperti, misalnya, krisis ekonomi atau konflik yang akut antar elit itu sendiri. Imbas dari tantangan legitimasi itu selalu berbuah pada munculnya pertanyaan atas keberadaan kelas yang berkuasa itu sendiri.
Dalam keragka populisme, munculnya pertanyaan ini membuka ruang kemungkinan bagi ketidakpercayaan politik yang berujung pada perlawanan terhadap kelas yang berkuasa. Akan tetapi kita perlu lebih spesifik di sini dimana pertanyaan terhadap kemampuan elit tidak melulu secara otomatis akan menciptkan ketidakpercayaan yang berujung pada perlawanan terhadap elit itu sendiri. Hal tersebut bisa terjadi sejauh terdapat momen retorika dimana terdapat agensi politik yang melakukan persuasi terhadap masyarakat tentang ketidakpercayaan terhadap kemampuan berkuasa dari kelas yang berkuasa itu sendiri. Disinilah kemudian kita menemukan suatu proses konstruksi dimana dalam ranah sosial terjadi pembelahan atas posisi mereka yang berkuasa yang dikenal sebagai “elit”, dengan mereka yang tidak berkuasa yang kemudian dikenal sebagai “rakyat.” “Elit” ditempatkan pada posisi yang sepenuhnya antagonistik dengan keberadaan “rakyat.” Di sini, bagi saya, populisme dapat ditempatkan dalam perkembangan momen-momen politik yang ada.
***
Problemnya kemudian, keberadaan “elit sebagai musuh rakyat” dalam populisme tidak dengan sendirinya merupakan perkembangan politik yang progresif. Hal ini mengingat konstruksi akan “musuh” akan ditentukan oleh posisi retorik apa yang berhasil mempersuasi serta memenangkan agendanya. Mereka yang berhasil memenangkan posisi retoriknya adalah mereka yang memiliki kapasitas politik tertentu dalam memengaruhi massa secara lebih luas. Di sini, menurut saya, momen populisme selalu beriringan secara kuat dengan praktik hegemoni dalam perjuangan kelas. Dalam kerangka Gramscian, hegemoni dapat dipahami sebagai upaya kelas sosial tertentu untuk memimpin/mendominasi kelas sosial yang lain dengan menggunakan ajakan serta kesepakatan (consent) yang disokong oleh keberadaan instrumen paksaan (coerce) politik tertentu. Oleh karenanya, penerimaan atas suatu posisi retorika tertentu tidak terjadi karena kehebatan dari retorika itu sendiri, namun juga karena adanya faktor pemaksa yang berada di balik retorika tersebut.
Implikasinya tentu dalam momen populis, selalu terdapat blok historis (historical bloc) yang terdiri dari berbagai macam kelas sosial. Sebagai suatu aliansi, blok historis ini dipimpin oleh kelas sosial tertentu. Walau begitu, kelas sosial yang terpimpin dalam blok tersebut bukan berarti hanya sebatas mengikuti saja, mereka juga mampu untuk mereproduksi posisi politik mereka dalam kerangka kepentingan yang sudah ditentukan oleh kelas yang memimpin. Disinilah kemudian kita menemukan proses interpelasi ala Althusser (panggilan) dimana kelas sosial yang terpimpin juga memiliki agensi yang secara relatif otonom dari posisi kelas yang memimpin.
Kerangka ini menjadi kerangka untuk menjawab kritik yang diajukan oleh Abdul Mughis kepada saya dalam melihat fenomena gerakan Islam selama beberapa waktu belakangan ini. Mughis menuduh saya tengah berpikir layaknya seorang pluralis yang menempatkan relasi kuasa antar kelas-kelas sosial sebagai setara. Menurut Mughis, alih-alih setara, justru gerakan Islam yang ada merupakan keberlanjutan dari relasi oligarki yang dominan. Yang dengannya artikulasi politik yang muncul merupakan artikulasi politik ala oligarki. Tentu tidak ada yang membantah bahwa mobilisasi besar gerakan Islam yang terjadi selama beberapa waktu lalu didukung oleh agenda oligarki. Tentu juga kita menemui bagaimana konflik antar elit yang terjadi di tingkatan negara sangat mewarnai proses perkembangan gerakan Islam tersebut. Banyak elit islam yang sempat diakomodasi oleh negara di era SBY melakukan perlawanan terhadap “marjinalisasi” politik yang terjadi dalam administrasi kekuasaan Jokowi (dan juga Ahok tentunya). Tidak ada yang membantah signifikansi dari argumen ini.
Akan tetapi kita perlu lebih jeli di sini; Jika memang ini adalah konflik kepentingan antar oligarki sebagaimana biasanya, tentu ekspresi politik yang muncul sulit mengikutsertakan mobilisasi massa. Kita tentu mengetahui bahwasanya pasca 65, politik Indonesia selalu ditandai dengan keberadaan kalangan elit yang tidak memiliki keterkaitan dengan massa. Lalu apa yang membuat, misalnya dalam momen 212, 200 ribu orang yang mengaku “membela islam” berdemonstrasi melakukan penuntutan tertentu terhadap negara? Apakah karena 200 ribu massa ini berhasil tunduk terhadap perintah organisasi preman beragama yang memiliki kaitan kuat dengan oligarki, seperti FPI? Jika tidak, maka apa penjelasannya? Disinilah saya memerlukan penjelasan yang lain di luar argumen oligarki.
***
Saya berpendapat bahwa mobilisasi massif ini memiliki prakondisi material tertentu dalam perkembangan kapitalisme-neoliberal di Indonesia. Kapitalisme neoliberal mensyaratkan bahwa ekonomi pasar (global) harus menjadi acuan utama dalam proses akumulasi. Namun proses ini bukan sesuatu mudah mengingat imperatif akan ekonomi pasar harus berhadapan dengan berbagai kepentingan yang termaktub dalam negara. Untuk mengatasi masalah ini, kelas yang berkuasa perlu melakukan pemindahan atau dislokasi politik melalui depolitisasi negara. Dengan hal ini proses demokrasi mengalami formalisasi dimana tidak dimungkinkan adanya keterlibatan politik dari masyarakat yang dapat mengganggu kepentingan akan ekonomi pasar. Masalah muncul ketika ekonomi neoliberal mengalami krisis sosial yang ditandai dengan peningkatan ketimpangan walau terjadi pertumbuhan ekonomi. Disinilah kemudian terjadi proses peminggiran atas mayoritas populasi yang sebagian besar terdiri dari rakyat pekerja. Hal inilah yang kemudian melatari munculnya pertanyaan terhadap konsensus elit sekitar neoliberalisme.
Namun tentu marjinalisasi atas kelas pekerja ini tidak mencukupi dengan sendirinya. Diperlukan penyebaran gagasan tertentu agar marjinalisasi ini membuahkan kemarahan terhadap elit yang berkuasa. Bagi saya, kita dapat memasukkan analisa oligarki ke dalam bingkai penjelasan. Penyebaran gagasan politik Islam sektarian-rasis yang didukung oleh organisasi preman seperti FPI, merupakan bagian dari diseminasi retorika faksi elit tertentu untuk mendapatkan dukungan dari rakyat pekerja yang dipinggirkan. Belum lagi konteks pertarungan elit dengan spesifik spasial (seperti di perkotaan Jakarta) yang ikut menjadi faktor penting dalam proses tersebut. Namun kita perlu bertanya lebih lanjut, mengapa politik Islam yang dipilih? Menurut saya karena organisasi Islam yang sektarian ini yang berada dekat dalam pengalaman keseharian rakyat pekerja. Organisasi ini menjadi instrumen penting dalam menggaet kalangan miskin perkotaan untuk menjadi bagian dari kekuasaan negara. Alasan keberadaan organisasi islam garis keras ini merupakan bagian dari upaya kekuasaan negara untuk melakukan pukulan politik terhadap perlawanan rakyat. Walau begitu, keberadaannya sangat tergantung dengan kepentingan elit politik dimana pada kondisi sekarang mereka juga mengalami peminggiran atas situasi yang ada. Komposisi antara faksi elit borjuasi yang tidak puas, keberadaan organisasi Islam garis keras yang dipinggirkan, serta kemarahan rakyat pekerja perkotaan yang kebanyakan adalah kalangan miskin kota terhadap operasi neoliberalisme menjadi bahan baku utama dari suatu aliansi lintas kelas yang kemudian saya sebut sebagai populisme Islam.
Dengan ini saya menolak pernyataan Mughis bahwa saya adalah seorang pluralis yang abai tentang kekuasaan yang dominan. Mughis selalu berbicara bahwa semua kepentingan oligarki yang beroperasi di balik gerakan Islam saat ini adalah kepentingan akan akumulasi kapital. Akan tetapi Mughis secara tidak sadar (atau mungkin tidak peduli), sama sekali absen dalam menjelaskan keberadaan relasi sosial yang kontradiktif di balik proses akumulasi, yakni kontradiksi antara kelas kapitalis dan kelas pekerja. Dalam hal ini, tentunya ketika kita berbicara mengenai perkembangan kapitalisme, maka kita harus mengungkapkan kontradiksi ini secara eksplisit dalam analisa. Implikasinya tentu dalam kapitalisme itu sendiri dinamika kekuasaan yang ada selalu mensyaratkan keberadaan entitas yang lebih dari satu. Walau terdapat suatu kekuatan dalam struktur yang ada, dominasi ini harus ditempatkan secara relasional dimana kekuatan suatu kelas tertentu akan bersifat relatif dengan kelas sosial yang lain. Di sini akhirnya bagi saya, tesis oligarki mengabaikan dinamika relasional kelas dalam menjelaskan proses kapitalisme.
Hal lain yang juga perlu ditanggapi adalah mengenai status “kesukarelaan” (sebagaimana yang diargumenkan oleh Ari Perdana, Abdil Mughis dan Muhammad Fajar tentang artikel saya). Tentu adalah suatu kekeliruan yang fatal bagi setiap pembelajar ilmu sosial untuk mengatakan tindakan agensi sebagai sesuatu yang nir-struktur. Namun kita harus ingat bahwasanya dalam proses hegemoni, terjadi proses persuasi kelas yang dapat berimplikasi pada terjadinyanya reprodkusi gagasan kelas yang memimpin terhadap kelas yang terpimpin. Reproduksi ini membuat kelas yang terpimpin (baca: rakyat pekerja) menginterpretasikan gagasan tersebut dalam artikulasi serta ekspresi mereka sehari-hari. Di sini letak “kesukarelaan”-nya. Karena banyak elemen rakyat pekerja ini secara secara praktis menggunakan gagasan kelas berkuasa untuk memahami realitas yang dihadapi mereka. Hal ini menjadi mungkin karena adanya perkembangan tingkat relijiusitas di masyarakat kita dimana nilai serta gagasan agama (khususnya Islam) tersosialisasi secara massif dan terus menerus. Sehingga ketika ada gagasan Islam tertentu yang berhasil menang ditingkatan wacana yang muncul dalam perkembangan neoliberalisme yang meminggirkan, gagasan itulah yang kemudian digunakan secara “sukarela” oleh rakyat pekerja sebagai artikulasi kemarahan mereka.
Bagi saya, posisi ini memiliki implikasi praktik yang penting. Yang pertama, rezim Jokowi yang berkuasa sekarang sangat rentan terhadap politisasi. Praktik brutal neoliberalisme sudah menciptakan disilusi pada banyak segmen populasi rakyat pekerja. Masalahnya kemudian kemarahan ini hanya dapat dikanalisasi ke organisasi Islam garis keras yang kebetulan juga dirugikan oleh rezim kekuasan Jokowi. Jika memang hendak mengatasi masalah masyarakat yang semakin intoleran seperti sekarang ini, maka harus ada upaya untuk memperbesar kapasitas organisasi gerakan kiri sekarang, sebagai instrumen utama dan tradisional dari rakyat pekerja. Yang kedua, kita harus mengakui efektivitas politik dari pemanfaatan agenda politik Islam oleh faksi-faksi elit dalam memengaruhi kekuasaan negara yang ada. Untuk itu perlu bagi kita memahami apa pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman populisme ini. Saya akan mencoba menawarkan refleksi pembelajaran (sekaligus kemungkinan) ini untuk membangun argumen tentang strategi “merebut populisme” dalam artikel selanjutnya.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)