DUA minggu lalu, pada bagian keempat, kita telah mendiskusikan perihal teori ilmiah dan bagaimana Bangsa Yunani kuno mencoba menjelaskan fenomena pergerakan benda-benda langit dengan menggunakan gerak melingkar beraturan. Sekilas semua baik-baik saja, namun kita belum mengikutkan pergerakan planet-planet relatif terhadap bintang-bintang latar. Pada bagian kali ini kita akan mendiskusikan perihal gerak balik planet-planet dan bagaimana astronom klasik mencoba menjelaskan fenomena ini.
Planet-planet kasat mata dan gerak balik
Semenjak manusia mulai bisa mengamati langit, mereka telah mengamati adanya benda-benda langit yang menyerupai bintang, namun sebagaimana Matahari dan Bulan, posisinya berpindah-pindah relatif terhadap bintang-bintang. Ada lima objek yang diamati bergerak seperti demikian, dan dinamakan “planētes asteres” atau bintang pengembara oleh Bangsa Yunani kuno. Dari sinilah kita mewarisi kata “planet” untuk mendefinisikan objek-objek seperti ini. Ada lima planet yang bisa diamati dengan mata telanjang, dan dari urutan paling dekat dari Matahari, mereka adalah Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Nama-nama ini diambil dari nama-nama dewa-dewi Yunani dan Romawi kuno, dan dinamakan menurut karakter yang teramati: Merkurius adalah planet yang bergerak paling cepat dibandingkan planet-planet lain, dan oleh karena itu dinamakan menurut yaitu kurir dewa-dewi. Venus, planet yang paling terang di langit fajar atau senja, selalu tampak indah dan oleh karena dinamakan menurut dewi kecantikan. Mars, dengan warnanya yang kemerah-merahan menyerupai darah, dinamakan menurut dewa perang. Jupiter, sebagai planet yang paling terang di langit malam, kemudian dinamakan menurut dewa paling penting dalam pantheon Yunani. Dan terakhir, Saturnus, planet yang cukup terang namun bergerak paling lambat, dinamakan menurut dewa yang paling senior dan bapaknya Jupiter.
Satu hal yang diamati dari pergerakan planet-planet ini, yang berbeda dengan pergerakan Matahari dan Bulan, adalah adanya gerak retrograde atau gerak balik. Pada Gambar 1 ditunjukkan contoh pergerakan balik untuk kasus Planet Mars pada tahun 2003. Antara bulan Mei hingga Juni, Mars bergerak ke suatu arah, namun pada bulan Juli ia mulai berbalik arah, dan pada bulan Oktober mulai bergerak kurang lebih ke arah semula (untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pula animasi pada taut ini).
Gerak balik adalah satu rintangan yang harus dihadapi oleh model kosmologi Yunani kuno. Visi mereka tentang kesempurnaan gerak melingkar beraturan harus dikompromikan oleh fakta pengamatan ini. Untuk menjelaskan pergerakan planet-planet dengan gerak baliknya, Apollonius dari Perga menggunakan konsep deferent dan episiklus untuk memodelkan gerak balik seraya mempertahankan gerak melingkar beraturan.
Gerak melingkar di dalam gerak melingkar
Dalam model deferent dan episiklus, planet-planet tidak bergerak melingkar beraturan mengitari Bumi sebagaimana Matahari dan Bulan (Gambar 2), namun bergerak melingkar beraturan sepanjang lingkaran episiklus. Titik pusat lingkaran episiklus ini (dalam Gambar 2 ditandai dengan Titik C), pada gilirannya bergerak melingkar beraturan sepanjang lingkaran deferent. Gabungan dua gerak melingkar ini dapat menghasilkan fenomena gerak balik sebagaimana diamati dari Bumi (Gambar 3. Lihat juga taut ini, untuk melihat animasi yang menunjukkan pergerakan planet berdasarkan model ini). Yang dilakukan para astronom pada masa itu kemudian adalah menghitung parameter-parameter epsiklus dan deferent yang cocok dengan apa-apa yang diamati. Parameter-parameter yang perlu diketahui antara lain jari-jari dan kecepatan rotasi episiklus, serta jari-jari dan kecepatan rotasi deferent.
Model deferent dan episiklus ini sepintas dapat menghasilkan pergerakan yang diamati. Akan tetapi, Hipparchus dari Nikaia (c. 190 SM — c. 120 SM) menunjukkan adanya dua kelemahan: Pertama, dengan mengasumsikan Matahari bergerak melingkar beraturan mengelilingi Bumi, maka lamanya empat musim-musim akan seragam. Kenyataannya, musim dingin di Bumi bagian Utara lebih pendek daripada musim panas. Kecepatan pergerakan Matahari, dengan demikian, tidaklah seragam. Pada saat terjadi musim dingin, Matahari bergerak lebih cepat daripada saat musim panas (di Bumi bagian Utara). Kelemahan kedua, model ini memprediksikan gerak balik yang periodenya teratur. Kenyataannya, gerak balik planet-planet tidak terjadi dalam periode yang tetap.
Solusi yang ditemukan Hipparchus cukup sederhana: Bumi tidak persis berada di pusat tata surya, melainkan sedikit di sebelah titik pusat, dalam titik yang dinamakan titik equant (Gambar 3). Lingkaran-lingkaran deferent yang membawa Matahari dan episiklus-episiklus yang membawa planet-planet tetap bergerak dengan kecepatan yang tetap, namun titik pusat pergerakan ini tidak lagi berimpitan dengan Bumi. Dengan cara ini, walaupun Matahari tetap bergerak dengan kecepatan yang konstan apabila dilihat dari titik pusat lingkaran, namun apabila dilihat dari Bumi, kecepatan Matahari akan berubah-ubah. Paling cepat saat Matahari di titik terdekat (perihelion) dari Bumi, dan paling lambat saat berada di titik terjauh (aphelion). Bahkan dalam model geosentris, Bumi bukanlah pusat tata surya.
Model Ptolomeus dan fisika Aristoteles
Perkembangan selanjutnya dalam astronomi klasik dilakukan oleh Claudius Ptolomeus dari Aleksandria. Bukunya yang terkenal Almagest, selama lebih dari 1400 tahun menjadi acuan utama untuk mempelajari pergerakan langit. Almagest dan pekerjaan Ptolomeus menjadi penting karena Ptolomeus juga mengutip pekerjaan-pekerjaan astronom sebelum dia, termasuk Hipparchus. Ditulis sekitar tahun 150 Masehi, teks ini sintas hingga jaman kita karena diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Berkat astronom-astronom Arab pula lah nama Ptolomeus dan karya-karyanya dikenal.
Sumbangan Ptolomeus kepada astronomi adalah pengelaborasian model geosentris terdahulu sehingga mampu menjelaskan tidak hanya pengamatan di masa lalu, tetapi juga mampu meramalkan posisi benda-benda langit di masa depan, dengan ketelitian yang setara dengan kualitas data pada masa itu. Model yang dikembangkan Ptolomeus lebih lengkap daripada model Apollonius dan Hipparchus dalam dua aspek: Pertama, Matahari bukan lagi satu-satunya yang memiliki titik equant, tetapi juga benda-benda langit lainnya. Dengan demikian model pergerakan planet-planet menjadi lebih cocok dengan data pengamatan. Kedua, sudah diketahui bahwa bidang pergerakan planet-planet ini tidaklah berada pada bidang yang sama dengan bidang pergerakan Matahari. Ptolomeus memperbaiki model yang ada sehingga dapat memperhitungkan hal ini.
Karena kemampuan prediktif model Ptolomeus inilah, model ini menjadi acuan utama bagi astronom-astronom sesudahnya untuk memprediksikan posisi masa depan suatu benda langit. Akan tetapi, untuk memperoleh kemampuan prediktif ini, kompromi harus dilakukan, dan telah kita saksikan bahwa korban utama dari serangkaian kompromi ini adalah gerak melingkar beraturan. Agar cocok dengan data pengamatan dan juga dapat meramalkan posisi masa depan benda-benda langit, serangkaian lingkaran-lingkaran tambahan dan titik-titik equant harus diperkenalkan, sehingga gerak tak seragam yang diamati di Bumi dapat didamaikan dengan idea bangsa Yunani klasik mengenai lingkaran sempurna dan Bumi sebagai pusat tata surya.
Model Ptolomeus, juga mempertahankan prinsip-prinsip filsuf Aristoteles. Dalam karya-karya Aristoteles mengenai ilmu alam, ia membagi alam semesta menjadi dua alam: alam langit dan alam Bumi. Bulan, sebagai benda langit yang paling dekat dengan Bumi, menjadi perbatasan antara kedua alam ini, dan oleh karena itu alam Bumi disebut juga dengan alam sublunar. Hukum-hukum alam di kedua alam ini berbeda. Alam sublunar adalah tempat yang penuh perubahan dan peluruhan, di mana benda-benda muncul, tumbuh menjadi matang, dan akhirnya mati. Di lain pihak, alam langit adalah tempat yang abadi, penuh kesempurnaan dan tidak ada yang berubah.
Di alam Bumi, benda-benda mengandung empat unsur dan memiliki tempat alamiahnya: tanah, air, api, dan udara. Tanah adalah unsur yang paling berat, dan tempat alamiahnya adalah pusat alam semesta. Karena alasan inilah maka Bumi, yang mengandur banyak unsur tanah, dinobatkan Aristoteles menjadi pusat alam semesta. Berdasarkan pengamatan Aristoteles dan ide-ide yang ada mengenai tempat alamiah unsur-unsur dasar ini, ia menuliskan bagaimana unsur-unsur ini dapat saling berubah bentuk dan ke mana mereka akan bergerak. Di alam langit, Aristoteles berkata bahwa benda-benda di alam tersebut tersusun atas unsur kelima (quintessence) yang dinamakan eter, suatu unsur yang abadi dan tidak berubah bentuk.
Kesuksesan model Ptolomeus dengan demikian juga memperkukuh filsafat Aristoteles. Tidak mengherankan apabila filsafat Aristoteles juga diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan selama ribuan tahun, berdampingan dengan model Ptolomeus, dan menjadi filsafat yang dominan pada masanya. (Bersambung)