Kredit foto: http://www.wrongkindofgreen.org
“Dalam kenyataannya, organisasi non pemerintah bukanlah non pemerintah. Mereka menerima dana dari pemerintah-pemerintah berbagai negara di seberang lautan, atau mereka bekerja sebagai sub kontraktor bagi pemerintah-pemerintah lokal.”
(James Petras, Imperialism and NGO’s, 2002)
DI PAROH pertama tahun 2000an, terjadi polemik serius pada kalangan organisasi non pemerintah (Ornop) atau non government organization (NGO’s) di Indonesia. Polemik itu berkaitan dengan gugatan dan pembelaan terhada eksistensi banyak Ornop yang ditopang oleh bantuan donor asing. Berbeda dengan pada masa Orde Baru dimana kritik digencarkan oleh rezim untuk memukul arus perlawanan, di awal 2000an kritik muncul dari kalangan Ornop sendiri.
Eman Hermawan menulis buku Politik Isu Tunggal: Jalan Buntu Masyarakat Sipil (2002). Ia mengajukan tesis bahwa terjadi kebuntuan gerakan masyarakat sipil lantaran bantuan-bantuan donor selalu berkelindan dengan agenda-agenda negara pemberi donor. Ekses yang seriusnya adalah teralihkannya perhatian masyarakat sipil dari persoalan lokal yang sesungguhnya, dan secara tidak langsung, isu-isu yang menjadi fokus masyarakat sipil adalah isu-isu yang segaris dengan negara-negara pemberi donor: isu tunggal. Dua tahun berikutnya (2004), Jurnal Wacana—sebuah jurnal rujukan kalangan NGO pada saat itu—memuat tajuk Membongkar Proyek-Proyek Ornop. Jurnal ini secara umum mengkritik gerakan masyarakat sipil lantaran secara tidak langsung telah memuluskan agenda-agenda Imperialisme AS melalui berbagai proyek seperti demokrasi, HAM, pemerintahan yang baik (good governance), politik lingkungan dll.
Pasca berbagai kritik itu, sebagian NGO memutuskan diri dari bantuan asing—salah satunya Walhi, tapi tidak seluruh NGO mengambil jalan demikian. Namun perlahan tapi pasti, kritik terhadap bantuan donor dan ornop atau organisasi masyarakat sipil penerimanya kian lama kian tak terdengar. Program dan dana lambat laun diterima begitu saja, tanpa curiga kepentingan apa yang ada di baliknya. Ungkapan apologetik yang sering mengemuka kemudian begini: “dari pada jatuh pada orang/lembaga yang salah, mending kita manfaatkan untuk kepentingan gerakan” atau “lebih baik kita terima, asal nggak mencuri, merampok dll”. Jika yang mengkritik adalah pemerintah, maka jawaban yang biasa diunggah begini: “dikiranya proyek pemerintah tidak ada yang dari asing?”
Lantas, apa implikasi bantuan donor asing bagi Indonesia dan gerakan NGO dan masyarakat sipil di Indonesia?
***
Di antara lembaga donor NGO di Indonesia, USAID adalah yang paling lama menancapkan pengaruhnya. Di tahun-tahun ini, USAID memang tidak lagi memberikan bantuan berupa donor. Tapi, pengaruh USAID dalam bentuk bantuan teknis, pengembangan kapasitas, teknologi dan ide-ide yang mendorong ‘inovasi dan reformasi’—seperti dalam rilisnya sendiri—bisa dipastikan akan terus berlangsung.
USAID adalah lembaga pemerintah AS (USAID is the lead U.S. Government agency[1]). Dalam terjemahannya sendiri versi bahasa Indonesia, USAID adalah Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat—semacam Bappenas di Indonesia. Ia secara berkala melaporkan seluruh kegiatannya kepada pemerintah Amerika. Isi laporan pada umumnya menginformasikan tentang dinamika sosial-politik di masing-masing negara, termasuk Indonesia. Ruang lingkup bidang kerja USAID di Indonesia cukup strategis. Seperti Pertanian, demokrasi dan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, pendidikan dan universitas, lingkungan hidup, kerjasama global, kesehatan global, bantuan kemanusiaan, dan program-program lintas-kerjasama[2]. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Ornop yang bekerja sama dengan lembaga seperti USAID sesungguhnya bukanlah non govermental. Ia hanyalah agen pemerintah negara lain (baca: AS). Persis ungkapan James Petras dalam karyanya, Imperialism and NGO’s yang dicuplik dalam quote pembuka artikel ini.
Di bidang ekonomi, USAID memainkan peran besar dalam upaya membelokkan ekonomi kerakyatan menjadi ekonomi kapitalis sejak dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia pada 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar kapitalis. Tindakan pembelokkan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.[3] USAID dan donor asing lainnya telah mendorong liberalisasi perekonomian di Indonesia. Melalui program tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), IMF, World Bank, dan USAID mendesakkan kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Deregulasi berisi penyesuaian struktural agar perekonomian Indonesia sesuai dengan kehendak kapitalisme global. Privatisasi dimaksudkan agar negara tak ikut campur dalam penyediaan barang-barang publik, sehingga BUMN harus diswastanisasi. Sementara liberalisasi dimaksudkan agar perusahaan MNC’s/TNC’s semakin mudah mengeruk bahan baku sumber daya alam di negara berkembang sekaligus memasarkannya di negara itu.
Dalam bulan-bulan transisi reformasi 98’, USAID juga memainkan peranan penting lewat program Economic Law and Improved Procurement System (ELIPS). Program yang dikembangkan ini secara langsung berkaitan dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, misalkan menyiapkan draft untuk UU Perseroan Terbatas, Penanaman Modal, Arbitrase, Kepailitian, Keamanan Transaksi dan lain sebagainya.[4] USAID juga mendorong Amandemen Pasal 33 UUD 1945, sehingga konstitusi Indonesia menjadi membuka ruang lebar bagi neoliberalisme. Dampaknya, banyak kemudian perundang-undangan[5] yang lahir pasca reformasi lebih liberal dari pada masa Orde Baru.
Melalui berbagai perundangan-undangan berkarakter liberal itulah reforma agraria juga dikhianati. Demi investasi, sejak Orde Baru berkuasa dibuatlah berbagai UU sektoral yang tidak lagi mengacu kepada UU No. 6 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria. Seperti, UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan lain sebagainya. Dampaknya, kini 175,06 juta hektar dari daratan Indonesia yang luasnya adalah 192,26 juta hektar sudah dikuasai investor[6]. Artinya, luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menghidupi lebih dari 60% masyarakat Indonesia, hanya 11,8 juta hektar. Cita-cita keadilan agraria akhirnya semakin jauh. Semakin banyak rakyat tak punya tanah. Makin banyak petani dijauhkan dari faktor produksi. Buntutnya adalah meruaknya kaum urban yang menghuni kampung-kampung kumuh di perkotaan, tak punya alat produksi dan tak memenuhi kualifikasi sebagai pekerja formal kota, sehingga menjadi gelandangan dan kemudian diusir sana-sini.
Dalam bidang lingkungan, USAID bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengurangi kegiatan penebangan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung adaptasi perubahan iklim di Indonesia, dengan melibatkan pemerintahan pusat, provinsi dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat lokal, serta sektor swasta di Indonesia. Padahal, Amerika Serikat adalah salah satu negara penghasil emisi terbesar yang membangkang dengan tidak meratifikasi Protokol Kyoto (2001)—yang oleh dunia internasional disepakati sebagai upaya penurunan tingkat emisi gas karbon yang ditujukan bagi negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia melalui tiga mekanisme, yaitu melalui Emmision Tradding, Clean Development Mechanism (CDM) dan Joint Implementation (JI).[7] Inilah standart ganda pemerintah AS. Proyek ini memberikan image positif bagi “pemerintah” negara adidaya itu, tetapi pada saat bersamaan ia juga melindungi perusahaan-perusahaan perusak lingkungan yang berada di Indonesia agar dapat terus berinvestasi dan meningkatkan keuntungannya di Indonesia tanpa hambatan.
USAID, World Bank dan IMF juga mengaburkan jumlah penduduk miskin dengan menetapkan standar kemiskinan internasional 2 dollar per hari dan 1,25 dollar sebagai ukuran di bawah garis kemiskinan. Padahal kita tahu, bahwa pendapatan di atas 2 dollar belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sini, standar kemiskinan diperkecil agar jumlah kemiskinan terlihat tidak banyak. Dalam laporannya yang berjudul Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia – Amerika Serikat 2014 – 2018[8], USAID mengakui bahwa jumlah penduduk miskin adalah lebih dari separuh jumlah penduduk dan hingga kini 40 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, meski pertumbuhan ekonomi telah melampaui 6 persen dalam beberapa tahun terakhir. Bisa dibayangkan, berapa jumlah penduduk miskin jika ukuran yang kita gunakan lebih dari 2 dolllar.
Singkat kata, jika kita jeli melihat upaya pengaruh negara lain, maka posisi USAID adalah agen imperialis. Karena itu, program-program yang ditawarkan bersifat reformis. Program-program perbaikan yang dianjurkan segaris dengan agenda developmentalism, menafikan adanya hegemoni dan struktur sosial-politik-ekonomi yang eksploitatif, sehingga mengalihkan perhatian masyarakat pada akar persoalan yang sesungguhnya: imperialisme dan kapitalisme-neoliberal. Hal ini dimaksudkan agar pengaruh AS di negara penerima bantuan terus berlangsung.
Dulu, Rosa Luxemburg—seorang pemikir Marxis—pernah bilang bahwa penyataan antara revolusi dengan reformasi sama dengan jadi atau tidak jadi (perubahan—pen). Ini lantaran kepentingan antara pemodal dengan buruh dianggap tidak akan pernah ketemu. Buruh memiliki kepentingan ingin sejahtera, sementara pemodal memiliki kepentingan mengakumulasi kapital. Maka, pemilik modal tak akan mungkin bersedia melepaskan alat produksinya kepada kaum buruh. Tapi, proyek reformasi yang ditawarkan USAID ini lebih naif dari pada reformasi kaum borjuis di Inggris (Reform Bill 1832) yang disinggung oleh Marx dalam Manifesto Komunis. Jika tawaran reformasi kaum borjuis bertujuan agar alat produksi tak jatuh ke tangan kaum proletar, program-program reformasi USAID justru mengarahkan agar eksploitasi negara-negara dunia ketiga berjalan secara lebih masif.
Campur tangan lembaga-lembaga donor seperti USAID tentu memiliki se-abrek dampak serius, baik bagi gerakan masyarakat sipil secara khusus maupun Indonesia secara umum. Meski tidak seluruhnya akan termuat dalam tulisan yang pendek ini, yang pasti agenda USAID mengarah kepada depolitisasi dan deradikalisasi seluruh aspek kehidupan sosial yang dilakukan oleh NGO[9]. Praktis, menerima bantuan USAID adalah tak ubahnya memberikan karpet merah bagi imperialialisme AS di negeri ini agar tetap eksis.
***
Sekedar memoar, perjuangan rakyat merebut kemerdekaan 1945 bisa dikatakan berhasil karena bebas dari bantuan asing. Para pendiri bangsa merumuskan persoalan bangsanya sendiri, menyusun pola perjuangannya sendiri, dan pada akhirnya merebut kemerdekaannya sendiri. Di masa itu, imperialisme dan kapitalisme diyakini satu paket: musuh bersama. Dalam Pledoinya, Indonesia Menggugat (1930) yang dibacakan di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung, Soekarno menyebut imperialisme satu paket ini sebagai imperialisme imperialisme modern, untuk membandingkannya dengan imperialisme tua.
“Tidaklah besar beda antara imperialisme-tua daripada bangsa Portegis atau Spanjol atau East India Company Inggeris atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, ke 17, dan ke-18—dengan modern-imperialisme jang mulai mendjalar ke mana-mana sesudah modern-kapitalisme bertachta keradjaan di benua Eropah dan di benua Amerika-Utara? … modern-imperialisme itu adalah anaknja modern-kapitalisme.”[10]
Dengan identifikasi akar persoalan yang matang dan agenda revolusi yang strategis pula, kemerdekaan akhirnya tercapai. Kalaupun kemerdekaan akhirnya diproklamasikan ketika Penjajah Jepang dibom-atom oleh AS, itu hanya merupakan momentum. Bukan berarti kemerdekaan adalah pemberian sekutu. Toh di detik-detik itu, dengan taktiknya yang jenius Soekarno bermain mata dengan Jepang yang notabene negara yang kalah dalam Perang Dunia II[11], bukan dengan negara pemenang seperti AS.
Dus, presiden terkorup di dunia seperti Seoharto lah yang mengundang Nekolim (neokolonialisme dan imerialisme) untuk kembali bercokol di negara yang didirikan dengan getir darah dan air mata ini. Di masa Orde Lama, betapa gigihnya revolusi kemerdekaan dipertahankan meski bangsa ini harus tertatih-tatih. Masih ingat pekik “Go to hell with your aid” Presiden Soekarno pada detik-detik dimana negara ini terus menerus berupaya diintervensi oleh imperium AS untuk memberangus paham komunis. Dalam Pidatonya pada tahun 1946, Soekarno dengan sarkas mengatakan:
Prinsip – inti daripada imperialisme adalah membuat bangsa-bangsa memerlukan barang-barang bikinan imperialis, memerlukan persenjataan daripada pihak imperialis, memerlukan bantuan daripada pihak imperialis. Malaysia, apakah engkau berdikari??? Sama sekali tidak! Kalau mau pertahanan tidak berhenti-berhenti oy minta tolong, Inggris, minta tolong, Australie, minta tolong, New Zealand. Heeeh, kalau betul-betulan kau anggota commonwealth, tolonglah kami. Hey Australie kalau betul-betul kau anggota dariapda commonwealth, tolonglah kepada kami. Hey New Zealand, kalau betul-betul kau anggota daripada commonwealth, tolonglah kepada kami! Tolong, tolong, tolong! Manakah berdikarinya, saudara2, sama sekali tidak ada!!![12]
Tapi, itu cerita masa lalu. Saat bangsa ini masih menjunjung tinggi kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian (Trisakti). Kini kita hidup pada era dimana ketiganya tak menjadi prinsip bernegara, baik bagi pemerintahnya, korporasinya, maupun bagi masyarakat sipilnya. Dampaknya, hingga detik ini kita belum berhasil melepaskan diri dari jerat penjajahan dan kapitalisme yang lebih baru (neoimperialisme dan neoliberalisme).
Bagi banyak NGO atau organisasi masyarakat sipil, mungkin membicarakan imperialisme dan kapitalisme adalah hal tabu. Seolah mustahil diakhiri. Menghapusnya adalah utopis di tengah cengkraman keduanya yang sedemikian dominatif dan hegemonik. Tapi, jika rakyat Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan berpikir demikian (pesimis), negara ini barangkali tidak akan pernah berdiri. Revolusi nasional 1945 bisa tercapai karena para pendiri bangsa terlebih dahulu membanguan berbagai imajinasi tentang masa depan secara radikal. Meski pada saat itu, jumlah buta huruf mencapai 92 %. Upaya ini diakui atau tidak memang berat. Apalagi berbagai lembaga donor asing menawarkan berbagai program yang kelihatannya baik, seperti bagaimana mengadvokasi mereka yang tidak menikmati akses pendidikan, bagaimana mengadvokasi mereka yang tidak memiliki akses kesehatan, bagaimana pemerintahan yang ada bekerja, dll. Tapi satu hal yang pasti, lembaga donor akan selalu menghindari nalar ekonomi politik yang menguak akar penyebab di balik problem yang mereka derita.
Oleh karena itu, mengarahkan gerakan NGO dan masyarakat sipil pada perlawanan terhadap neo-imperialisme, jika menggunakan konsepsi Michael Hardt dan Antonio Negri, (2000) dan neoliberalisme menjadi keharusan. Sebab dari sini akar segala persoalan kemudian dapat digali secara lebih akurat, radikal dan penuh kejujuran. Jika tidak, maka izinkan Penulis meminjam nada satire Hendro Sangkoyo[13]: mari berdoa menurut funding kita masing-masing!***
Penulis adalah pegiat Intrans Institute dan FNKSDA Malang)
Kepustakaan:
Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (Jakarta: LP3ES)
James Petras, Imperialism and NGO’s. Monthly Review 49 (7): 10-27 terjemahan Jurnal Wacana, Edisi 16 Tahun IV 2002
Lisa Aulia, Kepentingan Amerika Serikat Dalam Proyek Ifacs (Indonesia Forest And Climate Support) Melalui Program Usaid (United States Agency For International Development) Di Indonesia. Jurnal JOM FISIP Volume 2 Nomor 2 Mei 2015.
Soekarno, Indonesia Menggugat (1930) dalam Iwan Siswo (Penyusun.) Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I, (Jakarta: KPG, 2014)
Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria (Yogjakarta: STPN Press, 2014).
Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia – Amerika Serikat 2014 – 2018. Laporan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia ‐ Amerika Oktober 2013
Risalah Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Selasa, 25 Maret 2008
Hendrajit, USAID: Instrumen Terselubung Politik Luar Negeri Amerika Serikat Kendalikan Indonesia-Bagian I. http://www.theglobal-review.com 7-11-2010. Diakses: 11 April 2017.
Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme, http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm Diakses 12 April 2017
https://www.usaid.gov/who-we-are Diakses 12 April 2017
————-
[1] https://www.usaid.gov/who-we-are Diakses 12 April 2017
[2] Hendrajit, USAID: Instrumen Terselubung Politik Luar Negeri Amerika Serikat Kendalikan Indonesia-Bagian I. http://www.theglobal-review.com. 7-11-2010. Diakses: 11 April 2017. Di antara strategi USAID di bidang ekonomi adalah: 1. Mempromosikan perdagangan dan investasi. Dengan begitu, USAID berperan membantu Indonesia menjadi perantara antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing maupun dalam negeri. 2. Memfasilitasi Indonesia dalam penyelenggaraan penelitian-penelitian mengenai peluang bisnis di Indonesia. Tujuannya, untuk menciptakan suasana kondusif di Indonesia dan rasa aman bagi para investor asing yang mau berinvestasi di Indonesia. 3. Memberikan pelatihan-pelatihan kepada Sumber Daya Manusia di Indonesia dalam penyusunan undang-undang baru di bidang perdagangan, ijin teknologi, hukum kerja sama dan hukum kontrak kerja. 4. Dan yang tak kalah penting, membantu pemerintah berserta ASEAN melalui ASEAN-US Free Trade, sebagai langkah pesiapan untuk menghadapi perdagangan global melalui Wordl Trade Organization (WTO). 5. Reformasi Sistem Perbankan, melalui reorganisasi dan rekapitulasi lembaga-lembaga perbankan yang ada, serta mengarahkan perbankan untuk lebih mempererat jalinan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha kecil dan menengah untuk mempermudah pemberian kredit kepada mereka. 6. USAID dengan bantuan Departemen keuangan Amerika, membentukk badan bantuan teknis untuk Indonesia yang dulu dikenal sebagai IBRA( Indonesian Bank Restructuring Agency). Fungsinya untuk menganalisis dan menangani restrukturisasi/revitalisasi Bank yang sedang bermasalah.
[3] Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme, http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm Diakses 12 April 2017
[4] Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria (Yogjakarta: STPN Press, 2014), 156
[5] Jika ditotal keseluruhan undang-undang pro asing yang lahir sejak Orde Baru, jumlahnya cukup segnifikan. Ada yang mengatakan 72, Muhammadiyah secara resmi pernah menyatakan 115. Lihat: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/21/ln58me-72-undangundang-di-indonesia-dinilai-diintervensi-asing. Bandingkan: http://nasional.kontan.co.id/news/muhammadiyah-ada-115-uu-melanggar-konstitusi. Penulis sendiri belum pernah menjumpai penelitian mendalam atas kepastian jumlah ini.
[6] Keterangan Salamudin Daeng—Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)—dalam posisinya ketika menjadi saksi ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU No. 25 Tahun 2007. Lihat: Risalah Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta Selasa, 25 Maret 2008
[7] Lihat: Lisa Aulia, Kepentingan Amerika Serikat Dalam Proyek Ifacs (Indonesia Forest And Climate Support) Melalui Program Usaid (United States Agency For International Development) Di Indonesia. Jurnal JOM FISIP Volume 2 Nomor 2 Mei 2015.
[8] Investasi Pembangunan di Indonesia: Indonesia Yang Lebih Kokoh dalam Memajukan Pembangunan Nasional Dan Global: Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia – Amerika Serikat 2014 – 2018. Laporan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia ‐ Amerika Oktober 2013,.
[9] James Petras, Imperialism and NGO’s. Monthly Review 49 (7): 10-27 diterjemahkan dan dimuat dalam Jurnal Wacana, Op.Cit. 123-142
[10] Soekarno, Indonesia Menggugat (1930) dalam Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I, disusun Iwan Siswo, (Jakarta: KPG, 2014), 55
[11] Sebagaimana tradisi yang berkembang di kalangan negara-negara penjajah yang sedang terlibat dalam peperangan, mereka yang kalah harus menyerahkan negara jajahan yang dikuasasinya, seperti yang terjadi atas Filipina ketika harus beralih dalam kekuasaan Amerika ketika negara yang menjajahnya, Spanyol, berhasil dikalahkan oleh Amerika. Demikian juga dengan Indonesia, mestinya dia harus berada dalam kekuasan AS dan Inggris, ketka Jepang, negara yang berhasil merebutnya dari tangan Belanda, dikalahkan oleh AS. Namun berkat kelicikan Jepang dan akrobat politik Seoakrno dan kawan-kawan, akhirnya lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945. Lihat: Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (Jakarta: LP3ES), 13
[12]Lihat: http://www.youtube.com/watch?v=M2GnrDhaJIQ; http://minepad.blogspot.co.id/2014/08/pidato-ir-soekarno-tentang-malaysia.html
[13] Kalimat pembuka Pengantar Jurnal Wacana, Membongkar Proyek Ornop, Edisi 16 Tahun IV 2002, Pengerahan Menuju Demokrasi: Politik Pembiayaan Tindakan Kolektif di Indonesia. Hendro Sangkoyo adalah aktivis senior, pegiat gerakan sosial di Indonesia.