Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
DUA pemilihan umum di Belanda dan Prancis yang terjadi di awal 2017 memberi sedikit kelegaan. Hasil kedua pemilihan umum itu menunjukkan bahwa gelombang populisme kanan yang sukses membawa kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di AS tahun 2016 tidak berlanjut. Geertz Wilders di Belanda dan Marine Le Pen di Prancis, dua tokoh yang selama beberapa tahun terakhir membangun kampanye di atas isu nativis dan identitas, tidak berhasil merebut suara terbanyak.
Meski demikian, hasil pemilu di kedua negara itu perlu dibaca lebih dalam dari sekedar hasil akhir. Di Belanda, Partij voor de Vrijheid (PVV) pimpinan Wilders mendapat 20 kursi dari 150 kursi di parlemen. Ini menjadikan PVV partai kedua terbesar di parlemen setelah Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) pimpinan petahana Mark Rutte yang mendapatkan 33 kursi. Dan perolehan 20 kursi VVD adalah kenaikan sebanyak 5 kursi dari pemilu 2012.
Artinya, Wilders tidak sepenuhnya gagal. Sejak awal ia paham bahwa andaipun PVV mendapat suara terbanyak, hampir tidak ada peluang Wilders menjadi Perdana Menteri. Sulit bagi partai manapun di Belanda membentuk pemerintahan tanpa koalisi. Dan tidak ada partai yang berminat membangun koalisi bersama PVV. Dengan berada di luar pemerintahan, Wilders bisa leluasa terus memainkan isu populisme tanpa perlu dipusingkan dengan urusan teknis pemerintahan seperti yang dihadapi Trump dan para proponen Brexit sekarang.
Berbeda dengan pemilu Belanda dimana sistem yang ada membuat tidak ada pemenang mutlak, pemilihan presiden di Prancis adalah kontes yang lebih ketat dan winner takes it all. Di putaran pertama tidak ada kontestan yang merebut suara terbanyak. Di putaran kedua, Emmanuel Macron mengalahkan Marine Le Pen dengan suara dua kali lebih banyak.
Dilihat secara terpisah, kemenangan Macron cukup fenomenal. Di usia 39 tahun dengan partai yang belum lama dibentuk, ia bisa menjadi pemimpin salah satu negara terbesar di Eropa. Meski jika dilihat secara keseluruhan, narasi utama dalam pemilu Prancis masih tetap berpusat pada Le Pen. Tepatnya, dorongan untuk tidak menjadikan Le Pen presiden. Dan fakta bahwa Le Pen masih tetap bisa mendorong pemilihan presiden hingga dua putaran, dan mendapatkan sekitar sepertiga suara, menunjukkan bahwa fenomena menguatnya populisme kanan dalam politik elektoral masih tetap perlu diperhatikan.
* * *
Dalam tulisan terdahulu, saya mencoba menyajikan dua hal. Pertama, penjelasan mengapa populisme kanan menguat di negara-negara Barat. Kedua, sejauh mana kita bisa menggunakan kerangka analisis populisme dalam melihat Pilkada DKI.
Tulisan saya kemudian mengundang tanggapan dari Muhammad Ridha yang menyerukan perlunya merebut narasi populisme lewat politik progresif. Abdil Mughis Mudhoffir memberikan perspektif lain; aksi-aksi bela Islam yang kita lihat dalam masa kampanye bukanlah populisme (spesifiknya, populisme Islam), melainkan perpanjangan tangan oligarki politik yang memainkan politik rasis.
Menanggapi argumen Mughis, Ridha menuliskan bahwa “politik rasis hanya dapat dimunculkan melalui populisme Islam” dan “meremehkan keterkaitan erat dalam perkembangan spesifik ini akan membuat kita tidak awas mengenai bagaimana pasca moblisasi 411 dan 212, artikulasi politik rasis mulai bermunculan dalam ekspresi politik kelas bawah.” Diskusi lalu dilanjutkan oleh Muhammad Fajar dengan beberapa catatan teoretis terkait populisme, yang pemilihan waktunya sangat tepat untuk membuat kita mundur sejenak guna menyusun kerangka berpikir yang lebih solid.
Ridha, Mughis, dan Fajar membantu saya – dan tentunya pembaca yang lain – dalam memahami fenomena populisme dari beberapa sudut pandang. Ibarat pertandingan sepakbola, adanya tayang ulang dari sudut kamera yang berbeda membuat kita paham apa yang tengah terjadi. Harus saya akui, saya belum punya kontribusi intelektual tambahan terhadap diskusi yang berjalan.
Tapi saya ingin mundur beberapa langkah dan kembali ke motivasi tulisan saya yang pertama. Tulisan itu didorong oleh beberapa observasi terhadap menguatnya politik identitas menjelang Pilkada DKI 2017. Ini bukan hal baru sebenarnya. Politik identitas selalu ada, dan di setiap Pemilu atau Pilkada itu selalu dimainkan. Tapi Pilkada DKI 2017 adalah bentuk paling brutal dari politik identitas, melebihi Pilkada DKI 2014 dan Pemilu 2014 yang sebenarnya pun sudah cukup brutal. Ini jelas bukan yang terakhir, dan kebrutalan itu akan meningkat.
Observasi kedua, dukungan terhadap aksi-aksi bela Islam ternyata lintas kelas. Massa aksi-aksi bela Islam terdiri dari kelompok miskin kota yang identik dengan ormas-ormas keagamaan seperti FPI, juga kelompok menengah dan professional, pengusaha, pelaku bisnis dan pasar modal.
Observasi ketiga, di tulisan saya yang pertama saya agak spesifik menggambarkan sosok Rizieq Shihab sebagai pemimpin de facto gerakan aksi-aksi bela Islam. Ia juga menjadi figur yang dianggap perlu untuk didekati oleh kandidat gubernur Anies Baswedan. Mughis berpendapat berbeda; baginya Rizieq Shihab tak lebih dari boneka oligarki.
Beberapa lama setelah tulisan saya yang pertama (dan tanggapan-tanggapan selanjutnya), sejumlah kasus yang membuat Rizieq berhadapan dengan hukum membuat perannya meredup. Saya mulai bisa menerima argumen Mughis bahwa Rizieq memang hanya boneka yang dimainkan oleh oligarki. Tapi tanpa Rizieq, ternyata gelombang aksi-aksi semacam terus berlanjut. Artinya, seperti tanggapan Ridha selanjutnya, unsur voluntarisme tidak bisa kita anggap remeh.
Observasi keempat, menarik untuk melihat pemenang Pilkada DKI Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berusaha menampilkan counter-narratives bahwa kemenangan mereka adalah kemenangan politik progresif lewat advokasi hak-hak ekonomi dan sosial (Ecosoc rights), bukan karena politik identitas. Tapi sulit untuk menampik bahwa di tataran pemilih akar rumput, ketika hitung cepat Pilkada berakhir, yang dominan terlihat adalah luapan ekspresi identitas keislaman. Bukan tentang akan berakhirnya penggusuran atau reklamasi.
Ada banyak observasi lain yang perlu kita kumpulkan sehingga kita bisa mendapatkan lebih banyak titik untuk dihubungkan.
Ini semua terjadi di periode yang kurang lebih sama dengan kemenangan Brexit dan Trump, yang juga dibangun atas isu-isu identitas. Ada banyak pola dan anatomi yang mirip. Karena itulah saya berpendapat, kerangka populisme tetap relevan untuk digunakan dalam melihat fenomena yang terjadi di Indonesia. Penjelasan tentang apa yang kita lihat di Indonesia sebagian ada di AS, Inggris dan Eropa daratan, dan sebaliknya.
Jika penjelasan itu ada di sana, mungkin kita juga bisa melihat alternatif solusinya dari tempat-tempat itu, dan juga dari negara-negara lain. Apa yang menyebabkan Macron bisa mengalahkan populisme Le Pen; apa yang ditawarkan oleh VVD untuk meredam PVV di Belanda. Di saat yang sama, kita juga perlu belajar dari kegagalan populisme ala Chavez di Venezuela dan Thaksin di Thailand untuk bertahan.
Singkatnya, kita sedang ada di periode dimana populisme dan politik identitas membuat politik begitu menjengkelkan. Tapi dalam situasi ini saya teringat John Keating dalam film Dead Poets Society: kita perlu naik ke atas meja dan melihat “dari sudut pandang yang berbeda”. Ketika pepohonan membuat sudut pandang kita terbatas, kita perlu melihat hutan dari atas.
Itulah mengapa diskusi ini perlu berlanjut, untuk menjaga kewarasan kita setelah Pilkada yang brutal.***
Penulis adalah mantan pengajar FEUI, sekarang tinggal di Manila, Filipina