Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
DALAM salah satu artikel klasik tahun 1930, “Wave Of Materialism” and “Crisis of Authority,” Sang Komunis Besar Antonio Gramsci sempat berujar; “krisis terjadi tepatnya karena yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat muncul; dalam peralihan ini berbagai gejala mengerikan muncul!” Ujaran lampau dari Gramsci ini setidaknya tengah menangkap semangat zaman kita sekarang. Krisis kapitalisme global yang tidak kunjung pulih memang mengondisikan ladang perlawanan terhadap kekuasaan kelas berkuasa. Namun perlawanan ini tidak berarti akan menciptakan alternatif baru yang progresif yang berguna bagi politik rakyat pekerja. Alih-alih situasi ini justru memunculkan bentuk-bentuk politik absurd yang tidak kalah mengerikannya dari posisi status quo.
Dalam kerangka inilah saya akan mencoba untuk memperjelas posisi saya perihal argumen “merebut populisme.” Vis a vis artikel Ari A. Perdana dan Abdil Mughis Mudhoffir, saya berpendapat bahwa kedua argumen yang diajukan masih memiliki kelemahan dalam memahami momen populis yang muncul sekarang, yang dengannya tentu berimplikasi pada keterbatasan dalam merespon momen populis sekarang ini. Sebelumnya perlu diperjelas terlebih dahulu bahwa antara artikel Ari dan Mughis memiliki tujuan argumen yang berbeda walau keduanya sama-sama terkait dengan kritik atas wacana “merebut populisme”: Artikel Ari hendak melakukan respon atas kritik saya, sementara Mughis melakukan kritik atas posisi saya. Untuk keperluan penjelasan, saya akan mencoba untuk merespon dua artikel ini satu persatu.
Apologi Pendekatan Kebudayaan?
Ada empat poin tanggapan dari Ari terhadap kritik saya. Keempat poin ini meliputi: 1) perlunya melihat suatu fenomena sosial dengan membandingkan berbagai sudut pandang; 2) penyangkalan bahwa penjelasan populismenya berada dalam kerangka Huntingtonian; 3) kritik atas pernyataan saya tentang “asumsi Huntingtonian harus dikubur selama-lamanya” sebagai suatu arogansi intelektual; dan 4) klarifikasi bahwa artikel sebelumnya memang tidak diniatkan untuk menawarkan solusi.
Dari respon-respon ini, saya akan mencoba untuk memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama, benar bahwa dalam menjelaskan fenomena sosial kita harus membandingkan berbagai sudut pandang. Namun bukan berarti tiap sudut pandang memiliki kebenaran yang sama. Jika itu diterima, maka kita akan terjebak dalam relativisme yang dengannya kita tidak dapat menilai apa yang benar dari suatu pernyataan tentang fenomena sosial. Untuk itu menjadi penting kemudian untuk melakukan klarifikasi terlebih dahulu mengenai cara pandang, apakah cara pandang yang ditawarkan memiliki kekuatan penjelasan yang dibutuhkan untuk memahami suatu peristiwa sosial secara benar.
Kedua, dalam kaitannya dengan klarifikasi cara pandang, di sini saya mengajukan klaim bahwa argumen culture matters sebagaimana yang dikemukakan Ari adalah argumen Huntingtonian. Ari mungkin membela diri bahwa ia justru berargumen perihal pertarungan dalam peradaban (clash within civilization) yang dengannya berbeda dengan Huntington (clash of civilization), dimana dalam kebudayaan itu sendiri ada pertarungan sub-kebudayaan. Bisa saja ini dianggap sebagai perbedaan dengan argumen Huntington. Namun yang luput dari tanggapan Ari adalah, apakah sifat dasar (nature) dari kebudayaan (dan tentu sub-kebudayaan)? Apakah suatu (sub) kebudayaan disebut kebudayaan hanya karena dia berbeda dari (sub) kebudayaan yang lain? Jika ini dianggap benar, bukankah kita kemudian terjebak dalam logika tautologi dimana kebudayaan ada karena perbedaan kebudayaan? Ketika Ari tidak mengungkap sifat dasar ini, maka sebenarnya dia tidak beranjak ke mana-mana dari premis pengetahuan Huntington mengingat penjelasan tentang posisi identitas dan kebudayaan ditempatkan secara a-historis. Walau mengelak, Ari juga sama seperti Huntington menempatkan kebudayaan menjadi terlepas dari keseluruhan dinamika masyarakat yang menyejarah dengan struktur ekonomi-politik yang ada. Karena sejarah sudah membuktikan bahwa perbedaan budaya tidak melulu menciptakan benturan budaya, kehadiran kebudayaan baru tidak melulu menciptakan ketidakamanan bagi mereka yang menganut budaya lama. Hal ini tentu sudah dibuktikan dengan adanya pengalaman asimilasi dan akulturasi antar kebudayaan dalam sejarah masyarakat. Tapi sejarah juga menunjukkan bahwa perbenturan kebudayaan juga dimungkinkan. Oleh karenanya kita perlu mempertanyakan lebih jauh, lalu apa yang sebenarnya mendorong terjadinya benturan suatu kebudayaan jika perbedaaan kebudayaan itu tidak melulu mendorong terjadinya benturan (atau ketidakbenturan)? Jawaban ini tidak dapat ditemukan dalam penjelasan dari kebudayaan itu sendiri. Ada dimensi non budaya yang ikut memengaruhi dinamika budaya. Disinilah kita harus melihat bahwa ada dimensi non-kultural (i.e ekonomi-politik) yang harus ikut dimasukkan dalam penjelasan ketika kita hendak berbicara tentang budaya itu sendiri. Dalam kerangka ini, bagi saya, Ari secara tidak sadar justru mereproduksi argumen Huntingtonian.
Ketiga, Implikasi dari argumen dari poin ke dua adalah kita harus memutuskan bahwa penjelasan yang berdasarkan kebudayaan, sebagai penjelasan yang buruk yang justru mengaburkan pemahaman kita atas situasi sosial. Oleh karenanya, pernyataan “harus dikubur selama-lamanya” lebih tepat untuk ditempatkan sebagai suatu kejujuran yang vulgar dibandingkan sebagai arogansi. Saya tidak menolak akan adanya suatu argumen kebudayaan, namun sekali lagi cara pandang kebudayaan itu harus ditempatkan secara lebih komprehensif dalam kaitannya dengan konstelasi ekonomi-politik masyarakat yang menyejarah. Ketika kita tidak menempatkan penjelasan ini dalam totalitas tersebut, kita akan kesulitan untuk memahami mengapa suatu kebudayaan bereaksi dan memiliki gaung dalam suatu momen sejarah tertentu. Dan mengulang-ulang perspektif yang keliru tentu akan berbahaya bagi pengetahuan itu sendiri.
Populisme Islam, Keterbatasan Argumen Oligarki, dan Pentingnya Analisa Kelas
Mughis mengkritik saya bahwa terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa populisme Islam akan menjadi sesuatu yang menjanjikan. Bagi Mughis, momen populisme Islam tidak dapat dilepaskan dari konflik internal dalam tubuh oligarki Indonesia dalam memperebutkan sumber daya negara. Oleh karenanya alih-alih dikhawatirkan, populisme Islam yang ada justru tidak lebih dari business as usual dari oligarki itu sendiri. jika memang ada yang perlu dikhawatirkan tentu adalah artikulasi rasis di balik populisme Islam tersebut.
Terdapat beberapa kebenaran dalam argumen ini. Perihal adanya kontestasi antar elit oligarki yang ikut memengaruhi dinamika populisme, bukanlah sesuatu yang saya tolak. Dan itu sudah banyak dibuktikan dengan adanya beberapa analisa yang ada sebelumnya (yang membuat saya memang sengaja untuk melewatkan penjelasan tentang oligarki dan populisme Islam).
Akan tetapi yang luput dari pandangan ini adalah mengapa bisa terjadi mobilisasi massa yang besar pada saat itu? Walau harus diakui bahwa ada peranan kalangan oligarki untuk membiayai mobilisasi, kita juga tetap menemukan adanya elemen-elemen dalam mobilisasi yang secara sukarela terlibat dalam momen tersebut. Dan keterlibatan secara sukarela tersebut ikut memengaruhi tekanan politik dari mobilisasi yang ada. Kita mungkin dapat berargumen tentang terjadinya operasi “kesadaran palsu” dalam mobilisasi kemarin karena massa berhasil dimanipulasi oleh politik elit. Namun kita perlu juga melihat lebih jujur di sini bahwa dengan adanya keterlibatan sukarela, kita setidaknya menemukan bahwa ada situasi agensi yang tidak dapat dijelaskan dari kerangka oligarki semata.
Argumen Mughis semakin bermasalah ketika ia menyatakan bahwa tidak ada aliansi lintas kelas yang muncul dalam momen populisme Islam. Dalam momen 411 dan 212, sangat nyata bahwa artikulasi politiknya adalah tentang penistaan agama yang diiringi dengan ekspresi rasis didukung oleh kaum miskin perkotaan dan juga kelas menengah. Situasi kemarahan kaum miskin kota terhadap kebijakan penggusuran pemerintahan Ahok dikombinasikan dengan penunggangan elit nasional tertentu yang berhasil memobilisasi sektor kelas menengah tertentu, memfasilitasi terjadinya penyatuan posisi politik ini. Vedi Hadiz (2016) berpendapat bahwa populisme harus dipahami sebagai “suspension of class difference” (penangguhan perbedaan kelas) dimana kepentingan-kepentingan kelas yang beragam dapat ditangguhkan dalam momen politik tertentu. Dalam kerangka ini, di sini kita menemukan adanya kontingensi penyatuan agenda politik lintas kelas di bawah narasi penistaan agama yang cenderung rasis.
Implikasi dari argumen ini adalah kita perlu waspada dengan hubungan antara populisme Islam sekarang dengan politik rasis. Benar bahwa secara analitis populisme Islam dengan rasisme tidak memiliki hubungan langsung. Namun dalam konjungtur politik yang ada, penubuhan politik rasis hanya dapat dimunculkan melalui populisme Islam. Meremehkan keterkaitan erat dalam perkembangan spesifik ini akan membuat kita tidak awas mengenai bagaimana pasca moblisasi 411 dan 212, artikulasi politik rasis mulai bermunculan dalam ekspresi politik kelas bawah. Lihat, misalnya, beberapa serikat buruh mulai mengggunakan argumen rasis tentang anti Tiongkok. Dan juga bagaimana kita menemukan semakin masifnya dakwah-dakwah yang dilakukan di Mesjid-mesjid komunitas yang sangat berbau rasis. Menyatakan bahwa politik rasis tidak muncul dari populisme Islam sekarang adalah suatu pernyataan yang myopik terhadap situasi.
Yang diperlukan sekarang justru adalah suatu kerangka analitis yang materialis dimana kita perlu sensitif tentang materialitas situasi dimana populisme islam muncul sebagai suatu peristiwa sosial. Kerangka oligarki bisa menjelaskan mengapa ia bisa terjadi, namun tidak memberikan argumen mengenai mengapa ia dapat mewujud dalam bentuknya yang sekarang. Jika memang ia adalah suatu bentuk business as usual, tentu artikulasi populisme beserta dengan praktek mobilisasi politik yang menantang keberadaan institusi formal tidak perlu dilakukan oleh kalangan elit. Namun, nyatanya, justru hal ini dilakukan oleh mereka dan berhasil untuk memobilisasi massa. Disinilah kita perlu penjelasan yang lebih memadai untuk menjawab pertanyaan ini.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)