DALAM rangka menjawab tanggapan Muhammad Ridha atas tulisan saya, tesis oligarki tentang ekonomi-politik Indonesia relevan untuk kembali didiskusikan. Menurut saya, tesis ini dapat membantu menunjukkan bahwa kekhawatiran sebagian pihak akan kebangkitan populisme Islam pasca serial Aksi Bela Islam, sebagai pandangan yang kurang berdasar. Persoalannya, posisi teoretis yang saya gunakan berbeda dengan sudut pandang Ridha dalam melihat oligarki. Oleh karena itu, penting untuk mendiskusikan kembali proposisi-proposisi pokok tesis oligarki yang saya gunakan untuk sampai pada simpulan yang pesimistis tentang kebangkitan gerakan Islam pasca Aksi Bela Islam.
Tesis oligarki yang saya gunakan bertolak dari karya Richard Robison dan Vedi Hadiz, baik dalam buku (2004) Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, maupun beberapa artikel mereka, terutama yang berjudul The Political Economy of Oligarchy and the Reorganisation of Power in Indonesia. Karya-karya ini menekankan oligarki sebagai suatu bentuk relasi kekuasaan produk dari perkembangan kapitalisme awal. Pengertian ini berbeda dengan konsepsi yang dikemukakan Winters (2011, 2013), yang menekankan pada aktor-aktor (oligark) yang berperan dalam politik mempertahankan kekayaan. Namun demikian, cara pandang Weberian ala Winters semacam ini justru paling banyak digunakan oleh para pengkritik tesis oligarki, termasuk yang ditujukan kepada Robison dan Hadiz. Di sinilah kesalahan pertama Ridha dalam mengkritik tesis oligarki yang digunakan dalam menjelaskan gejala populisme Islam di Indonesia.
Tidak heran jika kemudian Ridha –termasuk beberapa pluralis seperti Edward Aspinall (2014, 2015), Marcus Mietzner (2014, 2015), Loren Ryter (2009) maupun Ian Wilson (2011, 2015) –menilai bahwa tesis oligarki bersifat elitis dan karena itu mengabaikan aspek agensi. Menurut Ridha, adanya beberapa elemen yang terlibat secara sukarela dalam aksi Bela Islam menunjukkan suatu “situasi agensi yang tidak dapat dijelaskan dari kerangka oligarki semata”. Dengan kata lain, Ridha hendak mengemukakan bahwa pengaruh elite oligarki tidak bersifat total dan dominan.
Argumen serupa juga telah dikemukakan Mietzner (2015) yang menilai kemenangan Jokowi pada pemilu 2014, misalnya, sebagai bukti bahwa elite populis di luar kelompok oligarki masih memiliki ruang bermanuver dalam menentukan politik Indonesia. Mietzner, dengan kata lain, juga menegaskan bahwa oligarki tidak berkuasa secara total di Indonesia. Pandangan-pandangan semacam ini, menurut saya, merupakan konsekuensi dari pilihan analisis yang menekankan pada peran aktor dan agensi (actor-based analysis) ketimbang pada struktur sosial. Karena itu, oligarki juga lebih dipahami sebagai aktor (elite) daripada sebagai relasi.
Analisis berbasis aktor semacam ini juga telah mendorong mereka membuat kategorisasi elite politik di Indonesia berdasarkan latar belakang ‘ideologisnya’ (lihat Metzner 2011, 2014; Aspinall 2015) menjadi elite oligarki, semi-oligarki, dan non-oligarki atau reformis. Hasilnya, politik Indonesia pasca Soeharto pada akhirnya dipahami secara moralis-normatif sebagai hasil dari pertarungan antara yang baik (kelompok reformis) dengan yang jahat (oligarki). Terpilihnya Jokowi sebagai presiden, misalnya, dipandang secara optimistis oleh Mietzner sebagai kemenangan kelompok reformis. Pertanyaannya, apakah keberhasilan Jokowi merebut kekuasaan politik formal serta-merta membuat agenda reformasi lebih diutamakan ketimbang kepentingan oligarki? Nyatanya, elite-elite yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) justru menjadi bagian dari kabinet Jokowi.
Aspinall (2015, 899) sebenarnya telah mengakui bahwa Jokowi sebagai aktor non-oligarki telah menunjukkan ketidakmampuannya melepaskan diri dari warisan demokrasi yang kolutif. Mengapa? Dalam pandangan pluralis jawaban atas pertanyaan ini dikembalikan kepada kategorisasi aktor politik yang didominasi oleh elite oligarki itu. Sementara analisis yang menekankan pada struktur sosial melihat gejala itu sebagai petunjuk adanya keterbatasan agensi yang sekaligus menegaskan kelemahan pendekatan aktor.
Dengan demikian, apakah elemen-elemen sosial yang diklaim oleh Ridha terlibat secara sukarela dalam aksi Bela Islam itu menunjukkan adanya aspek otonomi agensi terlepas dari struktur sosial? Jika oligarki dipahami sebagai aktor, maka jawaban atas pertanyaan ini adalah ‘iya’, sebagaimana telah dikemukakan Ridha. Artinya, elemen ‘sukarela’ itu berada di luar kontrol oligarki yang dipahami sebagai aktor elite. Argumen otonomi aktor semacam ini juga dapat ditemukan pada tulisan-tulisan Ian Wilson dalam menjelaskan fenomena kelompok-kelompok kekerasan semacam FPI dan FBR.
Menurut Wilson (2015, 82), kelompok-kelompok vigilante memiliki otonomi relatif terhadap elite dan karena itu mereka dapat bernegosiasi dengan elite ekonomi dan politik untuk kepentingan mereka sendiri. Otonomi relatif kelompok-kelompok kekerasan semacam itu, dalam pandangan Wilson, tidak dapat ditemukan pada era Suharto. Pada era ini, kelompok kekerasan seperti Pemuda Pancasila, merupakan instrumen kekerasan negara yang dikendalikan oleh kalangan militer. Kondisi ini merupakan produk dari kekuasaan yang tersentralisasi di bawah kontrol Suharto. Pada konteks ini, menurut Wilson, analisis yang cenderung ‘elitis’ seperti tesis oligarki masih relevan digunakan. Akan tetapi, dalam konteks kekuasaan yang telah terdesentralisasi, penjelasan yang elitis menjadi kurang berguna. Dengan kata lain, menurut Wilson, otonomi relatif kelompok-kelompok vigilante merupakan produk dari karakteristik kekuasaan yang tidak lagi terpusat.
Kritik terhadap tesis oligarki sebagai analisis yang elitis barangkali memang tepat jika ditujukan kepada Winters. Namun, posisi teoretis Robison dan Hadiz, sebagaimana yang juga saya gunakan, sama sekali berbeda karena memahami oligarki sebagai relasi kekuasaan dan menekankan analisis pada struktur sosial. Implikasinya, agensi tidak dapat dipahami memiliki otonomi penuh atas tindakannya terlepas dari struktur sosial yang melingkupinya. Salah satu ungkapan yang dapat menggambarkan posisi agensi dalam struktur sosial telah dikemukakan oleh Karl Marx (1852) dalam The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaprte: ‘Men make their own history, but they do not make it as they please; they do not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing already, given and transmitted from the past’.
Keadaan-keadaan yang melingkupi agensi itu yang disebut sebagai struktur sosial, dan tidak ada seorang pun yang bisa terlepas darinya. Mengandaikan tindakan individu atau suatu kelompok otonom sama saja dengan mencerabut seseorang dari lingkungan sosialnya. Struktur sosial ini yang terbentuk dari sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan dan kekuasaan serta upaya mempertahankannya atau disebut dengan oligarki. Bertolak dari tesis ini, maka aksi Bela Islam merupakan produk dari relasi kekuasaan yang oligarkis itu.
Keikutsertaan elemen-elemen sosial, terutama dari kalangan Muslim konservatif, dalam mobilisasi gerakan itu dengan demikian tidak lepas dari kerangka oligarki itu. Pada kenyataannya, aksi Bela Islam telah memfasilitasi kepentingan akumulasi kapital dan kekuasaan elite ekonomi politik tertentu dalam kontestasi pemilihan kepala daerah di Jakarta. Lihat, misalnya, keterlibatan tokoh-tokoh pendukung Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono dalam beberapa aksi Bela Islam yang lalu. Anies Baswedan sebagai salah satu calon kepala daerah yang lolos pada putaran pertama pilkada Jakarta bahkan secara nyata menunjukkan dukungan dan keterlibatannya dalam acara peringatan ke-51 Supersemar pada tanggal 11 Maret 2017 yang lalu bersama tokoh-tokoh Muslim konservatif, termasuk Tommy Suharto.
Dari kasus ini, apakah bisa disimpulkan bahwa beberapa kelompok sosial terlibat secara sukarela dalam aksi Bela Islam? Tentu tidak. Pilihan tindakan mereka tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang oligarkis. Membayangkan adanya elemen sosial dalam aksi Bela Islam yang memiliki kepentingan dan tujuan tersendiri terlepas dari kepentingan oligarki adalah naif. Sederhananya, aksi Bela Islam tidak lain merupakan bagian dari instrumen oligarki dalam upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan dan kapital.
Pertanyaan yang sama juga dapat diajukan untuk menilai apakah Jokowi dan Ahok merupakan tokoh reformis yang independen dan otonom dari kepentingan oligarki? Tentu tidak. Kasus dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras ataupun Reklamasi, misalnya, jelas menunjukkan bagaimana Ahok juga menjadi bagian dari oligarki. Masuknya beberapa tokoh militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM serta adanya prioritas kebijakan negara di bidang infrastruktur jelas menunjukkan bahwa Jokowi juga bagian dari oligarki.
Pertanyaan selanjutnya, apakah keberhasilan aksi Bela Islam dalam memobilisasi massa dalam jumlah besar mengindikasikan masa depan gerakan Islam yang menjanjikan? Tentu juga tidak. Mengingat aksi ini tidak lain sekadar instrumen oligarki dalam kontestasi perebutan sumber daya ekonomi dan politik, sehingga keberhasilan menyatukan berbagai kelompok dalam satu gerakan hanya bersifat sementara. Seperti yang telah saya kemukakan pada tulisan sebelumnya, euforia kebangkitan Islam ini akan semakin surut setelah pilkada usai dan kemungkinan besar akan muncul kembali dalam momen kontestasi politik lainnya. Alasannya, fondasi yang memungkinkan terbangunnya populisme Islam tidak tersedia dalam konteks ekonomi politik di Indonesia. Atas dasar ini pula saya berargumen bahwa aksi Bela Islam bukan merupakan aksi yang terbangun dari aliansi lintas kelas, melainkan sekadar aliansi kelompok-kelompok kepentingan.
Artinya, kekhawatiran akan menguatnya populisme Islam di Indonesia pasca aksi Bela Islam merupakan pandangan yang kurang berdasar. Yang patut menjadi perhatian justru euforia kebangkitan Islam itu saat ini juga tengah menjadi retorika yang digunakan oleh oligarki dalam memobilisasi simpati dan dukungan politik, atau sebaliknya digunakan untuk menyerang lawan politik dalam pilkada Jakarta.
Keadaan ini juga yang bisa menjelaskan mengapa wacana publik yang rasis dan sektarian kian merebak belakangan ini. Dengan kata lain, euforia semu atas bangkitnya Islam telah memberi jalan bagi menguatnya rasisme dan sektarianisme dalam kontestasi politik di Indonesia. Jadi, bukan karena populisme Islam tampak menguat lantas melahirkan politik yang rasis seperti klaim Ridha. Rasisme dapat muncul meskipun euforia kebangkitan Islam tidak hadir, seperti kasus rasisme anti-cina yang mengiringi kejatuhan Suharto.
Sejauh relasi oligarkis terus direproduksi dalam kontur ekonomi-politik di Indonesia, sejauh itu pula politik yang eksklusif dengan menggunakan retorika sektarian dan sejenisnya akan tetap ada. Tawaran Ridha untuk ‘merebut’ populisme tanpa memberi jalan untuk keluar dari relasi oligarki, dengan demikian, hanya akan menjadi anjuran yang retoris dan sia-sia belaka.***
Kepustakaan:
Aspinall, E. 2015. ‘The Surprising Democratic Behemoth: Indonesia in Comparative Asian Perspective’, Journal of Asian Studies, 74(4): 889-902.
Hadiz, V. R. and R. Robison. 2013. “The Political Economy of Oligarchy and the Reorganisation of Power in Indonesia.” Indonesia 96 (October): 35-57.
Mietzner, M. 2014. ‘Oligarchs, Politicians and Activists: Contesting Party Politics in Post-Suharto Indonesia’, dalam Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (ed.), Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Cornell Southeast Asia Program Publications: Ithaca, NY, pp. 99-116.
Mietzner, M. 2015. Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. Policy Studies 72, East West Center: Hawaii.
Robison, R and V. R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge Curzon: New York.
Ryter, Loren. 2009. ‘Their moment in the sun: the new Indonesian parliamentarians from the old OKP’, dalam Gerry van Klinken and Joshua Barker (eds.), State of authority: the state in society in Indonesia. Cornell Southeast Asia Program Publications: Ithaca, NY pp. 181-218.
Wilson, I. D. 2011, ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Indonesia’, dalam Gerry van Klinken and Edward Aspinall (eds.), The State and Illegality in Indonesia. KITLV Press: Leiden, pp. 239-260.
Wilson, I. D. 2012. ‘Testing the boundaries of the state: gangs, vigilantes and violent entrepreneurs in Southeast Asia’, dalam Richard Robison (ed.) Routledge Handbook of Southeast Asian Politics. Routledge: London, pp. 288-302.
Wilson, I. D. 2015. The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: coercive capital, authority and street politics. Routledge: London.
Winters, J. 2011. Oligarchy. Cambridge University Press: New York.
Winters, J. 2014. “Oligarchy and Democracy in Indonesia.” In Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, dalam Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (ed.), Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Cornell Southeast Asia Program Publications: Ithaca, NY, pp. 11-34.