David Hume [1]

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: www.telegraph.co.uk

 

DAVID Hume [1711-1776] lahir di Edinburgh, perbatasan Skotlandia, adalah salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial modern. Di lingkar intelektual Eropa di zamannya, Hume lebih dikenal sebagai seorang sejarawan, meski pemikirannya merentang pada bidang kajian yang sekarang disebut sebagai sosiologi, ekonomi-politik, etika, hingga kajian-kajian religi. Semua bidang kajian ini pada masa Hume merupakan cabang dari satu tubuh besar moral philosophy, ilmu mengenai hakikat manusia. Sahabatnya, Adam Smith, mengenang Hume sebagai seorang pribadi riang, pandai bergaul dan berpikiran terbuka yang selalu siap membantu orang-orang yang di sekitarnya. Mereka berdua memang saling mengenal dan kerap bertukar pikiran dalam diskusi-diskusi The Select Society, suatu kolektif diskusi seniman-intelektual yang turut membidani lahirnya era emas “Scottish Enlightenment”. Jauh sebelum mengenal Hume, Smith sendiri pernah dihukum di kampus Oxford tempatnya belajar akibat kedapatan membaca buku Hume, A Treatise of Human Nature, Being an Attempt to Introduce the Experimental Method of Reasoning into Moral Subjects [1739] di perpustakaan.

Tulisan ini, bagaimanapun, tidak akan mengikuti Adam Smith untuk membaca tiga jilid karya lengkap Hume di atas. Kita akan dibantu oleh duo J. M. Keynes dan Piero Sraffa yang di tahun 1938 menerbitkan sebuah “tulisan baru” berjudul An Abstract of a Treatise of Human Nature [1940]. Yang diterbitkan keduanya tak lain merupakan pamflet anonim yang ditulis Hume pasca penerbitan “A Treatise of Human Nature..” yang kurang sukses di pasaran. Meski singkat, pamflet ini adalah ringkasan argumen utama dari “A Treatise of Human Nature..” yang menurut kedua ekonom itu masih merupakan pengantar paling baik untuk menyelami esensi pemikiran Hume[1].

Refleksi Hume bertolak dari masalah bagaimana para filsuf mengajukan definisi-definisi mengenai hakikat manusia tanpa memberi bukti yang cukup memadai, tanpa derajat keakuratan yang cukup jelas. Misalnya ada seorang filsuf yang mengajukan pernyataan bahwa “esensi manusia sesungguhnya adalah mahkluk penuh dosa”, atau “manusia pada esensinya tidak menyukai kerja”. Apa buktinya? Tapi pertanyaan Hume bukan itu, ia bertanya lebih jauh; bagaimana cara membuktikannya? dan apa ukuran pembuktiannya?

Bagi Hume, jika kita bisa menjawab apa cara pembuktian terbaik bagi setiap pernyataan mengenai hakikat manusia, maka ilmu manusia yang ilmiah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ilmu-ilmu alam, menjadi mungkin. Di masa Hume, ilmu mengenai masyarakat manusia yang akurat sedang amat dibutuhkan sebab pandangan-pandangan mengenai masyarakat, kerap bersaling-silang dengan pandangan-pandangan metafisik—pandangan-pandangan anti-ilmu kaum elit yang selalu jadi justifikasi dan selubung penindasan antar manusia.

Prinsip utama yang jadi landasan bagi penyelidikan Hume ialah pengalaman, sebagai alat yang darinya pernyataan-pernyataan ilmu dapat bersandar. Yang dimaksud dengan “landasan” berarti Hume memakai prinsip hemat asumsi, jika satu fenomena dapat dijelaskan dengan banyak prinsip, maka kita mesti mencari prinsip terdasar yang dari situ prinsip-prinsip lain dapat diturunkan. Sedangkan yang Hume maksud sebagai “pengalaman” mesti dimengerti dari definisi dasar yang ia ajukan sebagai berikut;

Persepsi, segala hal yang hadir di dalam pikiran manusia, baik yang diperoleh melalui penggunaan pancaindera, digerakkan oleh hasrat, olah nalar, atau refleksi.

“Persepsi”, lalu dibagi Hume lagi menjadi dua hal,

 Impresi, yaitu persepsi pikiran, yang diperoleh manusia melalui cerapan pancaindera mengenai berbagai macam perasaan, hasrat, semangat, emosi, atau objek eksternal, dan

Ide, yakni persepi yang diperoleh manusia tanpa cerapan inderawi, hasil dari refleksi manusia atas emosi, kejadian-kejadian, atau objek eksternal yang tidak hadir di depannya[2].

Perbedaan keduanya cukup jelas, kata Hume. Sejelas perbedaan antara merasa (feeling) dan berpikir (thinking).

Dari definisi-definisi ini Hume lalu mengajukan proposisi pertama sistemnya; segala jenis Ide berasal dari impresi, dan kedua, manusia tidak bisa memikirkan apapun yang belum pernah ia alami dan merasuk ke pikirannya.[3] “Impresi” berarti mendahului, dan merupakan satu-satunya gerbang menuju “ide”—dari impresi naik ke ide.

Ide-ide semacam ‘esensi’ atau ‘substansi’ yang banyak diajukan para filsuf sebab itu mesti dikonfrontasi dengan pertanyaan, “Dari impresi apa ide-ide itu berasal?” jika tidak bisa ditunjuk impresi mana yang merupakan asal dari ide tertentu, maka ide itu dapat dianggap gilba. Namun Hume juga menyadari bahwa yang kerap disebut sebagai “esensi” atau “substansi” tidak sekadar merujuk pada objek-objek sifatnya tetap atau stagnan. Sebaliknya, dalam pengertian itu kerap termuat pengertian yang memahami ‘esensi’ sebagai suatu proses. Dalam pengertian esensi sebagai proses ini, maka penalaran atas objek-objek yang jadi sandaran impresi mesti berurusan dengan ide mengenai kesalinghubungan (correlations) dan pada akhirnya, ide mengenai sebab-akibat[4]. Jika sebab mendahului akibat, maka ide mengenai ‘sebab’ inilah yang harus diselidiki. Demikian keyakinan David Hume. Dari situ ia mengajukan contoh yang sepertinya membenarkan testimoni Adam Smith bahwa sahabatnya itu adalah seorang riang dan pandai bergaul. Hume memberi kita penyelidikan mengenai ide ‘sebab-akibat’ lewat contoh permainan bola biliar.

Anggaplah meja biliar kita kosong, dan hanya ada Hume sebagai seorang master dengan tongkat biliar favorit, bola berwarna putih, dan bola berwarna merah. Setelah sedikit menghela nafas, Hume yang telah mengasah ujung tongkat biliarnya, kemudian mengambil posisi. Ia menarik kaki kirinya ke belakang, merendahkan punggungnya, menghimpit seperenam tongkat biliar di antara jari kanan yang telah ia renggangkan (ia kidal), sambil terus menatap bola merah dengan tatapan tajam khas seorang terpelajar. Satu, dua, kali Hume menarik tongkat di tangan kirinya, dan pada tarikan ketiga ia melepaskan sentukan. Plak! Bola merah hilang dari pandangan masuk ke lubang condong kiri dengan mulus.

Bola biliar putih (A) yang menabrak bola biliar merah (B) menghasilkan gerak bola merah (B’) yang mengarah menuju lintasan lubang condong kiri.

Bagaimana ini bisa terjadi? Tanya sang filsuf. Jelas saja. Ada Hume yang sedang bermain bola biliar. Ujar kita yang bukan filsuf. Tapi begitulah filsafat yang baik konon bekerja, segalanya hemat asumsi dan sederhana. Apa yang terjadi pada Hume sebagai objek penyebab dapat ditarik mundur terus jauh ke belakang—Hume yang ilmuwan, orangtua yang melahirkan Hume, leluhur Hume, berdiri tegaknya leluhur-leluhur Hume yang mirip primata, ganggang, mahkluk bersel satu, planet bumi, tata surya, dan seterusnya hingga menuju apa yang terjadi pada partikel atom terkecil di awal pembentukan alam semesta. Jadi dalam kerangka filsafat alam inilah contoh bola biliar Hume mesti dibayangkan. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi?

Adanya gerak lintas B’ hanya dapat terjadi pertama-tama sebab ada persinggungan (contiguity) antara A dan B. Dalam persinggungan ini, tidak ada interval antara benturan dan gerak. Bukan hanya bola putih, dan bukan hanya bola merah, melainkan persinggungan bola putih (A) dan merah (B) lah yang menghasilkan gerak bola merah ke lintasan tertentu (B’). Artinya, persinggungan objek-objek dalam ruang dan waktu adalah prasyarat bagi beroperasinya ‘sebab’ peristiwa-peristiwa.

Selain persinggungan, dalam peristiwa itu juga ada prioritas (priority) dalam konteks waktu; persinggungan A-B lebih dahulu terjadi dibanding gerak B’. Dengan demikian, persinggungan dalam ruang dan waktu mendahului dan merupakan prasyarat dari gerak tertentu; persinggungan A dan B mengakibatkan bola B’ yang menuju lintasan tertentu.

Sebagai man of science, Hume kemudian melakukan serangkaian eksperimen. Ia mengganti warna bola biliar yang dipakai dalam pembuktiannya. Misalnya ia mengganti bola warna merah (bola B) dengan bola biliar berwarna biru. Dalam tahap eksperimen, ceteris paribus, pergantian warna bola biliar ternyata tidak menghasilkan perbedaan; persinggungan bola biliar A dan B tetap menghasilkan bola B’ yang menuju lintasan tertentu. Objek-objek empiris yang berbeda, artinya, akan selalu menghasilkan hubungan sebab-akibat yang sama “jika dan hanya jika” proposisi-proposisi dasarnya serupa—Hume menyebut ini sebagai konjungsi konstan (constant conjunction) antar sebab-akibat. Dari proses penyelidikan dan eksperimentasi ini maka dapat ditarik kesimpulan umum (inference) yang dapat dijadikan sebuah perampatan (generalization); “jika dan hanya jika proposisi-proposisi dasarnya serupa, pengalaman membuktikan bahwa persinggungan bola biliar A dan B selalu menyebabkan gerak bola B’ yang menuju lintasan tertentu”. Inilah yang terjadi dalam tahap eksperimen.

Jika yang terjadi pada gerak bola biliar ini sudah sedari kecil kita lihat, tonton, atau amati, maka dari impresi-impresi ini kita mendapat ide mengenai ‘sebab-akibat’; persinggungan bola A-B adalah sebab yang mengakibatkan gerak B’. Sedangkan mereka yang tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki impresi-impresi akan gerak bola biliar, niscaya tidak akan memiliki gagasan ‘sebab-akibat’ yang sama, bahwa persinggungan bola A-B yang menghasilkan gerak B’. Dalam kerangka penalaran yang sama, seorang balita yang tidak memiliki pengalaman, tidak punya impresi akan api—menyentuhnya, menjilatnya—niscaya tidak akan memiliki ide sebab-akibat sederhana seperti “menyentuh api akan menyebabkan kulit terbakar”. Kita memiliki ide bahwa “menyentuh api menyebabkan kulit terbakar” sebab kita sudah memiliki impresi atas api dengan pernah menyentuhnya. Kalaupun tidak memiliki impresi langsung, ide-ide yang kita ketahui pada analisis terakhir tetap merupakan impresi-impresi, pengalaman-pengalaman orang-orang lain.

Dengan ini Hume telah berhasil membuktikan proposisinya; ide mengenai ‘sebab-akibat’ hanya dapat berasal dari impresi-impresi; dari pengalaman. Tidak ada ide yang tidak berasal dari pengalaman. Namun, ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa pengalaman, impresi-impresi, adalah satu-satunya alat yang dapat diandalkan oleh ilmu untuk menguji kesahihan ide-ide dalam bentuk apapun[5]. Ide-ide yang tidak dapat ditunjuk impresi yang mengasalkannya berarti kembali berpulang pada metafisika.

Dari sini Hume kemudian berpendapat sesuatu yang mesti diperhatikan baik-baik; jika semua ide hanya dapat bersandar dari pengalaman, dan pengalaman selalu bersandar pada cerapan inderawi, maka konsekuensinya manusia hanya dapat memastikan apa yang telah terjadi di masa lalu dan di masa kini. Mengapa? Sebab Tidak ada satupun dari kita yang dapat memastikan bahwa “persinggungan bola A-B selalu akan menghasilkan gerak B’”. Tidak ada jaminan, bahwa, jalannya alam akan selalu seragam[6]. Padahal ‘impresi-impresi’, pengalaman-pengalaman adalah satu-satunya sumber ide-ide.

Jika tanpa pengalaman kita bisa yakin bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan kembali terjadi, maka itu tak lain berasal dari kebiasaan dan adat-istiadat (custom) belaka[7]. Hanya kebiasaan dan adat-istiadat sajalah yang membuat kita yakin bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan tetap terjadi di masa yang akan datang. Sebagai buktinya, lagi-lagi contoh balita yang belum menyerap kebiasaan dan adat-istiadat dari tatanan masyarakatnya niscaya tidak akan memiliki ‘ide’ mengenai hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan antar peristiwa yang sama kembali terjadi di masa yang akan datang, baik dalam contoh bola biliar ataupun dalam contoh menyentuh api.

Apabila tidak ada jaminan bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan kembali terjadi di masa depan, maka penjelasan mengenai apa yang ada di masa depan hanya berstatus ‘mentak’ atau ‘boleh jadi’ (probable). Boleh jadi iya, boleh jadi tidak. Apa-apa saja yang bersifat ‘mentak’ problemnya tidak bisa dibuktikan ‘salah’ atau ‘benar’. Kalau kita bersikeras bahwa apa yang terjadi di masa yang akan datang dapat dibuktikan salah atau benarnya, maka kita akan kembali ke metafisika, sebab lagi-lagi, suatu ide tidak berasal dari impresi-impresi.

Dalam sejarah ilmu, apa yang diuji oleh Hume lewat penalaran bola biliarnya dikenal sebagai ‘problem induksi’. ‘Problem induksi’ inilah yang juga membawa Hume kepada kesimpulan ketidakmungkinan prosedur penjelasan deduktif dalam analisis ilmiah dalam ilmu-ilmu manusia. Sebabnya, prosedur penjelasan deduktif selalu berangkat dari keyakinan adanya ‘esensi’ atau ‘substansi’ objek kajian yang diandaikan memiliki “hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan di masa yang akan datang”, sementara Hume membuktikan bahwa hal tersebut tidak dapat dipastikan. Hal itu hanya boleh dalam status ‘boleh jadi’ jika ilmu tidak mau terjerumus kembali kepada metafisika. Tugas ilmu-ilmu mengenai masyarakat manusia yang baru sebab itu bukan lagi mencari ‘kepastian-kepastian’ determinatif yang jadi pembimbing sistem dan dari sana penjelasan-penjelasan lain dideduksikan. Tugas ilmu, hanyalah mengumpulkan dan menyelidiki ‘impresi-impresi’ mengenai peristiwa-peristiwa dan hubungan sebab-akibat. Dan Impresi-impresi yang memiliki derajat kekerapan paling tinggi adalah dasar untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di masa lalu dan masa sekarang, dan dapat digunakan untuk prediksi-prediksi di masa yang akan datang. Sampai di sini, jika pembaca lalu mulai teringat mengenai suatu jenis ‘metode riset’ tertentu, itu sebab di awal tulisan ini saya mengatakan bahwa Hume adalah “salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial modern”.***

 

————-

[1] Saya memakai versi online tanpa halaman yang bisa diperoleh di sini: https://people.rit.edu/wlrgsh/Abstract.pdf

[2]He calls a “perception” whatever can be present to the mind, whether we employ our senses or are actuated with passion, or exercise our thought and reflection. He divides our perceptions into two kinds, viz.,

“impressions” and “ideas”. When we feel a passion or emotion of any kind, or have the images of external objects conveyed by our senses, the perception of the mind is what calls and “impression”—which is a word that he employs in a new sense. When we reflect on a passion or an object which is not present, this perception is an “idea.” “Impressions,” therefore, are our lively and strong perceptions; “ideas” are the fainter and weaker. This distinction is evident—as evident as that betwixt feeling and thinking.”

[3]“The first proposition he advances is that all our ideas, or weak perceptions, are derived from our impressions, or strong perceptions, and that we can never think of anything which we have not seen without us, or felt in our own minds.”

[4] “It is evident that all reasonings concerning matter of fact are founded on the relation of cause and effect, and that we can never infer the existence of one object from another unless they be connected together, either mediately or immediately. In order, therefore, to understand these reasonings we must be perfectly acquinted either the idea of a cause; an in order to that, must look about us to find something that is the cause of another”.

[5] “No matter of fact can be proved but from its cause or effect. Nothing can be known to be the cause of another but by experience”.

[6] “It follows, then, that all reasoning concerning cause and effect are founded on experience, and that all reasonings from experience are founded on the supposition that the course of nature will continue uniformly the same”.

[7] “We are determined by custom alone to suppose the future comformable to the past”.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.