Umi Sardjono: Feminis Marxis Yang Menakhodai Gerwani

Print Friendly, PDF & Email

APABILA kita mendengar nama “Gerwani/Gerakan Wanita Indonesia”, segera saja fantasi kita melayang pada sebuah film fiksi yang wajib ditonton anak-anak sekolah antara dekade 1970-1980an, film “G.30 S/PKI”. Dalam film itu, “Gerwani” direpresentasikan oleh Jamilah, pekerja seks yang beroperasii di Pasar Senin, Jakarta Pusat dan telah membunuh tujuh jenderal di Lubang Buaya. Di kemudian waktu, Umi Sardjono bertemu dengan Jamilah di dalam rumah tahanan, dan ia baru tahu stigma apa yang dilekatkan pada organisasinya. Sebagai pemimpin ia meminta maaf kepada Jamilah yang sebenarnya bukan anggota Gerwani dan bukan pekerja seks.

Siapakah Umi Sardjono? Nama ini agaknya kurang dikenal, bahkan oleh sebagian besar aktivis kiri dewasa ini yang berjuang menegakkan hak-hak perempuan. Ulasan mengenai dirinya terbatas, dan baru dimunculkan dalam tuliasn Saskia Wieringa[1] dan Anton Lucas[2]. Selebihnya, sependek pengetahuan saya, tentang Umi pernah ditulis oleh Lilik Hastuti Setyowati di IndoPROGRESS, juga saya tulis dengan judul “Adakah Perempuan Revolusioner Dalam Sejarah Gerakan Kiri?” sebagai pengantar dalam Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula[3]. Kurang dikenalnya Umi Sardjono sebagai pendiri dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, oleh aktivis gerakan kiri dewasa ini, berkorelasi dengan penghancuran dan penghilangan kontribusi para pejuang perempuan Marxis dalam revolusi kemerdekaan dan membangun Indonesia.

 

Dari Parindra ke Gerindo: Melawan Fasisme Jepang

Umi Sardjono adalah putri kedua dari Ruslan Sumodiwirjo, juru tulis Kawedanan di Salatiga, Jawa Tengah. Ia lahir bertepatan dengan peringatan kelahiran Yesus, 24 Desember 1923, dengan nama Suharti. Umi dibesarkan dalam tradisi keluarga Jawa dan pegawai pemerintah Belanda, yang membuatnya memiliki kesempatan untuk bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) partikelir. Selain itu orang tua Umi termasuk pribumi yang mengalami pencerahan hingga membolehkan anak perempuannya bersekolah. Selama masa sekolah –sebagaimana umumnya pelajar perempuan Jawa—Umi membaca Habis Gelap Terbitlah Terang, tulisan Kartini yang cukup banyak membuka wawasan perempuan Jawa pada masa itu. Umi kemudian masuk ke dalam organisasi pergerakan nasional, Parindra (Partai Indonesia Raya), di mana ayah Umi telah menjadi anggotanya.

Di dalam keluarga Ruslan, Umi seringkali mendengar nama S.K. Trimurti disebut-sebut ayahnya, yaitu pemimpin majalah Pesat yang keluar masuk penjara kolonial. Umi tertarik dengan SK Trimurti dan ingin mengenalnya, niat yang di kemudian hari terlaksana. Trimurti lebih tua dari Umi, maka ia selalu memanggil “Yu Tri”, dan pada perkembangannya Trimurti memperkenalkan pada Umi tentang gagasan progresif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu Trimurti anggota Gerindo (Gerakan Indonesia) yang didirikan pada 1937 oleh Amir Syarifudin. Gerindo dibentuk sebagai wadah persatuan dari berbagai kelompok gerakan kebangsaan Indonesia. Di dalam Gerindo bersemai tunas generasi baru kader partai komunis (yang dibubarkan Belanda setelah aksi 1926), seperti Wikana yang bertanggung jawab pada pengorganisasian pemuda (bidang pemuda) dan sedangkan Sutrisno serta Aidit memegang bidang politiknya. Umi lantas tertarik masuk Gerindo karena menganggapnya lebih progresif ketimbang Parindra. Kelak, Umi bersama Aidit, melanjutkan pembangunan partai komunis setelah dihancurkan dalam sebuah provokasi pada 1948, di mana pada 1950an mereka memproklamirkan partai tersebut sebagai partai resmi negara yang kemudian ikut Pemilu pada 1955.

Setelah masuk Gerindo, Umi ditugaskan ke Blitar. Di sana, Umi dididik dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Strategi ini merupakan ciri khas objektif dan subjektif orang-orang ‘partai komunis’ sesudah dihancurkan Belanda pada 1926, di mana para pemimpinnya bertebaran karena di buang atau tak bisa kembali ke Indonesia. Daerah gerilya bawah tanah mereka yang cukup kuat di Jawa Timur bagian Barat, meliputi Madiun, Tulungagung, Kediri, Jombang, Blitar (saat ini disebut region “kultur” Mataraman).

Selama dalam perjuangan bawah tanah itu, Umi berkenalan dengan pemuda Sukisman yang juga anggota Gerindo. Perkenalan itu mengantar keduanya untuk menikah. Pemuda Sukisman yang populer dipanggil Bung Kisman, sebagaimana orang Jawa, setelah menikah acapkali diberi nama dewasa, Sardjono. Sedangkan Umi adalah nama panggilan dalam perjuangan bawah tanah dan nama perjuangan itu digabungkan dengan nama aslinya menjadi Umiharti. Lalu setelah menikah, ia menggunakan nama Sardjono di belakang nama perjuangannya. Di kemudian waktu, setelah merdeka, Umi seperti agak sulit kembali ke nama aslinya, karena pada saat Pemilu pertama di Indonesia, 1955, nama Umi Sardjono telah muncul di tanda gambar sebagai keterwakilan dari Partai Komunis Indonesia. Sejak itu ia lebih dikenal dan menggunakan nama Umi Sardjono.

Selama melawan fasisme Jepang, Umi pernah ditangkap dan ditawan Jepang pada 1943 di Blitar. Pada masa itu ia membuka warung di depan Hotel ”Centrum” di Blitar, suatu modus yang banyak dipakai pejuang bawah tanah untuk menghimpun informasi dari pihak musuh. Ia lalu diciduk tentara Jepang bersama suaminya. Selama menjadi tawanan Jepang, Umi mengalami siksaan yang khas dilakukan Jepang, yaitu menggantung tawanan seperti kalong (fox). Dalam posisi seperti kalong itu Jepang menginterogasinya, sembari mendapat pukulan dan minum dari air kencingnya sendiri. Umi pernah menyatakan keheranannya bagaimana dalam posisi digantung berhari-hari seperti kalong tanpa diberi makan dan minum, namun tetap mampu bertahan hidup. Umi memperkirakan: “barangkali air kencing itu yang membuat saya tetap sehat, sama dengan tahanan lainnya”, begitu katanya.

Dua hari setelah Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, rumah tahanan di Blitar itu diserbu oleh front pemuda kiri dan seluruh tahanannnya dibebaskan, termasuk Umi dan bung Kisman. Front pemuda kiri itu pada 10 November 1945 menyelenggarakan kongres di Surabaya untuk meresmikan dirinya menjadi organisasi legal dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang bercita-cita mewujudkan sosialisme. Setelah dibebaskan dari penjara, Umi dan suaminya ditampung di rumah Bung Karno di Blitar atas inisiatif Bung Wasis, Walikota Blitar.

Tentu tak ada kata libur bagi pejuang, sekali pun Indonesia telah merdeka. Umi dan Bung Kisman kemudian melanjutkan perjuangannya di Pesindo. Bung Kisman membuat siaran-siaran radio dan dengan terang-terangan menyebut lambang palu-arit. Sayangnya, Pesindo ini merupakan organisasi yang secara kuantitas dan kualitas di dominasi aktivis laki-laki, sedangkan aktivis perempuan yang hanya sedikit itu tidak ada yang menjabat sebagai pengurus di Dewan Pimpinan Pusat.

 

Pesindo dan Barisan Buruh Wanita: Sayap Kiri Revolusi Nasional

Pada 15 September 1945, berdiri Barisan Buruh Indonesia (BBI), yang dibentuk untuk memudahkan mobilisisasi serikat buruh. Saat BBI kongres, tercetuslah ide untuk membentuk Partai Buruh Indonesia. Selain itu BBI mengeluarkan resolusi bahwa revolusi nasional yang telah dicapai pada saat itu sebenarnya belum selesai. Masih ada revolusi yang belum dilaksanakan, yaitu revolusi sosialis untuk menghancurkan struktur kolonial/imperialis/kapitalis. Untuk itu BBI membentuk Laskar Buruh di pabrik, sedangkan untuk perempuan dibentuklah Barisan Buruh Wanita (BBW). Umi bersama Trimurti adalah pendiri BBW dengan maksud agar perjuangan buruh perempuan tetap berada dalam garis perjuangan sosialis. Saat itu buruh perempuan di pabrik belum punya serikat buruh, maka diselenggarakan kongres di Kediri pada 1945 untuk membentuk BBW. Penyelenggara kongres BBW adalah Setiati Surastro, yang kelak ikut mendirikan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

 

Pengurus BBW pada kongres di Kediri itu, sebagai berikut:

Ketua              : S.K.Trimurti
Wakil Ketua     : Umi Sardjono
Sekjend           : Siti Asiah Satyagraha (dari Harian Sulindo – Suluh Indonesia).

 

Namun menurut penilaian Dewan Pimpinan Pusat Pesindo, yang antara lain Sudisman (kelak Politbiro PKI), Sutrisno (suami Fransiska Fanggidae—Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Gerwani), Tjugito (kelak Komite Pusat PKI), BBW di bawah pimpinan Trimurti menjadi kontra-revolusi. Saat itu Trimurti dituduh sebagai orang Murba, yang dipandang liberal dan tidak patuh instruksi. Kemudian pada 1946, BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia), namun bagi yang tidak bersepakat dengan struktur GASBI lalu membentuk GASBV (Gabungan Serikat Buruh Vertikal). Kira-kira sekitar November 1946, Alimin dan Haryono (keduanya disebut PKI generasi pertama) berhasil menggabungkan kedua organisasi buruh tersebut menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Dengan berdirinya SOBSI, kemudian BBW dilebur ke dalamnya.

Trimurti kemudian bergabung ke dalam Partai Buruh Indonesia (PBI), sedangkan Umi Sardjono menjelmakan Partai Komunis Indonesia yang dideklarasikan pada 1 September 1948. Trimurti kemudian diangkat oleh Amir Syarifudin sebagai Menteri Perburuhan pada kabinetnya yang dilantik 1947. Perlu dicatat bahwa peringatan 8 Maret sebagai hari perempuan internasional, untuk pertama kali diperingati di Indonesia atas inisitaif Laskar Merah Wanita di ruangan markas besar laskar Rakyat Surakarta yang didukung oleh PPI, GRI, BBW, Laskar Rakjat, PKI, Partai Sosialis dan Pesindo. Peringatan itu digerakkan oleh Umi Sardjono.

Kabinet Amir Syarifudin kemudian diganti oleh Hatta (1948-1949). Pada masa Kabinet Hatta ini terjadi apa yang disebut Peristiwa Madiun. Dalam kesaksian Umi, terdapat banyak versi mengenai apa yang disebut Peristiwa Madiun. Peristiwa itu didahului oleh kejadian di Solo mengenai pembunuhan atas diri Kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada awal September 1948 adanya penculikan dan pembunuhan terhadap lima perwira TNI dan dua orang anggota PKI, yakni Slamet Wijoyo dan Parjo yang ditahan di kamp Danurejan, Yogya. Kejadian di Solo dan Yogya itu membuat tegang di Madiun, karena terjadi pertempuran antara Angkatan Darat yang pro versus anti-penculikan. Dalam kekisruhan ini, Residen Madiun sedang tidak ada di tempat, sedangkan wakil Residen tidak bertindak apa-apa dan walikota sedang sakit. Untuk mengatasi hal itu maka Front Demokrasi Rakyat (FDR), di mana Pesindo dan PKI bergabung di dalamnya, mendesak wakil walikota Madiun, Supardi, melakukan tindakan dan tanggungjawab untuk mengatasi kegentingan. Lalu Supardi diangkat oleh FDR menjadi Residen sementara. Tindakan inilah yang dilaporkan ke pemerintah pusat dan dipandang oleh Hatta sebagai “tindakan mengadakan kudeta untuk merobohkan pemerintahan Republik Indonesia”. Setelah itu terjadi penangkapan dan eksekusi terhadap 11 anggota PKI, termasuk Amir Syarifudin (mantan perdana menteri sebelum Hatta) di Solo.

Pada saat Peristiwa Madiun itu, Umi berada dalam koordinasi Pesindo di Madiun. Ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Indonesia selama tiga bulan. Setelah peristiwa itu Pesindo tiarap, sedangkan Umi melanjutkan pekerjaan untuk mengorganisasi perempuan.

 

Dari Gerwis ke Gerwani: Revolusi Terhadap Imperialisme dan Feodalisme

Ketika Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 1950 untuk menghentikan agresi Belanda, yang disertai syarat Indonesia harus membayar ganti-rugi perang kepada Belanda, kelompok perempuan di mana Umi terlibat dihadapkan pada dua pilihan: menerima atau menolak Perjanjian KMB! Menerima berarti sepakat dengan monopoli kolonial atas investasi modalnya di Indonesia. Menolak berarti masih harus melanjutkan perjuangan melawan imperialisme-kolonialisme sampai enyah dari bumi Indonesia.

Karena situasi politik pro versus kontra imperialisme ini, di kalangan organisasi perempuan yang sudah berdiri saat itu (yang bergabung dalam Kongres Wanita Indonesia/KOWANI) kebingungan menempatkan keanggotaannya di Women’s International Democratic Federation (WIDF) yang arah politiknya adalah anti-imperialisme. Hampir kebanyakan organisasi perempuan yang mengikuti kepentingan politik perempuan borjuasi merasa ragu-ragu dengan arah politik anti-imeprialisme. Di tengah pertentangan politik nasional dan politik di dalam gerakan perempuan, Umi berpendapat bahwa “Perempuan absen dari Revolusi Indonesia. Buktinya, tidak ada perempuan yang berperanan dalam kepemimpinan Negara Indonesia untuk melawan imperialisme”. Umi lalu mengajak Trees Metty (dari Pemuda Putri Indonesia) dan S.K. Trimurti untuk mendirikan organisasi massa perempuan. Maka berdirilah Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang merupakan peleburan dari enam organisasi perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan. Gerwis didirikan untuk menjawab pilihan bahwa perempuan harus berorganisasi untuk melawan imperialisme yang belum enyah dari bumi Indonesia.

Cikal bakal Gerwis ini sebagian besar adalah aktivis perempuan yang bergerilya di bawah tanah melawan fasisme Jepang. Sebagian dari mereka mengorganisasi buruh-buruh perempuan (membentuk BBW). Persisnya cikal bakal Gerwis adalah perempuan kiri yang berkehendak untuk bersatu dalam wadah organisasi massa perempuan untuk melanjutkan perlawanan terhadap imperialisme dan mengisi kepemimpinan perempuan dalam Indonesia merdeka. Umi sendiri adalah anggota Partai Komunis Indonesia, dan menurutnya terdapat kepentingan yang sejalan antara politik perempuan Gerwani dan Partai Komunis Indonesia.

Lalu pada kongres kedua 1954, Umi terpilih menjadi ketua Gerwis, dan nama Gerwis diubah menjadi Gerwani. Pada saat itu Trimurti mengundurkan diri dari Gerwani. Pengunduran diri ini, menurut Umi, karena Trimurti mempunyai masalah masa lalu dengan Partai Komunis Indonesia. Lalu di tangan Umi, Gerwani berkembang subur menjangkau perempuan buruh, tani dan kampung kota. Melalui pemilu untuk memilih anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955, Umi terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Komunis Indonesia. Tugas dewan ini ialah menyusun Undang-Undang Dasar baru menggantikan UUDS 1050, namun Dewan ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno karena mengalami deadlock dalam memutuskan dasar negara (negar sekuler versus syariah Islam). Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 45, lalu membentuk parlemen dan kabinet baru. Dalam masa itu, Umi terpilih sebagai utusan golongan perempuan (dari Gerwani) untuk duduk di MPR/DPR (utusan golongan disebut golongan karya yang tidak ada hubungannya dengan partai Golkar).

Selama menjadi anggota DPR, ada dua pekerjaan Umi yang penting, yaitu (1) menghilangkan klausul UU Keimigrasian yang menyatakan perempuan harus didampingi ayah/suami/anggota keluarga laki-laki saat bepergian ke luar negeri, (2) membahas kembali rancangan undang-undang Perkawinan yang pernah disusun Ny. Soemari (dari PNI) pada 1945 untuk disahkan sebagai UU Perkawinan RI. Content terpenting dari naskah Ny. Soemari adalah tentang perkawinan monogami atau menolak perkawinan poligami. Umi berupaya memenangkan naskah Ny. Soemari, namun ketika pada sidang paripurna, naskah itu dibekukan oleh Mr. Abikoesno Tjokrosoejoeso pimpinan sidang dari partai Masjumi sampai terjadi Tragedi 1965. Lalu sebagai kader Partai Komunis Indonesia, Umi memimpin Gerwani untuk mengambil bagian dari aksi pengambil-alihan aset kolonial dan pelaksanaan reforma agraria.

Pada saat terjadi Tragedi 1965, Umi ditangkap pada pertengahan Oktober tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di kantor Gerwani. Ia kemudian dibawa dari rumah tahanan ke rumah tahanan, sampai kemudian diasingkan ke penjara khusus perempuan di Plantungan, Kendal hingga dibebaskan pada 1979.

***

Pada 8 Maret 2011, Barisan Perempuan Indonesia (BPI) memperingati Hari Perempuan Internasional, di depan tugu Patung Tani, Jakarta Pusat. Selepas aksi, kami berniat untuk mengunjungi Umi Sardjono yang terbaring sakit. Namun Tuhan telah memanggilnya sebelum kunjungan itu kami lakukan. Di rumahnya, saya menyaksikan nenek Hasanah yang tubuhnya telah renta, dengan sangat trampil mensucikan, membungkus dan mendoakan jasad Umi Sardjono dengan penuh kasih. Nenek Hasanah adalah murid Buya Hamka (dulu dari partai Masjumi) yang telah mengenal Umi sejak 1950an di Tegalan-Matraman, Jakarta Pusat, di mana mereka bertetangga selama ini (kampung Tegalan basis PPP, di mana rumah Hamzah Haz ada di situ). Nenek Hasanah tahu tentang kegiatan Gerwani yang kantornya tak jauh dari situ, tahu tentang tetangganya yang bernama Umi dan sepertinya tak terpengaruh oleh kampanye Orba tentang “Gerwani pelacur jalang pembunuh tujuah jenderal”. Di depan jasadnya, nenek Hasanah berbisik: ”Kamu orang baik, makanya banyak yang mengantarmu…”. Melalui nenek Hasanah itu, hancurlah konstruksi Orde Baru terhadap Gerwani. Tiga tahun sebelumnya, Umi mengantar Trimurti ke tempat peristirahatannya yang terakhir, dan kini nenek Hasanah yang memberikan penghormatan padanya.

Tubuh Umi dikebumikan dalam satu pusara dengan suaminya, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cipinang Asem, Kampung Makassar, Jakarta Timur. Pada nisan kayu di atas gundukan tanah merah itu tertulis “Suharti Sumodiwiryo, Lahir 24 Desember 1923, Wafat 11 Maret 2011”, bukan Umi Sardjono. Umi hilang namun idenya tetap hidup!***

 

Penulis adalah peneliti feminis, manager program di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), ketua departemen pendidikan Komite Pusat PRP dan memperoleh magister filsafat dari STF Driyarkara, Jakarta.

 

*Catatan: Tulisan ini merupakan susunan dari penggalan-penggalan cerita Umi Sardjono kepada saya dalam waktu yang berbeda-beda antara 2004-2009. Perlu diketahui Umi Sardjono menderita paranoia dan insecure akibat penderitaan selama menjadi tahanan Orde Baru dan stigma buruk terhadap organisasi yang dipimpinnya. Hal itu membuatnya tidak merasa bebas untuk menceritakan aktivitas dirinya dalam gerakan politik kiri. Umi baru bersedia menceriterakan dirinya setelah Soeharto dan Orde Baru jatuh. Tentu saja banyak peristiwa dan kegiatannya yang tidak diceritakan Umi kepada saya. Namun, setidaknya, berdasarkan ceritanya yang saya catat ini, tersusun garis besar perjalanan pribadi Umi Sardjono. Tulisan ini sekaligus merupakan cara saya menghormatinya sebagai pejuang feminsi Marxis yang gigih dan tak kenal lelah.

 

———-

[1] Saskia E. Wieringa, The Politization of Gender Realtion in Indonesia: The Indonesian Women Movement and Gerwani Until The New Order State, (Amsterdam: 1995), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999)

[2] Dalam buku Anton Lucas, One Soul One Struggle: Region and Revolustion in Indonesia, (Southeast Asia Publication Series, No 19: Penerbit Unwin Hyman, 1991), Lucas menulis suplemen pendek mengenai Shinta Melati, yaitu nama samaran dari Umi Sardjono.

[3] Tim Penyusun SGKuP, Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula, (Bandung: Ultimus, 2016)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.