Kredit gambar: http://critique-of-pure-interest.blogspot.com
Prawacana
BEBERAPA Minggu lalu, saya sedang melayankan firman di salah satu jemaat di Bandung. Menarik, ketika saya sedang bersiap-siap untuk ibadat, seorang penatua di jemaat tersebut menghampiri saya untuk menyinggung tentang Reformasi Protestan pada 499 tahun yang lalu di dalam kotbah minggu itu. Ternyata permintaan itu berkaitan dengan gereja tersebut merayakan peristiwa reformasi protestan secara sederhana dan simbolik. Peringatan ini dilakukan sebagai bentuk pengenangan sejarah reformasi gereja dan semangat pembaruan agar tetap terus hidup di dalam nalar dan sanubari setiap orang Protestan. Memang, sedikit anggota jemaat yang mengingat atau bahkan menyadari bahwa tanggal 31 Oktober merupakan hari peringatan Protestantisme. Serta, sedikit juga anggota jemaat yang menyadari bahwa perjalanan Protestantisme sebagai sebuah gerakan atau gereja telah berjalan hampir 499 tahun dan di tahun depan akan genap menjadi 500 tahun.
Sudah lima abad gereja Protestan hadir di dalam sejarah dan ikut mewarnai sejarah perjalanan dunia. Mulai di Eropa sampai kepada masa dimana orang-orang Eropa berekspedisi dan berekspansi keluar dari tanah mereka menuju tanah-tanah yang lain. Dampaknya, hadirlah kekristenan, khususnya Protestantisme di luar Eropa. Dengan demikian, kita dapat melihat kekristenan menjadi sangat global dan tidak terbatas hanya di Barat saja. Dengan begitu, kita dapat melihat sumbangsih apakah yang diberikan kekristenan, khususnya Protestantisme, terhadap dinamika dunia yang ikut mereka warnai?
Salah satu narasi besar yang banyak dibicarakan masyarakat adalah Protestantisme dikenal sebagai rahim yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme. Itu merupakan salah satu narasi besar yang identik dengan Protestantisme. Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa Protestantisme memiliki sumbangsih buruk bagi tatanan dan dinamika dunia.
Tetapi apa benar Protestantisme hanya menjadi rahim dari kapitalisme dan liberalisme? Pertanyaan ini bisa menjadi pemicu bagi kita untuk memikirkan ulang tentang Protestantisme dan narasi besarnya. Pertanyaan dapat dilanjutkan kembali, apakah Protestantisme dan Marxisme tidak memiliki keterkaitan yang erat? Nah, dalam kajian teologi Kristen, seringkali pemikiran Marxisme hanya dikaitkan dengan Katolisisme, seolah-olah Protestantisme benar-benar tak bersentuhan dengan Marxisme. Apakah di dalam kekristenan hanya Katolisisme yang serius mengkaji pemikiran Karl Marx? Percakapan ini akan menjadi unik. Oleh sebab itu, pada peringatan reformasi protestant tahun 1517, kita dipanggil untuk memikirkan ulang tentang Protestantisme dan menyegarkan kembali panggilan kita sebagai seorang protestan yang tanggap realitas.
Martin Luther dan Pintu Gereja Wittenberg
Berawal dari kepulangannya ke Mansfeld, Martin Luther mengalami kegelisahan yang mendalam di dalam perjalanan intelektual-spiritualnya. Ia sengaja mengambil cuti studi untuk menenangkan batinnya. Ketika cuti itu selesai, ia bergegas kembali ke Erfurt tempatnya menempuh pendidikan. Dalam perjalanan dari Mansfeld ke Erfurt, kegelisahan kerap mendampingi batin Luther sambil dihadang oleh hujan badai yang hebat. Ketika ia hampir sampai di Erfurt, tiba-tiba guntur menyambar dan ia terlempar jauh. Sangking terkejutnya, Luther berdoa kepada santa Anna, tolonglah aku santa Anna yang baik, aku akan menjadi biarawan. Kegelisahan batin yang mendalam dan peristiwa alam itulah yang semakin mendorong Luther untuk menjadi biarawan.
Ketika ia memutuskan menjadi seorang rahib Agustinian, momen itu merupakan titik tolak pembaruan dalam sudut pandang yang berdampak kepada kehidupan masyarakat Jerman. Hasil dari perjalanan studinya di Universitas Wittenberg, Luther mendapat pembaruan sudut pandang tentang keselamatan yang berdasar pada teologi St. Agustinus. Menurut Luther, keselamatan adalah soal relasi pribadi manusia dengan Allah, bukan karena pekerjaan baik yang dilakukan, melainkan oleh janji keselamatan yang dinyatakan Allah di dalam Kristus (Walker 1976, 304). Hal inilah yang menjadi dasar keyakinan teologis Luther yang akhirnya berbeda dengan kalangan teolog kala itu. Dalam memegang perspektif itu, Luther tidak sendirian, ia ditemani oleh Andreas Bodenstein of Karlstadt dan Nikolaus von Amsdorf.
Selain itu, Luther hidup pada masa gereja sedang terbelit hutang dan mengejar pembangunan basilika. Dalam situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang morat-marit dan buta huruf, gereja memakai celah ini untuk mengeruk dana cepat dari masyarakat papa yang sederhana pemikirannya dan mudah percaya dengan gereja. Dengan demikian, diutuslah seorang rahib dominikan bernama Johan Tetzel yang mengampanyekan surat penghapusan dosa (surat indulgensia) sambil meraup keuntungan yang besar bagi gereja. Setiap Tetzel berkotbah tentang surat indulgensia, salah satu jargon yang kerap ia pakai adalah as soon as gold in the basin rings, right then the soul to heaven springs (Dickens 1979, 61) .
Luther menolak dengan keras pemahaman yang disebarluaskan gereja melalui Tetzel, ditambah lagi untuk memperoleh kepentingan pemenuhan dana gereja. Penolakan itu dituangkannya dalam 95 dalilnya yang sukses melumpuhkan kotbah dan ajaran gereja tentang indulgensi serta mengusik cara berpikir masyarakat kala itu. Akhirnya, 95 dalil Luther itu memicu kontroversi, baik di tengah masyarakat maupun pada tataran elit gereja. Pemikiran Luther ini di satu sisi membawa dampak rubuhnya bangunan ajaran gereja, tetapi di sisi lain membangkitkan nalar masyarakat yang selama itu mati.
Memang, akhirnya dampak dari pemikiran atau kritik Luther tersebut tak hanya sebatas pada ajaran gereja semata, tetapi juga memicu pembrontakan dan huru-hara (Dickens 1979, 60-67). Kita dapat melihat bahwa kritik yang Luther lakukan akhirnya berdampak terhadap nasionalisme dan kemasyarkatan. Seolah kritik Luther tersebut merembes ke dalam segala aspek kehidupan. Akhirnya, kritisisme yang dilempar Luther ke tengah masyarakat lambat laun bergerak dan berinkarnasi ke dalam komunitas spiritual, yakni gereja reformasi protestan yang kerap memegang teguh semangat pembaruan dan mungkin kristisisme.
Karl Marx Melihat Kritisisme Martin Luther
Karl Marx merupakan salah seorang anak kandung dari the land of idea yaitu Jerman. Kemungkinan di dalam perjalanan intelektualnya ia berjumpa dengan kritik Luther yang akhirnya menginkarnasi dalam wujud gereja Protestan di dalam literasi-literasi Jerman dan juga kemungkinan ia berjumpa dalam bentuk liturgi dan budaya. Secara umum, Marx dikenal sebagai salah satu filsuf yang anti-agama atau anti-gereja sehingga percakapan kita tentang Marxisme hampir tidak mungkin mengangkat topik teologis, terlebih lagi topik agama yang adalah candu masyarakat. Namun, secara unik Marxisme pernah bertalian dengan teologi yaitu teologi pembebasan yang digaungkan oleh seorang imam Katolik bernama Gustavo Gutierrez di Amerika Latin. Menjadi unik, pemikiran Marxisme berjumpa dengan teologi Katolik dan akhirnya terkonstruk sebuah pemikiran yakni teologi pembebasan.
Realitas ini memicu dua pertanyaan mendasar dalam Marxisme, pertama, apakah di dalam filsafatnya Karl Marx benar-benar anti-teologi bahkan anti-agama? Kedua, apakah dalam diskursus teologis Marxisme hanya dapat ditemui di dalam teologi pembebasan khas gereja Katolik? Memang jika kita membaca di dalam literasi-literasi tentang Karl Marx dalam bahasa Indonesia, seringkali Marx digambarkan sebagai pemikir yang anti-agama atau anti-teologi dan akhirnya mengkristal bahwa Marxisme adalah sebuah kajian pemikiran yang anti-agama atau anti-teologi. Dalam hal ini kita akan melihat Karl Marx sebagai seorang Jerman yang identik dengan kekristenan Protestan, bagaimana ia menyikapi dan mengkaji Protestantisme (yang adalah hasil dinamika dari Kristisisme Martin Luther) dalam gerak sejarah pemikiran progresif.
Ternyata, Karl Marx di dalam kajiannya juga melihat kritisisme atau reformasi protestan yang digaungkan oleh Martin Luther sebagai sebuah teladan pergerakan yang dapat dijadikan gambaran konkret. Sebabnya kritisisme yang dilakukan Martin Luther terhadap gereja atau agama merupakan sebuah tindakan yang inspiratif bagi kaum pergerakan (Boer 2012, 145). Pemikiran Marx yang dikutip Roland Boer dalam bukunya yang berjudul Criticism of Earth menandaskan, Germany’s revolutionary past is theoretical, it is the Reformation. As the revolution then began in the brain of the monk, so now it begins in the brain of the philosopher. . . . But if Protestantism was not the true solution it was at least the true setting of the problem (Boer 2012, 145).
Di sini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya Marx mengapresiasi kritisisme yang dilakukan oleh Luther di dalam tubuh gereja. Pembaruan yang dibawa Luther tak hanya berdampak dan terlihat di dalam gereja dan agama saja, melainkan ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat saat itu. Misalnya, kita ketahui Luther melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman dan kemudian dicetak oleh mesin cetak Gutenberg sehingga masyarakat banyak dapat mengakses Alkitab secara mudah. Demikian juga pemikiran Luther serta para reformator lainnya juga dicetak oleh mesin Gutenberg. Dengan ini, masyarakat saat itu yang jauh dari pemikiran teologis-kritis, kini menjadi lebih dekat karena reformasi protestan dan memiliki pola pikir yang kritis dan tidak mudah dibodohi oleh ajaran-ajaran gereja yang sifatnya menekan dan eksploitatif.
Singkatnya, Luther memiliki sumbangsih atas konstruksi berpikir masyarakat kala itu, karena, ia mengajak orang banyak untuk membaca dan berpikir ulang yang umumnya hanya dilakukan oleh para imam (teolog) atau filsuf. Oleh sebab itu, Marx mengapresiasi reformasi protestan yang berdampak kepada kehidupan sosial kala itu. Salah satu semangat reformasi protestan yang menarik bagi Marx adalah anti-klerikalisme. Bagi Boer, anti-klerikalisme selalu menjadi penting dan sangat memuaskan, karena ia menjadi semacam ruang terbuka untuk berpikir kritis terhadap teologi atau agama (Boer 2014, 62-63). Dari sini kita dapat melihat bahwa anti-klerikalisme yang merupakan salah satu ciri khas protestantisme tidak membuat ajaran agama atau teologi menjadi baku dan kaku, melainkan ia menentukan alur gerak sebuah pemikiran teologis. Pada akhirnya, anti-klerikalisme memungkinkan setiap orang untuk ikut masuk ke dalam ruang percakapan teologis-filosofis sehingga ia tak lagi menjadi ekslusif-mutlak, melainkan ajek-lentur. Dari sini kita dapat melihat Protestantisme telah mendobrak kebiasaan lama bahwa ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis hanya mnejadi milik para imam. Kini untuk siapa saja dapat turut serta di dalam percakapannya.
Namun di sisi lain, reformasi-protestan yang digerakan oleh Luther juga memiliki kelemahan-kelemahan, seperti yang dikatakan Marx bahwa pergerakan yang dilakukan oleh Luther bukan jalan keluar yang tepat untuk situasi sekarang. Dari sini kita dapat melihat reformasi-protestan juga tidak terlalu sempurna sebagai sebuah pergerakan masyarakat yang masif di masanya, ia juga perlu dikritik dan kaji ulang untuk situasi kekinian. Ia tetap menjadi narasi yang inspiratif, tetapi bukan lantas ia menjadi berhala sejarah yang ideal tanpa cacat. Sekularisme merupakan sebuah produk kebudayaan yang muncul dari rahim reformasi-protestan sehingga terbentuklah masyarakat yang sekular, yang memisahkan antara yang sakral dengan profan (Boer 2012, 147-149). Akhirnya, masyarakat saat itu memiliki kecendrungan berpikir yang terpolarisasi. Inilah salah satu kecacatan dari reformasi-protestan sehingga ia kurang memicu pergerakan lebih masif-sistematis. Sekularisme menyebabkan teologi atau agama itu asing dari realitas kemanusiaan. Seolah-olah teologi atau agama memiliki ruang yang kudus yang tidak bersentuhan dengan dunia, demikian sebaliknya. Justru itu sebuah kekeliruan, teologi atau agama seharusnya menjadi sebuah pemantik utama dalam pergerakan masyarakat sehingga teologi atau agama tidak menjadi berhala atau candu (Boer 2012). Kemandekan reformasi-protestan dan gugurnya makar petani oleh Thomas Muntzer 1525 adalah ketika teologi atau agama ditolak dari sebuah ide pergerakan masyarakat yang masif. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa teologi atau agama memiliki daya yang kuat di tengah masyarkat; ia mampu menyadarkan dan menggerakan masyarakat untuk melawan dan menentang ketidakadilan. Teologi atau agama sesungguhnya adalah asupan pemikiran kritis bagi masyarakat sehingga mereka berani membangkang terhadap tirani dan melihat pengharapan revolusi.
Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana Marx membaca dan menyikapi reformasi-protestan. Ia mengapresiasi reformasi-protestan yang ada di benak seorang biarawan dan narasi itu menginspirasinya untuk menyadarkan banyak pemikir bahwa cita-cita pembaruan melalui pergerakan seharusnya juga ada dalam benak para pemikir progresif. Namun, Marx tidak hanya mengapresiasi pergerakan Luther, ia juga mengkritisinya bahwa pergerakan ini juga mengandung kecacatan sekalipun ia berdampak dalam sejarah. Oleh sebab itu, diperlukan dialektika di dalam membaca narasi historis agar tak terjebak pada kedigdayaan reformasi-protestan Luther.
Pencerahan dari Gerakan Reformasi Protestan
Dari penggalan-penggalan narasi di atas kita dapat melihat beberapa inspirasi yaitu betapa kuat daya agama atau teologi dalam sejarah kehidupan kita. Narasi sejarah tadi memperlihatkan kepada kita bahwa agama atau teologi itu belum mati dan mungkin gagal dibuat mati. Baru saja kita menyaksikan aksi demo pada tanggal 04 November 2016 (411) dan 02 Desember 2016 (212) yang bertajuk tentang pernyataan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang katanya menistakan surat Al Maidah dan akhirnya umat Islam di Indonesia turun aksi ke jalan untuk menuntut pemerintah agar mengadili Ahok sebagai tersangka yang menistakan agama Islam. Ini merupakan tanda paling nyata dan hangat bahwa teologi atau agama belum mati, maka sia-sialah dengan apa yang dilakukan oleh Richard Dawkins, Sam Harris dan teman sejawat lainnya.
Dahulu ada Max Weber, sosiolog Jerman terkemuka itu, pernah mengatakan bahwa semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka agama semakin ditinggalkan. Namun, realitas berkata lain, baik realitas masa lampau pun kekinian. Sampai hari ini saya belum pernah melihat jutaan intelektual dan akademisi Indonesia turun ke jalan untuk menolak tindakan pemerintah Republik Indonesia yang menukarkan pesawat terbang CN-235 buatan Habibie dengan beras ketan. Atau jutaan intelektual dan akademisi turun menentang pemerintah Republik Indonesia sambil berdoa bersama menolak pembredelan buku-buku yang berbau Marxis-sosialis di era post-Soeharto. Itu realitas yang mustahil! Akan tetapi, jika isu yang diangkat soal agama yang dihina atau hal yang berkaitan dengan agama, maka akan dengan mudah masyarakat turun aksi ke jalan berramai-ramai, bahkan masyarakat intelek pun mungkin akan turut serta juga.
Penggalan narasi historis tentang gerakan reformasi-protestan Martin Luther dan peristiwa 411/212 menjadi tanda bahwa teologi dan agama belum mati. Kita dapat memahami bahwa teologi atau agama bersifat ambivalen, ia memiliki daya yang menyadarkan, tetapi di sisi lain memiliki daya yang menyesatkan (memanipulasi). Akhirnya, kita dapat melihat masih ada harapan di dalam teologi atau agama. Kita dapat membaca dalam narasi sejarah reformasi-protestan, bahwa pembaruan keagamaan yang dipicu oleh Luther ternyata berdampak besar kepada kehidupan masyarakat kala itu. Bahkan Antonio Gramsci mengatakan, revolusi komunis harus merembes kepada akar-akar masyarakat, seperti reformasi-protestan (Boer 2012, 149). Itu menandakan bahwa teologi atau agama yang akhirnya saya sebut sebagai budaya memiliki daya yang kuat di struktur kemasyarakatan. Walaupun, Marx tidak sepenuhnya mengatakan reformasi-protestan itu terbaik, tetapi paling tidak Marx merujuk itu sebagai sejarah yang menginspirasi para pemikir untuk merancang bangun sebuah pergerakan yang lebih baik lagi.
Dalam hal ini saya melihat Luther sebagai seorang yang realistis. Ia memakai budaya (agama), teknologi (mesin cetak Gutenberg) dan politik (para bangsawan Jerman) untuk melancarkan pergerakannya. Sepertinya kita dapat mengikuti jejak-jejak Luther, mungkin untuk teknologi dan politik kita sudah menempuhnya, tetapi budaya mungkin kita sudah harus mencoba dan sadar bahwa budaya bukan sesuatu yang rendahan dan remeh. Kita dapat memakai budaya sebagai medium untuk menyadarkan orang banyak yang dirangsek oleh kesadaran palsu dan menggerakkannya untuk menyadarkan sesamanya. Mungkin di masa kekinian, budaya merupakan ranah yang paling relevan untuk menaburkan benih-benih pemikiran kritis-progresif.
Akhirnya, saya mengajak semua pemikir Kiri baik yang tengah, agak ke kanan, ataupun yang mentok untuk mengambil bagian di dalam pelayanan di gereja (pesan khusus bagi kaum kiri Kristen) sebagai guru sekolah minggu, kakak pembina remaja dan pemuda, pemain musik, penatua, bahkan menjadi seorang pendeta agar benih pemikiran kritis-progresif itu dapat tertanam sejak dini melalui budaya (teologi atau agama) di tengah gereja. Ini menjadi semacam ajakan dan tantangan yang realistis bagi setiap kita yang gandrung dan asyik dalam pengkajian dan diskursus. Kita dipanggil untuk bekerja lebih konkret-nyata lagi dalam realistas sehari-hari agar kita tak menjadi pemikir-pemikir yang onani di dalam ruang diskursus. Kita ditantang untuk mempenetrasi realitas hidup yang pelik itu. Ini merupakan bagian dari upaya menegakan kerajaan Allah yang dibawa oleh Kristus.***
Penulis adalah adalah pegiat teologi dan filsafat lulusan dari Sekolah Tinggi Teologi Djakarta tahun 2014. Email: frama.theologicalholic@gmail.com.
Kepustakaan:
Boer, Roland. Criticism of Earth: on Marx, Engels, and Theology. Leiden: Koninklijke Brill, NV, 2012.
—. In The Vale of Tears. Leiden: Brill, 2014.
Dickens, A. G. Reformation and Society in Sixteenth-century Europe. London: Thames and Hudson, 1979.
Walker, Williston. A History of The Christian Church. Edinburgh: T.&T. Clark LTD, 1976.