TULISAN ini bertujuan untuk melanjutkan sekaligus menegaskan sikap wasathiyyah (moderasi), yang ditawarkan oleh Dendy Raditya Atmosuwito dalam tulisannya yang diterbitkan di IndoPROGRESS pada 10 Juni 2016. Dalam tulisan tersebut, Dendy mempertanyakan arti “islami” yang belakangan ini seringkali lebih tampak sekadar simbol belaka. Dari arah yang berlawanan dengan Islami simbolik, ia mengafirmasi penggunaan kata islami yang lebih berkesan substantif dalam “Indeks Kota Islami”, dari penelitian yang dilakukan oleh Maarif Institute bahwa indikator kota yang bisa disebut islami adalah aman, sejahtera, dan bahagia. Di bagian akhir tulisannya, Dendy menawarkan wasathiyyah sebagai jawaban atas polemik antara Islami substantif dengan Islami simbolik.
Saya sangat mengapresiasi ide tulisan tersebut karena mengetengahkan kembali sikap moderat sebagai tawaran jawaban. Namun saya juga punya catatan terhadap sikap moderat yang selama ini, dalam konteks Indonesia, moderat dianggap sebagai (1) ambiguitas bersikap dan (2) terbatas hanya digunakan untuk melawan wacana Islam radikal. Selain sebab reduksi yang berlebihan secara konseptual hingga menghilangkan dimensi keadilan (i’tidal) dalam muatan moderasi, tentunya kedua anggapan ini berkait kelindan dengan konteks sosial-politik yang sedang berlangsung, seperti represi rezim pada zaman Orde Baru, manipulasi politik pada saat Arab Spring, dan serangan teroris belakangan ini yang mengaku memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Moderasi, terlebih dahulu, perlu ditelurusi kembali secara tekstual dan selanjutnya dikontekstualisasi dengan keadaan terkini. Tanpa ditelusuri secara tekstual di dalam Al-Qur’an dan Hadits, moderasi akan lepas dari prinsip-prinsip dasarnya. Tanpa didialogkan dengan realitas terkini, moderasi hanya akan menjadi jargon yang membingungkan dan tak menyentuh tujuan utama berislam (maqasid syari’ah).
Mengembalikan Makna Wasathiyyah
Wasathiyyah banyak dirujuk sebagai istilah yang diambil dari ayat tentang ummatan wasathan (al-Baqarah, 2: 143). Wasathiyyah, secara literal, merupakan sinonim dari adil (i’tidal) dan seimbang (tawazun). Sinonim ini didapatkan dari konteks turunnya ayat tentang ummatan wasathan yang, sebagaimana dijelaskan al-Alusi dalam Tafsir al-Ma’ani, memiliki kandungan visi penegakan keadilan dan kesetaraan. Menggunakan padanan kata “moderat” atau “moderasi” untuk menggambarkan wasathiyyah justru tak cukup tepat, karena jika merujuk pada asal serapannya, Cambridge Dictionary mencantumkan dua arti moderation sebagai reduction dan reasonable limits. Jadi makna moderat perlu digeser kembali maknanya ke arah keadilan dan penyeimbangan bilamana tetap hendak mempersamakan keduanya demi mempermudah penggunaan.
Pemilihan kata “nas” (manusia) dalam ayat tentang ummatan wasathan yang tidak spesifik pada manusia jenis apa, di kelas sosial yang mana, berasal dari ras apa, dan apa agamanya, memberikan justifikasi tentang peranan kemanusiaan menyeluruh dan kesadaran sosial sebagai alat menuju keadilan. Moderasi menggiring pengertian bahwa agama tidak hanya berdimensi langit saja, tapi juga membumi pada realitas sosial antar manusia (ashluha tsabitun wa far’uha fis-sama’). Menurut Muhammad Hashim Kamali dalam bukunya The Middle Path of Moderation in Islam, berulangnya kata wasathiyyah dan sinonimnya sebagai gambaran prinsip sikap moderat menunjukkan kompleksitas pemaknaannya. Namun, semua gambaran itu tetap mengarah pada keadilan (al-‘adalah) sebagaimana kata awsathuhum (yang paling moderat) dalam al-Qalam (68: 28) selalu ditafsirkan sebagai a’daluhum (yang paling adil).
Karena secara kontekstual wasathiyyah adalah i’tidal dan tawazun, sedangkan kata tersebut melekat dengan kata yang lain yaitu umat dan mengetengahkan misi kekhalifahan—dalam artian manusia sebagai makhluk sosial, maka prinsip tersebut sesungguhnya adalah jalan untuk mencapai keadilan tersebut. Lalu keadilan macam apa yang dimaksud? Konsep ummah dalam ayat tentang ummatan wasathan menegaskan kesamaan posisi tidak hanya di hadapan Tuhan, tapi juga di antara manusia-manusia.
Bila Islam mengandaikan kesamaan posisi dan status dalam kehidupan, maka syarat utamanya adalah keadilan di tiap dimensi sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini ditegaskan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik bahwa pemiskinan dan pengalihan hak orang lain melalui privatisasi adalah bagian dari kejahatan yang melahirkan ketidakadilan-ketidakadilan selanjutnya. Jika masih ada penindasan ekonomi, politik, dan sosial dalam tubuh sebuah masyarakat muslim, maka ia tak terhitung moderat karena dua dari lima prinsip dasar Islam yang tercermin dalam maqasid syariah adalah jaminan atas kebutuhan dasar (hifdzun amwal dan hifdzun nafs).
Wasathiyyah tidak selalu dipahami sebagai tindakan untuk menghindari sikap boros (tatharruf dan tadbir). Tapi juga memahami apa yang tercantum dalam larangan pemborosan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengambilan hak orang lain dan penumpukan kapital secara privat. Ibnu Sabiq, sebagaimana dikutip oleh al-Kulayni, membaca ayat tersebut dengan sudut pandang lain bahwa tatharruf merupakan pengambilalihan porsi yang seharusnya adalah hak orang lain akibat dari adanya penguasaan yang tidak adil. Dengan kata lain, pembacaan ini menghendaki adanya keadilan dari sisi distribusi kepemilikan yang seharusnya orang-orang dapatkan dari apa yang mereka kerjakan.
Di sisi lain, pengertian moderat, yang diyakini sebagai padanan wasathiyyah, selama ini cenderung memberi pemahaman yang mengarah pada keterbukaan dialog dalam perbedaan, toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme. Penggiringan pemahaman tentang sikap moderat ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja tampak tidak sepenuhnya mendasarkan pada prinsip keadilan yang seharusnya menjadi muatan utamanya. Selama ini, gerakan Islam moderat tidak menyentuh tatanan dasar yang selalu menjadi asal mula ketidakadilan, yaitu ekonomi. Mulai dari Al-Markaz al-ʿĀlami li’l Wasaṭiyyah di Kuwait hingga Global Movement of Moderates Foundation yang dilaksanakan di Malaysia pada 2012, tidak secara serius menyentuh prinsip keadilan untuk menyelesaikan persoalan paling besar pengaruhnya dan paling mendasar itu.
Karena wasathiyyah selalu menjembatani teks al-Qur’an dan hadits dengan konteks sosial yang sedang berlangsung saat ini, seharusnya ia mendorong pemeriksaan realitas ketidakadilan dewasa ini yang mengarah pada ketimpangan. Dengan demikian, moderasi harus diarahkan pada strategi peniadaan dominasi ekonomi, larangan memainkan harga dan monopoli perdagangan oleh swasta, serta hal-hal lain yang menyebabkan adanya ketidakadilan di dasar struktur sosial.
Semoga bulan puasa tahun ini membawa kita semua menjadi muslim yang baik. Amin… Wallahu a’lamu bis-shawabi.***
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura