Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara
SALAH satu isu penting era globalisasi yang turut serta mewarnai dinamika kehidupan manusia adalah terorisme. Setiap tindakan teror yang dilakukan keompok tertentu, yang kemudian disebut teoris, selalu dikaitkan dengan agama tertentu pula. Umumnya, agama yang seringkali menjadi sasaran adalah Islam. Akibatnya, fenomena terorisme semakin membuat citra Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia semakin buruk. Sehingga wajar, apabila setiap peristiwa teror yang biasanya identik dengan ‘bom bunuh diri’ di ruang-ruang publik mengakibatkan ketegangan internal di kalangan umat islam.
Kenyataan ini mendorong beberapa tokoh terkemuka Muslim, berlomba-lomba menyatakan sikapnya bahwa Islam menolak segala bentuk tindakan teror sebab Islam tidak pernah mengajarkan perilaku seperti itu. Kalaupun terdapat perilaku teror yang memiliki identitas Muslim, teroris tersebut dianggap telah salah memahami ajaran Islam dan sesat dalam menafsirkan kitab suci. Setiap tindakan teror diarahkan pada kaum muslim juga akan dianggap sebagai upaya memecah belah kaum muslim dan melemahkan nilai tawar Islam di dunia. Islam sebagai agama solutif yang bersifat mutakhir akan dianggap gagal atau bahkan dianggap ‘biang’ dari perilaku teror. Apapun alasannya, fenomena terorisme yang seperti ini akan menguntungkan agama-agama lain.
Fenomena terorisme yang selalu dikaitkan dengan motif agama sebagai direpresentasikan dalam istilah ‘Jihad’, misalnya, seolah membenarkan tesis Samuel P. Hantington. Hantington dalam karyanya Clash of Civilization, mensinyalir bahwa perkembangan mutakhir sejarah umat manusia ditandai oleh pertarungan peradaban berlatar belakang agama. Tafsir setiap kelompok masyarakat terhadap agamanya akan menjadi motif utama perilaku umat manusia dalam realitas hubungan intenasional. Tesis Hantington tersebut, dengan demikian, tentu dapat dijadikan alasan pembenar atas setiap tindakan teror sebagai fenemona yang berlatar belang motif agama.
Persoalannya kemudian terletak pada tafsir kelompok penganut agama terhadap agamanya. Apabila terdapat kelompok agama tertentu yang menganggap dan meyakini hanya hasil tafsir meraka saja yang benar, maka sudah cukup bagi mereka untuk mengkafirkan kelompok lainnya meskipun bernaung pada agama yang sama. Sehingga, jika benar pula bahwa para teroris memang berasal dari kelompok aliran agama tertentu, maka tuduhan salah atau sesat terhadap perbuatan teror yang dilakukan pasti justru akan semakin memperkuat perbuatan teror tersebut. Sebab, hukum alam telah membuat niscaya logika pikir manusia bahwa nilai kebenaran selalu beriringan dengan kritik. Tidak ada segolongan manusia yang berhak menilai salah sebuah hasil tafsir kitab suci. Apalagi, atas nama agama, kita sama-sama yakin bahwa kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya tesis yang menyatakan bahwa terorisme terjadi dan berkembang karena motif agama hanya merupakan pandangan yang bersifat permukaan. Agama memang selalu mewarnai, tetapi hanya dalam posisi sebagai alat legitimasi sah dan tidaknya sebuah tindakan. Atau paling tidak, jargon-jargon keagamaan dibutuhkan untuk memudahkan rekruitmen dan mobilisasi calon pelaku teror. Betapapun terkait dengan tafsir pada ajaran dan teks kitab suci, yang paling tahu pasti hanya pimpinan kelompok atau kelas elit dalam kelompok tersebut. Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang fenomena terorisme? Tentu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita lihat apa yang tersisa dari agama.
Agama dan Tradisi Kekerasan
Perkembangan agama apa pun di dunia, secara empiris, pasti terikat dengan kekerasan. Sejarah menunjukkan persoalan itu dengan sangat jelas. Penyebaran agama selalu disertai kekerasan, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap menolak kehadirannya. Penolakan ini, baik agama dianggap tidak perlu atau karena masyarakat tersebut telah menganut agama lain. Islam, Kristen, dan Yahudi, merupakan tiga agama utama dunia yang paling akrab dengan kekerasan. Meskipun para pemuka agama masing-masing menolak kekerasan sebagai bagian ajaran agama, bukti historis menunjukkan sebaliknya terutama saat agama mulai disebarakan. Bahkan, Islam dan Kristen pernah saling berhadap-hadapan dalam sebuah peperangan yang sangat dahsyat yang dikenal dengan Perang Salib. Adapun tradisi kekerasan Yahudi dapat dilihat dalam kasus pendirian Negara Israel dan perluasannya saat ini.
Potensi kekerasan yang menjadi anak kandung agama dapat ditelusuri dari beberapa variabel. Pertama, variabel ketuhanan. Masalah-masalah ketuhanan yang berkembang dalam tradisi keagamaan sampai saat ini masih bersifat misteri. Apa saja yang dilekatkan pada diri Tuhan seringkali menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Misalnya, tentang kehendak Tuhan. Agama-agama besar di dunia memiliki doktrin utama bahwa Tuhan akan selalu menghendaki yang baik-baik bagi manusia. Pertanyaannya kemudian, lalu dari mana datangnya kejahatan dan penderitaan? Sejenak akan terlintas dalam benak kita akan adanya aktor lain yang seimbang dengan Tuhan pencipta kejahatan dan penderitaan.
Pertanyaan senada juga bisa digunakan untuk membuat transparan status Tuhan yang disebut-sebut Maha Kuasa. Kalau Tuhan memang kuasa, mengapa kejahatan dan penderitaan masih berlangsung? Bukankah Tuhan sungguh kejam membiarkan makhluknya dalam kondisi seperti itu? Terhadap pertanyaan ini, lahirnya anggapan bahwa Tuhan tidak lagi Maha Kuasa tidak akan terelakkan. Lalu, apa yang tersisa dari atribut-atribut ketuhanan di atas? Paling tidak, bagi para pembela agama, untuk mempertahankan doktrin agamanya itu, mereka harus mengakui bahwa baik dan buruk, kebahagiaan dan penderitaan, memang datang dari Tuhan.
Apabila eksistensi Tuhan tidak tergantung pada anggapan makhluknya, khsusnya manusia, maka atribut “Tuhan Maha Berkehendak” tidak selalu dapat diartikan bahwa Tuhan selalu menghendaki yang baik dan kebahagiaan, tetapi mengizinkan kejahatan dan penderitaan terus berlangsung juga merupakan makna dari atribut tersebut. Begitu pula dengan penjelasan tentang “Tuhan itu Maha Kuasa”. Karena Tuhan Maha Kuasa, maka segalanya terserah Tuhan. Namun demikian, beberapa kalangan ahli retorik-konsepsional, biasanya menolak kejahatan dan penderitaan sebagai realitas kongkrit-aktual dalam kehidupan. Bagi mereka, apa yang disebut jahat dan derita hanyalah cara pandang saja. Kata mereka: “ yang disebut kejahatan itu adalah tidak adanya yang disebut kebaikan, yang disebut kebaikan itu adalah tidak adanya yang disebut kejahatan” seperti “yang disebut malam itu adalah tidak adanya yang disebut siang, yang disebut siang itu adalah tidak adanya yang disebut malam”.
Kedua, variabel kenabian. Otoritas tertinggi dalam sejarah agama aktual di dunia adalah kehadiran seorang nabi. Apa saja yang dikehendaki Tuhan bagi manusia, nabi merupakan juru tafsir tertinggi atas kehendak itu. Persoalannya kemudian adalah ketika era kenabian selesai. Sebagaimana masyarakat Muslim meyakini bahwa era kenabian telah berakhir pada diri Muhammad bin Abdullah, Nabi Muhammad SAW. Keyakinan seperti ini ternyata juga dikuatkan oleh Kitab Suci Al-Qur’an, yang merupakan literatur tertinggi doktrin keagamaan umat Islam. Konsekuensinya jelas, dalam rentang sejarah pasca berakhirnya era kenabian, segala tindakan orang, tidak peduli asal dan jenis kelompoknya, yang mengaku sebagai nabi pantas untuk dibunuh atau dihukum beserta pengikutnya.
Secara historis-filosofis, fenomena ‘mengaku nabi’ sangat potensial memang akan mewarnai sejarah agama seiring berkembangnya keyakinan dalam umat beragama bahwa salah satu tanda datangnya hari akhir (kiamat) adalah lahirnya atau datangnya juru selamat. Istilah “juru selamat” di sini merupakan reduksi konseptual dari “nabi”. Sebab, sejarah membuktikan bahwa kehadiran seorang nabi selalu bermaksud menyelamatkan manusia dari segala bentuk kebodohan, penindasan, kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya.
Kembali pada masalah datangnya juru selamat. Layaknya gerombolan semut yang melihat gula, keyakinan ini menciptakan daya tarik yang kuat bagi orang-orang tertentu untuk mengaku diri sebagai nabi. Selain popularitas pribadi yang sangat menjanjikan, sumber keuangan pun akan semakin mudah. Kenyataan itu tentunya tidak terlepas dari gejala putus asa yang mulai menggerogoti batin manusia atas penderitaan hidup sembari menunggu janji-janji agama akan datangnya Sang Juru Selamat.
Kristen dan Yahudi, di lain pihak, tidak memiliki doktrin yang tegas tentang akhir era kenabian. Umat Kristen dan Yahudi cenderung menganggap pemimpin utama agamanya setara dengan nabi. Masyarakat Kristen dan Yahudi, bahkan menolak eksistensi Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir atau penutup. Meskipun secara historis, sebagai sesama agama wahyu, Islam lahir lebih akhir dibandingkan keduanya. Sepertinya, baik Kristen dan Yahudi, dalam masalah kenabian masih dalam proses historis menuju akhir era kenabian. Namun demikian, sebagaimana dalam tradisi Islam, kenyataan ini tidak akan menghapus potensi kekerasan terhadap orang-orang yang mengaku nabi di luar lembaga tertinggi agama.
Ketiga, variabel otoritas tafsir atas Kitab Suci. Dalam tradisi masyarakat Muslim, siapa saja yang berhak menafsirkan maksud yang terkandung dalam kitab suci lebih bersifat lunak. Orang-orang yang teruji secara keilmuan tertentu, yang disepakati sebagai syarat menjadi ahli tafsir, berhak melakukan kegiatan tafsir atas kitab suci. Hasilnya pun dapat menjadi panduan Umat Islam dalam menajalani kehidupan sehari-hari. Empat Mazhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali) yang dikenal luas oleh Umat Islam adalah salah satu bukti nyata toleransi kegiatan tafsir atas kitab suci. Sejenak kenyataan ini cukup menggembirakan. Akan tetapi, ketika kita bertanya siapa yang berhak merumuskan syarat-syarat untuk menjadi ahli tafsir, persoalan mulai menghantui. Respon yang bisa diberikan, pastilah orang-orang tersebut memiliki jenis kekuasaan tertentu, atau paling tidak, dilindungi oleh jenis kekuasaan tertentu.
Tradisi Kristen dan Yahudi, di lain pihak, pemimpin agama memegang otoritas kebenaran mutlak akan tafsir atas kitab suci. Artinya, pemimpin agama dan lembaga tertinggi agama merupakan sumber doktrin agama yang mutlak. Kenyataan ini bukannya tanpa perlawanan. Kemunculan Sekte Protestan dalam Kristen merupakan upaya meruntuhkan hegemoni Paus dan Gereja. Atas nama agama, Paus dan Gereja, saat itu kemudian menganggap Kaum Protestan telah kafir dan kekerasan pun tidak dapat terelakkan. Sementara itu, perkembangan Yahudi juga tidak terlepas dari friksi internal, khsusunya dalam kasus pendirian Negara Israel. Ide pendirian Negara Israel sebagai negara bangsa Yahudi datang dari sekte zionis. Sedangkan, kaum ortodoks yang menginginkan penyebaran ajaran Yahudi bersifat kultural dan transnasional menolak pendirian negara.
Berdasarkan ketiga variabel tersebut, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa sejarah agama sangat dekat dengan tradisi kekerasan yang selalu bersifat potensial. Selain itu, latar belakang kondisi sosio-politik yang melatarbelakangi kelahiran agama-agama membuat sejarah agama juga sangat dekat dengan kekuasaan poitik. Bahkan, kekuasaan politik tertentu diperlukan untuk melegitimasi keberadaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, sejarah kekuasaan poltiik juga memerlukan agama sebagai instrumen legitimasi. Persinggungan agama dengan kekuasaan politik inilah yang menyebabkan tradisi kekerasan dalam sejarah agama sangat kuat.
Terorisme: Implikasi Basis Material
Teror-teror dengan jargon agama sampai dengan tindakan bom bunuh diri tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan agama itu sendiri yang sangat menghargai pengorbanan individual. Cerita-cerita yang tertera dalam literatur keagamaan seluruhnya menggambarkan keberanian dan pengorbanan individual melawan rezim-rezim ‘dzalim’. Bahkan, di antara mereka rela berpisah dengan keluarga dan orang-orang terdekat demi semua itu. Pengorbanan individual atas nama agama menjadi ukuran kesalehan seseorang terhadap Tuhan. Doktrin yang demikian, ternyata ditegaskan oleh suara Tuhan bahwa Tuhan sangat mengistimewakan ketakwaan seseorang, bukan jabatan dan harta. Derajat ketakwaan dapat dicapai oleh setiap orang karena memang menjadi urusan privat antara manusia dengan Tuhannya. Apalagi, surga dan neraka dalam literatur keagamaan merupakan imbalan individual bukan kolektif.
Tindakan perlawanan terhadap rezim memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap tindakan perlawanan tersebut memerlukan suatu kerangka ideologis, selain sebagai alat legitimasi tindakan juga diperlukan untuk memobilisasi massa supaya perlawanan yang dilakukan bertambah kuat. Di antara kerangka-kerangka ideologis yang ada, salah satu yang paling populer adalah ajaran-jaran agama. Tentu hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa masyarakat dunia adalah mayoritas penganut agama.
Terorisme, apa pun alasannya terkait dengan doktrin-doktrin tertentu ajaran agama. Tetapi, keberadaan agama di sini bukanlah sebagai alasan utama (basis fenomena). Agama diperlukan sebagai alat legitimasi atau alat pembenar tindakan. Apalagi perkembangan terorisme teridentifikasi dalam konteks tindakan kolektif-terorganisir. Dalam konteks seperti itu, kerangka ideologis yang menggunakan ajaran dan jargon agama akan memudahkan mobilisasi massa untuk menambah dan memperbesar kekuatan perlawanan. Sehingga kritik terhadap siapa saja yang disebut teroris atau kelompok teroris dengan menyatakan bahwa tindakan mereka bertentangan dengan ajaran agama, justru akan semakin memperkuat terorisme. Agama sebagai representasi kumpulan kehendak Tuhan dan hukum Tuhan, tidak tergantung pada apa yang ditafsirkan segolongan manusia tertentu. Kehendak Tuhan yang tidak dapat diintervensi manusia dan hukum Tuhan yang tidak sepenuhnya jelas dalam teks kitab suci serta penghargaan Tuhan terhadap kesalehan individual lewat pengorbanan individual, memberikan ruang bagi setiap orang untuk menafsirkan semua itu berdasarkan tafsir masing-masing. Bukankah kelompok tertentu yang kita sebut teroris selama ini juga menghukum kita sebagai kafir?
Coen Husain Pontoh dalam tulisannya Terorisme Sebagai Pukulan Mundur Bagi Politik Progresif, edisi 15 Januari 2016 menyatakan, “dalam sejarah politik dunia, hampir tak ada bukti kuat dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa sebuah aksi teroristik bisa menjatuhkan pemerintah atau rezim yang berkuasa….. Justru yang berlaku sebaliknya. Aksi-aksi teror ini membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat represifnya menjadi berlipat ganda.” Terkait dengan pernyataan ini, kita bisa berdebat satu sama lain. Namun demikian, pernyataan tersebut mengandung tiga konsekuensi logis dalam memandang perkembangan terorisme. Pertama, perkembangan terorisme harus diletakkan dalam kerangka historis. Kedua, aksi teroristik ternyata merupakan salah satu tindakan yang dipilih manusia untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap rezim pemerintah. Ketiga, setiap fenomena teror dapat menjadi legitamasi rezim untuk memperbesar kekuatannya. Ketiga konsekuensi logis ini menegaskan bahwa terorisme merupakan fenomena historis yang didalamnya terkait dengan realitas sosio-politik. Kalau sudah seperti itu, lalu apa sebenarnya yang menjadi alasan utama terorisme?
Perkembangan terorisme sesungguhnya diakibatkan oleh basis material dalam wujud ketimpangan material. Sekaligus, basis material inilah yang menjadi pemicu utama terorisme yang saat ini telah menjadi fenomena global. Adapun tujuannya tentu tidak lain hanya perebutan sektor material yang kemudian dikuatkan dengan cita-cita pendirian asosiasi politik negara. Lagipula basis material tidak berurusan dengan agama tertentu. Orang kaya dan miskin dapat dapat menjadi penganut agama apapun.
Basis material perkembangan terorisme bisa dibuktikan dengan dua fakta pendukung utama. Pertama, sebagian besar pelaku teror berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kelas sosial menengah ke bawah jelas merupakan sasaran mobilisasi massa yang sangat potensial. Kesulitan ekonomi yang mereka hadapi, membuat mereka mudah diorganisir untuk melakukan tindakan-tindakan teror tertentu, apalagi ada imbalan finansial yang bisa mereka dapatkan untuk menopang kebutuhan material. Kedua, beberapa kelompok teroris yang teridentifiksasi ternyata memiliki sumber keuangan yang sangat besar. Kondisi ini sangat penting untuk memudahkan kegiatan mobilisasi massa dan kebutuhan logistik. Bahkan, fenomena terorisme telah membantu perusahaan-perusahaan pembuat senjata untuk menguji kualitas senjata yang dihasilkan. Kalau sudah seperti itu, masihkah kita akan menggunakan doktrin-doktrin untuk menghentikan terorisme?
Bagi aparatur negara, mungkin penggunaan doktrin-doktrin agama untuk melawan terorisme sangat penting. Terlebih lagi bila yang menyampaikan doktrin-doktrin agama itu adalah para pemuka dan tokoh-tokoh agama. Sebab, sebagaimana kelompok teroris yang membutuhkan agama untuk melegitimasi tindakan teror, aparatur negara juga membutuhkan agama untuk melawan kelompok-kelompok yang dianggap pelaku teror. Konsekuensinya jelas, bukannya meminimalisir terorisme, yang terjadi justru akan memperluas terorisme. Aparatur dengan kewenangan dan kapasitas perang yang dimiliki dan ditopang oleh legalitas hukum serta dukungan para pemuka dan tokoh-tokoh agama, dapat menjadi kelompok teror lain terhadap warganya dan kemanusiaan secara umum.
Karena itu, perkembangan terorisme, pada akhirnya, harus dilihat sebagai akibat kegagalan negara dalam mewujudkan kesejahteraan material bagi warganya. Bukannya berupaya mewujudkan tugas utama itu, rezim pemerintah sebagai representasi pelaksana negara justru semakin memperbesar struktur kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin. Pembangunan ekonomi hanya menguntungkan kelas kaya dan hasilnya pun hanya dinikmati kalangan elit. Sementara itu, penderitaan kelas bawah semakin parah. Kalau ini terus berlanjut, kita tidak dapat menyalahkan kelompok-kelompok yang disebut teroris. Fenomena ini harus dibaca dalam konteks gerakan protes-kritis sebagaimana gerakan-gerakan protes-kritis pada umumnya.***
Penulis adalah mahasiswa S2 Filsafat UGM, Yogyakarta dan aktif di Pusat Studi Filsafat dan Interdisipliner, Malang