PERISTIWA teror kembali terjadi di Paris. Dan seperti sebelumnya, koor hujatan dan kecaman diarahkan ke pelaku teror dan simpati serta duka-cita mendalam kepada korban yang tidak berdosa. Walaupun saya berbagi simpati dan duka buat para korban, tulisan ini sendiri akan membahas sisi lain dari persitiwa teror ini, yakni menyeruaknya ke permukaan isu identitas. Hal ini hanya bisa dijelaskan melalui serangkaian kasus-kasus teror yang terjadi sejak awal 2000-an, tepatnya ketika terjadi pembajakan pesawat yang menghantam menara kembar World Trade Center (WTC). Sejak itu, trend terorisme bermula dan terus direproduksi melalui berbagai ‘medium’ sampai membentuk citraan di ruang-ruang imaji.
Kata teror memang mengandung tuduhan langsung maupun tak langsung pada satu atau beberapa pihak. Kalau ada kelompok yang melakukan teror, berarti ada kelompok yang menginginkan perdamaian―juga pluralisme. Inilah salah satu wujud isu identitas yang tampil kian ‘seksi’ hingga hari ini.
Demikianlah, ketika mendapati sebuah peristiwa ‘teror’, hal yang langsung muncul di pikiran adalah segerombolan orang berprilaku barbar, mengatasnamakan agama―dalam hal ini Islam―, memakai sorban di kepala, berjanggut tebal, membawa senjata kemudian menyerang warga sipil yang tak bersalah. Seolah-olah imaji model begini memang setelan pabrik yang sudah self-evident, tak perlu dipertanyakan.
Dari situ, tentu sudah diketahui bagaimana media-media menyajikannya kepada publik. Sebuah sajian yang tak bebas bias dan nilai. Pemberitaan demi pemberitaan dilakukan secara intens tentang jahatnya pihak ‘teroris’ yang melakukan hal itu dan dengan lantang mengampanyekan semangat pluralisme dan kedamaian, dengan menunjuk kepada kelompok-kelompok yang mengampanyekan hal itu.
Dari situ pula, kita sebagai publik dunia, ’secara otomatis’ mengonfirmasi dan segera mengutuk sekelompok teroris yang biadab, termakan indoktrinasi agama sekaligus memakainya sebagai legitimasi tindak kekerasan. Ya, kelompok teror itu telah mencoreng wajah Islam di mata dunia. Mereka bertindak berdasarkan kebencian dan fanatisme buta.
Hal ini juga diperkuat oleh kampanye-kampanye toleransi, pluralisme, perdamaian antar agama yang seringkali dianggap sebagai alternatif bagi pemecahan konflik secara kultural. Tidak mengherankan memang, bila kita melihat ide-ide yang ditawarkan, yakni tentang cara beragama yang luwes, rasional, terbuka, dan moderat. Dengan begitu, wajar saja jika kita lihat asumsi-asumsi kalangan ini dalam melihat akar problem radikalisme agama. Yakni, kebencian berlebihan dan fanatisme buta, membaca Al-Qur’an secara tekstual atau skripturalis, tak mampu merespon modernitas dengan terbuka, sehingga menciptakan perilaku yang radikal-ekstrim.
Namun, bagi saya, solusi pluralisme dan toleransi semata yang ditawarkan menjadi tidak memadai karena mengabaikan dinamika struktur sosial-politiknya. Hal ini terlihat dari banyaknya pembacaan terhadap perilaku radikal atau ‘teror’ yang hanya berkutat pada pembacaan doktrin belaka tanpa mengandaikan kenyataan konkrit yang melandasinya.
Anehnya, pembacaan yang dilakukan oleh Maxime Rodinson justru cukup mengejutkan, bahwa hampir tak ada, atau sangat sedikit, faktor-faktor inheren dalam ajaran Islam yang membuatnya menjadi tertinggal bila dibandingkan dengan ajaran lain. Justru dinamika strukturlah―konflik politik, penjajahan, supremasi Barat atas Non-Barat―yang menyebabkan ketertinggalan umat Islam.
Kesimpulan Rodinson menunjukkan, secara implisit, bahwa pembacaan Islam yang berkutat pada doktrin tidaklah menjawab mengapa Islam bisa menampakkan wajah yang demikian radikal dan ekstrim: kalau-kalau diasumsikan akibat tak mampunya menerima modernitas dari Barat secara internal. Juga, hal di atas menunjukkan adanya semacam kerangka orientalis yang merasuk ke dalam alam pemikiran para aktivis pro-plural dan toleran. Dan ini tidak bebas nilai: karena selalu berkaitan dengan relasi modal dan pengetahuan.
Para orientalis ini seringkali menggunakan analisis Weberian dalam menjelaskan kemunduran Islam dan masyarakat muslim, yakni: sikap irrasional, personal, dan agamis. Maka itu, harus dilakukan sebuah institusionalisasi masyarakat menjadi rasional, impersonal, dan sekular. Kerangka Weberian ini memiliki konsekuensi terhadap peminggiran agama dari ranah politik ke dalam ranah kultural maupun ritual semata. Kita tahu, gerakan fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Teologi Pembebasan di Amerika Latin, bisa menunjukkan unsur emansipatif sebuah agama dalam merespon ketimpangan sosial. Namun unsur emansipatif itu dilihat negatif. Dengan kerangka Weberian, agama dianggap mengganggu dan menghambat proses menuju terbentuknya masyarakat yang maju―dalam arti rasional, impersonal, dan sekular.
Maka, tak syak lagi bila melihat bagaimana kerja-kerja yang dilakukan aktivis perdamian antar iman dan pluralis sudah ‘nyaman’ dengan isu-isu sekitar identitas, tanpa beranjak kepada analisis tentang isu-isu ketimpangan material yang konkret, yang justru merupakan conditia sine qua non bagi tindakan kekerasan. Kasus teror di Paris, akhirnya hanya dilihat sekadar isu identitas belaka, yakni pertentangan antara Muslim dan Barat, agamis-sekular, personal-impersonal, rasional-irrasional, tanpa melihat faktor-faktor penjajahan ekonomi-politik yang demikian sadis, yang dilakukan kelas kapitalis dan elite-elite kompradornya hingga hari ini.
Kalau sudah begini, pluralisme dan perdamaian menjadi sekadar wacana basi yang plintat-plintut, plungkar-plungker. Tak jelas duduk perkara epistemologis dan aksiologisnya.***
Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta, FISIP, Jurusan Sosiologi