Lobi dan Usaha Membeli Pengaruh di Washington

Print Friendly, PDF & Email

URUSAN melobi (lobbying) yang dilakukan oleh Pereira International menjelang kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat bulan lalu, menjadi isu hangat dalam politik Indonesia. Usaha melobi yang awalnya diungkap oleh ilmuwan politik Michael Buehler itu kemudian bercabang ke mana-mana. Kantor Menko Polhukam dan Kementrian Luar Negeri membantah bahwa mereka memakai jasa pelobi untuk melicinkan urusan kunjungan presiden ini.

Seperti biasa, isu ini diplintir ke sana ke mari. Poin terpenting yang diajukan Buehler sesungguhnya sederhana, yakni soal transparansi. Tapi justru itu yang luput dibahas dari kisruh ini. Tidak sedikit yang menyerang kredibilitas Buehler. Serangan itu meningkat intensitasnya ketika mendapatkan bumbu nasionalisme. Menko Polhukam Jenderal Luhut B. Pandjaitan, misalnya, dengan marah membantah tulisan Buehler itu. Dia menyebut tulisan itu ‘merendahkan martabat bangsa.’ “Bangsa ini bangsa besar, nggak ada makelar. Kamu mau dengar-dengarin itu, mentang-mentang dia gelar doktor. Jangan kau rendahkan bangsamu ini,” demikian katanya.[1] Bahkan di media sosial muncul tagar #JokowiTuntutBuehler untuk mengekspresikan kemarahan.

Persoalan yang diangkat oleh Michael Buehler sesungguhnya sangat jelas. Dia mempertanyakan, siapa yang membiayai usaha lobi ini? Untuk kepentingan apa? Apakah US$80,000.00 itu adalah uang pajak rakyat Indonesia? Alih-alih memusatkan perhatian pada ‘pesan’ (message) yang ingin disampaikan, banyak orang kemudian memilih untuk menjatuhkan kredibilitas pembawa pesan (messenger).

Namun, apakah sesungguhnya lobi itu? Bagaimana dia bekerja dalam sistem politik Amerika? Bagaimana negara Indonesia, para politisi, atau pengusahanya juga memakai jasa pelobi untuk berurusan dengan Amerika?

 

Lobi bukan makelar

Media, politisi, serta cendekiawan pengamat di Indonesia menerjemahkan lobbying ini dengan ‘makelar.’ Dua kata ini sebenarnya punya makna yang berbeda. Lobi adalah usaha untuk mempengaruhi sebuah kebijakan pemerintah. Di dalam sistem politik Amerika, hal ini bisa dilakukan lewat jalur legislatif namun bisa juga ke eksekutif. Aktivitas lobi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses ke kekuasaan. Itulah sebabnya banyak perusahan pelobi yang menggunakan jasa politisi yang sudah tidak lagi berkuasa untuk menghubungi koleganya yang masih duduk di dalam lembaga kenegaraan.

Orang-orang yang diwakili oleh para pelobi biasanya adalah kelompok-kelompok kepentingan seperti serikat-serikat buruh, kamar dagang, kelompok pengusaha tertentu – seperti himpunan pengusaha tekstil, kelompok pengusaha jasa konstruksi, asosiasi importir kopi, dan lain sebagainya. Namun tidak terbatas pada kelompok. Pribadi-pribadi pun bisa melakukan usaha lobi.

Perbedaannya dengan ‘makelar’ atau ‘calo’ cukup jelas. Makelar menghubungkan dua belah pihak agar keduanya setuju untuk melakukan transaksi. Tugas utama makelar adalah sebagai perantara dalam hubungan yang transaksional. Sementara, dalam lobi persoalan transaksional itu sangat samar. Kebanyakan mereka yang melakukan lobi adalah konstituen dari daerah pemilihan para politisi. Termasuk di dalamnya pengusaha-pengusaha yang memiliki usaha di daerah pemilihan seorang politisi atau serikat-serikat buruh yang banyak memiliki anggota di daerah pemilihan tersebut. Ada juga yang melobi supaya proyek-proyek dialihkan ke daerah pemilihannya. Inilah yang terkenal dengan nama ‘pork barrel.’

Seringkali sebuah kelompok kepentingan tidak terbatas pada daerah konstituen seorang politisi saja. Banyak kelompok yang berdimensi nasional. Mereka melakukan lobi dalam skala nasional dengan mendekati sekaligus sekelompok politisi baik dari satu partai maupun lintas partai. Karena skalanya, kelompok-kelompok kepentingan ini bisa menjadi kelompok penekan yang kuat. Seperti, misalnya, kelompok asosiasi pemilik senjata api (National Rifle Association atau NRA) yang selain memiliki lobi yang kuat juga bisa menjadi penekan yang kuat.

Seorang politisi tidak bisa hidup tanpa para pelobi. Pertama, mereka adalah sumber suara karena mereka adalah konstituen daerah pemilihan. Kedua, mereka adalah sumber dana. Para pelobi (lobbyist) seringkali bertindak sebagai penyumbang dana kampanye. Mereka juga bisa bertindak sebagai ‘bundlers’ (pengepul) dana kampanye untuk seorang politisi. Namun uniknya, sebagian besar politisi mengelak untuk disebut dekat dengan para pelobi. Hampir di setiap kampanye, isu lobi ini muncul ke permukaan. Para politisi saling menuduh mereka disetir oleh ‘special interests’ yang dibawa oleh para pelobi.

Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, para pelobi ini diatur dengan undang-undang. Pada tahun 1946, pemerintah Amerika mengeluarkan The Federal Regulation of Lobbying Act. Undang-undang ini mengharuskan para pelobi melapor kepada sekretaris Senat dan juru tulis (clerk) DPR. Untuk lebih menjamin transparansi, undang-undang ini diubah pada tahun 1995 menjadi Lobbying Disclosure Act.

Hukum di Amerika Serikat memperbolehkan pihak asing (baik negara, kelompok, maupun individu) melakukan lobi dan memperjuangkan kepentingannya di Amerika. Kepentingan asing ini diatur oleh Foreign Agents Registration Act (FARA). Undang-undang yang dibikin tahun 1938 ini mengharuskan pihak yang mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan asing ‘dalam kapasitas politik atau setengah-politis’ untuk mengungkapkan hubungannya dengan pemerintah asing itu dan memberikan informasi tentang aktivitas dan keuangan yang terkait dengan usaha lobi itu.

Dari sinilah banyak pemerintah dan kepentingan asing melakukan usaha lobi untuk mempengaruhi, tidak saja kebijakan luar negeri AS, namun juga kebijakan domestik Amerika yang dianggap akan berdampak bagi negara tersebut. Kebijakan lingkungan AS, misalnya, bisa berpengaruh terhadap ekspor minyak kelapa sawit ke AS. Negara atau asosiasi pengusaha penghasil minyak sawit bisa membayar pelobi untuk mempengaruhi kebijakan itu supaya sesuai dengan keinginannya.

Demikianlah, aktivitas lobi sangat berbeda dengan aktivitas makelar atau calo. Lobi lebih berfungsi untuk mencari pengaruh. Cara yang ditempuh para pelobi pun macam-macam. Selain melakukan pendekatan kepada pembuat kebijakan, para pelobi juga melakukan berbagai macam cara untuk membentuk opini.

Beberapa perusahan pelobi menghubungkan pihak yang berkepentingan dengan media, misalnya. Mereka mengatur pertemuan kliennya dengan wartawan baik media cetak maupun elektronik. Mereka juga bermain di media sosial. Bahkan tidak jarang para pelobi menyusun tulisan opini untuk media. Sehingga, pada saat yang bersamaan perusahan lobi ini beroperasi tak ubahnya seperti perusahan public relations (humas).

Jika ada seorang jenderal berpengaruh dari sebuah negara berkembang, yang bahkan tidak cakap berbahasa Inggris, namun tulisan opininya bisa muncul di koran The Wall Street Journal, misalnya, maka hampir bisa dipastikan ada tangan perusahan-perusahan seperti ini.

 

Indonesia dan Aktivitas Lobbying

Apakah Indonesia baru mengenal usaha lobi ini? Sama sekali tidak. Situs pemerintah Amerika (fara.gov) memperlihatkan bahwa pemerintah Republik Indonesia sudah mulai melakukan aktivitas lobi pada tanggal tanggal 25 Pebruari 1946. Indonesia diwakili oleh Oscar Gass, seorang konsultan ekonomi di Washington DC.[2] Kita tidak tahu siapa yang memberi kuasa Oscar Gass untuk mewakili Indonesia. Website FARA tidak memberikan dokumen yang bisa dibaca. Oscar Gass, selain memberikan nasehat ekonomi untuk Indonesia juga menjadi penasehat ekonomi untuk Polandia dan pemerintah Israel.

Yang menarik di sini adalah bahwa pemerintah Amerika Serikat belum mengakui kemerdekaan Indonesia ketika pemerintah Indonesia mempekerjakan pelobi di Washington DC. Pihak yang diwakili oleh Oscar Gass jelas-jelas adalah pemerintah Republik Indonesia. Bukan sebuah organisasi non-pemerintah.

Dua bulan kemudian, pada 22 April 1946, perusahan Robert R. Nathan and Associates, menerima mandat untuk bertindak sebagai pelobi dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Seakan mengikuti perjalanan sejarah Indonesia, pada 16 Oktober 1946, pemerintah Negara Indonesia Timur dan Wilayah Otonom Kalimantan Barat juga menyewa Randolph Feltus, seorang pelobi di Washington. Sayang, situs Fara.gov juga tidak memberikan dokumen.

Dokumen pertama baru muncul pada 4 Januari 1949. Ketika itu pemerintah RI menyewa perusahan lobi Robert R. Nathan Associates, Inc. Pihak Indonesia diwakili oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo, yang saat itu menjabat sebagai ‘plenipotentiary representative in the United States’ (perwakilan berkuasa penuh di Amerika Serikat). Perlu diingat bahwa ketika lobi ini dilakukan, pemerintah Indonesia hanyalah satu bagian dari Republik Indonesia Serikat. Saat itu juga belum dilakukan penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda. Pihak Indonesia berkantor di 40 Wall Street, New York City, ketika itu. Adapun hal yang di-lobi oleh pemerintah Indonesia adalah soal ‘governmental financing’ atau pembiayaan pemerintahan.

Pada masa sesudah penyerahan kedaulatan pun usaha lobi ini tidak berhenti. Pemerintah Indonesia sendiri yang bertindak sebagai pihak pengguna jasa lobi ini. Namun ada yang menarik pada 18 April 1955. Ketika itu TNI Angkatan Darat menyewa Irving I. Davidson, seorang pelobi dan juga pedagang senjata resmi (licensed arms dealer). Davidson banyak menjual senjata kepada para diktator termasuk di dalamnya Antonio Somoza, diktator Nikaragua, dan Fulgencio Batista, diktator militer Kuba sebelum digulingkan Fidel Castro.

Ketika lobi ini dilakukan, Indonesia sedang mengalami pergolakan di daerah. TNI Angkatan Darat menjadi salah satu kunci dari pemberontakan ini. Di Washington, TNI-AD diwakili oleh seorang yang bernama Djamin Datuk Bagindo. Dia adalah Residen Jambi untuk periode 1954-1957. Pada 8 Februari 1957, Ketua Dewan Banteng yang memberontak terhadap RI, Letkol Ahmad Husein, melantik Datuk Bagindo sebagai pejabat Gubernur Jambi. Sayang sekali, tidak ada dokumen dari FARA yang bisa diakses untuk mendalami usaha lobi ini.

Untuk masa-masa selanjutnya, pemerintah Indonesia melanjutkan usaha lobi demi memperlancar urusan di Washington DC. Ini dilakukan baik oleh pemerintah sendiri atau oleh misi Indonesia di PBB. Bahkan, pada 1963, LKBN Antara juga pernah melakukan lobi. Selain itu, lembaga yang mengurusi turisme juga ikut melakukan lobi. Ini dilakukan demi promosi pariwisata di Indonesia.

Usaha-usaha lobi Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru lebih banyak mengurusi soal-soal ekonomi dan pembangunan. Pihak-pihak yang banyak menggunakan jasa lobi adalah perusahan dan asosiasi. Pertamina adalah salah satu di antaranya. Pada awalnya, Pertamina berkepentingan untuk menarik investasi dari sektor migas. Mereka membutuhkan dukungan pengendoran regulasi atas beberapa produk yang harus diimpor dari Amerika.

Di sisi lain, organisasi seperti asosiasi pengusaha tekstil, yang ekspornya ke AS terancam mengalami pengawasan lebih ketat karena perlakuannya terhadap buruh, juga beberapa kali terlihat melakukan lobi. Selain itu, asosiasi pengusaha panel kayu juga terlihat berkali-kali melakukan lobi. Mereka ingin agar pembatasan-pembatasan yang mengaitkan lingkungan dengan sektor perkayuan dihapuskan.

Sektor lain yang juga banyak melakukan aktivitas lobi adalah turisme. Mereka menyewa jasa pelobi untuk melakukan marketing turisme Indonesia di Amerika Serikat. Bahkan ketika Indonesia melancarkan kampanye, ‘Visit Indonesia Year 1991,’ wiraswastawan Indonesia yang juga sekaligus pemilik perusahan iklan Matari Inc., Ken Sudarto, turun langsung dan menyewa jasa pelobi untuk melancarkan urusannya.

 

lobisGambar diambil dari grass.news

 

Namun, soal ekonomi dan pembangunan tidak melulu mendominasi urusan lobi Indonesia. Pada tahun 1991-1992, pemerintah Indonesia melakukan lobi besar-besaran untuk memperbaiki citranya yang rusak akibat Pembantaian Santa Cruz tanggal 12 November 1991 di Dili, Timor Leste. Pemerintah Indonesia membayar sebesar US$5 juta kepada Burson-Marsteller untuk memperbaiki citra Indonesia, khususnya dalam hal hak-hak asasi manusia dan lingkungan. Pada tahun 1996, Burson-Marsteller kembali mendapatkan jumlah yang sama dari pemerintah Indonesia. Perusahan lobi seperti Hill & Knowlton and White & Case mendapat durian runtuh karena pemerintah Indonesia membayar mereka sebesar US$ 6,8 juta sepanjang 1991-1992.[3]

Usaha lobi setelah kejatuhan Orde Baru lebih berwarna-warni dari sebelumnya. Lobi di Washington melibatkan lebih banyak aktor dan kepentingan.

Pada tahun 2003, seorang Indonesia bernama Yohannes Hardian Widjanarko yang bertindak mewakili Yayasan Sekar Mahoni Sakti, mengikat kontrak dengan perusahan lobi Alston & Bird. Widjanarko adalah komisaris perusahan PT Barito Pacific Timber. Kontrak ini bernilai $200,000 per bulan. Itu belum termasuk biaya lain-lain, seperti biaya perjalanan, pembuatan dokumen, dan sebagainya. Alston & Bird mempekerjakan seorang bekas senator dari Partai Republik yang juga mantan kandidat presiden, Bob Dole.

Tujuan lobi ini sangat beraneka ragam. Selain memperkuat hubungan RI-AS, meningkatkan bantuan ekonomi, juga ingin mengembalikan program latihan militer perwira Indonesia di Amerika, IMET, yang dibekukan karena pembantaian Santa Cruz. Indonesia juga ingin agar embargo suku cadang pesawat Hercules C-130 yang dibekukan itu dicairkan.

Kita tidak tahu, mengapa sebuah yayasan swasta dan seorang pengusaha justru mewakili pemerintah – dan militer Indonesia – dalam melakukan lobi terhadap pemerintah Amerika. Namun tampaknya itu bukan hal yang terlalu aneh setelah kejatuhan Suharto.

Pada bulan Mei 2005, The Gus Dur Foundation, menangani kontrak dengan perusahan lobi Collins & Co. Yayasan yang memakai nama Gus Dur ini membayar Collins & Co. sebesar US$30,000 per bulan untuk memperbaiki citra Indonesia di hadapan pemerintah Amerika. Dana untuk membayar aktivitas lobi ini berasal dari BIN (Badan Intelijen Negara). Gus Dur sendiri tidak tahu menahu bahwa namanya dan yayasannya dipakai untuk kepentingan lobi di Amerika. Pada 31 Juli 2005, akhirnya kontrak antara The Gus Dur Foundation dengan Collins & Co. itu dihentikan. Pada bulan September, BIN secara langsung menandatangani kontrak dengan Collins & Co.[4]

Urusan lobi tidak hanya menjadi urusan pemerintah, lembaga pemerintahan, perusahan swasta, atau asosiasi kepentingan. Urusan lobi ini bisa juga menjadi urusan individual. Inilah yang terjadi paling tidak pada dua orang perwira tinggi TNI-Angkatan Darat.

Yang pertama adalah Jenderal Wiranto. Pada 26 April 2000, Jenderal Wiranto menandatangani kontrak dengan Ein Communication di Washington DC. Dalam FARA disebutkan, Marina Ein, presiden perusahan itu, telah berbicara lewat telepon dengan pihak Wiranto. Ein akan melakukan pekerjaan ‘media outreach’ untuk Wiranto. Mereka juga akan menulis opini atas nama Wiranto di berbagai media di Amerika. Untuk itu, Wiranto setuju membayar sebesar US$ 20,000.00 per bulan untuk periode yang akan ditentukan kemudian.

Sebagaimana kita ketahui, nama Wiranto sangat rusak menyusul bumi hangus paska-jajak pendapat di Timor Leste. Pasukan Indonesia dan milisi-milisi ciptaannya melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang luar biasa. Di sisi yang lain, Wiranto juga masih menyimpan ambisi untuk menjadi presiden.

Kita tidak tahu kapan kontrak dengan Ein Communication ini dihentikan. Namun, pada 1 Juli tahun 2001, Wiranto mengikat kontrak dengan Trans Pacific Inc. Perusahan ini akan menjadi perantara untuk mempertemukan Wiranto kepada Congress Amerika, merancang kunjungan ke Amerika dan mengatur pertemuan dengan media massa. Perusahan ini juga membuat website untuk membersihkan nama Wiranto dari persoalan di Timor Timur. Kontrak ini berlaku hingga 30 Juni 2002. Wiranto setuju membayar US$250,000.00 dan biaya operasional sebesar US$50,000.00 untuk masa kontrak tersebut.

Jenderal lain yang juga menyewa perusahan pelobi di Amerika Serikat adalah Letjen Prabowo Subianto. Pada bulan Juli 2014, lewat wakilnya di Washington, Wibawanto Nugroho, Prabowo menyewa Sanitas International untuk membantu kampanyenya di kalangan politisi Amerika. Wibawanto Nugroho adalah perwakilan Partai Gerindra di Amerika. Dia adalah juga putra mantan Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto. Kita semua tahu bahwa Prabowo kalah dalam pemilihan presiden Indonesia 2014 melawan Ir. Joko Widodo. Sehingga tidak kita ketahui bagaimana nasib kontrak dengan Sanitas Internasional itu.

Namun, usaha melakukan lobi dengan pemerintah Amerika sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh Prabowo. Pada tahun 2013, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo telah aktif melakukan usaha lobi. Pada tahun itu, lewat Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Hashim mengontrak perusahan lobi Williams Mullen, PC. Hashim menghabiskan US$660,000.00 untuk kepentingan lobi ini. Kuat dugaan bahwa aktivitas lobi ini dilakukan untuk mempersiapkan jalan untuk Prabowo seandainya dia menjadi presiden.[5] Baik Hashim maupun Prabowo mengikuti jejak ayah mereka dalam berhubungan dengan politik Amerika. Sebagaimana kita lihat di atas, Soemitro Djojohadikusumo sudah melakukan lobi ini bahkan sebelum Indonesia diakui sebagai negara oleh pemerintah Amerika.

Pada masa pemerintahan Jokowi, tercatat ada dua lembaga yang melakukan upaya lobi. Yang pertama adalah Pereira International Ltd. yang usaha lobinya lewat R&R Partners di Las Vegas itu menimbulkan kontroversi. Namun ada usaha lobi lainnya yang hingga saat ini belum terlalu jelas juga. Dalam dokumen FARA disebutkan bahwa Yayasan Diaspora Indonesia Global telah menyewa dua perusahan lobi, yakni The Glover Park Group, LLC dan Hogan Lovells US, LLP. Ketua dari Yayasan Diaspora Indonesia Global adalah Edward Wanandi. Kedua perusahan lobi ini juga dibayar oleh perusahan milik Wanandi, International Merchant, LLC. Ini adalah sebuah perusahan ekspor impor yang berkedudukan di Lincolnshire, Illinois. Menariknya, dokumen pelaporan ke FARA disebutkan bahwa aktivitas lobi ini akan dilakukan ‘lewat koordinasi dengan para pejabat Indonesia.’ Disebutkan bahwa para pelobi ini akan diminta bekerja untuk memberikan nasehat dalam soal-soal hubungan antara Amerika Serikat dan Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya melakukan ‘advokasi kebijakan’ terhadap cabang-cabang pemerintahan Amerika Serikat, baik itu eksekutif maupun yudikatif.

 

Bergerak di Wilayah Abu-abu

Orang seringkali mengatakan bahwa aktivitas lobi adalah bisnis di air keruh (lobbying is a murky business). Dia bergerak di wilayah abu-abu. Seperti usaha lobi Indonesia di Amerika yang kita lihat. Sebagian dari ikhtiar lobi ini dilakukan oleh lembaga atau individu yang bukan pemerintah namun mewakili kepentingan pemerintah.

Lobi oleh Yayasan Sekar Mahoni Sakti, misalnya, sangat kental mewakili kepentingan pemerintah dan terutama kepentingan militer. Yang diperjuangkan adalah pembukaan kembali program IMET dan pencairan pembelian suku cadang pesawat angkut militer Hercules C-130. Demikian juga lobi yang dilakukan atas nama The Gus Dur Foundation. Upaya lobi yang sesungguhnya dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) ini bahkan dilakukan tanpa sepengetahuan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Demikian pula lobi yang dilakukan oleh Jenderal Wiranto. Sungguh kita tidak tahu bahwa seorang jenderal bisa membayar jasa lobi sedemikian mahal. Kegelapan lobi ini juga muncul kembali lewat Pereira International atau Yayasan Diaspora Indonesia Global. Dokumen-dokumen yang diserahkan ke FARA hanya menyebutkan hal-hal umum, seperti meningkatkan hubungan antara Amerika Serikat dan Indonesia.

Yang agak lebih jujur adalah lobi yang dilakukan oleh Yayasan Arsari. Dalam hal ini, Yayasan Arsari sungguh menegaskan bahwa mereka bertindak atas namanya sendiri. Sekalipun mereka diam-diam mengusung kepentingan kampanye Prabowo Subianto, toh itu bisa dimaklumi karena jelas yang diusung adalah kepentingan anggota Yayasan Arsari yang semua anggotanya menduduki posisi penting dalam kepengurusan Partai Gerindra. Prabowo Subianto adalah pendiri Gerindra.

Ada sekitar seratus lebih usaha lobi yang dilakukan oleh pihak Indonesia terhadap pemerintah Amerika antara tahun 1946 hingga sekarang. Yang menarik, pemerintah Orde Baru hampir seluruhnya menggunakan lembaga pemerintah yang resmi untuk menyuarakan kepentingan pemerintah Indonesia di Amerika Serikat. Demikian pula dalam periode pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya pada masa awal pemerintahannya (April 2005), aktivitas lobi dilakukan lewat lembaga yang tidak jelas, yakni The Gus Dur Foundation. Namun itu segera dihentikan pada Juni 2005. Lobi dimulai kembali pada September 2005 dan kali ini langsung menggunakan lembaga resmi negara, yakni Badan Intelijen Negara (BIN).

Yang menarik, usaha lobi dengan memakai lembaga non-pemerintah tapi untuk melayani kepentingan pemerintahan ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo. Kepentingan apa sesungguhnya yang diusung oleh pihak yang melobi ini? Hingga di sini, agaknya absah kalau kita bertanya, mengapa kedua pemerintahan ini punya persoalan dengan transparansi yang menyangkut lobi?***

 

————

[1] http://www.rmol.co/read/2015/11/10/223944/Luhut:-Jangan-Kau-Rendahkan-Bangsamu-

[2] http://www.nytimes.com/1990/01/04/obituaries/oscar-gass-77-dies-economic-consultant.html

[3] http://www.prwatch.org/news/2005/02/3250/how-indonesia-wins-friends-and-influences-us-foreign-policy

[4] http://www.publicintegrity.org/2006/09/07/5770/jakartas-intelligence-service-hires-washington-lobbyists

[5] https://indoprogress.com/2014/07/membeli-pengaruh-di-washington-menelusuri-peran-hashim-djojohadikusumo/

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.