Gambar diambil dari ideologicalfightback.com
DI BEBERAPA tulisan sebelumnya (di sini dan di sini), saya sudah paparkan bahwa kelas itu kategori sosial yang dipertautkan relasi produksi di dalam suatu struktur sosial tertentu. Di dalam kapitalisme, relasi produksi itu ialah kapital dan kategori-kategori kelas yang dipertautkannya ialah kapitalis dan proletariat. Tak ada kelas lain di ranah produksi kapitalis. Kalau begitu, kapitalis dan proletariat itu bukan orang atau kumpulan orang-orang? Bukan. Kapitalis itu kategori sosial yang ada di ranah relasi produksi. Karena kapitalis bukan orang, maka kepentingan strukturalnya (yakni mengakumulasi nilai-lebih lewat produksi komoditi) bisa saja dijalankan oleh badan hukum (korporasi) atau lembaga (CEO, dewan direksi, RUPS). Tapi, berhubung kategori kapitalis hanya mungkin mengada di kehidupan sosial lewat orang-orang yang hidup di dalamnya, ibarat mesin, untuk bekerjanya kategori itu, mesti ada orang-orang yang menjalankannya. Nah, orang-orang yang menjalankan kepentingan struktural kategori kapitalislah (yang bertentangan dengan kepentingan struktural proletariat) yang biasanya kita rujuk sebagai ‘kapitalis’.
Apakah ini keliru? Tidak juga. Yang keliru ialah apabila kita menganggap bahwa kategori kapitalis itu melekat dari buaian sampai mati di tubuh sosial orang-orang yang menjalankan kepentingan struktural kategori kapitalis. Marx pernah bilang, saya lupa di mana, “Negro ya negro. Mereka menjadi budak hanya dalam relasi produksi tertentu”. Karena keberadaannya struktural, maka kelas kapitalis tak akan lenyap ketika Tuan Soros digebuki sampai mati atau perusahaannya bangkrut dan dia jadi loper koran. Kelas kapitalis juga tak punah ketika cara mengorganisasi eksploitasi nilai-lebih lewat produksi komoditi berubah dari sistem manufaktur sederhana seperti di jamannya Adam Smith, menjadi sistem perusahaan saham gabungan atau korporasi yang berlapis-lapis pemilikan legalnya seperti sekarang. Entah Tuan Soros mati atau bangkrut, atau organisasi produksi nilainya berubah sedemikian rumitnya, secara struktural tak ada perubahan sama sekali dalam bagaimana syarat-syarat material keberadaan masyarakat diproduksi dari jamannya Adam Smith sampai sekarang. Relasi produksi di bawah kapitalisme tetap menautkan dua kategori sosial berdasarkan kedudukannya terhadap sarana produksi dan pengambilalihan nilai-lebih dari produksi komoditi. Alih-alih revolusi, kapitalisme hanya berinvolusi. Strukturnya tetap, tapi lembaga-lembaganya kian merumit ke dalam atau bergeser titik pusarannya.
Sebagai realitas objektif, konsepsi kelasnya Marx sebetulnya tak rumit dimengerti. Yang bikin pelik campurannya. Campuran yang biasanya dituangkan ke dalam konsep kelasnya ialah status sosial dan pemeringkatan gaya hidup atau kekayaan ke dalam kelas. Di dalam struktur masyarakat, status sosial itu letaknya di persoalan nilai kultural yang dengannya anggota masyarakat memeringkat orang-orang ke dalam golongan-golongan berdasarkan kedudukan kulturalnya. Di dalam masyarakat feodal dahulu, misalnya, hanya ada dua kelas sosial: tuan tanah dan hamba-penggarap. Lho, di mana letak kaum bangsawan, ksatria, kaum agamawan, dan kaum tani? Bangsawan, ksatria, dan agamawan bukanlah kelas, tapi kelompok status. Di bawah kendali ideologi feodal, Tuhan memberi mandat kepada raja untuk mengelola bumi dan orang-orang yang tinggal di atasnya. Dalam upaya mulia ini mereka dikawani kaum agamawan yang paling paham apa maksud titah Tuhan itu dan kaum ksatria yang menjaga bumi dari tertib hukum. Karena nilai kesalehan pada titah Tuhan dianggap nilai tertinggi, status sosial kedua golongan ini tinggi. Meski status mereka berbeda, dalam relasi kelas, mereka menempati satu ruang yang sama, yakni tuan tanah, yang hidup dari menghisap hasil kerja para hamba-penggarap lewat relasi produksi bagi-hasil dan saluran-saluran ekstraksi surplus lainnya, seperti sewa, pajak, sedekah, persepuluhan, dan sebagainya. Meminjam perkataannya Marx, “agamawan ya agamawan, mereka menjadi tuan tanah dalam relasi produksi tertentu”. Jangan lupa, di zaman feodal Eropa, misalnya, gereja termasuk salah satu penguasa lahan terbesar.
Hal serupa juga berlaku pada masyarakat kapitalis. Hanya ada dua kelas dalam kapitalisme: kapitalis dan proletariat. Lho, kalau begitu di mana letaknya borjuis, orang kaya, kaum elite, dan sebagainya? Borjuis dan kawan-kawan itu bukan kelas, tapi kelompok status dengan gaya hidup tertentu. Dari asal istilah yang cuma berarti ‘orang kota’ yang dibedakan status legal dan kulturalnya dari kaum tani, bangsawan, dan agamawan di jaman feodal, kini istilah borjuasi melekat pada atau dianggap sama dengan kapitalis. Padahal keduanya merujuk pada gejala sosial yang beda, yang pertama kultural sementara yang kedua ekonomis. Para Marxis sering tidak bedakan kedua sebutan ini. Itu lumrah. Pertama, karena si Marx yang suka berbelas kasih pada pembacanya suka mencampuradukkan kedua istilah itu, seolah-olah keduanya merujuk realitas yang sama supaya gampang ditunjuk hidungnya. Kedua, memang sebagian besar kapitalis di jamannya Marx ialah dari golongan borjuasi yang naik pamornya ketika berhasil menggerakkan revolusi yang meruntuhkan wibawa dan kekuasaan bangsawan dan agamawan feodal. Tapi dalam proses lanjutannya, ketika revolusi politik diikuti oleh Revolusi Industri, golongan bangsawan dan agamawan pun ada yang turut menjalankan kepentingan kategori kapitalis dalam sistem perekonomian baru ini, sebagai penguasa sarana produksi dan pengambil alih nilai yang dihasilkan produksi komoditi. Emangnya siapa pemilik saham terbesar BP atau Shell?! Emangnya siapa pemegang saham mayoritas di bank-bank investasi di Luxembourg, Cayman Island, atau Swis?! Jadi, borjuis tidak identik dengan kapitalis, begitu pula sebaliknya. Meminjam perkataannya Marx, ‘borjuis ya borjuis, mereka menjadi kapitalis dalam relasi produksi tertentu’, ‘orang kaya ya orang kaya, mereka menjadi kapitalis dalam relasi produksi tertentu’.
Di dalam masyarakat kapitalis, kesertaan sebagai anggota kelas melekat sejak seseorang memasuki relasi produksi kapital. Tapi kedudukan kelas tidak selalu disadari orang-orang yang terkategori ke dalamnya. Salah satu alasannya karena kelas cuma satu dari sekian banyak kategori sosial yang bisa disandang dan disadari orang-orang dalam kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial pada dasarnya praktis. Sungguh melelahkan bila setiap tindakan direnungkan. Selain rahib yang tak usah pusing memikirkan besok makan apa karena Tuhan sudah menyediakannya, tak ada orang sanggup hidup kontemplatif terus-terusan. Tak ada yang sudi berlelah-lelah menelisik di balik pengalaman aktual setiap saat. Karenanya, kebiasaan dan pengalaman aktual yang langsung tercerap pancaindra dan kesadaran praktis lebih jadi panduan tindakan ketimbang pengalaman atas struktur sosial abstrak tempat kategori-kategori sosial yang kita sandang berada. Dan dari pengalaman aktual, status sosial dan gaya hidup orang-orang yang terkategori ke dalam kelas itulah yang paling bisa dipandang langsung dengan mata telanjang. Persoalannya, gaya hidup orang-orang yang terkategori kapitalis ini bisa jadi dibagi bersama dengan mereka yang secara kategoris bukan kelas kapitalis.
Karena kelas itu struktural, dan sebagai bagian dari struktur sosial ia tak bisa langsung dilihat dengan mata telanjang, maka kesadaran akan kedudukan kelas mensyaratkan pengetahuan gabungan antara pengalaman-aktual dan teoritis. Tapi tak semua orang punya waktu untuk berteori ria soal kehidupannya. Selain itu, karena kepentingan setiap orang tidak selalu selaras dengan kepentingan kelasnya akibat tak senantiasa aktualnya relasi kelas tempat kesadaran itu muncul, dan kalaupun selaras ia tak pernah lepas dari soal kepentingan diri orang per orang yang serba harian, maka mesti ada semacam upaya lain untuk menumbuhkan kesadaran kelas akan struktur eksploitatifnya kapitalisme. Perlu semacam gudang imajinasi kolektif yang fungsinya menyimpan ingatan bersama mereka yang terkategori ke dalam suatu kelas. Buat proletariat, gudang kolektif ini juga mestinya menjadi bagian dari tempat berangkat setiap upaya politik menyulih kapitalisme dengan sosialisme. Lenin menyebut gudang ini sebagai partai. Masalahnya, sebagai struktur sosial, kapitalisme sendiri tak mudah dilihat, diukur, dan dikumpulkan semua ceritanya. Kapitalisme itu ibarat karbon monoksida. Pengalaman orang atasnya terbatas pada efeknya. Orang mengalami kapitalisme sebagai penggusuran lahan demi tambang dan perkebunan, penyerobotan wilayah demi real estate, kerja kontrak tanpa tunjangan, kerja yang membosankan karena itu-itu saja, PHK, inflasi dan krisis matauang yang bikin pendapatan bulanan terasa makin tak cukup memenuhi kebutuhan hidup, dan seterusnya. Sementara struktur kimiawinya sendiri tak banyak diketahui dan tak perlu pula mengetahuinya, kecuali kita kerja di laboratorium kimia. Bukannya pengalaman akan efek kapitalisme ini tidak penting. Bagaimana pun cuma pengalaman ini yang memberi tahu kita ada yang tidak beres dengan kapitalisme. Namun bila kita bersandar pada pengalaman aktual saja dalam perjuangan melawan kapitalisme, maka perjuangan akan selesai ketika bukan penggusuran dan penyerobotan yang dilakukan pengusaha, tapi pembelian-pembelian legal, ketika kerja kontrak ditambahkan tunjangan hari tua dan bonus tahunan, ketika jalan-jalan rekreasi ke Pangandaran diadakan pengusaha supaya tak jenuh kerja, ketika tidak ada PHK, inflasi, atau krisis matauang yang membikin pendapatan bulanan terasa cukup.
Okelah, memang intelektuil jagonya bikin pelik penjelasan. Kalau betul kita mesti memilah realitas kapitalisme ke dalam dua ranah, berarti perjuangan melawannya juga mesti gabungan antara perjuangan empiris-aktual dan perjuangan struktural? Berarti perjuangan melawan penyerobotan lahan dan penggusuran, kontrak kerja, tunjangan, dan PHK, serta kerja membosankan itu mesti dibarengi oleh perjuangan mengubah struktur masyarakat kapitalis dan menghancurkan kategori-kategori sosial yang menyusunnya? Bagaimana bisa? Sebagai struktur abstrak tampaknya kapitalisme begitu perkasa. Saking perkasanya demo-demo anti penggusuran, pemogokan kerja, serta perjuangan demi upah dan jam kerja yang berhasil pun tak lantas mengubahnya. Oleh perjuangan harian bukannya runtuh, sistem malah makin dewasa mengeskploitasi dan menjinakkan perlawanan. Oleh karena itu perjuangan yang dibilang Lenin ‘ekonomis’ mesti dibarengi perjuangan ‘politik’. Hanya lewat perjuangan politik saja kelas pekerja bisa mengubah struktur. Memangnya apa yang diperjuangkan serikat bukan perjuangan politik? Buat Lenin sih bukan. Coba, katanya, bukankah selama ini kelas pekerja juga berjuang lewat serikat-serikat pekerja, tapi nyatanya negara tak kunjung bergeming melindungi kelas kapitalis dari setiap rongrongan atas kekuasaannya di ranah politik dan ekonomi? Lenin tak bilang perjuangan serikat pekerja itu keliru dan tak perlu, tapi dia cuma titip pesan bahwa perjuangan juga mesti diarahkan ke sesuatu yang lain.
Alih-alih menyasar perbaikan kondisi harian dan soal-soal politik kewargaan (dan identitas gaya hidup) melulu, kita mesti mengarahkan semangat perjuangan ke struktur sosial yang ekspoitatifnya. Kalau cuma mengurusi politik kewargaan, mereka yang menjalankan kepentingan kategori kapitalis juga warga yang juga punyak hak yang harus dilindungi negara. Kalau sudah begini, satu-satunya politik ialah mempengaruhi kekuasan negara borjuis, bukan menghancurkannya. Emangnya apa salahnya mempengaruhi kekuasaan? Tak ada yang salah selama kita andaikan itu satu-satunya jalan yang lumrah. Ia menjadi salah ketika kelas pekerja kege’eran bisa mempengaruhi anggota dewan yang doyan kekayaan. Jangankan mempengaruhi, membiayai negosiator yang bisa mengalahkan pelobi-pelobi dan lembaga-lembaga think tank kapitalis penyebar opini publik buat memasukkan kepentingan kelas pekerja ke dalam pasal-pasal legislasi saja sulitnya luar biasa.
Artinya, kata Lenin, politik proletariat kita juga mesti keluar dari kerangka negaranya borjuasi (: golongan yang dahulu pernah berjuang menghancurkan struktur feodal dengan kekerasan, bukan dengan doa, bujukan welas asih, atau pemilihan umum, dan mendirikan sistem politik demokrasi perwakilan lalu mengkhotbahkan ke mana-mana bahwa sistem politik macam begini satu-satunya demokrasi yang paling mungkin!) yang memang ada untuk memelihara struktur yang ada sekarang. Karena itu, masih kata Lenin, politik proletariat mestilah ditujukan pada pengubahan struktur sosial, alih-alih sekadar memperbaiki lembaga-lembaga sosial di dalam masyarakat borjuisnya saja. Dan revolusi tak akan maujud hanya dengan doa, bujukan welas asih, atau pemilihan umum. Dengan kata lain, politik proletariat mestilah revolusioner. Ya, kalau tak bisa revolusioner dengan tanganmu, revolusionerlah lewat lisanmu. Kalaupun revolusioner dengan lisan tak sanggup, setidaknya kamu masih punya pikiran dan cita-cita revolusioner. Begitu pesan Lenin.
Omong doang mah gampang, Len. Yang susah itu ikhtiarnya.***
Jatinangor, 26 Oktober 2015