Ini Soal Kelas, Bro!

Print Friendly, PDF & Email

 

ADA YANG bilang kalau istilah ‘kelas sosial’ itu identik dengan Marxis. Kalau tidak ada konsep kelas, tidak ada yang namanya Marxisme. Memang sih, kalau ditilik-tilik, konsep kelas itu ibarat priyayi di dalam analisis sosialnya Marxis. Siapa saja yang sanggup melihat bekerjanya logika kelas di dalam setiap hal, bahkan meski cuma sekelebat, dijamin dia itu Marxis tulen. Sebaliknya, kalau omongannya sama sekali tak mengungkat-ungkit soal kelas, kita mesti pertanyakan kadar Marxisme di dalam darahnya. Menyebut-nyebut soal kelas sama dengan menyebut-nyebut soal posisi. Posisi apa? Tentu saja posisi dalam peperangan kelas. Dan karena Marxisme bertalian darah dengan perlawanan anti-penindasan kelas, kata kuncinya, yakni kelas, menjadi tak hanya keren, tapi juga heroik. Semakin sering dipakai, semakin Marxis omongan kita. Ia menjadi semacam batas bawah yang wajib ditampilkan apabila seseorang hendak ditasbihkan sebagai Marxis yang kaffah. Tapi sebetulnya apa sih kelas sosial itu?

Sewaktu dikasih tahu bahwa meski sekarang identik dengan Marxisme, Marx sendiri pernah bilang kalau konsep kelas dipungutnya dari ekonom Klasik seperti Adam Smith dan, terutama, David Ricardo si pialang, tak perlu ada yang terkaget-kaget: “Masya Alloh, kalau begitu Marx itu babi pengkhianat! Bukannya dia itu mau membela kelas pekerja dan melawan borjuasi? Kenapa dia mencari hikmah dari dedengkot ekonomi borjuis?! Seharusnya dia mengambil pelajaran dari ekonom proletar!”. Kenapa kaget macam ini tak perlu? Selain karena ‘lebay’ juga karena ia ada urusannya dengan pengertian kelas itu sendiri menurut Marx.

Ada anak muda cendikia yang mengajarkan kepada saya begini: seperti halnya partikel, senyawa, evolusi, migrasi, nilai-lebih, pertama-tama kelas sosial itu realitas objektif. Konsep ‘kelas sosial’-nya sendiri tak lebih dari hasil tangkapan atas realitas objektif ini. Melalui apa yang disebut para ahli filsafat sebagai abstraksi. Artinya, sebagai konsep, kelas sosial ialah nama dari suatu gejala realitas sosial tertentu. Nah, karena realitas sosial tempat kelas berada lumrahnya disebut ‘masyarakat’, bolehlah kita mulai dari titik ini untuk beranjak ke pengertian kelas.

Anak muda Marxis mengajarkan kepada saya begini: masyarakat itu bukan sekadar realitas empiris kumpulan orang-orang, tapi realitas struktural yang keberadaannya tidak mengandaikan kesadaran orang per orang atasnya. Sebagai realitas struktural, ‘masyarakat’ ialah jejaring relasi-relasi sosial yang menautkan berbagai macam kategori sosial yang memungkinkan kemasukakalan kehidupan sosial di antara orang-orang. Masyrakat juga objektif dalam arti keberadaannya bukan ciptaan individu sekaligus juga tidak mengandaikan kesadaran orang-orang individual atasnya meski menuntun perilaku orang-orang tersebut. Apa pasal? Kehidupan sosial itu praktis. Tak akan ada orang yang mati kalau tidak memikirkan setiap langkah dalam kehidupan sehari-harinya. Mengikuti jalur-jalur kebiasaan yang ibarat peta jalan itu dalam kehidupan keseharian sudahlah cukup. Tak perlulah banyak dipikirkan kenapa kita harus begini dan begitu.

Lalu apa itu dan di manakah letak kelas di dalam masyarakat? Kalau masyarakat itu struktur, dan struktur itu jejaring relasi-relasi sosial yang menautkan kategori-kategori sosial tertentu, bolehlah kita pungut contoh kategori sosial yang sehari-hari, yakni ‘paman’ dan ‘keponakan’ dalam relasi ‘paman-keponakan’. Kategori ‘paman’ dan ‘keponakan’ ialah dua kategori sosial yang keberadaannya tak cuma saling taut tapi juga mengandaikan satu sama lain. Untuk adanya ‘paman’ sama sekali, mesti ada ‘keponakan’. Untuk bisa menyandang kategori paman, seorang laki-laki harus punya saudara kandung. Saudaranya itu harus kawin. Dan dari perkawinan itu haruslah ada anak. Apabila lelaki itu anak tunggal, kemungkinan satu-satunya untuk menyandang kategori paman ialah dengan menikahi perempuan yang punya saudara kandung dan saudaranya itu kawan dan punya anak. Apabila laki-laki itu anak tunggal dan jomblo sampai akhir hayat, maka dia tak akan pernah menyandang kategori sosial yang namanya ‘paman’. Kalau begini, apakah kategori paman lenyap dari muka bumi. Buat si laki-laki itu ya. Tapi tidak buat masyarakatnya (Hanya karena kita anak tunggal jomblo, tak lantas kategori paman lenyap dari muka bumi bro!). Secara struktural, kategori paman tetap ada dan tersedia ‘di sana’ bagi laki-laki lain yang nasibnya lebih beruntung. Kalau begitu, kategori ‘paman’ dan relasi ‘paman-keponakan’ yang menautkannya dengan kategori ‘keponakan’ itu objektif? Ya. Ia ada sebelum dan tanpa perlu persetujuan orang per orang. Suka atau tidak, ia ada bagi laki-laki yang punya saudara kandung dan saudara kandungnya punya anak.

Dari contoh di atas, relasi paman-keponakan setidaknya mengandaikan keberadaan relasi-relasi lain, yakni persaudaraan kandung, perkawinan, dan filial (relasi orangtua-anak). Artinya, relasi paman-keponakan hanya masuk akal selama ada di dalam jejaring relasi-relasi sosial lain di dalam struktur kekerabatan. Relasi sosial tidak bisa mengada dalam dirinya sendiri. Setiap relasi sosial mengandaikan relasi-relasi sosial lain.

Selain itu, suatu relasi juga hanya aktual dalam konteks tertentu saja. Di luar konteks strukturalnya, relasi itu tak punya arti. Paman-keponakan, misalnya, hanya aktual ketika Lebaran, arisan keluarga, atau ketika kita butuh bantuan. Meski tidak aktual di setiap detik kehidupan sosial, bukan berarti relasi ini tidak ada. Ia ada sebagai suatu tendensi; tersimpan di gudang kolektif yang biasanya disebut sosiolog ‘Masyarakat’.

Okei, terus apa urusannya tetek bengek paman dan keponakan ini dengan kelas sosial? Sebetulnya konsepsinya Marx perihal kelas sosial tidak pelik-pelik amat. Mirip dengan gambaran relasi paman-keponakan. Yang bikin runyam itu suara-suara bising di sekitarannya yang mencampurkan konsepsinya Marx dengan konsepsi lain. Intinya, buat Marx, kelas itu kategori-kategori sosial yang dipertautkan oleh relasi sosial produksi. Relasi sosial produksi sendiri diartikannya dalam kaitan dengan pemilikan dan penguasaan atas sarana untuk memproduksi syarat-syarat keberadaan dan keberlanjutan hidup orang-orang di dalam masyarakat sebagai suatu sistem. Di dalam masyarakat borjuis, ada satu relasi sosial produksi yang pokok, yakni ‘kapital’. Relasi kapital menautkan dua kategori sosial, yakni kapitalis dan proletariat. Kalau begitu, kapitalis dan proletariat itu bukan orang? Ya. Mereka adalah kategori sosial. Tapi, seperti halnya nilai komoditi tak mungkin maujud di dalam kehidupan sosial tanpa pertukaran (sebagai nilai-tukar), dan pertukaran tak mungkin maujud tanpa wujud fisik barang (sebagai nilai-guna), begitu pula kelas kapitalis. Meski bukan orang, tapi tanpa orang-orang, kelas ‘kapitalis’ tidak bisa aktual dalam kehidupan sosial. Tapi, karena kapitalis bukanlah orang, maka ia tidak melekat pada atau identik dengan orang-orang yang menyandang kategorinya. Ia bisa melekat pada orang (George Soros), badan hukum (korporasi), lembaga (CEO, komisaris, dll.) atau apa saja yang dalam relasi produksi berkedudukan atau mengoperasikan atau mengaktualkan kategori kapitalis (beserta kepentingan-kepentingan strukturalnya). Hal serupa berlaku pada ‘proletariat’.

Selain itu, di dalam kehidupan sosial aktual, orang-orang yang terkategori ke dalam dua kelas ini silih kait satu sama lain hanya dalam relasi kapital di dalam aktivitas produksi. Di luar arena produksi, bisa jadi kategori yang menyatukan atau mempertentangkan orang-orang bukan kelas, tapi, misalnya, perbedaan kekayaan dan gaya hidup (miskin, kaya), relasi kewargaan (negara vs warga), relasi etnis (Jawa vs bukan-Jawa), relasi keagamaan (umat, agamawan), identitas dan relasi jender (laki-laki vs perempuan), dan lain sebagainya.

Seperti halnya ‘paman-keponakan’, relasi kelas itu objektif. Entah sadar atau tidak, suka atau tidak, setiap mereka yang berada dalam relasi produksi akan terkategori sebagai anggota kelas. Seperti halnya ketika ada laki-laki anak tunggal yang jomblo sehingga dia sebagai individu tak bisa menyandang kategori ‘paman’ tidak lantas kategori itu lenyap dari muka bumi, begitu pula ketika George Soros meninggal dunia atau bangkrut, kategori kapitalis tidak akan lenyap dari kolong langit. Artinya, kategori kelas tidak melekat pada individu orang-orang, tapi pada struktur sosial. Kalau kita anggap memukuli orang-orang atau melempari gedung-gedung korporasi yang terkategori kapitalis menjadikan perlawanan kita terhadap penindasan kapitalistik punah, kita sebetulnya sedang memukul dan melempar bayang-bayang. Orang-orang, badan hukum, dan lembaga-lembaga itu, hanyalah perwujudan dari kategori sosial kapitalis di dalam struktur perekonomian kapitalistik yang ketika mereka sebagai individu mati, kategorinya tetaplah hidup.

Kalau kapitalis-proletariat bukanlah orang-orang, berarti eksploitasi lewat relasi kapital itu juga struktural? Kalau begitu abstrak banget ya, tak kasat mata? Memang begitu. Tapi, sekali lagi, untuk aktualnya relasi kapital yang eksploitatif—yang di dalamnya kategori kapitalis dan proletariat berlawanan kepentingan strukturalnya—ia mesti diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk eksploitasi empiris. Bagaimana pun aktivitas produksi tak mungkin mengada tanpa orang-orang hidup yang hasil kerjanya dalam rupa nilai-lebih dihisap oleh orang-orang yang hidupnya dari menghisap nilai ini. Lantas, kalau begitu ke mana sasaran perlawanan mesti diarahkan? Apakah pada tampakan empiris-aktual ekslpoitasi yang kasat mata seperti penggusuran, pencaplokan lahan, UMR, atau PHK yang setelah dibereskan sesuai kehendak kita lalu dianggap dunia sudah baik-baik saja dan dengan senyum membubarkan front? Ataukah pada sistem kapitalis yang tak jelas bentuk cakar empirisnya terutama ketika ia membawa kemakmuran dan kenyamanan bagi sebagian besar orang, termasuk kita? Persoalannya bukan terletak di pemilihan antara perlawanan aktual-empiris atau perlawanan struktural-sistemik. Sebagai realitas historis, kapitalisme itu berlapis-lapis ranah perwujudannya. Menganggap tampilan empiris-aktualnya sebagai satu-satunya realitas kapitalisme, akan mudah tertipu karena eksploitasi lewat relasi kapital kebanyakan tersembunyi di balik yang tampak. Begitu pula sebaliknya ketika menganggap struktur sebagai satu-satunya realitas kapitalisme akan mudah menjebak kita ke dalam dunia akademik yang asketik jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari yang berdarah-darah. Soal sebenarnya, karena itu, bagaimana memadukan berbagai upaya perlawanan terhadap relasi kapital yang eksploitatif tersebut ke dalam satu kesatuan gerak.***

 

Jatinangor, 14 September 2015

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.