Mengenal Pekerja Immaterial

Print Friendly, PDF & Email

“…our mode of understanding must be fitted to the contemporary social world and thus change along with history…that once history moves on and the social reality changes, then the old theories are no longer adequate. We need theories for the new reality. To follow Marx’s method, then, one must depart from Marx’s theories to extent that the object of his critique, capitalist production and capitalist society as a whole, has changed.” –Negri & Hardt ‘Multitude’ hal 140

SAAT ini, kita sangat sering mendengar bahwa kita tengah berada di epos sejarah yang baru. Epos tersebut sering, bahkan dengan serampangan, disebut dengan konsep-konsep seperti ‘kapitalisme kontemporer’, ‘kapitalisme tingkat lanjut (late capitalism), atau kapitalisme tinggi (high capitalism) dan sebagainya. Dikatakan serampangan karena kadang kita abai ikhwal karakter atau fitur-fitur utama dalam epos yang coba kita jelaskan. Tanpa fitur-fitur dan karakteristik barunya, kapitalisme ‘hari ini’ tidak akan bisa dibedakan dengan kapitalisme ‘sebelumnya’. Nah, salah satu ciri kapitalisme hari ini, yang dapat mengantar kita pada gambaran cara kerja keseluruhannya, adalah menghegemoninya jenis kerja yang relatif minor di epos kapitalisme yang lalu: Kerja Immaterial.

Untuk menjelaskan apa itu kerja immaterial, saya ingin mengutip Ernest Mandel, seorang Marxis-revolusioner asal Belgia. Ia berpendapat bahwa manusia kini berada dalam era ‘revolusi teknologi ketiga’, yang signifikansinya sama besarnya dengan revolusi-revolusi teknologi sebelumnya -revolusi agrikultur dan industri. Mandel menyatakan bahwa di zaman revolusi teknologi ketiga ini, akan datang ‘the end of work’, yakni saat robot-robot dan komputer supercanggih menggantikan pekerja-pekerja pabrik sehingga kelompok orang yang disebut pekerja pabrik tak ada lagi. Mesin otomatis di sepanjang assembly line pabrik-pabrik mobil, komputer Deep Blue, robot Asimo, dan perkembangan teknologi lainnya merupakan bagian dari kehidupan kita sekarang ini. Maka jika dirasa-rasa, asumsi Mandel sepertinya akan terbukti tak lama lagi.

Namun selanjutnya Graeber melihat adanya masalah sehingga teknologi supercanggih yang dapat mewujudkan prediksi Mandel belum datang jua. Graeber menekankan adanya perubahan arah perkembangan riset dan teknologi, dari program-program pengembangan komputer supercanggih, luar angkasa dan pencarian sumber energi baru dan terbarukan, ke bidang militer, medis dan infomasi.[1] Namun ketiga bidang tersebut perlu diberi catatan, karena ketiganya belum tentu serevolusioner yang dibayangkan. Misalnya untuk militer, sejauh ini Pentagon masih belum punya senjata laser yang supercanggih seperti di novel atau film sci-fi. Melainkan masih gunakan laser yang sama dengan yang digunakan tahun 50-an. Medis pun demikian, perkembangannya tak terlalu signifikan. Kita masih mencari obat yang mujarab untuk flu atau kanker. Penemuan medis paling revolusioner adalah Prozac, Zoloft atau Ritalin.

Khusus untuk teknologi informasi, yang perkembangannya terpusat di Silicon Valley, telah ciptakan dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya. Ruang dan waktu dilipat[2] dalam sebuah ruang baru[3], segalanya mengalir seakan-akan menjadi cair dan ringan[4], semua terhubung dengan semua, singkatnya terciptalah masyarakat informasi.[5] Dan era inilah kiranya yang cocok untuk menggambarkan revolusi teknologi ketiga -revolusi informasi.

Lalu bagaimana kelompok atau kelas pekerja di era ini? Apakah mereka menghilang atau tetap seperti sebelumnya? Tampaknya tidak. Informasionalisme sebagai modus pembangunan (modes of development) telah berkombinasi dengan kapitalisme sebagai modus produksi (modes of production) menghasilkan kapitalisme informasional.[6] Dan dalam kapitalisme, pasti adalah kelas pekerja walaupun karakternya telah berbeda dengan kelas pekerja di era industri sebelumnya.

Ini berawal ketika teknologi baru dan investasi besar-besaran perusahaan pada teknologi labour-saving (atau sederhananya, teknologi yang dapat mengurangi buruh) mulai diterapkan di pabrik-pabrik. Hal tersebut perlu dilihat sebagai reaksi atau restrukturisasi[i] dari kapitalisme menanggapi resistensi yang dilakukan oleh para pekerja industri, seperti mogok kerja dan demo. Restrukturisasi atau adaptasi kapitalisme diikuti oleh intelektualisasi dan immaterialiasasi pekerja.[7] Hal tersebut membawa perubahan sosial ekonomi yang lebih luas, yang tak hanya terjadi di pabrik, yang dijelaskan oleh Bell sebagai masyarakat pasca-industri.[8] Di mana pada masyarakat pasca-industri, ekonomi jasa menjadi tumpuannya. Sedangkan dalam ekonomi jasa, informasi, begitu juga pengetahuan, menjadi bahan utama. Lazzarato mengamati pula, pada tahun 1970-an, terjadi ‘the great transformation’ di mana pekerja manual bergeser menjadi pekerja-pekerja yang berhubungan dengan produk-produk intelektual.

Sejalan dengan itu, fenomena akhir dekade ke-20 tersebut dilihat oleh Negri dicirikan dengan menurunnya hegemoni pekerja industri -sebagaimana yang dialami pekerja tani/agraria pada abad ke-19. Pengganti pekerja industri (atau material) adalah yang disebut Negri sebagai pekerja immaterial. Yakni pekerja yang produknya bukanlah barang material, melainkan yang non-materi,[9] seperti pengetahuan, informasi, komunikasi dan relasi afektif.[10] Atau yang diartikan oleh Lazzarato sebagai pekerja yang menghasilkan konten informasi dan kultural dari komoditas.[11] Walaupun demikian, pekerja immaterial tetap mensyaratkan adanya kemampuan-kemampuan manual, misalnya kemampuan teknis mengoperasikan komputer, dsb.[12] Pekerja immaterial menjadi hegemonik, menggantikan pekerja material, secara atau dalam artian kualitas bukan kuantitas.[13] Karena pekerja immaterial memproduksi produk yang kemudian dapat mendikte jenis kerja lainnya, termasuk industri. Pekerja immaterial bisa disebut juga pekerja tak langsung (indirect), tetapi sangat erat kaitannya dengan pekerja langsung di assembly-line. Proses reproduksi labour power –pelatihan, pendidikan, pembangunan solidaritas yang kian dikomodifikasi- yang dikerjakan oleh pekerja immaterial merupakan contoh kaitan antara dua jenis pekerjaan ini. Atau contoh lain, sektor pertanian yang sangat bergantung pada penemuan-penemuan benih baru yang dihasilkan para ilmuan yang berkerja di perusahaan benih tertentu.

Ada dua tipe pekerja immaterial. Pertama, pekerja immaterial yang bercorak intelektual atau berhubungan dengan manipulasi simbol (linguistik). Pekerja ini memproduksi pengetahuan, teks, simbol, imaji dan sebagainya. Ambil contoh mereka yang bekerja di sektor pemasaran, dengan kemampuan teknis mereka, mereka dapat melakukan survey mengenai selera pasar yang nantinya menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi perusahaan yang menjadi klien mereka. Atau ambil juga contoh mereka yang berkerja di sektor advertising, sebisa mungkin mengandalkan kemampuan teknis dan seni mereka membuat iklan yang menarik khalayak banyak. Kedua, pekerja immaterial yang menghasilkan afeksi seperti rasa aman, nyaman, kepuasan, kesenangan, keramahan, dsb. Kasir di minimarket misalnya, menggunakan kata-kata yang sudah dilatih sebelumnya untuk diterapkan pada konsumen agar menimbulkan kesan ‘ramah dalam melayani’ sehingga konsumen puas. Pelayan yang ditekan oleh prosedur 3S (Senyum, Sapa, Salam) misalnya, juga termasuk. Segala keramahtamahan itu datang bukan secara ‘tulus’ dari hati para pekerja, tetapi imperatif dari perusahaan (baca: kapital). Sehingga keramahtamahan itu hanya menjadi standar prosedur pelayanan saja.

Perlu ditekankan bahwa pekerja immaterial tak hanya bidang dan produknya, tetapi juga sifat kerjanya berbeda dengan pekerja material. Pertama, pekerja imetrial mengubah konsep tempat dan waktu kerja. Negri mengungkapkan bahwa pekerja immaterial berkerja di sebuah ‘pabrik yang tak berdinding’ sehingga lokus kerja mereka tidak terlihat karena mereka berkerja di masyarakat secara luas (diffuse factory). Artinya, pekerja immaterial (kognitif atau afektif) tak berkerja di sebuah tempat yang lokal. Mereka bisa bekerja di kamar tidur mereka, atau bahkan bekerja di ruang tamu calon konsumen. Semua itu dimungkinkan karena teknologi komunikasi. Seorang kepala tim pemasaran masih bisa berkomunikasi sekaligus memantau pekerjaan anak buahnya melalui internet. Sedangkan untuk waktu, lepas dari jam lembur, pekerja immaterial selalui dihantui deadline. Maka dengan hantu yang terus membayanginya itu, dia tidak bisa hanya menggunakan waktu jam 9 sampai jam 5. Ketika dia di rumah, hendak beristirahat pun dia masih bisa berkerja. Atau bahkan, mengingat produknya yang sangat bekaitan dengan seni (new media art misalnya), inspirasi bisa datang kapan saja. Ketika inspirasi itu datang, sontak pekerja immaterial bisa langsung bekerja. Atau ambil contoh usaha Google yang mencoba membuat tiap kantornya agar terasa seperti rumah. Kantor-kantor Google memberikan fasilitas yang sangat nyaman yang hanya, kira-kira, bisa didapat hanya di rumah. Singkatnya, pekerja immaterial tidak dapat lagi membedakan mana tempat serta waktu kerja dan mana yang bukan, mereka dituntut untuk serba fleksibel dan mobile. Semakin blur mana hidup mana kerja, maka bukan kebetulan jika kita sering mendengar idiom ‘kerja adalah hidup, hidup adalah kerja’.

Kedua, berbeda dengan pekerja material atau manual, konsep kerja itu sendiri berubah di pekerja immaterial. Jika pekerja pabrik hanya bekerja sesuai dengan komando atau tugasnya saja, pekerja immaterial dituntut menjadi subjek yang aktif, yang mempunyai inisiatif, kreativitas dan inovasi. Dalam pabrik, kapitalis mengumpulkan para pekerja untuk di dalamnya bekerjasama dan berkomunikasi untuk menghasilkan barang jadi. Namun pekerja immaterial kini harus aktif bekerjasama dan berkomunikasi satu-sama lain tanpa harus dikumpulkan terlebih dahulu oleh kapitalis. Pekerja immaterial harus berkompetensi di bidang-bidang komunikasi, manajemen dan kreativitas. Pekerja immaterial harus bisa mencari informasi sendiri, kemudian membangun relasi sendiri dan menghasilkan ‘produk’ sendiri. Wartawan misalnya, dia harus mencari berita yang tak hanya substansial saja sifatnya, tetapi juga sellable. Kemudian membangun relasi dengan narasumber untuk diwawancara lalu pada akhirnya menjadi produk berita informasi. Dari sisi ini, Negri melihat otonomi pekerja immaterial yang relatif besar terhadap kapital, dan ia optimis mengenai itu.[14] Software programmers, contoh lain dari corak komunikasi pekerja immaterial. Kelompok kecil yang terdiri dari programer dari Swedia, Indonesia dan Perancis bekerjasama untuk mengembangkan sebuah sekuel game. Mereka terbentuk secara ad hoc saja, karena setelah selesai pekerjaan mereka, mereka akan membubarkan diri. Pekerja immaterial harus dapat me-manage tidak hanya aktivitas dan tindakannya, tetapi juga produktivitas pekerja lainnya. Sebagai contoh, bagian Human Resource Depertement di dalam sebuah perusahaan berfungsi untuk mengontrol seluruh pekerja (baik material pun immaterial) di perusahaan tersebut.

Lalu bagaimana dengan posisi pekerja immaterial di antara alur produksi dan konsumsi? Menurut Lazzarato, pekerja immaterial berada di persimpangan antara produksi dan konsumsi. Mereka berfungsi sebagai jembatan antara aktivitas produktif dengan konsumsi. Pekerja immaterial memproduksi produk (informasi selera pasar) yang nantinya menciptakan kegiatan produksi di pabrik (barang diproduksi) yang nantinya produk riil itu dikonsumsi konsumen (barang dibeli) setelah barang tadi dimasukkan konten kultural kedalamnya (dibuatkan iklan). Komunikasi adalah kuncinya. Dengan berbagai bentuk komunikasi -misalnya survei dan iklan-, pekerja immaterial berfungsi memuaskan permintaan sekaligus menciptakan permintaan konsumen[15]. Yang kemudian menarik, produk pekerja immaterial jika dikonsumsi tidaklah hancur, tetapi malah meluas dan menciptakan lingkungan ideologis dan kultural untuk konsumen. Contohnya, betapa sering kita mengatakan ‘wani piro?’ yang tak lain adalah merupakan produk immaterial. Intinya dalam relasi dengan konsumsi, pekerja immaterial berhubungan dekat atau bahkan langsung dengan konsumen. Karena baik itu pekerja imetarial intelektual ataupun afektif, keduanya bertugas untuk menciptakan dan menjaring konsumen.

Demikian berbedanya pekerja material dengan pekerja immaterial maka, tentu, konsep dan teori lainnya perlu direvisi kembali, direfleksikan dengan realitas hari ini. Misalnya teori ekspoitasi dan hubungan antara kerja dan nilai perlu kita cermati lagi. Eksploitasi perlu dipahami “as the expropriation of the common…”[16], karena kini, kapital menjadikan apa-apa yang umum sebagai bahan mentah ‘produknya’. Dengan demikian, di tengah-tengah realitas kontemporer ini, kita perlu lagi mengamati kebaruan mekanisme dan taktik kapitalis dalam menjalankan kerjanya. Tentu akan sangat berguna untuk mengetahui cara kerja kapitalis hari ini. Karena tanpa mengetahui cara kerja terbarunya, akan lebih sukar bagi kita untuk menyusun strategi tandingan guna, tak muluk-muluk, membangun imaji bahwa ada yang alternatif dari sistem hari ini.***

 

Artikel ini, dalam versi sedikit berbeda, sebelumnya telah muncul di The Protester. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
————-

[1] David Graeber, Of Flying Cars and the Declining of Profit

[2] Yasraf Amir Piliang. Dunia yang Dilipat hal 48

[3] David Bell. An Introduction to Cyberculture. Bab 1 pengertian tentang cyberspace. Khususnya di Bab 3 berbicara tentang cyberspace sebagai ruang yang memberikan pengalaman.

[4] Ritzer, Globalization: The Essentials 23

[5] Frank Webster. The Information Society Revisited.

[6] Manuel Castell. The Infromation Age: Economy Society and Culture hal 18. Secara singkat, modus pembangunan adalah pengaturan teknologi yang mana pekerja berkerja untuk menghasilkan produk yang nantinya menentukan surplus. Modus pembangunan ada dua: industrialisme dan informasionalisme. Sedangkan modus produksi mengatur mengenai apropriasi dan penggunaan surplus yang juga terbagi dua: statism dan kapitalisme.

[7] Franco Berardi. What is The Meaning of Autonomy Today?

[8] Daniel Bell. The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in SocialForecasting bab 2

[9] Antonio Negri & Michael Hardt, Multitude hal: 111

[10] Ibid. 146

[11] Maurizio Lazzarato. General Intellect: Towards an Inquiry into Immaterial Labour dalam Paolo Virno & Michael Hardt Radical Thought in Italy: A Potential Politics hal: 136

[12] Antonio Negri & Michael Hardt, op. cit.

[13] ibid hal:141

[14] Negri & Hardt. Op. Cit. Hal: 336

[15] Lazzarato, op. Cit. Hal: 137, 142

[16] Negri & Hardt. Op. Cit. Hal: 150

[i] Restrukturisasi sebagai adaptasi kapitaisme menanggapi krisis ekonomi dan perlawanan dari buruh yang terjadi beberapa kali dalam sejarah secara detail tidak akan dijelaskan dalam tulisan ini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.