Dari Kampung Pulo hingga Urutsewu, perlawanan rakyat pekerja terus bergejolak
BELUM lama kita mendengar kabar mengenai berbagai kasus konflik dan sengketa antara negara dengan rakyat pekerja. Di Kampung Pulo, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta berhadapan dengan warga sekitar yang enggan untuk ‘direlokasi.’ Di Urut Sewu, aparat bentrok dengan orang-orang desa yang mencoba mempertahankan haknya. Ini baru dua contoh dari banyak kasus serupa yang mendapat perhatian lebih karena masuk sorotan media. Di luar sorotan itu, mungkin lebih banyak lagi kasus yang melibatkan konflik antara negara dan kapital di satu sisi versus rakyat pekerja di sisi lain.
Tentu, terdapat perbedaan di antara dua kasus tersebut. Dari hal yang paling fundamental misalnya, bahwa kasus Kampung Pulo merupakan bagian dari persoalan masyarakat kota, sedangkan kasus Urut Sewu merupakan bagian dari persoalan agraria di Indonesia. Tetapi, dua kasus ini sesungguhnya merupakan bagian dari persoalan yang lebih besar, yaitu bagaimana ofensif kapitalisme-neoliberal bekerja dalam konteks struktural, spasial, dan sosial tertentu dan dampaknya terhadap kekuatan kolektif rakyat pekerja.
Untuk menganalisa masalah tersebut, kita bisa menggunakan berbagai perspektif. Tetapi, kali ini saya ingin menyoroti aspek lain dari dua konflik tersebut, yaitu persoalan politik kewargaan dan keruangan serta kesenjangan antara desa dan kota.
Mari kita mulai dengan dua kasus tersebut satu persatu secara lebih seksama. Di Kampung Pulo, Pemda DKI Jakarta mencoba ‘menertibkan’ tatanan ruang kota demi ‘mempercantiknya’. Suatu pilihan yang ironis untuk ditempuh, setelah upaya-upaya diskusi dengan warga Kampung Pulo mentok dan dianggap gagal. Akibatnya, warga Kampung Pulo dianggap sebagai ‘penghuni liar’ yang mengganggu keindahan kota, baik secara spasial, visual, maupun ekonomi-politik.
Pemukiman Kampung Pulo memang tidak lepas dari berbagai masalah khas Komunitas Miskin Kota (KMK). Mulai dari himpitan ekonomi, kesehatan komunitas, dan kekumuhan. Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ. Ada permasalahan struktural yang lebih besar yang membuat warga-warga seperti di komunitas Kampung Pulo dan banyak tempat lainnya berada dalam suatu konteks relasi sosial dan spasial di mana mereka berada sekarang. Warga miskin tidak ujug-ujug muncul dari sononya. Dengan kondisi seperti itu, dan di tengah-tengah keterbatasan pilihan, maka warga harus bertahan dengan cara-cara dan aksi-aksi kolektifknya tersebut.
Konteks relasi sosial dalam komunitas marginal itulah yang luput dilihat oleh pihak Pemda DKI, para teknokratnya, dan juga faksi kelas menengah yang mendukung mereka. Kampung Pulo dan banyak tempat-tempat di mana KMK tinggal, bukanlah sekadar kumpulan ‘individu-individu dan keluarga-keluarga’ ala visi neoliberalnya Margaret Thatcher. Lebih dari itu, tempat-tempat tersebut adalah kampung, suatu masyarakat yang terjalin dalam konteks relasi sosial tertentu. Masyarakat kampung di perkotaan bukanlah sekedar kompleks perumahan kumuh, melainkan tempat di mana ekonomi warga terbangun, dan solidaritas sosial – meskipun tidak serta-merta menuju ke arah intervensi politik kelas bawah yang efektif – nyata adanya.
Episode perampasan lain juga terjadi di daerah pedesaan, kali ini di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah. Resistensi warga terhadap bisnis penambangan yang dilakukan oleh PT MNC, ditambah dengan reaksi represif militer terhadap resistensi tersebut, berujung kepada ‘bentrok’ antar warga dengan militer. Korporasi melihat tanah hanya sebagai ‘komoditas’ dan militer melihat upaya perlawanan warga terhadap upaya komodifikasi tersebut sebagai aksi ‘anarkis’ terhadap ‘perjanjian pembebasan lahan’ yang sudah diteken sebelumnya yang perlu ‘ditertibkan’.
Lagi-lagi, upaya perampasan (dispossession) terjadi secara berkali-kali dan berlapis-lapis dalam kasus seperti ini. Logika kapital dan negara ‘modern’ melihat tanah sebagai komoditas yang tidak boleh dianggurin. Padahal, bagi kaum tani dan warga desa yang termarginalkan, tanah bukanlah sekedar komoditas. Ada cerita-cerita, mitos-mitos, dan berbagai tradisi lokal yang berkaitan dengan tanah dalam konteks kehidupan pedesaan. Ada dimensi kemandirian dan kedaulatan ekonomi yang dekat dengan kepemilikan tanah oleh masyarakat desa. Pendek kata, tanah bukan sekedar faktor produksi, tetapi juga merupakan sebuah way of life.
Kasus-kasus ini hanyalah merupakan gejala dari persoalan visi high-modernist atau modernisme tinggi dalam pembangunan. Negara dan kapital ingin menjadikan masyarakat legible, gampang dilihat dan kemudian dibentuk dan ditaklukkan. Bukan tanpa sebab apabila penataan ruang di kota-kota besar seperti di Chicago dan Paris, berorientasi kepada pembuatan blok-blok yang gampang terlihat; mereka dibuat supaya ‘kerusuhan’ – suatu kategori yang mencampuradukkan keributan dengan aksi-aksi politik kolektif warga seperti demonstrasi dan protes – gampang terdeteksi dan dijinakkan. Bukan tanpa sebab apabila di Indonesia pembangunan kota-kota berorientasi kepada ‘percantikan’ kota dan pembangunan pedesaan berorientasi kepada ‘pembangunan infrastruktur dan peningkatan pendapatan daerah’, karena dengan begitu wajah buruk dari kota dan desa, yaitu komunitas-komunitas miskin dan marginal, dapat dengan mudah dipinggirkan dengan dalih ‘pembangunan dan perluasan taman kota’, ‘persiapan SEA GAMES’, ‘penguatan infrastruktur’, ‘peningkatan pendapatan daerah’, ‘penyerapan anggaran’, dan lain sebagainya. Apakah tidak ada yang protes dengan semua ini? Saudara-saudari, di zaman di mana kelas menengah puas dan senang dengan pemandangan kota yang ‘rapih’ dan ‘bersih’ yang dapat dengan mudah diunggah ke instagram, dikicaukan di twitter, dan disebarkan via facebook, siapa sih yang mau repot-repot berpikir sedikit lebih jauh ke arah situ? Singkat kata, ada politik perebutan ruang dan diskursus di sini.
Akar permasalahan ini adalah kebijakan pembangunan yang bias urban dan berorientasi akumulasi kapital (urban-biased and capital-centered development). Hasilnya adalah bias kategori kewargaan dan ketimpangan pembangunan, yang melahirkan ruang-ruang ‘apartheid baru’ di mana kompleks perumahan yang dibangun oleh pengembang yang berisikan sekumpulan individu dan keluarga yang ‘atomistis’ – persis seperti utopia/dystopia neoliberal Thatcherian – semakin meminggirkan warga kampung dan juga sawah-sawah, tanah-tanah, dan rumah-rumah mereka. Sisanya adalah sejarah: solusi mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengentaskan si miskin!
Tiba-tiba saya teringat umpatan Gubernur Ahok. Ketika ia berujar bahwa HAM versinya adalah ‘bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang , maka dua ribu orang itu saya bunuh di depan anda,’ maka segera saya teringat ucapan Walter Benjamin yang terkenal itu: There is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism.
Di sini, terang bahwa solusi liberal, baik varian ‘efisiensi pasar’ maupun ‘modal sosial’nya tidaklah menjadi jawaban, apalagi solusi ‘modernisme tinggi dengan nuansa kemanusiaan’ (high modernism with a human face). Solusinya hanya satu: pembangunan front bersama yang menyatukan isu-isu kota dan desa dan kepentingan-kepentingan lapis-lapis masyarakat yang tertindas yang hidup didalamnya. Tawaran ini mungkin belum terealisasi sekarang, tetapi pelan-pelan manifestasinya sudah terlihat dalam berbagai bentuk resistensi partikularisme militan yang semakin mengemuka di tanah air akhir-akhir ini. Tapi kita harus bergerak lebih jauh dari itu, dari partikularisme militan menuju universalisme yang militan.
Karena, kalau tidak, maka perampasan akan semakin merajalela dan tembok-tembok penanda ‘apartheid baru’ akan semakin terpancang. Karena, hanya perjuangan kita yang akan menjamin masa depan kita***
Desa Dukuh, Banten, awal September
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc