Bukan Sisa-Feodal, Bukan Neo-Kolonial, Tetapi Masyarakat Kapitalis

Print Friendly, PDF & Email

Masalah Teoritik

Beberapa waktu lalu, IndoPROGRESS menerbitkan tulisan Bonnie Setiawan berjudul Masyarakat Indonesia dan 70 Tahun Revolusi Agustus. Tulisan tersebut menggambarkan problem masyarakat Indonesia dan jalan keluar terhadapnya. Sayangnya, tulisan Bonnie tidak menjelaskan secara solid tentang kondisi masyarakat Indonesia. Bonnie tampaknya mengklaim bahwa feodalisme adalah cara produksi yang dominan di Indonesia saat ini. Misalnya, dalam tulisannya yang lain Bukan Setengah-Feodal, tapi Sisa-Feodal; bukan Setengah-Jajahan, tapi Neo-Kolonial, dia mengatakan bahwa “… Sisa feodal ditunjukkan dengan masih dominannya cara bekerja ekstra-ekonomi (lewat kekuasaan politik) dalam mengumpulkan modal.’ Itulah realitas masyarakat Indonesia yang saya tangkap selama ini, bahwa cara-cara produksi pra-kapitalis (feodal) masih hidup kuat di masyarakat …”[italic sudah ditambahkan].

Kami menganggap klaim Bonnie memiliki tiga kelemahan mendasar. Pertama, Bonnie tidak mendefinisikan dengan jelas cara produksi feodal sebagai hubungan eksploitasi antara kelas pemilik tanah atau tuan tanah dengan petani. Sebaliknya, Bonnie seolah mengidentikkan kelas feodal dengan aparatur negara modern yang mengeruk modal dengan kekuasaannya. Dia mengatakan bahwa “… sebagaimana bisa kita saksikan sehari-hari dalam drama ekonomi politik kaum birokrat pencoleng uang Negara; para koruptor dari sejak RI-1 sampai tingkat lurah, camat, dan komandan Babinsa; para legislator DPR-DPRD korup; kaum militer dan polisi korup; preman-preman berjubah; ormas-ormas preman fasis; pengusaha-pengusaha kroni dan rente; dan lain-lainnya yang jelas menunjukkan watak pra-kapitalis (feodal), yaitu bahwa modal (kapital) mereka berasal dari kekuasaan, bukan dari akumulasi bisnis. Kelasnya adalah kelas sisa-feodal, bukan kelas kapitalis”. Tetapi, Bonnie tidak menjelaskan dari mana modal atau kekayaan negara itu bersumber.

Padahal, dengan menggunakan teori Marxis, kita dengan mudah melihat negara kapitalis modern memperoleh kekayaan yang bersumber dari pajak (tax atau rent). Dalam teori distribusi nilai lebih (surplus-value), pajak adalah bagian dari nilai lebih yang diperoleh negara. Artinya, sumber utama pajak adalah bagian dari eksploitasi terhadap kelas pekerja. Tanpa menjelaskan kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang dieksploitasi dan bagaimana eksploitasi terjadi, Bonnie agak prematur menyebut sisa feodal atau feodalisme sebagai sebuah cara produksi.

Kedua, Bonnie mengaburkan pengertian ekstra-ekonomi dalam menjelaskan cara produksi feodal, dengan mengidentikkannya dengan praktek-praktek korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan dalam mengumpulkan modal. Padahal, pengertian ekstra-ekonomi dalam feodalisme bermakna bahwa kelas tuan tanah merampas kerja lebih (surplus-labour) para petani secara paksa. Pengertian paksa adalah bahwa tuan tanah menggunakan kekuasaan politik, hukum, norma-norma sosial untuk memaksa para petani menyerahkan kerja lebih (upeti atau pelayanan kerja) kepada tuan tanah. Contoh lain ekstra-ekonomi atau semi ekstra-ekonomi terjadi di Indonesia pada dekade-dekade awal abad 20 di zaman kolonial, ketika perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan di luar Jawa (khususnya Sumatra dan Kalimantan) mempekerjakan puluhan ribu kuli-kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa dan Tiongkok. Meskipun para kuli itu adalah pekerja upahan, tetapi mereka tidak memiliki kebebasan untuk meninggalkan pekerjaan dalam masa kontrak (tiga tahun). Pekerja yang melarikan diri dari pekerjaan dianggap desertir dan oleh karena itu dipenjarakan.

Ketiga, Bonnie sama sekali tidak mendiskusikan tentang perkembangan tenaga-tenaga produktif terkait dengan apa yang disebutkannya sebagai sisa-sisa feodal. Padahal, dalam setiap pembahasan tentang cara produksi, kita harus mendiskusikan tentang hubungan-hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif. Misalnya, dalam kapitalisme hubungan produksi ditandai dengan hubungan eksploitasi kelas kapitalis terhadap kelas pekerja. Sementara kapitalisme, karena didorong oleh kompetisi, selalu memiliki kecenderungan untuk memajukan tenaga-tenaga produktif. Dalam cara produksi feodal, hubungan produksi atau hubungan eksploitasi dilakukan oleh kelas tuan tanah terhadap petani. Sementara itu, dalam corak produksi feudal tenaga-tenaga produktif relatif terkebelakang dibanding dengan corak produksi kapitalis.

 

Teori Tentang Masyarakat Indonesia

  1. Kapitalisme: Hubungan Kelas dan Perkembangan Teknologi

Dalam Marxisme, kapitalisme adalah sebuah sistem yang antagonistik. Sistem ini dapat eksis berkat kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja bebas. Kelas kapitalis adalah pemilik dan pengontrol alat-alat produksi (means of production), tenaga kerja (labor power), dan komoditi yang dihasilkan. Sementara kelas pekerja adalah mereka yang bebas menjual tenaga kerjanya kepada kelas kapitalis untuk menjadi operator dalam proses produksi komoditi. Dan dalam kapitalisme komoditi yang diproduksi bukan untuk kebutuhan subsistensi atau penggunaan langsung, tetapi untuk diperjualbelikan melalui pasar. Keuntungan atau “nilai-lebih” (“surplus-value”) diinvestasikan ulang guna meningkatkan skala produksi.

Banyak pihak secara naif menganggap bahwa teori Marxis sulit atau bahkan tidak relevan dengan perkembangan kapitalisme modern. Mereka menganggap bahwa kapitalisme saat ini berbasis pada kemajuan teknologi yang sangat berbeda dengan keadaan di abad 19 ketika Marx masih hidup. Pandangan seperti ini secara tersirat muncul dalam argumentasi Bonnie, ketika dia mengasosiasikan kapitalisme saat ini sudah pada versi 3.5 jauh berbeda dengan kapitalisme versi 2.0 di paruh abad 20. Argumentasi ini benar, jika yang dimaksud adalah fakta empiris mengenai perkembangan teknologi, di mana kapitalisme sudah jauh lebih berkembang. Sayangnya, Bonnie tidak menjelaskan secara teoritik apa keunikan perkembangan tersebut berdasarkan teori Marxisme.

Menurut kami, Marx telah menteorikan hubungan antara teknologi dan eksploitasi dalam kapitalisme. Dalam Capital I, dia menguraikan dua konsep kunci dalam memahami tingkat perkembangan kapitalisme. Pertama, dia menyebut “formal subsumption of labour” atau perampasan nilai lebih absolut. Dalam model ini, kelas kapitalis merampas nilai lebih yang dihasilkan kelas pekerja dengan bersandar pada penggunaan teknik produksi yang sederhana. Di sini, kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja dengan memperpanjang waktu kerja mereka atau memaksa kelas pekerja untuk bekerja secara intensif dalam waktu tertentu, misalnya, tanpa istirahat, dengan beban kerja yang berlipat ganda tetapi tanpa peningkatan upah.

Kedua, Marx menyebut “real subsumption of labour”, yakni eksploitasi yang bersandar pada perampasan nilai lebih relatif. Eksploitasi ditempuh melalui pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi maju di dalam proses produksi. Hasilnya, tingkat produktivitas meningkat, tetapi dalam waktu yang sama menghemat tenaga kerja. Bagi Marx, perampasan nilai lebih relatif merupakan cara paling menonjol untuk meningkatkan eksploitasi kelas pekerja dalam perkembangan kapitalisme yang lebih maju. Kita melihat fakta ini dalam proses produksi di berbagai industri modern yang menggunakan robot, komputerisasi dan mesin-mesin canggih.

Kecenderungan kelas kapitalis untuk terus-menerus memajukan tenaga produktif sebagaimana terjadi dalam “real subsumption of labour” mesti menjadi perhatian khusus. Motif di balik usaha ini adalah kompetisi sebagai hukum gerak dalam kapitalisme. Kompetisi paling utama adalah antara kelas kapitalis dengan kelas pekerja. Kelas kapitalis terus-menerus memperkenalkan teknologi modern dalam produksi bukan semata dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas. Tetapi, paling utama adalah untuk mengontrol dan melemahkan kelas pekerja dalam proses produksi. Karena penggunaan teknologi maju berarti penghematan tenaga kerja, maka kapitalisme menciptakan tenaga kerja cadangan. Dengan teori ini, Marx menekankan penggunaan mesin-mesin modern merupakan strategi kelas kapitalis untuk melanggengkan kekuasaannya terhadap kelas pekerja. Sebagaimana Marx menjelaskan di dalam tulisannya yang berjudul Kemiskinan Filsafat, dia mengatakan:

“Semenjak 1825, hampir semua penemuan baru (mesin) adalah hasil pertentangan antara kelas pekerja dan kelas kapitalis. Di mana, kelas kapitalis berusaha dengan segala cara untuk melemahkan kemampuan/keahlian khusus para pekerja. Setiap terjadi pemogokan baru, segera diikuti dengan munculnya mesin baru.”

Marx mengamati kenyataan ini di Inggris, seperti dia menyatakannya dalam karya yang sama bahwa “pemogokan-pemogokan secara teratur selalu membuka jalan bagi penemuan dan penggunaan mesin-mesin baru”. Selain itu, kompetisi antar berbagai fraksi kapitalis juga mengharuskan adanya introduksi alat-alat produksi maju (ilmu pengetahuan dan teknologi baru). Dengan begitu, mereka bisa mengurangi waktu kerja yang diperlukan, tetapi dalam waktu yang sama juga meningkatkan produktivitas secara besar-besaran. Hanya kelas kapitalis yang terus-menerus memajukan alat-alat produksi, yang sukses dalam kompetisi dengan sesama kelas kapitalis.

 

  1. Problem Masyarakat Kapitalis di Indonesia

Berbeda dengan Bonnie, kami menganggap bahwa masyarakat Indonesia bukan lagi berwatak sisa feodal, tetapi merupakan masyarakat kapitalis. Keberhasilan kelas kapitalis memajukan tenaga-tenaga produktif melalui inovasi dan penggunaan teknologi maju di bidang produksi, transportasi dan komunikasi telah mengantarkan masyarakat Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem eksploitasi kapitalisme global atau imperialisme. Melalui berbagai lembaga multilateral dan negeri-negeri kapitalis maju, kelas kapitalis sukses mendikte pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan pro-modal untuk mengeruk semua kekayaan di bumi nusantara berbasis eksploitasi buruh murah.

Kami mencatat ada beberapa hal utama yang menunjukkan bahwa saat ini masyarakat Indonesia adalah masyarakat kapitalis. Pertama, karena perkembangan kapitalisme, Indonesia telah memiliki kelas pekerja yang sangat besar dalam jumlah (lihat Tabel 1). Kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja tersebut dengan upah murah, kondisi kerja yang buruk (keselamatan dan kesehatan kerja), dan buruknya jaminan sosial bagi kelas pekerja dan keluarganya (kesehatan, perumahan, hari tua dan pendidikan). Pada umumnya, kelas pekerja tersebut tidak dieksploitasi dengan menggunakan modus ekstra-ekonomi atau dengan paksa seperti dalam cara-cara produksi pra-kapitalis. Fraksi kelas kapitalis yang mengeksploitasi kelas pekerja terdiri dari kapitalis industri, kapitalis dagang, dan kapitalis uang. Mereka terdiri dari kelas kapitalis transnasional dan kelas kapitalis nasional.

Meski berjumlah besar, kualitas kelas pekerja Indonesia sebagai sebuah kelas (class for itself) masih sangat rendah. Dengan kata lain, kendati kelas pekerja di Indonesia sudah menjadi realitas obyektif (class in itself), tetapi kesadaran mereka sebagai sebuah kelas belum tumbuh secara terorganisir. Akibatnya, politik kelas pekerja sebagai sebuah kelas masih sangat lemah.

Kedua, selain mengeksploitasi kelas pekerja, kelas kapitalis (nasional dan transnasional) juga menghancurkan kaum tani. Sebagai negeri di mana sebagian besar penduduk menggantungkan harapan hidup dari tanah-tanah pertanian, ekspansi kapital terutama perusahaan-perusahaan berbasis sumber daya alam telah merampas tanah-tanah kaum tani. Akibatnya, konflik-konflik pertanahan terjadi secara meluas. Perusahaan-perusahaan transnasional (misalnya, PT Freeport Indonesia di Papua) menyingkirkan para petani dari tanah-tanah mereka dengan kekerasan selama puluhan tahun. Hal yang sama juga terjadi dengan kelas kapitalis nasional. Misalnya, Pertamina dan Medco Energi, yang memorak-porandakan kehidupan para nelayan tradisional di Tiaka, Sulawesi Tengah. Demikian juga dengan PT Lapindo Brantas Inc., yang menyingkirkan para petani di Sidoarjo, Jawa Timur. Juga, tak terhitung jumlahnya perusahaan-perusahaan perkebunan sawit merampas tanah kaum tani di berbagai pelosok nusantara.

Ketiga, berkat liberalisasi, dominasi kelas kapitalis transnasional semakin meluas di Indonesia. Ini ditandai dengan arus modal asing yang beroperasi di sektor produktif, keuangan, dan perdagangan. Misalnya, Badan Koordinaasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia triwulan II 2015 mencapai Rp92.27 triliun atau 68,24 persen dari total penanaman modal di Indonesia. Liberalisasi juga ditunjukkan lewat privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai contoh, privatisasi perusahaan negara PT Aneka Tambang (ANTAM Tbk.), perusahaan swasta nasional dan perusahan-perusahaan transnasional menguasai 35 persen saham. Demikian juga kasus privatisasi PT Telkom Indonesia. Saat ini, negara menguasai 52 persen dan swasta menguasai 47 persen saham perusahaan tersebut. Dari 47 persen saham yang dikuasai swasta, kapitalis transnasional menguasai 39 persen. Juga, di sektor perdagangan, liberalisasi membuat Indonesia menjadi pasar bagi komoditi-komoditi yang diproduksi di negara lain. Ironisnya, sebagian diantara komoditi impor itu merupakan substitusi terhadap komoditi yang secara tradisional dihasilkan di bumi nusantara. Terakhir, liberalisasi di sektor moneter membuat mata uang Indonesia sangat rentan terhadap dinamika kapitalisme global seperti kejatuhan nilai mata uang rupiah pada saat ini.

Keempat, perkembangan kapitalisme telah menimbulkan petaka lingkungan. Sebagai negeri yang memiliki hutan hujan tropis yang luas di dunia, kegiatan-kegiatan industri telah menjadi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dengan dampak yang luas seperti banjir, hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air dan tanah. Deforestasi juga mengakibatkan perubahan iklim yang menimbulkan pengaruh langsung terhadap para petani di pedesaan, seperti kekeringan. Pemakaian energi fosil dalam produksi komoditi dan transportasi juga menyumbang langsung pada masalah perubahan iklim. Kita juga menemukan tingginya produksi energi fosil untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Tahun 2014, total produksi energi listrik PLN sebesar 152.853 GWh (Giga Watt hour). Dari jumlah tersebut, 89,80 persen bersumber pada menggunakan bahan bakar fosil, sedangkan pemanfaatan energi terbarukan (panas bumi, air, bayu, surya dan biodiesel) hanya 10,19 persen.

Kelima, perkembangan kapitalisme modern menimbulkan ledakan jumlah tenaga kerja cadangan. Penyebabnya, penerapan teknologi dalam produksi, transportasi dan perdagangan komoditi telah menghemat jumlah tenaga kerja. Akibatnya, banyak angkatan kerja yang tidak terserap menjadi kelas pekerja aktif. Indikasinya dapat dilihat pada angka-angka pengangguran, pekerja di sektor informal, dan besarnya jumlah pekerja di sektor pertanian tradisional. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kita bisa memperkirakan bahwa pada 2011 jumlah tenaga kerja cadangan di Indonesia sebesar 124 juta. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia merupakan salah satu negeri penyedia tenaga kerja cadangan utama yang siap dieksploitasi di bawah kapitalisme global. Jumlah tenaga kerja cadangan yang besar juga menekan posisi tawar kelas pekerja aktif di hadapan kelas kapitalis.

Tabel 1. Kelas Pekerja Berdasarkan Lapangan Usaha di Indonesia (2011)

 

stat

 

Sosialisme Sebagai Alternatif

Seperti sudah dijelaskan di atas, kapitalisme memiliki kontradiksi-kontradiksinya. Bagi kami, hanya sosialisme alternatif terhadap sistem yang menghisap itu. Dan buruh, sebagai kelas yang terhisap dalam kapitalisme, merupakan agen untuk membangun masyarakat baru tanpa kelas. Karena sosialisme menekankan bahwa semua kekayaan di dalam masyarakat bersifat sosial, maka penggunaannya juga untuk memenuhi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan kepentingan segelintir orang. Prinsip pengelolaan ekonomi dalam sosialisme bersandar kepada perencanaan bersama secara demokratis pada berbagai tingkatan. Artinya, kebijakan tentang alokasi dan penggunaan sumber daya ditentukan secara kolektif dengan bersandar kepada tata cara pengambilan keputusan yang bersifat demokratis. Dalam sosialisme, kelas pekerja menguasai alat-alat produksi, mengontrol proses produksi dan distribusi komoditi. Dengan demikian, produksi berorientasi kepada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Untuk mewujudkannya maka kelas pekerja harus merebut kekuasaan negara dari tangan kelas kapitalis. Dengan kata lain, kelas pekerja mesti memperluas perjuangan ekonomi menjadi perjuangan politik dengan membangun negara sosialis sebagai alternatif terhadap negara kapitalis. Seperti di dalam First International, Marx menyatakan bahwa “merebut kekuasaan politik merupakan tugas pokok dari kelas pekerja”. Hanya dengan demikian, kepentingan kesejarahan kaum buruh dapat dicapai. Syaratnya, diperlukan partai politik kelas pekerja yang kuat dan berfungsi untuk memajukan kesadaran politik kaum buruh sebagai sebuah kelas dalam berhadapan dengan kelas kapitalis sebagai lawan yang tidak terdamaikan.

Di tengah-tengah dominasi kapitalisme neoliberal saat ini, kami beranggapan bahwa beberapa program transisi mungkin berguna. Caranya, kelas pekerja harus menekan negara untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, membuat kebijakan jaminan sosial yang berkualitas di bidang kesehatan, perumahan, dan pendidikan untuk semua. Kedua, mengambilalih kembali aset-aset strategis yang telah diprivatisasi dan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan swasta. Ketiga, mengontrol secara efektif sirkulasi modal yang masuk ke Indonesia. Keempat, melakukan investasi besar untuk pengembangan energi terbarukan. Kelima, membangun sistem transportasi murah dan berkualitas. Keenam, membuat regulasi untuk memperpendek waktu kerja, misalnya dari 40 jam menjadi 30 jam dalam setiap minggu, tetapi dengan tingkat produktivitas yang sama atau lebih. Dengan demikian membuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketujuh, melakukan reforma agraria dengan target utama redistribusi tanah kepada petani-petani yang tidak bertanah atau petani-petani miskin di pedesaan. Termasuk dalam program ini adalah memajukan organisasi dan teknologi sehingga meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Semua program transisi tersebut mensyaratkan adanya organisasi politik kelas pekerja yang solid. Organisasi ini mesti menjadi payung bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan dengan kepentingan-kepentingan yang khusus seperti buruh, kaum tani, nelayan, kaum miskin kota, perempuan, mahasiswa dan budaya, mulai dari tingkat nasional hingga tingkat lokal.***

 

Adriansa adalah mahasiswa strata 1 sosiologi di FISIP UNTAD Palu, Ketua Serikat Mahasiswa Progresif Sulawesi Tengah dan anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP); Abd. Haris adalah mahasiswa sosiologi strata 1 di FISIP UNTAD Palu dan Ketua Partai Rakyat Pekerja Komite Kota Palu; Moh. Amirudin adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan strata 1 di FISIP UNTAD Palu dan Sekertaris Partai Rakyat Pekerja Komite Kota Palu.

 

Kami mengucapkan terima kasih kepada Arianto Sangaji, Ferry Rangi dan Mohamad Zaki Hussein yang telah memberikan masukan dalam tulisan ini.

 

Kepustakaan:

Annual Report PT. ANTAM. Tbk 2014, “TATA KELOLA PERUSAHAAN”, http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annual/2014/ar_antam_2014.pdf

Annual Report PT. PLN 2014, “Produksi dan Pembelian Tenaga Listrik”, http://www.pln.co.id/dataweb/AR/ARPLN2014.pdf

Annual Report PT. Telkom Indonesia. Tbk 2014, “Komposisi Pemegang Saham”, http://www.telkom.co.id/assets/uploads/2013/05/AR-TELKOM-2014-ENG1.pdf

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), PRESS RELEASE Quarter II 2015, “DOMESTIC AND FOREIGN DIRECT INVESTMENT REALIZATION IN QUARTER II AND JANUARY – JUNE 2015”, http://www.bkpm.go.id/file_uploaded/public/Bahan%20Paparan%20TW%20II%202015-ENG%20final.pdf

Bonnie Setiawan (2015), Masyarakat Indonesia dan 70 Tahun Revolusi Agustus. https://indoprogress.com/2015/08/masyarakat-indonesia-dan-70-tahun-revolusi-agustus/

Bonnie Setiawan (2015), Bukan Setengah-Feodal, tapi Sisa-Feodal; bukan Setengah-Jajahan, tapi Neo-Kolonial, https://indoprogress.com/2015/08/bukan-setengah-feodal-tapi-sisa-feodal-bukan-setengah-jajahan-tapi-neo-kolonial/

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.