Bukan Setengah-Feodal, tapi Sisa-Feodal; bukan Setengah-Jajahan, tapi Neo-Kolonial

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan atas Rio Apinino dan Irwansyah

PERTAMA sekali, terima kasih atas kritikan-kritikannya yang mengajak untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai isu-isu Masyarakat Indonesia dan Kapitalisme ini. Saya jadi ingat bahwa dulu komunitas kita pernah mencoba melakukan diskusi berseri mengenai isu-isu ini di Jakarta, yang sayangnya berhenti tanpa ada kejelasan. Begitupun dicoba lagi lewat diskusi-diskusi yang diadakan di Bandung, yang juga berhenti tanpa ada kejelasan. Ini semua di seputaran tahun 2007-2009, kalau saya tidak salah ingat.

Tanggapan dari bung Rio Apinino dan bung Irwansyah, saya rasa terburu-buru dan tidak teliti membaca tulisan saya, sehingga salah kritik. Di tulisan saya tidak pernah ditulis, eksplisit atau implisit bahwa ‘masyarakat Indonesia saat ini masih sama dengan masyarakat Indonesia di tahun 1950/1960an, yaitu masyarakat Setengah Jajahan Setengah Feodal (selanjutnya disingkat SJSF)’ atau ‘diakuinya sendiri, berlandas pada tesis “Semi Feodal Semi Kolonial”, yang menekankan arti penting persatuan mendukung kepemimpinan bornas untuk agenda yang vital: pembebasan nasional’. Tolong dibaca lagi tulisan saya dengan baik. Yang jelas saya katakan adalah ‘bentuk-bentuk kapitalis primitif inilah yang masih berkuasa di Indonesia. Kita menyebutnya, cara produksi sisa Feodal dan Neokolonial.’ Kita singkat saja tesis ini sebagai SFNK. Karena mengkritik hal yang tidak ada, maka sebenarnya perdebatannya menjadi kosong, begitupun konsekuensi-konsekuensi analitis turunannya menjadi kosong. Bisa dibilang hanya sekedar pernyataan penulis berdua mengenai subyek SJSF yang bukan milik saya.

Sejak lama saya menganggap diri saya sebagai Neo-Marxis. Mungkin karena saya pelajar di masa perdebatan Neo-Marxis tahun 1980an. Termasuk skripsi saya di FISIP-UI tahun 1988 yang kemudian menjadi buku Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga. Sebagai pelajar Marxis, maka saya juga mencoba mempelajari semua varian dan turunan Marxisme, baik pada tingkatan teori akademis maupun teori Partai Komunis/Sosialis dimanapun. Dan menariknya, semakin mendalami teori Marxis, maka semakin sulit dan njelimet. Tapi Marxisme memang tidak bisa hanya dipelajari secara akademis dan cepat, tapi justru harus dari pengenalan lapangan dan pengendapan lama. Akhirnya tesis saya hingga sekarang masih menguatkan apa yang saya pelajari sejak awal tersebut, yaitu peralihan ke Kapitalisme adalah melalui artikulasi dari berbagai cara produksi, sehingga tidak ada peralihan yang sama dari setiap masyarakat atau negeri, karena semuanya melewati jalur artikulasinya yang berbeda-beda. Karena itu juga mengatakan bahwa sebuah masyarakat telah menjadi kapitalisme begitu saja tanpa penjelasan akan bekerjanya artikulasi cara-cara produksi yang real bekerja di masyarakatnya adalah sebuah penyederhanaan.

 

Problem tesis Setengah-Jajahan Setengah-Feodal (SJSF)

Baiklah saya singgung sedikit mengenai teori “Setengah-Jajahan Setengah-Feodal” (SJSF), yang sebenarnya berasal dari pengalaman Revolusi Tiongkok. Dan memang kemudian SJSF diadopsi oleh PKI sebagai teori mereka juga untuk menjelaskan masyarakat Indonesia. Bagi saya, teori SJSF ini menggunakan teori artikulasi cara-cara produksi, meskipun tentunya wacana ini belum ada di masa generasi Mao Tse Tung dan setelahnya. Artinya dalam peralihan ke Kapitalisme, maka masyarakatnya akan menempuh artikulasi cara-cara produksi yang spesifik hidup di masyarakatnya. SJSF menjelaskan baik perkembangan masyarakat Tiongkok maupun interaksi dan dinamika kelas-kelas sosial di dalamnya, dan strategi-strateginya bagi tujuan memenangkan rakyat yang tertindas dan bagaimana memenangkan dan membentuk sistem sosialis.

Meskipun memahami bahwa teori SJSF telah bekerja dengan baik di Revolusi Tiongkok, tetapi sejak lama saya gundah dan masih mempertanyakan dipakainya SJSF untuk masyarakat Indonesia. Pelajar Indonesia tentunya harus memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana masyarakatnya, tempat dimana dia tinggal dan hidup. Pertanyaan pokok saya adalah: dimana keberadaan kelas tuan tanah feodal dalam masyarakat Indonesia, baik di masa lalu maupun dalam peralihannya? Bahkan pada masa lalupun, keberadaan kelas ini tidak pernah jelas. Kelas Sikep, yang dianggap sebagai tuan tanah di Jawa, tidak pernah berarti dalam ekonomi politik Indonesia. Begitupun kelas-kelas feodal yang kemudian menjadi aparat Negara kolonial, seperti Adipati dan Bupati, tidak jelas posisinya sebagai kelas tuan tanah. Anggaplah mereka kelas tuan tanah, tetapi dalam peralihannya mereka kemudian terserap menjadi aparat negara kolonial (Beamstenstaat). Lalu ketika kemerdekaan politik 1945, dimanakah kelas ini? Mereka tidak pernah merepresentasikan dirinya dalam ekonomi politik Republik yang baru. Jauh berbeda dengan kelas tuan tanah klasik yang bisa ditemui di Amerika Latin, Tiongkok atau Filipina, yang kelas feodalnya menjadi oligarki keluarga tuan-tuan tanah yang berkuasa. Sementara di Indonesia, yang muncul adalah kelas borjuasi kecil yang bekerja di birokrasi Negara maupun kaum terpelajar (dan profesional kelas menengah), yang memimpin pergerakan nasional dan mewarisi Negara kolonial. Karena itu pula tesis SJSF oleh PKI masih saya pertanyakan hingga sekarang. Maksudnya, belum ada penjelasan-penjelasan yang memuaskan tentang tesis itu untuk diterapkan di masyarakat Indonesia.

Akan tetapi saya tetap memakai tesis artikulasi cara-cara produksi untuk bisa memahami masyarakat Indonesia, baik di masa lalu, masa kini maupun prediksi ke depannya. Bagi saya, jelas bahwa masyarakat Indonesia mengalami artikulasi dari baik cara-cara produksi pra-kapitalis maupun datangnya kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Bagaimana memetakan dan menjelaskan hal itu, itulah tantangan kita semua. Teori artikulasi dapat menjelaskan dengan baik mengapa, meskipun kapitalisme sudah meraksasa seperti sekarang di Indonesia, tetapi kelas-kelas di masyarakatnya masih banyak yang tidak beradab, tidak demokratis, fasistis, feodalistis dan masih melestarikan berbagai kualitas pra-kapitalis lainnya. Mengapa Indonesia masih tidak bisa sama dengan Jepang atau Korea atau Tiongkok? Ini yang dalam teori dinamakan perkembangan yang tidak sama (uneven development). Tentu jawabannya ada pada artikulasi yang berbeda-beda dari setiap cara produksinya yang masih eksis di masyarakat. Tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan simplifikasi yang gampangan: semua itu sudah kapitalisme.

 

Tesis Sisa Feodal dan neo-Kolonialisme (SFNK)

Lalu, mengapa saya memakai teori “Sisa Feodal dan Neo-Kolonialisme” (SFNK). Karena artikulasi saat ini perlu dijelaskan dengan sebuah perumusan yang memadai. Seperti saya katakan di tulisan saya, ‘…karena meskipun cara produksi kapitalisme sudah beroperasi luas, tetapi dia belum bisa mencapai posisi dominan dalam kaitannya dengan keberadaan sisa-sisa Feodalisme. … Sisa Feodal ditunjukkan dengan masih dominannya cara bekerja ekstra-ekonomi (lewat kekuasaan politik) dalam mengumpulkan modal.’ Itulah realitas masyarakat Indonesia yang saya tangkap selama ini, bahwa cara-cara produksi pra-kapitalis (feodal) masih hidup kuat di masyarakat, sebagaimana bisa kita saksikan sehari-hari dalam drama ekonomi politik kaum birokrat pencoleng uang Negara; para koruptor dari sejak RI-1 sampai tingkat lurah, camat, dan komandan Babinsa; para legislator DPR-DPRD korup; kaum militer dan polisi korup; preman-preman berjubah; ormas-ormas preman fasis; pengusaha-pengusaha kroni dan rente; dan lain-lainnya yang jelas menunjukkan watak pra-kapitalis (feodal), yaitu bahwa modal (kapital) mereka berasal dari kekuasaan, bukan dari akumulasi bisnis. Kelasnya adalah kelas sisa-feodal, bukan kelas kapitalis. Karena signifikannya sisa-sisa feodal tersebut, maka tidak lain perlu dirumuskan posisinya sebagai cara produksi sisa-feodal. Kelas yang dominan di dalamnya adalah Kapitalis Birokrat (Kabir) tersebut. Rumusan Kabir ini sudah tepat untuk menggambarkan para koruptor/pencoleng/maling rente ini dalam ekonomi politik Indonesia. Ini juga menjelaskan perbedaannya dengan rumusan ‘setengah-feodal’ yang menetapkan kelas tuan tanah feodal sebagai kelas utama di dalamnya, di samping Kabir. Rumusan ini juga dengan tepat menjelaskan mengapa aktivitas produksi dan produktivitas sektor manufaktur tidak pernah menjadi prioritas Negara? Mengapa Negara hanya berkepentingan atas sektor ekstraktif, sumberdaya alam, rezim keruk dan angkut? Mengapa industrialisasi diterbengkalaikan? Mengapa militer dan agama dalam politik kuat sekali? Mengapa praktek fasisme feodal hidup terus? Mengapa Indonesia amburadul dan berantakan, dan elit-elitnya tidak tahu malu dengan kenyataan-kenyataan itu? Mengapa budaya politiknya masih tidak beradab?

Sementara dipakai rumusan ‘Neo-Kolonialisme’ untuk menjelaskan bedanya dengan ‘Setengah Jajahan’ yang tidak bisa diterapkan di Indonesia. Mungkin dulu karena masih adanya Irian Barat (Papua) dalam jajahan Belanda, maka dirasa pas menggunakan ‘setengah-jajahan’. Tapi kini tidak ada daerah yang masih dalam jajahan Negara lain, melainkan penjajahan tidak langsung, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, yang cocok disebut sebagai ‘Neo-Kolonialisme’, atau ‘Neo-Kolonialisme-Imperialisme’ (Nekolim) mengikuti kosakata Bung Karno. Rumusan Neo-Kolonialisme ini atau Nekolim ini pas sekali menjelaskan situasi Indonesia sekarang.

Demikianlah SFNK dirumuskan dengan menggunakan teori artikulasi cara-cara produksi. Kalau ada yang menganggapnya salinan atau copy-paste dari PKI, atau bahkan menyebutnya sebagai Stalinisme (oleh kaum Trotsky), maka itu salah besar. SFNK adalah hasil membaca kembali artikulasi cara-cara produksi dari masyarakat Indonesia kontemporer. Istilah lain yang sekarang populer adalah oligarki, yang sebenarnya merujuk juga kepada rejim Kabir yang masih berkuasa hingga sekarang, yang merupakan kelas parasit dan pemburu rente yang mencoba terus berkuasa dalam ekonomi politik Indonesia.

Dengan perumusan SNFK, maka mudah sekali diidentifikasi kelas-kelas sosial yang berada di dalamnya; kontradiksi-kontradiksi yang terjadi; ketegangan-ketegangan kelompok dan kelas; permainan-permainan kotor di dalamnya. Semua karikatur masyarakat dan elit Indonesia dengan jelas terbaca dan terpetakan; dan dapat dengan mudah diprediksi atas kemungkinan-kemungkinannya yang bisa terjadi. Itulah kegunaan teori peralihan dari artikulasi cara-cara produksi.

 

Posisi ideologis Bornas

Borjuasi nasional (Bornas) jarang dibahas dalam ilmu politik Indonesia, dan jarang digunakan dalam analisis-analisis. Padahal inilah kelas penting dalam peralihan ke Kapitalisme. Bornas mempunyai pandangan-pandangan politiknya sendiri, ideologinya sendiri, visinya sendiri, kepentingannya sendiri, yang secara teoritis tidak sama dan bisa bertentangan dengan Neo-Kolonialisme Imperialisme (Nekolim). Di negeri manapun, Bornas merupakan kelas yang berusaha membangun negerinya dengan ideologi, visi dan kepentingan mereka, yang berlawanan dengan kompradorisme. Bung Karno (BK) adalah representasi utama kelas Bornas di Indonesia di masa lalu. Bisa dikatakan BK adalah Bornas sayap kiri. Bila kita identifikasi kelemahan-kelemahannya, tentu sangat banyak. Tetapi kekuatan-kekuatannya juga sangat banyak. Terutama kekuatan Bornas adalah mampu merepresentasikan kepentingan populis masyarakatnya dan mampu berjuang untuk menjalankannya. Sekali lagi BK adalah contoh klasik semacam itu. Bahwa Bornas tidak mempunyai kepentingan lebih jauh akan perubahan struktural dan dalam mewujudkan Sosialisme, tentu saja demikian. Sosialismenya, sebagaimana pemikiran BK, adalah sosialisme populis.

Demikian pula sejak jatuhnya oligarki keluarga Jendral Suharto dan kroninya, maka perlahan Bornas kembali hendak meraih mimpinya akan negeri Indonesia yang dicita-citakannya, yang didapatkannya dari formulasi pemikiran-pemikiran BK, seperti Trisakti. Generasi baru Bornas, yang diwakili oleh Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil dan sebagainya mencerminkan perkembangan terbaru tersebut. Di belakang mereka adalah para pengusaha borjuasi nasional dan kelas menengah/borjuasi kecil yang benci pada korupsi, benci pada campur tangan militer, menginginkan sebuah Indonesia yang modern dan maju, adanya birokrasi dan tata-kelola pemerintahan yang tertib dan baik, adanya mekanisme pasar yang fair, tata-kelola kota-kota yang rapih dan modern, visi lingkungan yang hijau dan lestari, dan sebagainya. Visi mereka sebenarnya bertabrakan dengan proyek neoliberalisme yang sudah menjadi usang dan tidak menarik bagi sebuah proyek Indonesia yang mereka cita-citakan. Karena itulah Trisakti kini menjadi konsep kunci kelompok Bornas. Mem-bully mereka dengan slogan-slogan karikatural tidaklah mencerminkan realitas sebenarnya. Dan seringkali kaum kiri Indonesia sekarang sebenarnya juga mewakili kepentingan borjuis kecil seperti di atas. Ini senada dengan yang ditulis oleh Rio Apinino sebagai ‘membangun kekuatan sendiri melalui partai politik alternatif dan bertarung vis a vis dengan para oligark tersebut di ruang demokrasi elektoral yang tersedia.’

Memang adaa contoh figur Bornas yang terkesan temperamental dan tidak demokratis, yang diwakili oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok sekarang. Justru sebenanya ekspresi Ahok menggambarkan dengan tepat kegemasan dan kebencian mereka terhadap rezim Kabir, yang telah menghalangi kemajuan dan peradaban bangsa selama ini. Lebih tepat sebenarnya melihat Ahok, yang mewakili Bornas dan Borcil (borjuis kecil) se-Indonesia, sebagai tindakan nyata mereka dalam melawan praktek-praktek Kabir dan preman berjubah warisan Orde Baru, ketimbang menegasinya karena tidak bersepaham dengan kaum miskin kota dan kaum buruh. Kaum buruh, tani dan miskin kota seharusnya tetap diingatkan untuk menjalankan agendanya sendiri yang belum dikerjakannya, yaitu membangun organisasi-organisasi mereka sendiri, sehingga menjadi besar dan kuat dalam melawan rezim Kabir dan preman fasis. Agenda Bornas, Borcil, Buruh dan Tani sebenarnya adalah sama dalam level ini, yaitu melawan dan menyingkirkan sama sekali Kabir dan konco-konconya dari ekonomi politik Indonesia. Bukan untuk menghadapkan Ahok dengan kaum buruh dan kaum miskin kota. Ada banyak agenda aliansi dan kerjasama yang bisa dilakukan, bila organisasi-organisasi rakyat mampu menjalankan sebuah organisasi dan program-program yang kuat dan tepat untuk memperbesar perjuangan mereka sendiri. Ini adalah bagaikan melihat timbangan kekuatan dari masing-masing kelas, menilainya dan merumuskan strategi-strategi yang tepat untuk kebangkitan kaum buruh dan miskin kota. Merumuskan strategi ini bukanlah bagian dari tulisan ini, karena kompleksitas masalah di dalamnya. Hal yang sama juga terjadi untuk mendorong kebangkitan kaum Tani, agar mereka mampu menjadi kekuatan ekonomi politik yang kuat dan diperhitungkan, sehingga timbangan kekuatan mereka bisa lebih tinggi dari kelas-kelas lainnya.

Jokowi yang kini telah menjadi presiden RI adalah kejutan tersendiri dalam politik Indonesia yang dikuasai para oligarki Orde Baru. Ini adalah perkembangan terbaik yang pernah ada, semenjak kudeta Jendral Suharto tahun 1965. Karenanya terjadi juga eforia massa yang memang mengimpi-impikan terjadinya perubahan mendasar untuk keluar dari Rezim Kabir yang amburadul dan tidak beradab. Dukungan rakyat atas Jokowi adalah real, nyata. Dan Jokowi bukanlah seorang borjuis sejak lahir, karena ia adalah anak kaum miskin kota di pinggiran kali di kota kecil Jawa. Hidupnya mencerminkan peralihan seorang miskin menjadi borjuasi nasional yang penuh idealisme dan visi masa depan. Jokowi di satu hal adalah otentik dan unik di dalam konfigurasi kelas nasional, tetapi juga mencerminkan naiknya Bornas di semua lapangan, yang sudah muak akan kesemrawutan sistem warisan Orde Baru. Tentu Jokowi bukanlah Sukarno dengan keunikan, kejeniusan dan kharismanya sendiri. Era Jokowi adalah era membusuknya rezim Kabir dan naiknya generasi bojuasi modern dengan visi dan pandangan dunia yang lebih maju. Dunia dan Indonesia sedang berubah cepat, termasuk kelas-kelas dan individu-individu yang mewakilinya.

 

Dimana kekuatan kelas buruh dan tani?

Dalam soal empat kelas utama: Bornas-Borcil-Buruh-Tani, memang demikianlah hasil bacaan saya. Tentu sangat baik bila kita bisa mengidentifikasi dengan lebih baik lagi pergerakan kelas-kelas sosial di masa Orde Baru dan sesudahnya hingga sekarang. Tetapi tidak pernah saya tuliskan bahwa kelas buruh dan tani harus mengikut saja atau mendukung saja Bornas tanpa reserve. Mendukung adalah dalam pengertian aliansi kelas. Kelas buruh dan tani sudah seharusnya mampu mendominasi politik nasional, dan itu masih sangat jauh terjadi. Bukan saja tidak ada perwakilan partai politik yang mewakili mereka, malahan ormas-ormas buruh dan tani saat ini semakin melemah dan terpecah-pecah. Sudah jelas bagi kaum Marxis dimanapun, bahwa tesis kelas buruh (pekerja) sebagai pelaku utama tidak terbantahkan dan tidak perlu direvisi. Itulah dasar dari teori filsafat nilai dan nilai kerja Marxis, yaitu untuk mewujudkan kemanusiaan seluas-luasnya. Dan setiap manusia pada dasarnya adalah seorang pekerja yang mengusahakan kesejahteraan dirinya dan masyarakatnya. Cuma bagaimana mereka harus membuat strategi, menjalankannya dan mengusahakannya sampai mencapai kemenangan, itu adalah pekerjaan lain lagi yang bukan merupakan bagian dari tulisan saya.

Intinya, kerja penguatan kaum buruh dan tani adalah kerja yang masih jauh dari harapan kita semua. Kita semua merasakan, mengalami, mengerti dan tetap berusaha. Kaum Buruh dan Tani sampai sekarang masih menjadi kekuatan pinggiran dalam politik Indonesia, tidak seperti di masa Sukarno. Kita semua tahu itu.

***

Mudah-mudahan pemaparan saya ini cukup jelas. Tulisan saya bukanlah tulisan akademis, tapi aktivis. Saya mewakili seorang aktivis sosial dan analis sosial, bukan wakil Partai atau Ormas. Saya juga cenderung tidak lagi menggunakan perdebatan kuno yang sudah terjadi di antara kelompok-kelompok di dalam marxisme. Cukup itu dipakai sebagai latar belakang pengetahuan saja. Sudah selesai kiranya tuduhan-tuduhan salah tempat jaman era Perang Dingin, seperti Stalinisme, Maoisme, Revisionisme dan lain-lain, karena itu hanya akan membelenggu pemikiran dan otak kita dengan hal-hal yang sudah ketinggalan jaman.

Saat ini sudah sangat banyak informasi dan pemikiran-pemikiran baru yang lebih merangsang cara berpikir kita, seperti Sosialisme Inovasi di Tiongkok, Sosialisme abad 21, Pasca-Kapitalisme dan lainnya. Karenanya lebih baik untuk berpikir ke depan dan merumuskan hal-hal baru. Tesis SFNK ini juga bukanlah kreasi saya, melainkan hasil dari diskusi-diskusi dengan kawan-kawan yang juga aktif dalam pergerakan selama ini. Dan semua ini adalah terbuka terhadap kritik dan masukan. Terima kasih.***

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif di Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) di Jakarta. Telah menerbitkan banyak buku di antaranya: Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Menggugat Globalisasi, Globalisasi Pertanian, dan bukunya terakhir adalah ‘Jaringan Rantai Kapitalisme Global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.