“Ia terlahir, dengan kesakitan, sebagai anak zaman, yang melahirkan zaman.” Aidit
MENTENG 31. Belasan pemuda berkumpul di bawah pohon jarak. Mereka mendiskusikan soal situasi dunia tahun 1945. Jepang, Jerman, dan Italia ingin tampil menguasai dunia telah berhasil ditaklukkan. Tetapi, posisi Indonesia sedang terjepit. Belanda dua kali mengganti wajahnya dari kolonialisme menjadi imperialisme.
Hasil diskusi pemuda bersepakat: “Sekarang, Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi,” kata Chaerul Saleh. Mereka pergi ke rumah Bung Karno. “Kalau Bung tidak mau mengumumkan proklamasi, besok akan terjadi pertumpahan darah,” sambar Wikana. Dengan gaya konservatif, Sukarno menyahut: “Ini batang leherku. Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!”
Para pemuda pulang kembali ke Menteng 31 dengan gelora dan amarah yang dipendam dalam hati. Wikana pulang dengan membonceng Aidit. Keesokan harinya, mereka sepakat untuk membawa Sukarno dan Hatta pergi meninggalkan Jakarta. Guna menyamakan frekuensi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Adalah Wikana, pemuda asal Sumedang, Jawa Barat, yang dalam narasi sejarah kita namanya terpinggirkan dari bagian penting Revolusi Agustus 1945. Bersama Aidit, Wikana membentuk pusat latihan pemuda yang mereka beri nama Asrama Kemerdekaan. Kegiataannya mengadakan kursus-kursus politik pemuda. Pengajarnya antara lain Sukarno, Hatta, Amir Syarifudin dan Ki Hajar Dewantara.
Sesungguhnya peran Wikana sangat vital. Dia lah tokoh utama yang menghimpun kekuatan pemuda. Ia mengorganisir pemuda dan menjadikannya organik agar dapat memobilisir rakyat pergi menghadiri rapat-rapat akbar. Tanpanya, Sukarno hanyalah singa podium tak bergigi. Bisa jadi pidatonya tak ubahnya seperti teriakan-teriakan orang kesakitan tanpa pertolongan. Kharisma Sukarno pun hanya jadi lukisan pajangan dinding tanpa ribuan massa di depan podium.
Wikana dan para pemuda lah yang mengajak rakyat agar berpartisipasi. Jika situasi hening karena Sukarno telat hadir dalam rapat akbar itu, para pemuda ini yang memimpin dan memandu nyanyian-nyanyian agar semangat rakyat tetap terjaga. Tujuan utama mereka agar Revolusi Agustus 1945 tidak hanya menjadi milik elite.
Gagasan Pemuda Wikana
1945, Wikana adalah wakil semangat pemuda. Kegiatannya tidak lebih adalah gambaran pemuda Indonesia pada periode 1920-an. Gambaran akan perjuangan terhadap penindasan dari jiwa-jiwa dan pikiran yang merdeka.
Proklamasi telah dibacakan. Meski kabinet Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memintanya menjadi Menteri Urusan Pemuda dari tahun 1946-1948, Wikana tetap aktif dan setia di barisan massa. Dia memilih Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ruang dalam mengorganisir dan mengorganisasi rakyat. Wikana yakin proklamasi hanyalah pintu, jalan menciptakan kemerdekaan, keadilan serta kesejahteraan masih panjang. Dan itu harus ditempuh jika tetap dalam barisan massa.
Biarpun begitu Wikana tetap mau mencurahkan pikiran-pikiran teoritisnya. Analisa-analisanya tertuang beberapa kali dalam jurnal teori marxisme-leninsme Bintang Merah. Dalam jurnal milik PKI ini, Wikana menulis Organisasi Massa Pemuda, pada 1950. Wikana mempermasalahkan hubungan antara partai dan organisasi massa pemuda.
Dari tulisannya terlihat betapa sulit memahami istilah “berorganisasi dan berpolitik sebagai partai komunis”. Dia juga mengkritik soal peranan hegemoni dari partai komunis atas gagasan konsep Aidit. Dimana ada keingingan konsepsi partai sebagai organisator gerakan massa dan sebagai wadah untuk mengeneralisasi dan menteorisasi pengalaman politik gerakan itu.
Kepada PKI, Wikana mempertanyakan soal batas pemuda. Dia mempertentangkan konsepsi partai sebagai partai kader berbasis massa sekaligus menjadi partai massa. Tentang organisasi pemuda, Wikana mengajukan konsepsi agar organisasi semacam itu bisa mempunyai peraturan yang sama dengan partai. Wikana berpendapat, “perbedaan antara partai dan organisasi massa pemuda bukan harus diadakan dengan jalan membedakan azas, tujuan dan menyelundupkan tujuan strategi perjuagan”.
Dia mengkritik partai yang berpendapat bahwa jika orang-orang sudah berumur 25-30 tahun harus jangan dibolehkan menjadi anggota organisasi pemuda. Jika banyak anggotanya lebih dari itu, organisasi itu akan kehilangan sifat kepemudaannya. Dan akan menjadi partai kedua.
Dengan tegas Wikana menyangkal bahwa soal usia hanyalah dalih, yang terpenting adalah keinginan berjuang. Menurutnya, “jika ia bisa tetap dalam organisasi itu meskipun tidak ada hasrat untuk bekerja di lapangan lain, setidak-tidaknya lebih berfaedah daripada jika ia tidak berbuat apa-apa. Kita rasa, tidak menguntungkan, bahwa golongan simpatiserenden dijauhkan dari perjuangan aktif di bagian manapun juga dalam perjuangan kita”.
Biar bagaimanapun tujuan dari organisasi massa adalah pendidikan revolusioner atas anggota-anggota organisasi, dimana yang terbaik akan ditingkatkan menjadi anggota-anggota partai. Wikana menggarisbawahi bahwa jika orang masih mesti dididik maka tempatnya lebih tepat di pergerakan pemuda daripada di partai atau organisasi massa lainnya.
Melalui PKI, Wikana menuntut otonomi organisasi pemuda dari organisasi partai dan kemungkinan bagi organisasi massa pemuda menjadi semacam partai simpatiserenden sesuai dengan rumusan “partai massa”. Berdampingan atau bersaing secara bersahabat dengan PKI dengan kedudukan sebagai partai pelopor.
PKI kemudian menjawabnya dengan berpendapat bahwa gerakan pemuda tidak mungkin menjadi kutub berdaya tarik sebagaimana halnya partai itu sendiri. Tetapi adalah partai yang harus mewujudkan semangat pemuda, semangat Revolusi Agustus. Bagi PKI, suatu organisasi pemuda yang menggunakan azas dan tujuan yang serupa dengan yang digunakan oleh partai komunis, tidak lagi merupakan organisasi massa yang harus lebih umum dan lebih luas dalam tujuannya dan azasnya, dan lebih luwes dalam organisasi dan geraknya, dibandingkan dengan partai pelopor. Ini supaya bisa berperan sebagai perantara rakyat biasa yang belum terorganisasi sampai ke dalam partai. Terlebih jika kepemudaan tidak ditentukan oleh usia, maka organisasi semacam ini bukan saja menjadi suatu partai politik untuk pemuda melainkan sudah menjadi partai politik baru yang menyaingi partai komunis. Ini berarti menyangsikan, bahkan menolak, fungsi organisator massa dan fungsi pemusatan perjuangan massa yang dilakukan oleh partai pelopor.
Sampai kemudian perdebatan ini harus diakhiri dengan teror brutal setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Wikana hilang setelah segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Sampai hari ini, Wikana tak pernah pulang. Gagasannya mengenai pemuda tidak pernah mendapat tempat bagi penguasa negara setelah insiden 1965. Rezim Suharto justru menciptakan sebuah lembaga baru bernama: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.
Wikana dan Setelahnya
Melalui Suharto kata pemuda telah dilucuti dan di delegitimasi atas sejarahnya. Sebagai gantinya, rezim orba kemudian membentuk wadah kepemudaan bernama Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai alat kontrol terhadap aspirasi pemuda. Sehingga wadah itu tidak lebih hanya menjadi bagian dari kekuasaan yang di awal kedudukannya sudah memperkosa peri kemanusiaan.
Penyingkiran Wikana pada 1965 sebagai representasi pemuda yang menolak pembedaan dengan rakyat. Bersamaan dengan itu, justru menghasilkan terminologi ‘mahasiswa’, dimana sejarah awalnya pada 1966 memiliki orientasi dan aspirasi politik yang dikanalkan pada pergantian kekuasaan.
Masa depan Indonesia tidak ada lagi semangat dan gerakan “pemuda”. Suharto menggantinya dengan “mahasiswa” yang kemudian menarik diri dari rakyat. Sebagai kelas sosial yang berbeda dan sulit diidentifikasi jika tidak memakai kaca mata kekuasaan.
Wikana dan zamannya menaruh kata pemuda bersama masyarakat. Dia tidak berada di depan yang memposisikan diri sebagai penggembala yang menginstrusikan rakyat dengan sejumlah agendanya. Juga tidak ada di belakang rakyat dimana pertanggung jawabannya sulit untuk dilacak jika rakyat berjalan dengan arah yang salah.
Pemuda, menurut Wikana, haruslah hadiri bersama rakyat. Menyusun pergerakan berdasar apa yang diketahui oleh rakyat. Serta merumuskan perjuangan atas dasar apa yang mereka miliki. Sehingga perjuangan pemuda adalah perjuangan rakyat dan sejarah gerakan pemuda adalah juga sejarah gerakan rakyat.
Sulit untuk menuntut Wikana kembali. Yang bisa kita lakukan adalah melihat kembali gagasannya.***
Penulis adalah mahasiswa semester akhir Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta
Kepustakaan:
Wikana, 1950. Organisasi Massa Pemuda, Bintang Merah 7