Penjajahan Berkedok Pembangunan

Print Friendly, PDF & Email

Suara-suara rakyat terpasung
Cangkul-cangkul petani pun menumpul
Sebab tanah ulayat ditimbuni aspal
Dengan santun, mereka dicekik
Pembangunan itu membunuh Indonesia… RINDU HARTONI CAPAH

Syair puisi di atas, pernah saya bacakan saat berunjuk rasa bersama ratusan aktivis yang tergabung dalam Indonesia People Alliance (IPA) Sumatera Utara, di depan hotel Santika, Sabtu (6/7/2013). Ketika itu, IPA menolak pertemuan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) yang sedang berlangsung secara bersamaan di beberapa hotel mewah di kota Medan. Secara tersirat, puisi tersebut menggambarkan betapa program pembangunan saat ini sangat melemahkan embrio perekonomian masyarakat kelas bawah. Hal ini terbukti dengan semakin buasnya program pembangunan, semacam APEC, yang justru menjajah masyarakat lokal dari mekanisme penghisapan ekonomi di tingkat lokal.

Tulisan ini mencoba menjelaskan hakikat pembangunan yang semakin memudar. Saat ini, pembangunan dipandang semata hanya berwajah infrastruktur, perindustrian, dan fasilitas fisik wilayah untuk mendukung roda ekonomi global. Kalangan birokrasi tidak lagi melayani masyarakat melainkan membuka jalan masuk dan mempermulus akumulasi kapital. Lebih parahnya lagi, arahan dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan akumulasi kapital ini berhasil ditahbiskan dalam program nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Berbagai program pembangunan banyak dimanfaatkan para pemangku kekuasaan sebagai jalan untuk menjaring laba dan menancapkan prospek yang mumpuni untuk tujuan bisnis. Instrumen pemerintahan yang dibangun sengaja membuka ruang terhadap lancarnya peredaran kapital, sehingga tubuh pembangunan itu sesungguhnya didedikasikan untuk kaum kapital. Bagi kebanyakan orang, isu pembangunan masih dipandang sebagai hal yang wajar dan justru berdampak baik bagi masyarakat. Itu sah-sah saja, namun kita harus mengetahui siapa yang menginisiasi pembangunan itu, apa tujuan dan arah pembangunannya, dan apa yang bakal diproduksi? Lalu mari kita lihat dampaknya kepada manusia, apakah sudah berhasil meningkatkan mutu kemanusiaan sesungguhnya secara merata?

Jawaban yang sering muncul dari mulut pemerintah kita, mulai dari pusat sampai daerah, bahwa program pembangunan digalakkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Lalu dengan melatenkan jawaban tersebut, aplikasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mulai dari pusat hingga daerah didesain sedemikian rupa mengikuti kebutuhan proyek-proyek raksasa yang dilakoni pemerintah dan kaum kapital. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan ruang untuk rakyat tidak pernah diikutkan. Masyarakat diikutkan sebagai pengikut dalam rencana yang sudah diformat oleh pemerintah. Sehingga masukan-masukan yang muncul dari masyarakat akan ditolak karena dianggap tidak sejalan dengan program yang diagendakan pemerintah.

Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam, dari dulu hingga sekarang, memang selalu diincar oleh pemegang kuasa dunia internasional. Di mata kapital, Indonesia merupakan surga dunia yang kaya dengan bahan mentah, sumberdaya manusia yang murah, serta target pemasaran yang empuk. Hingga Indonesia hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sementara kualitas hidup dan sumber daya manusianya selalu didegradasi. Dengan dukungan dari penguasa dan kapital domestik, cengkeraman modal asing begitu kuat dalam bangunan perekonomian nasional kita.

Tidak bisa dipungkiri, ini sudah menjadi penyakit sejak awal mula dari rezim Orde Baru berkuasa. Ketika Soeharto baru menjabat sebagai presiden, ia langsung mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing. UU itulah yang sekarang menjadi tamengnya korporasi asing untuk terus mengeksploitasi hasil-hasil bumi dan manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadinya swastanisasi di berbagai sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan industri. Alat-alat produksi untuk pabrik didatangkan dari luar negeri, sementara Indonesia hanya menyediakan alat produksi berupa lahan dan tenaga kerja murah. Laba dari mekanisme swastaniasi pada semua sektor hanya ditumpuk dan dinikmati para kaum kapital. Pemerintah mendapat jatah, sedangkan para buruh yang bekerja didalamnya hanya sanggup memenuhi kebutuhan subsistennya saja.

 

Modus Pembangunan

Pada tangal 6 Oktober 2013 lalu, di Nusa Dua, Bali, presiden SBY ketika itu memberikan pidato pembukaan pada pertemuan Chief Executife Officer (CEO) APEC. Seperti dikutip dari buku Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia yang diterbitkan oleh Sajogyo Institut, SBY mengatakan “untuk mempercepat pembangunan, pada Mei 2011, kami meluncurkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam waktu 14 Tahun ke depan, kami menargetkan 460 miliar US$ untuk investasi di 22 kegiatan ekonomi utama, yang terintegrasi dalam delapan program, yang mencakup pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telekomunikasi. Karena itu, Master Plan ini   memberikan kesempatan besar bagi investor internasional. Akhirnya dalam kapasitas saya sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia (chief salesperson of Indonesia Inc.), saya mengundang anda untuk memperbesar bisnis dan kesempatan investasi di Indonesia.”

Sikap SBY ketika berpidato menunjukkan ia adalah sosok pemimpin yang mendaulat dirinya menjadi fasilitator masuknya modal asing ke negara kita. Ini terbukti ketika struktur kepanitiaan proyek MP3EI diisi oleh seluruh kabinet kerjanya. Kemudian ia menginstruksikan kepada semua pemerintahan, dari pusat hingga daerah, agar bekerjasama dan menyambut proyek raksasa itu.

Proyek MP3EI selalu mengutamakan investasi asing untuk bercokol Indonesia. Ini tidak mengherankan, sebab Proyek MP3EI ini didukung oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti International Monatery Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank (ADB). Lembaga keuangan ini menyiapkan dana karena konsentrasi proyek MP3EI bertumpu pada pembangunan infrastruktur.

 

Pembangunan Mengusir Entitas Lokalitas

Dalam bukunya Imperialisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer, David Harvey (2010), menggambarkan adanya kompetisi dalam sistem keruangan, yaitu kompetisi monopolistik yang diakibatkan keunikan lokasi. Ia menitikberatkan pada lokasi spasial yang selalu menghasilkan keuntungan monopolistik. Hal ini akan menimbulkan pertarungan bebas di dalam ekonomi ruang. Ia menyebutkan, para kapitalis memanfaatkan strategi-strategi spasial untuk menciptakan dan melindungi kekuasaan-kekuasaan monopoli kapan dan dimanapun mereka bisa.

Bagi daerah-daerah yang potensi alamnya terdapat bentangan lahan untuk perkebunan, objek tertentu untuk pengembangan pariwisata, struktur geologi yang dimanfaatkan untuk pertambangan, kandungan perut bumi yang cocok untuk pengeboran minyak, dan posisi strategis yang digunakan pusat aksesbilitas adalah suatu wadah yang coba diperas dan dihisap oleh kapital dengan perlindungan negara. Kekuatan modal memiliki andil untuk mempermulus roda perijinan hingga melahirkan grativikasi.

Lokasi strategis yang dijadikan objek vital bagi pengembangan ekonomi nasional telah dikuasai sepenuhnya oleh pihak swasta. Sehingga penghasilan dari kalkulasi yang dilahirkan oleh mekanisme ekonomi yang menyembah kekuatan pasar sepenuhnya dirampas oleh kaum kapital, sementara masyarakat lokal yang menjadi korban-korban pembangunan terpaksa hidup dalam kesengsaraan. Untuk perusahaan besar yang beroperasi di Provinsi Sumatera Utara, patut dijadikan contoh betapa buasnya korporasi ini memainkan perannya dalam menguasasi perekonomian masyarakat lokal. Perusahaan semacam PT. Toba Pulp Lestari (TPL) tercatat sebagai perusahaan yang paling rakus mengeksploitasi hasil-hasil sumber sumberdaya alam. PT. TPL, dengan hanya mengantongi konsesi Hak Pengusahaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/TI), menguasai banyak luasan Kawasan Danau Toba. Perusahaan tersebut menanami pohon ekaliptus yang rakus merusak lingkungan sehingga burung saja sangat enggan hinggap di dedaunan pohon tersebut. Dengan semakin memanasnya konflik-konflik agraria, maka pada saat acara Rapat Dengar Pendapat DPRD Sumatera Utara pada Senin, 23 Februari 2015, terkuak jumlah korban yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, mulai dari awal perusahaan ini beroperasi hingga sekarang.

Selain PT. TPL, masih banyak perusahaan lainnya yang masih aktif mengeskploitasi sumberdaya alam di sekitaran Sumatera Utara, yakni PT. Aqua Farm, PT. Simalem Resort, PT. Allegrindo Nusantara, PT. Gorga Dumasari (GDS), PT. Dairi Prima Mineral, PT. Inalum, dan sebagainya.

 

Penutup

Dari penjabaran di atas, pemerintah pusat maupun daerah harus bertindak cepat untuk memperbarui sistem yang sedang berjalan di negara kita ini. Jika pemerintah tidak mau merespon suara-suara rakyat yang terus dimarginalkan akibat buasnya nafsu menjalankan pembangunan yang malah membunuh rakyatnya sendiri, maka betapa bobroknya negeri ini. Pemerintah harus sadar diri bahwa di dalam negara ini rakyatlah penguasa sesungguhnya.

Di atas segalanya yang saya haturkan, bahwa manusia adalah mahluk yang harus dindahkan, dihormati hak azasinya. Jangan biarkan proyek pembangunan mengusir manusia dari kediamannya, dari identitasnya yang menetap pada wilayah adatnya. Jika pembangunan besar-besaran terus berjalan (pembangunan yang menyedot dan mengeksploitasi seluruh sumber daya) maka kita akan mengalami krisis kemanusiaan layaknya perang yang mengandalkan senjata.***

 

Penulis adalah mahasiswa Geografi Unimed, aktif dalam gerakan sosial pada Kelompok Studi Mahasiswa BARSDem. Email: rhcapah@gmail.com

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.