Pendahuluan
BARU-BARU ini rekan Dede Mulyanto membahas optimisme sebagai asumsi teoretik sekaligus posisi etis dan politis yang kerap kali menjadi lubang sembunyi sisa-sisa filsafat idealisme. Optimisme ugal-ugalan, meminjam bahasa Dede, adalah sebuah proyek intelektual dan politik yang bermasalah dalam kacamata Marxis karena kecenderungannya untuk terlampau menyederhanakan realitas obyektif menurut ideal-ideal yang berada di dalam benak kepala, mereifikasi model-model penyederhanaan atas realitas tersebut, dan mempromosikan harapan yang kurang berjejak di ranah politik.
Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengembangkan argumen Dede sedikit lebih jauh: optimisme ugal-ugalan sebagai proyek etis dan politis bukan saja merupakan sebentuk sisa-sisa idealisme tetapi juga sebuah bentuk ideologi borjuis. Dengan kata lain, optimisme ugal-ugalan merupakan sebuah retorika kapitalisme kontemporer. Implikasi posisi teoretik tersebut, menurut saya, dapat bersifat konterproduktif bagi proyek-proyek politik emansipasi.
Optimisme dan Harapan: Selubung Ideologis Masyarakat Kapitalis
Satu dari sekian banyak hal yang menjadi tameng ideologis kapitalisme adalah premis bahwa di dalam masyarakat kapitalis, meskipun kesenjangan akan senantiasa ada, tetapi ‘kesempatan’ sesungguhnya selalu tersedia bagi siapa saja dan ‘kesuksesan’ akan ‘datang’ bagi mereka yang ‘bekerja keras’. Siapa saja bisa meraih ‘kesuksesan’ tersebut – yang sedikit banyak didefinisikan dengan seberapa banyak akumulasi (baca: ekspropriasi atau perampasan) nilai lebih dapat dilakukan. Meminjam ucapan seorang anggota tim penasehat Pinochet dalam film No, perhatikan bahwa penekanannya adalah pada kata siapa saja dan bukannya semua. Dalam konteks ini, retorika optimisme dan harapan dapat dibaca sebagai sebentuk selubung ideologis yang menjustifikasi tatanan ekonomi-politik tersebut. Dalam terminologi yang lebih formal, retorika optimisme dan harapan dalam beberapa bentuknya dapat dibaca sebagai seperangkat superstruktur – praktik-praktik sosial dan kebudayaan yang melegitimasi tatanan masyarakat kapitalis. Pelan-pelan kita digiring untuk berpikir bahwa tatanan masyarakat tersebut pada dasarnya memberikan ‘keniscayaan’ untuk ‘kesuksesan’ – Bukankah dalam masyarakat kapitalis alih-alih ‘sosialis’ kita dapat menemukan Steve Jobs, Bill Gates, dan J.K. Rowling? Bukankah iPhone dan MacBook edisi terbaru jauh lebih menarik dibandingkan Trabant dan produk-produk tua dari Blok Timur?
Buktinya tidak sedikit. Contoh-contoh dari retorika semacam itu dapat kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari diskursus politik hingga imajinasi kebudayaan masyarakat kita. Perhatikan misalnya ‘visi ideal’ pandangan hidup beberapa faksi kelas menengah kita – suatu contoh yang cukup dekat dan familiar buat saya. Kesuksesan dinilai dalam bentuk sejauh mana seseorang bisa memiliki ‘stabilitas’ dalam sektor-sektor pekerjaan kerah putih, partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas ‘kewargaan’ yang sifatnya karitatif dan terkadang penuh dengan konotasi moralis dan terkadang religius seperti menjadi sukarelawan untuk berbagai kegiatan volunteer, atau dua-duanya. Kecenderungan moralis tersebut bahkan semakin mengemuka bagi beberapa elemen-elemen ‘tercerahkan’ dalam kelas menengah Indonesia. Sebagai bagian dari kalangan ‘terpelajar’ mereka memiliki ‘kewajiban moral’ dan ‘misi historis’ untuk ‘mencerahkan’ para anggota masyarakat – biasanya dari golongan bawah – yang masih ‘belum tercerahkan’ dan ‘bodoh’. Berbekal segumpal angan-angan mengenai visi masyarakat yang ‘ideal’, mereka mencoba merumuskan sejumlah program dan kegiatan yang bertujuan untuk ‘memperbaiki keterbelakangan’, tanpa sadar akan tendensi paternalistik yang inheren dalam visi ideal tersebut.
Contoh yang saya berikan di atas mungkin terkesan anekdotal dan karikatural, tetapi ada juga contoh-contoh lain di mana retorika optimisme dan harapan ugal-ugalan mewujud dalam bentuk yang lebih sistematis. Baca misalnya artikel dan tulisan terbaru ekonom Greg Mankiw (2013) yang menjustifikasi eksistensi lapisan satu persen dalam masyarakat, bahwa kemunculan lapisan satu persen lengkap dengan segala bakat dan kreativitas mereka adalah sebuah hal yang natural dan kesenjangan ekonomi, sosial – dan mungkin politik – yang muncul sebagai konsekuensi dari eksistensi dan konsolidasi lapisan satu persen hanyalah sekedar ‘ongkos’ yang perlu dibayar untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Bukankah lapisan satu persen adalah para anggota masyarakat pilihan yang bisa sukses karena kerja keras dan kebrilyanan mereka?
Retorika optimisme dan harapan ini biasanya juga erat berhubungan dengan satu tatanan ekonomi-politik tertentu yaitu, teknokrasi, tentu bukan dalam artiannya sebagai upaya saintifik untuk pembangunan masyarakat, melainkan lebih dalam artiannya yang cenderung terinsulasi dari kontrol publik, tercerabut dari konteks sosial yang melahirkannya, dan tentu saja cenderung alergi terhadap demokrasi – persis dengan apa yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknis’ (technical government)[1]. Optimisme dan harapan sebagai sebentuk idealisme sering sekali berkelit kelindan dan bersandingan dengan teknokrasi. Keduanya saling membutuhkan dan memperkuat satu sama lain. Dalam bahasa yang populer, retorika tersebut sering disampaikan kurang lebih seperti ini: kita harus tetap ‘optimis’, dan untuk mewujudkan ‘harapan’ kita, maka kita perlu melakukan sejumlah ‘usaha’, yang tidak lain tidak bukan hanyalah bentuk lain dari teknologi-teknologi berpemerintahan (technologies of governmentality) dalam artian Foucauldian. Persis di titik inilah kontradiksi internal dalam retorika optimisme dan harapan mengemuka: retorika tersebut tidak mampu berdiri sendiri, ia merupakan manifestasi dari ideologi borjuis yang membutuhkan aparatus-aparatus politik, sosial, dan kebudayaan yang memungkingkannya terinternalisasi di dalam masyarakat. Contoh dari strategi seperti ini banyak dan sudah cukup lama diterapkan mulai dari Lesotho (Ferguson, 1994) hingga Indonesia (Li, 2007), baik secara formal, misalnya melalui skema kebijakan teknokratis seperti Kecamatan Development Program-nya Bank Dunia (Carroll, 2010) maupun informal melalui program-program pendidikan yang bersifat sukarela tetapi bergantung kepada pola manajemen dan kapital dari korporasi-korporasi besar (Gellert, 2015). Mengutip Althusser, manifestasi dari retorika optimisme dan harapan dapat kita lihat sebagai contoh aparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) untuk mereproduksi dan melanggengkan ideologi borjuis.
Singkat kata, retorika optimisme dan harapan dalam berbagai bentuknya dewasa ini dapat dilihat sebagai diskursus borjuis. Apabila perjuangan politik emansipasi dalam konotasinya yang sosialis terkesan terlalu ‘idealis’ dan ‘utopis’, maka bukankah upaya ‘memajukan’ masyarakat dalam kerangka kapitalis terdengar lebih ‘menjanjikan’ dan ‘realistis’? Kita bisa saja tidak mengacuhkan retorika tersebut dan sekedar menanggapinya sebagai just another bourgeois nonsense dan menyalahkan banyak orang yang mempercayai retorika tersebut sebagai kelompok masyarakat yang ‘belum tercerahkan’ dan masih mengidap ‘kesadaran palsu’. Tetapi bagaimana jikalau massa mempercayai dan menginternalisasi retorika tersebut? Lantas, apa implikasi politik yang harus kita antisipasi dan strategi politik yang harus kita ambil?
Perlawanan Sebagai Narasi Politik Emansipasi
Sejarah gerakan Kiri dan gerakan rakyat di berbagai tempat di belahan dunia disatukan oleh sebuah narasi yang sama: perlawanan. Perlawanan, dengan kata lain, adalah narasi besar politik emansipasi. Dari segi psikologis, perlawanan tidak hanya identik dengan harapan tetapi juga kemarahan. Simak misalnya orasi-orasi Frederick Douglass, mantan budak dan pejuang abolisionis anti-perbudakan terkemuka di Amerika Serikat di masa Perang Sipil. Orasi-orasi Douglass yang keras bukanlah sekedar luapan kemarahan yang bersifat personal. William Sokoloff (2014) menyebutnya sebagai ‘kemarahan dialektis’ (dialectical rage) karena kemampuannya untuk menginterogasi realitas struktural yang menindas sekaligus merumuskan perhitungan politik yang matang dan mengerahkan mobilisasi politik yang efektif. Perlawanan dan kemarahan, terutama yang mengemuka dalam aksi dan organisasi kolektif, tidak selalu bersifat membabi buta, kekanak-kanakan, dan penuh dengan vandalisme dan kekerasan. Justru, dalam banyak hal perlawanan dan kemarahan perlu dilihat sebagai elemen yang penting bagi konsep kewargaan yang radikal, partisipatoris, dan demokratik.
Dalam konteks ini, narasi perlawanan menjadi penting sebagai diskursus alternatif dari retorika optimisme dan harapan ala borjuis kecil yang makin hegemonik. Di saat eksperimen politik radikal dan emansipatoris dicemooh dengan label ‘utopis’, di saat tatanan masyarakat borjuis dikesankan sebagai bagian yang alamiah dari evolusi masyarakat, di saat politik semakin lama semakin direduksi sebagai persoalan teknis, maka narasi perlawanan dan kemarahan sesungguhnya merupakan respon yang logis dan rasional untuk melawan hegemoni tersebut.
Dalam terang inilah, gerakan progresif harus berhati-hari agar tidak terjatuh kepada lubang filsafat idealisme maupun mengidap tendensi borjuis kecil. Optimisme dan harapan bagi gerakan progresif bukanlah satu hal yang murni bersifat nubuwah, bersifat messianik, cukup dengan ‘berusaha’ dan ‘berdoa’ maka bismillah simsalabim abrakadabra perubahan sosial akan datang cepat atau lambat. Kalau begini maka kita tidak jauh berbeda dengan kaum borjuis dan borjuis kecil yang mengidap waham seperti ini. Dengan begitu kita juga beresiko mengulang kesalahan gerakan-gerakan Kiri di Barat menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II yang berpikir setelah krisis berkepanjangan maka kapitalisme akan menjemput ajalnya dan sosialisme akan otomatis datang.
Kita memerlukan analisa yang mendalam mengenai kondisi objektif keadaan ekonomi-politik dan syarat-syarat struktural yang memungkinkan pelaksanaan transformasi sosial. Kita juga memerlukan perhitungan yang matang mengenai intervensi dan stategi politik apa yang tepat untuk memajukan proyek-proyek politik emansipasi. Kita bisa saja terkesima dan mengamini bahwa Marx membuka cakrawala baru mengenai ‘hukum gerak masyarakat’ sebagaimana dikatakan oleh Althusser dan ‘adalah rakyat yang membuat sejarah’ seperti dikatakan Allende. Tetapi kita tidak bisa sekedar mempercayainya sebagai postulat-postulat dan aksiom-aksiom yang seakan-akan sudah terbukti kebenarannya. Sebagai bagian dari gerakan progresif, kita harus memblejeti retorika optimisme dan harapan ala propaganda borjuis dan mempelajari sejarah perjuangan sebagaimana dihidupi oleh rakyat pekerja. Hanya dari situlah kita tahu bahwa kontradiksi internal masyarakat kapitalis memang nyata adanya, bahwa pembajakan teknokratis dan oligarkis atas demokrasi memang terjadi, dan yang paling penting bahwa rakyat pekerja memiliki kemampuan untuk membaca situasi dan merumuskan solusi untuk mengatasi dan melampaui ketertindasannya.
Optimisme dan harapan bagi kalangan progresif bukanlah retorika yang tidak berjejak; ia muncul dan dirumuskan berdasarkan praksis dan pengalaman perjuangan yang dihidupi oleh rakyat pekerja.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc
Kepustakaan:
Carroll, T., 2010. Delusions of Development: the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Ferguson, J., 1994. The Anti-Politics Machine. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.
Gellert, P.K., 2015. Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 45(3), pp.371-93.
Li, T.M., 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham: Duke University Press.
Mankiw, N.G., 2013. Defending the One Percent. Journal of Economic Perspectives, 27(3), pp.21-34.
Musto, M., 2011. MR Zine. [Online] Tersedia di: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html [Diakses 7 Juni 2015].
Sokoloff, W.W., 2014. Frederick Douglass and the Politics of Rage. New Political Science, 36(3), pp.330-45.
————
[1] Untuk referensi mengenai konsep pemerintahan teknis menurut Marx, baca Musto (2011).