Mengembalikan Marwah Engels Dalam Bayang-bayang Marx

Print Friendly, PDF & Email

Oky Alex S. Kader Partai Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Bengkulu

 

Judul Buku: Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels

Penulis: Dede Mulyanto (Ed.), Martin Suryajaya, Iqra Anugrah, Coen H. Pontoh, Mohamad Z. Hussein dan Stanley Khu

Penerbit : Marjin Kiri, 2015

Tebal: xvi + 186 halaman

DibalikMarx

 

 

“Mustahil memahami Marxisme atau menghadirkarkan gambaran komplet atasnya

tanpa akrab dengan semua tulisan Engels.” (V.I. Lennin)

 

BUKU yang ditulis oleh Dede Mulyanto, dkk ini memberikan gambaran konkret dan lengkap tentang sosok yang dengan suka cita memainkan peran sebagai teman, keluarga, penasehat, dan peran-peran lain yang mungkin bagi sebagian orang tidaklah terlalu penting, namun amat penting bagi seorang brilian-pencetus yang juga merupakan salah satu ideolog terbesar abad 20, Karl Marx. Ya, pentingnya sosok Engels yang sebelumya kita sering kenal sebagai juru tulis dan pengumpul selebaran konsep pemikiran Marx memang tidak terbantahkan. Pengakuan tentangnya bisa kita lihat dari pernyataan para ilmuwan bahwa Engels adalah “seorang pelopor sosiologi modern” (Mayer, 1989: 5) dan layak disandingkan dengan pemikir sekaliber Hegel, August Comte, Gampowicz, dan Thomas Weber. J.D. Bernald dalam tulisannya yang berjudul “Engels and Science” dalam Labour Monthly Pamphlet, menyatakan “jika saja Engels tak menjadi kawan Marx dalam perjuangan revolusioner abad ke-19, ia tak diragukan lagi akan dikenang sebagai salah seorang filsuf-ilmuwan terdepan dari abad itu,” (Bernald, t.t.:1). Pernyataan-pernyataan tersebut membuat saya sebagai pembaca diajak berpikir tentang duet maut terbesar abad 20. Rasa-rasanya sulit membayangkan sosok Marx tanpa Engels dan sosok Engels tanpa Marx. Tanpa keduanya, sepertinya dinamika perkembangan ilmu pengetahuan abad 20 tidak akan seganas itu.

Buku ini juga memicu perdebatan teoritik tentang sosok Engels beserta karya-karya terkenalnya. Beberapa sub bahasan dalam buku ini menarik dan layak untuk dijadikan rujukan, terlebih jika dihubungkan dengan kebutuhan pembaca. Tema-tema yang diangkat menarik dan aktual, dengan analisa khas Marxisme-Engelsian yang ilmiah. Alur tulisan pun dibuat sistematis, dengan pembahasan yang konkret dan tajam dari pengembangan karya-karya Engels. Para penulis yang cukup kompeten di bidangnya, melakukan analisis sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, sehingga setiap tulisannya menjanjikan sesuatu yang berbeda dan segar. Pada kesempatan kali ini, saya mencoba memberikan sedikit gambaran kepada pembaca tentang isu-isu yang diangkat dalam buku ini, dengan harapan setelah membaca tulisan ini pembaca akan semakin penasaran untuk mengetahui isi buku secara keseluruhan.

 

Biografi, Filsafat Alam, dan Perang Tani

Pada bab pertama, Dede Mulyanto bercerita tentang sejarah dan perjalanan hidup Engels. Dede memulainya dengan kondisi saat Engels dilahirkan, bahwa ia dilahirkan di tengah keluarga yang secara ekonomi dan strata sosial termasuk ke dalam golongan yang mapan. Hal ini membuat dirinya hanyut dalam gaya hidup borjuasi Eropa saat itu. Ayahnya, Engels Senior, merupakan pengusaha industri terkemuka di kota Barmen, Rheinland Prusia. Engels dibesarkan untuk melanjutkan bisnis keluarga yang sudah turun-temurun dikelola oleh kakeknya Johann Caspar.

Keadaan tersebut nyatanya tidak meredam sikap kritis dan naluri intelektual Engels sebagai seorang pemikir. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisannya yang dikirm ke Telegraf für Deutschland (‘Telegraf untuk Jerman’), yang mencakup tinjauan kritis terhadap pemikir-pemikir Jerman, esai sastra, artikel, dan lain-lain. Selain itu, Engels juga menyumbangkan tulisan ke Morganblatt für gebildete Leser (‘Koran Pagi untuk Pembaca Terpelajar’). Sikap kritisnya juga ditunjukkan lewat pengorganisiran kelompok anak muda yang memiliki kumis panjang, karena pada saat itu memanjangkan kumis adalah bentuk perlawanan menentang kaum filistin. Kondisi pelabelan negatif terhadap anak muda berkumis di Eropa hampir serupa dengan pelabelan terhadap pemuda gondrong pada zaman Orde Baru yang identik dengan urakan, bandel, dan kriminil. Hal ini merupakan bentuk protes kaum muda terhadap standar moralnya borjuis.

Dede juga membuat alur pertemuan dan persahabatan antara Engels dan Karl Marx dengan gaya romantik. Suka-duka keduanya membuat saya sedikit terharu, bahwa Engels dengan sukarela membantu kehidupan finansial keluarga Marx yang morat-marit. Mulai dari biaya hidup, tempat tinggal, merekomendasikan tulisan-tulisan Marx ke penerbit dan bahkan menulis artikel atas nama Marx hanya untuk menambah pundi-pundi royalti yang berguna dalam menyokong kehidupan Marx dan keluarga. Cerita-cerita tersebut menjadi nilai tersendiri dalam perjuangan sejarah mereka. Engels yang sering dianggap hanya sebagai bayangan Marx ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan Marx.

“Jendral” (nama panggilan keluarga Marx terhadap Engels) jugalah yang membuat Marx muda banting setir dari filsafat ke studi ekonomi-politik, dengan membenturkan kognisi Marx melalui risalah Ringkasan Kritik Ekonomi-Politik (terbit 1844). Risalah ini dikirim ke salah satu jurnal buruh migran asal Jerman di Perancis, yang salah seorang redaksinya adalah Marx. Hal itu merupakan awal mula ide penulisan Das Kapital yang menjadi adikarya kajian kritik ekonomi-politik.

Tidak sampai di situ, Engels juga menjadi motivator ulung dalam proses pengarahan karya Das Kapital. Ia memahami karakter Marx yang keras kepala, yang rela menghabiskan berjam-jam untuk belajar bahasa Rusia dan bahasa-bahasa lainnya hanya demi mempelajari sejarah masyarakat pra-kapitalis dan kolonialisme, dibandingkan dengan menyelesaikan karya Das Kapital itu sendiri yang rencananya akan dibuat sebanyak 6 jilid. Ia dengan setia memberikan motivasi agar Marx segera menyelesaikan Das Kapital. Namun apa daya, Marx meninggal lebih dulu sebelum karyanya rampung. Akhirnya, beban untuk merapihkan, mengumpulkan dan menyempurnakan ribuan tulisan Karl Marx yang tersebar dan acak itu jatuh ke tangan Engels. Sebuah beban yang tidak ringan, namun ia jalankan dengan baik. Das Kapital Jilid 2 dan 3 yang mungkin sebagian pembaca pegang saat ini, adalah hasil ketekunan dan kebrilianan Engels.

Hal yang paling berkesan dari persahabatan mereka adalah pada saat Engels menyampaikan pidato pemakaman Marx, ia berkata “seperti halnya Darwin menemukan hukum perkembangan alam organik, begitu pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia.” Di dalamnya tersirat makna yang sangat mendalam tentang penghormatan intelektual Engels terhadap sosok Marx, dan rasa sedih luar biasa atas kehilangan sahabat seperjuangan yang sangat berarti dalam perjalanan hidupnya.

Pada bab kedua buku ini, Martin Suryajaya mencoba merekonstruksi pemikiran Engels tentang filsafat, khususnya filsafat alam, untuk menunjukan bahwa sumbangan Engels demikian penting, tidak hanya bagi tradisi Marxisme tetapi juga bagi disiplin filsafat itu sendiri. Kita diajak untuk melihat rumus dan logika ilmiah yang filosofis dan dialektis, penuh dengan metode dan bentuk notasi logika. Kemudian, hal tersebut digambarkan dengan penjelasan intergral tentang dasar-dasar ontologi Marxisme, beserta keseluruhan kerangka pemikiran yang dibangun di atas filsafat alam materialisme Engels.

Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan gambaran rumus-rumus logika mungkin akan merasa sangat kebingungan. Ini merupakan ciri khas tulisan Martin, yang ketika tulisan-tulisan sebelumnya tidak dibaca dengan runut, pembaca akan menemukan kebingungan tersendiri. Akan tetapi, tulisan ini sangat cocok bagi mereka yang suka dengan gaya tulisan ilmiah saintis dan rumus logika. Membacanya hampir sama seperti anda membaca bab Logika dan Ilmiah dalam Madilog karya Tan Malaka.

Bab ketiga yang ditulis oleh Iqra Anugrah, terfokus pada pengkajian karya Engels tentang Perang Tani di Jerman dan imbasnya terhadap perkembangan historiografi Marxis. Engels adalah satu dari sedikit intelektual-aktivis yang dengan intensif mengangkat dimensi kelas, gender, agama dan kesadaran popular dalam penulisan sejarah orang-orang biasa (Pelz, 1998: 117-120). Sementara Marx sendiri lebih berkutat dengan analisis struktural dari studi petani. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika antropolog Marxis terkemuka, Eric Wolf (1987), menjuluki Engels sebagai salah seorang sejarawan sosial pertama. Dalam menjelaskan ini, penulis membuat alur tulisan secara sistematis dengan kajian historis yang lengkap dan pada bagian terakhir, ia juga membahas tentang implikasi praksis-metodologisnya.

Menurut Lipset (1959), klarifikasi atas posisi teoritik pendekatan Marxis-Engelsian dalam kajian petani dan historiografi popular menjadi penting, tidak hanya sebagai rujukan dalam perdebatan-perdebatan teoritik dalam interpretasi Marxisme kontemporer, namun juga sebagai kritik atas pendekatan modernisasi dan neoklasikal. Engels menempatkan petani sebagai mitra kaum proletariat sekaligus menepis tudingan anti-petani atas Marxisme. Hal ini juga dilakukan dalam rangka merumuskan kritik Marxis terhadap Stalinisme.

Di Indonesia sendiri, pembahasan lebih lanjut terhadap studi ini sangat menarik, karena mayoritas masyarakat Indonesia merupakan Masyarakat Petani dan/atau buruh tani. Jadi, menjadi hal yang relevan untuk melakukan kajian tentang masyarakat tani di Indonesia dalam perspektif Marxian. Tulisan di dalam bab ini sangat baik dibaca siapa saja, baik akademisi, kelompok intelektual maupun penggiat gerakan tani dalam rangka menambah referensi historis tentang kajian etnografi dan pergerakan kaum tani di belahan dunia serta kurun waktu yang berbeda, terutama untuk dijadikan referensi dan direfleksikan dengan kondisi saat ini.

 

Sosialisme Ilmiah, Agama, Hingga Evolusi Tangan

Pada bab keempat, Coen H. Pontoh mencoba mendiskusikan pemikiran politik Engels, khususnya mengenai teori negara. Dalam tulisan tersebut, Coen mencoba mengemukakan betapa pentingnya peran negara sebagai produk masyarakat kelas justru untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Ada dua hal yang menurut penulis paling penting dalam memahami teori negara untuk kepentingan politik Marxis: asal usul kemunculannya dan bagaimana hubungan antar kelas dalam konteks negara. Bab ini menarik dibaca dan dikaji lebih lanjut, khususnya bagi mereka yang tertarik dengan kajian politik dan ketatanegaraan.

Pada bab kelima, Mohamad Zaki Hussein mencoba membedah pemikiran Engels mengenal hal ihwal sosialime. Seperti yang kita ketahui, salah satu karya modern mengenai sosialisme karangan Engels yang berjudul Die Entwicklung des Sozialismus von der Utopia zur Wissenschaft (‘Perkembangan Sosialisme dari Utopia ke Ilmiah’), yang sebenarnya diambil dari tiga bab buku Anti-Dühring, berbeda dari pendekatan sosialisme lainnya. Engels mengulas sosialisme secara ilmiah. Maka dari itu, sosialime Engels dinamakan Sosialisme Ilmiah. Buku Anti-Dühring sendiri ditulis Engels untuk mengkritik pemikiran Eugen Karl Dühring, seorang pemikir Jerman yang menawarkan sosialisme versinya sendiri.

Gagasan sosialime Dühring dibasiskan pada sistem filsafatnya yang obsesif, yang dianggapnya telah merengkuh prinsip-prinsip totalitas kenyataan. Bagi Engels, pengetahuan yang bisa menangkap totalitas kenyataan adalah kemustahilan. Pasalnya, jika pengetahuan manusia bisa mencapai tahap “absolut” seperti itu, dan kehidupan di masyarakat disesuaikan dengan totalitas kenyataan yang sudah ditangkap oleh pengetahuan absolut tersebut, maka itu berarti tidak akan ada lagi perkembangan sejarah. Hal ini menurut Engels sangatlah absurd. Bagi Engels, tiap-tiap pengetahun tentang dunia akan selalu dibatasi oleh kondisi historis serta konstitusi fisik dan mental si pemikir. Meski demikian, pengetahun selalu berkembang tanpa akhir, sehingga keterbatasan pengetahuan di suatu periode akan dilampaui di periode berikutnya, dan demikian seterusnya ad infinitum (Engels, 1987: 35-6).

Berdasarkan analisis penulis dan pernyataan Engels di atas, dapat disimpulkan bahwa pengimplementasian program politik sosialime harus senantiasa disesuaikan menurut kebutuhan di tiap-tiap wilayah, karena tantangan kapitalisme akan berbeda di wilayah satu dengan yang lainya. Jangan sampai kita terjerat dalam jeratan sosialime Dühring, sebuah sosialisme yang idealis. Atau, meminjam istilah Hilmar Farid, Sosialisme Bank Dunia, sebuah bentuk sosialisme idealis yang apapun problemnya, sosialismelah jawabannya.

Pada bab 6, Stanley Khu mencoba mengangkat perspektif Engelsian dalam menguak kontradiksi-kontradiksi masyarakat Tibet di balik konflik dan dinamika keagamaan mereka. Tulisan yang berjudul “Di Balik Agama: Analisa Engelsian atas Konflik Keagamaan dalam Masyarakat Tibet” dibagi menjadi tiga bagian: perspektif Engels tentang agama dan konflik keagamaan, kontroversi Shugden yang menyeruak beberapa tahun ke belakang di dalam komunitas Buddhis Tibet di pengasingan, dan aspek ekonomi-politik dari kontroversi tersebut. Menurut Michael Löwy (1999: 3-5), Engels menampakkan minat lebih besar ketimbang Marx terhadap gejala keagamaan dan peran sejarahnya. Ia memberikan sumbangsih terhadap kajian Marxis mengenai agama yakni analisis mengenai hubungan antara lambang keagamaan dalam perjuangan kelas.

Apa yang menarik dari esai ini, bagi saya, adalah karena penulis menganalisis pandangan Engels mengenai dinamika sosial kegamaan kemudian menariknya ke kajian tentang teologi pembebasan. Esai ini juga melengkapi berbagai kajian keagamaan lain yang sering membenarkan tindak kekerasan dan anarkisme dalam tiap-tiap aksinya. Setelah kita membaca esai ini, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih besar tentang peran agama dan faktor penyebab kekerasan kolektif tersebut.

Pada bab terakhir, Dede Mulyanto mencoba menelusuri evolusi “tangan” kera sampai menjadi tangan manusia melalui esai berjudul “Prakondisi Anatomis Kerja”. Esai ini pada dasarnya ingin menjelaskan peran tangan yang secara biologis berfungsi sebagai organ pembuat perkakas. Seperti halnya Martin mengkaji filsafat Engels dengan metode dan notasi logika, Dede mencoba menganalisis lewat kajian biologi. Ia mencoba memberikan perbandingan para tokoh naturalis di zaman Engels seperti Darwin, Lamarck dan Lyell.

Peran pemikiran Engels, sebagaimana karyanya Dialektika Alam, mencoba mengurai dan memberikan perspektif sendiri tentang sejarah teori evolusi dan kaitannya dengan perkembangan kemajuan intelektual. Seperti pernyataannya dalam karya Dialektika Alam (1875-1876), bahkan mesin uap, sejauh sebagai perkakas berdaya untuk pengubahan alam, karena ia adalah perkakas, pada akhirnya bergantung pada tangan.

 

Penutup 

Peran Engels sangat penting dalam perjalanan hidup Marx, akan tetapi sangat sedikit, bahkan jarang sekali pembahasan terperinci tentangnya. Marx dan Engels seperti dua sisi mata pedang yang sama-sama tajam. Akan tetapi, Marx lebih banyak ditonjolkan karena sosok Engels dianggap sebagai peran pembantu di dalam perjalanan pemikiran Marx. Inilah sentral dari buku ini. Bukan saja untuk membantah hal tersebut, buku ini juga berupaya untuk merehabilitasi sosok dan pemikiran Engels sebagaimana mestinya. Sebagaimana diungkapakan Fritz Nova, Engels telah memberikan kontribusi teoritik yang sama besarnya dengan Marx, sehingga pantas disebut sebagai Engelsisme (Nova, 1967:90-91).

Terkhusus untuk pembaca, buku ini dapat menjadi pelengkap dalam mengkaji pemikiran Marxis mengenai sosok Engels dan menjadi referensi untuk kebutuhan mencari analisis pemikiran-pemikiran Engels. Terakhir, menurut saya, keunggulan utama dari buku ini adalah strukturnya yang sistematis. Kemudian, tiap-tiap tulisan dibedah dan disesuaikan dengan kebutuhan pembaca. Hal yang sedikit mengurangi nilai buku ini adalah minimnya pembedahan pemikiran Engels tentang topik lain yang sebenarnya cukup dominan dalam karyanya, semisal ihwal sejarah penindasan perempuan yang terdapat dalam Asal-Usul Keluarga, Hak Milik Privat dan Negara.

 

Daftar Bacaan Tambahan:

Bernal, J.D., t.t., “ Engels and Science,” Labour Monthly Phamplet, 6:1-15.

Carver, T., 2003. Engels: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press.

Engels, F., 1987. “Anti Dühring: Herr Eugen Dühring’s Revolution in Science,” dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works, Jilid 25, New York: International Publishers.

Meyer, A.G., 1899. “Engels as Sociologist,” International Journal of Comparative Sociology, 30    (1-2): 5-19.

Lipset, S. M., 1959. “Some Social Requisites of Demecracy: Economic Development and Political Legitimacy”, American Political Science Review, 53 (1): 69-105

Löwy, Michael, 2003. Teologi Pembebasan. Pustaka Pelajar & Insist.

Pelz, W. A., 1998. Class and Gender: Friedrich Engels’ Contribution to Revolutionary History”, Science & Society, 62 (1): 117-126.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.