BAGAIMANA kita bisa berharap dari gerakan pelajar dan mahasiswa hari ini? Problem ini, saya kira, yang menjadi urgensi dari diskusi antara Arjuna Putra Aldino, Arif Novianto, dan Andre Barahamin. Kelesuan dan minimnya respon terhadap situasi ekonomi, politik, hukum yang berkembang akhir-akhir ini menjadi tema yang penting dalam ketiga tulisan tersebut. Masalahnya adalah, situasi seperti apa yang kita hadapi hari ini, dan gerakan seperti apa yang bisa muncul dari situasi tersebut? Pertanyaan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari kondisi material dalam berbagai sektor kehidupan. Benar, seperti dikatakan Novianto, bahwa
‘…….komersialisasi pendidikan yang telah dan sedang berlangsung di kampus-kampus, tak bisa dilepaskan dari menjalarnya kapitalisme dalam segala sendi kehidupan.’
Tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa kapitalisme memiliki lokusnya yang berkembang biak dengan karakteristiknya masing-masing di berbagai sektor. Cengkeraman kapitalisme pada petani dan nelayan, tentu akan berbeda modus operasinya pada kelas menengah urban, buruh di perkotaan dan mahasiswa. Bila pada yang pertama, kapitalisme akan memiliki dampak langsung pada mekanisme produksi di pedesaan, maka apa yang direnggut dari kelas menengah yang memiliki akses lebih pada pendidikan di perkotaan? Bila kapitalisme menyebabkan petani kehilangan hak atas tanahnya, maka apa yang hilang dari mahasiswa yang hidup sehari-harinya ada di dalam kampus, bertemu dengan dosen, teman-teman sekelas, buku-buku wajib kuliah, absensi di kelas, dan aktivitas perkuliahan lainnya? Di titik inilah, menjadi penting untuk mengenali bagaimana kapitalisme beroperasi di kalangan akademisi, baik itu mahasiswa, dosen, pun semua kalangan yang menamai dirinya civitas akademik.
Buruh Akademik: Posisi Mahasiswa Dalam Formasi Diskursus Neoliberalisme
Gerakan mahasiswa, harus diakui, seringkali membicarakan tema yang beragam, namun anehnya selalu berakhir dengan kesimpulan yang seragam. Misalnya, UU BHP tahun 2009 (meskipun dibatalkan oleh MK), dipahami sebagai satu bentuk komersialisasi pendidikan. Begitu juga dengan UU Perguruan Tinggi tahun 2012, dipahami juga sebagai bentuk lain komersialisasi pendidikan. Dalam berbagai materi kaderisasi organisasi mahasiswa pun, kita terbiasa menggunakan bahasa yang sama untuk berbagai periode penting dalam gerakan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Sebut saja ‘NKK/BKK’, ia dipahami hanya sebagai bentuk pelarangan aktivitas berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Kita tidak pernah tahu bagaimana gagasan ‘pelarangan organisasi intra dan ekstra’ itu diartikulasikan dalam diskursus yang hadir dalam periode dimaksud. Begitu pula dengan peristiwa Malari, ia dipahami sebagai gerakan ‘menolak masuknya modal asing (Jepang) ke Indonesia. Kalau kita sebagai peserta kaderisasi ingin melatih diri untuk berpikir kritis, tentu kita bisa usil melontarkan pertanyaan kepada pemateri : “Kenapa harus ditolak?”, “Apa implikasinya bila modal Jepang masuk ke Indonesia?”, “Bagaimana kondisi sosio-ekonomi saat itu?”, dan sebagainya. Main potong dan mengulang-ulang satu penjelasan tentang satu peristiwa dalam periode tertentu inilah yang dimaksud Barahamin dengan ‘memori’ dan ‘romantika’. Akibatnya, aktivis-aktivis gerakan mahasiswa tidak pernah mendapatkan jawaban yang utuh dan komprehensif terhadap satu peristiwa dalam sejarah gerakannya sendiri!
Kondisi seperti inilah yang diwarisi oleh para aktivis gerakan mahasiswa. Berbagai momen penting dalam sejarah ditangkap sepotong-sepotong hanya berdasarkan cerita dari aktivis pendahulunya. Maka tak heran aksi-aksi gerakan mahasiswa hampir tak pernah menemukan metode baru yang spesifik untuk menjelaskan situasi-situasi aktual hari ini. Ia tenggelam dalam kegagahan orasi, heroisme aksi bakar ban dan bentrok dengan aparat. Sesudah itu, lalu pulang ke kamar kos dan lahirlah reproduksi cerita kegagahan masa muda, kala menjadi aktivis mahasiswa.
Bagaikan dua sisi mata uang yang sama, sibuknya mahasiswa di bangku kuliah, kebijakan-kebijakan institusional berbasis kampus seperti disebutkan Barahamin dalam tulisannya, mengarahkan mahasiswa menjadi tenaga kerja siap guna. Artinya, mahasiswa sebisa mungkin dipersiapkan untuk menjadi abdi-abdi neoliberalisme yang termanifes dalam perusahaan-perusahaan, baik lokal hingga multinasional. Ia dicetak untuk menjadi penopang sistem yang mapan hari ini. Maka, bila pengetahuan itu terlembaga dalam institusi pendidikan, seluruh kerja di dalamnya adalah proyek jangka panjang neoliberalisme. Di titik inilah, kita mendapatkan konteks untuk konsepsi immaterial labour yang digunakan Antonio Negri dan Michael Hardt. Bahwa kerja-kerja immaterial memiliki surplus nilainya sendiri, berbeda dengan kerja material. Bila petani, nelayan atau buruh menghasilkan nilai dari tangkapan dan hasil panennya, maka mahasiswa akan mendapatkan surplus nilainya sendiri berupa relasi sosial.[1] Relasi sosial maupun surplus nilai, baik yang dihasilkan oleh buruh immaterial maupun material, pendeknya hanya akan menempatkan subjeknya, -siapapun itu-, sebagai buruh-buruh yang menghasilkan komoditas. Ya, hanya komoditas! Disinilah sebenarnya kritik Andre Barahamin terhadap gerakan mahasiswa. Bahwa dalam kapitalisme pasca-Fordisme, dunia telah menjelma menjadi pabrik. Apapun yang dihasilkannya tak lain adalah komoditas yang siap dilempar ke pasar, dan meriuhkan kontestasi jual-beli di dalamnya. Maka, tentu tidak bijaksana, sekaligus menjadi bias bila situasi demikian ditanggapi secara emosional, dan dianggap menonjolkan ego sektoral.
Kita bisa saja mengutip Lenin secara brutal tanpa harus menjadi seorang Leninis. Argumentasi Novianto pada beberapa bagian dalam tulisannya nampak mengarah kesana. Kekhawatiran saya adalah, siapkah mahasiswa hari ini untuk menjalankan berbagai strategi gerakan seperti live in, hidup di tengah-tengah massa rakyat, mengorganisir buruh dan petani seperti disarankan Novianto dalam bagian akhir tulisannya? Tidakkah mereka khawatir akan di-DO karena terlalu lama bolos kuliah, atau karena mengerjakan skripsi hingga 4-6 semester? Cukup objektifkah pembacaan kita teks-teks Lenin, Gramsci, Ernst Mandel dan sederet tokoh intelektual Kiri lainnya? Tidak adakah konfigurasi historis yang berbeda jaman ini dengan jaman ketika teks-teks tersebut ditulis?
Dengan demikian, melihat bahwa mahasiswa juga adalah bagian dari jejaring produksi kapitalisme hari ini, maka menjadi penting untuk memulai kerja-kerja pengorganisiran di tingkatan kampus. Ini berarti gerakan mahasiswa tidak hanya akan merangkul mahasiswa saja, tapi juga berbagai elemen yang terlibat dalam kerja-kerja baik akademis maupun non-akademis di tingkatan kampus, mulai dari rektor, dekan, mahasiswa, pegawai administrasi, hingga tukang sapu.
Pentingnya Klaim Pengetahuan: Meretas Jalan Menuju Otonomi Produksi Kognitif
Otonomi kognitif bukan berarti melepaskan diri dari institusi pendidikan yang menjadi basis bagi gerakan mahasiswa. Sebaliknya, ia justru hadir sebagai antitesa dari diskursus dominan pendidikan yang mencetak tenaga-tenaga siap pakai bagi korporasi. Kondisi objektif hari ini adalah kita berada dalam relasi sosial yang timpang, dimana neoliberalisme mengkooptasi seluruh niat baik kita. Slogan-slogan kampus nan humanis faktanya tak jua membuat kita beranjak dari kondisi ketimpangan yang sedang kita alami. Aksi-aksi filantropik dari kalangan kelas menengah perkotaan tak menyelesaikan apa-apa, selain menuntaskan rasa bersalah yang dirasakan oleh para aktornya. Begitu juga slogan-slogan mahasiswa sebagai agent of change, penggerak perubahan dan lain-lain hanya menjadi heroisme yang diteriakkan kala ospek fakultas dan jurusan. Ia lumpuh sejenak, lalu bangkit kembali sebagai mur dan baut yang dilumasi oleh keringat kerja buruh di berbagai sektor. Ia larut dalam gegap gempita pasar bebas. Lalu dari mana sebaiknya kita mulai? Apa yang harus dilakukan?
Mahasiswa, di tengah kerja pengorganisirannya, di tengah-tengah masyarakat yang harus disadarkan akan peran sejarahnya, mutlak juga memerlukan sebuah klaim pengetahuan bagi masyarakat tersebut. Mahasiswa harus memiliki produk pengetahuan. Ia harus meretas jalan menuju otonomi produksi kognitif sebagai medan perjuangannya, medan dimana ia biasa bergelut dalam kesehariannya. Disinilah tawaran untuk live in itu menemukan relevansinya. Bila kerja imaterial menghasilkan relasi sosial sebagai produknya, maka ia harus ditunggangi juga oleh produk pengetahuan yang dihasilkan mahasiswa dari refleksinya tentang gerakan dan problem-problem aktual di tengah masyarakat. Metode ini sekaligus membuat kita tak lagi bisa bergenit-genit dengan teori, – karena apa yang dihasilkan dari metode tersebut adalah refleksi dari basis material problem yang dihadapi-, menolak anggapan ‘menara gading’ kampus, dan riset-riset yang ditelurkan juga tangguh dan dapat terverifikasi secara ilmiah. Sehingga skripsi-skripsi yang ditulis oleh para aktivis gerakan mahasiswa juga akan memiliki karakteristiknya yang khas, yang berbeda dengan para mahasiswa/i yang tidak pernah terlibat dalam kancah gerakan. Aktivis gerakan mahasiswa tidak akan menulis skripsi yang berjudul ‘Pengaruh Kawat Gigi terhadap Penampilan Pemuda Perkotaan’, misalnya.
Langkah selanjutnya, bila gerakan mahasiswa sudah mulai menemukan konteks aktivismenya, menemukan produk pengetahuan di luar narasi neoliberalisme yang berlaku saat ini, barulah kita bisa mengupayakan eksperimentasi tatanan sosial baru yang menghapuskan segala bentuk ketimpangan seperti yang kita alami sekarang. Demikianlah, maka gerakan mahasiswa akan selalu berupaya untuk menemukan alternatif-alternatif yang segar, bukan sekedar repetisi memori dan romantika. Bukankah tidak akan ada praktek revolusioner tanpa teori yang revolusioner?***
Penulis adalah pengelola Unit Gerakan dan Eksperimentasi Koperasi Riset Purusha
————
[1] Saya menggunakan mahasiswa disini agar tidak melenceng dari tema diskusi kita. Sejatinya, kerja immaterial juga termanifestasikan dalam banyak aspek.