Devy Dhian Cahyati, Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Politik Pemerintahan UGM
Judul buku: Class Dynamics of Agrarian Change
Penulis: Henry Berntein
Penerbit: Fernwood Publishing, 2010
Tebal buku: xi +139 hlm
AKHIR-akhir ini persoalan yang menimpa masyarakat pedesaan semakin serius seiring dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sarat dengan kepentingan neoliberalisme. Mulai dari semakin mahalnya harga pupuk dan benih sebagai akibat dari pencabutan subsidi hingga hancurnya harga hasil pertanian karena adanya impor. Tentu kita belum lupa bagaimana Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai salah satu program dalam Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah memporakporandakan sumber penghidupan masyarakat Papua, di antaranya dengan menghancurkan sumber-sumber pangan lokal (babi, sagu, rusa), melakukan perampasan tanah skala luas dan menciptakan krisis pangan (busung lapar dan malnutrisi utamanya dialami oleh perempuan dan anak-anak).[1]
Ide pembangunan food estate dengan komoditas jagung, kedelai, padi tebu di wilayah Kalimantan pun telah digulirkan oleh pemerintah Jokowi untuk mencapai swasembada pangan. Keberadaan program ini menuntut adanya alih fungsi lahan, pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti pembangunan irigasi. Pemerintah menjanjikan adanya lapangan pekerjaan baru untuk petani sehingga akan menyejahterahkan petani. Namun, apa yang bisa dihasilkan dari pertanian yang dikendalikan oleh kapitalisme selain perampasan sumber kehidupan petani?
Penguasaan kapital dalam sektor pertanian telah terjadi ketika pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan revolusi hijau. Revolusi hijau menjadi program yang bertujuan untuk memodernkan pertanian dengan teknologi pertanian. Meskipun di satu sisi revolusi hijau berhasil meningkatkan produksi pertanian dengan hadirnya teknologi dalam bidang pertanian, namun di sisi lain program ini menghasilkan ketimpangan dan marjinalisasi terhadap petani kecil dan buruh tani.
Untuk memahami kemelut agraria yang terjadi di Indonesia, buku Henry Bernstein yang berjudul Class Dynamic of Agrarian Change dapat menjadi pengantar yang baik. Buku ini merupakan volume pertama dalam seri studi petani dan perubahan agraria yang dilakukan oleh ICAS (Initiatives in Critical Agrarian Studies). Dalam pengantarnya, Saturnino M. Borras Jr, menyebut pentingnya buku ini yaitu demi kepentingan strategis lensa analitis dari ekonomi politik agraria dalam kajian agraria.
Dinamika Kapitalis Pertanian
Buku setebal tidak lebih dari 150 halaman ini menjelaskan ekonomi politik agraria sebagai upaya untuk mengidentifikasi hubungan sosial dari proses dan reproduksi, kepemilikan, kekuasaan dalam formasi agraria dan bagaimana perubahannya. Bernstein melakukan kajian ini dengan menggunakan kacamata ekonomi politik Marxis untuk memahami bagaimana kapitalisme telah bercokol dalam dunia pertanian hingga ekonomi industri menyerbu. Penelitian dengan pendekatan Marxis berfokus pada cara bagaimana kapital diakumulasi untuk mendapatkan nilai lebih (surplus). Dengan pendekatan ini, Bernstein mencoba untuk menjelaskan kompleksitas pertanian kapitalis, sejak permulaan modus produksi pra kapitalis hingga bentuknya saat ini.
Pendekatan ekonomi politik agraria berfokus pada penjelasan perubahan agraria melalui lensa perjuangan kelas, diferensiasi petani, skala dan integrasi produksi, dan transisi ekonomi.[2] Dalam menggunakan analisis ini, Peter Dauvergne dan Kate J. Neville berusaha menambahkan dinamika internasional dan institusi pada analisis struktural berbasis kelas, khususnya dengan berfokus pada pengaruh hubungan negara dan Multi National Corporation (MNC) ataupun negara lain, serta peran keuntungan produksi dalam hubungan pemegang modal dan tenaga kerja. Pengintegrasian hubungan kelas dan akumulasi yang tidak merata dalam analisis ekonomi politik global membantu menjelaskan bagaimana eksploitasi yang dilakukan terhadap masyarakat miskin pedesaan.[3]
Bernstein menjelaskan mengenai perubahan agraria dalam dunia modern yang berfokus pada analisis kapitalisme dan pembangunan. Dalam kapitalisme, sistem produksi dan reproduksi berbasis pada relasi sosial antara kapital dan buruh: kapital mengeksploitasi buruh demi mengejar keuntungan dan akumulasi. Kapitalisme telah bercokol dalam sektor agraria sejak sebelum revolusi industri berlangsung di Eropa Barat. Marx telah menganalisis modus produksi kapitalis dengan merujuk pada kapitalisme industrial di Eropa Barat, dengan mempertanyakan dua hal.[4] Pertama, bagaimana kapitalisme dibangun di masyarakat agraria awal sebelum industrial. Kedua, bagaimana perubahan agraria dibentuk oleh kapitalisme industri.
Di dalam bab pertama, Bernstein mengenalkan mengenai produksi dan produktivitas. Produksi dipahami sebagai proses dimana buruh dipakai untuk mengubah alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan produktivitas merupakan kuantitas yang dihasilkan dari penggunaan sumber daya tertentu. Ukuran produktivitas petani dihitung dari seberapa banyak ia dapat memproduksi hasil pertanian. Sedangkan produktivitas buruh tergantung pada alat dan tehnologi yang digunakan. Di bagian lain bab ini, Bernstein menyebut ada empat pertanyaan kunci untuk melihat relasi sosial dari produksi dan reproduksi dalam ekonomi politik agraria. Pertama, siapa memiliki apa. Pertanyaan ini berfokus pada hubungan sosial dari perbedaan rezim property/kepemilikan: bagaimana produksi dan reproduksi didistribusikan. Kedua, siapa melakukan apa. Pertanyaan ini terkait dengan siapa yang melakukan aktivitas produksi dan reproduksi yang tersusun oleh hubungan sosial dalam unit produksi, produser, laki-laki dan perempuan dan perbedaan kelas dalam masyarakat agraria. Ketiga, siapa mendapatkan apa. Keempat, apa yang mereka lakukan dengan itu.[5] Pertanyaan-pertanyaan ini sangat berguna untuk memahami bagaimana dinamika ekonomi politik dibentuk, yang didapatkan dari analisis wacana kontemporer dan kebijakan yang memungkinkan komodifikasi lebih besar.[6]
Di bab kedua, Bernstein memaparkan mengenai asal mula pembangunan kapitalisme dan mengenalkan konsep akumulasi primitif. Akumulasi primitif merupakan proses dimana masyarakat pra kapitalis melakukan transisi menjadi masyarakat kapitalis. Keadaan sosial dari produksi kapitalis, eksploitasi dan akumulasi telah ditetapkan melalui sarana yang tersedia pada masyarakat pra kapitalis. Dengan demikian, akumulasi primitif diidentifikasi sebagai relasi dan dinamika non pasar atau “paksaan ekonomi”. Melalui akumulasi primitif inilah, dengan perlahan petani dipisahkan dari alat produksinya (terutama tanah) sehingga mereka menjadi buruh. Hannah Arendt melihat bahwa akumulasi primitif yang menjadi awal dari akumulasi lebih lanjut, harus berjalan secara berulang-ulang, karena jika tidak, motor penggerak akumulasi akan segera berhenti. Akumulasi primitif ini menjadi suatu kekuatan yang penting dan terus hidup dalam geografi historis akumulasi kapital melalui imperialisme.[7] Di sini Bernstein membedakan asal mula kapitalisme agrarian ke dalam dua hal. Pertama, melalui jalan transisi agraria seperti yang terjadi di Inggris, Prusia dan Amerika. Kedua, melalui kapitalisme komersial dimana kapitalisme agraria dilakukan melalui penjarahan dan kontrol buruh oleh kapital.
Di bab selanjutnya, Bernstein menjelaskan mengenai kolonialisme dan pengaruhnya di Amerika Latin, Asia Selatan, dan sub Sahara Afrika. Kolonialisme yang diawali pada abad ke-16 dikendalikan oleh krisis feodalisme dan berkembangnya kapitalisme. Kolonialisme mengalami perubahan bentuknya hingga di abad ke-20 menjadi kapitalisme industri dan imperialisme modern. Investasi kolonial lebih diarahkan pada sektor ekstraktif seperti perkebunan, penambangan dan menciptakan sarana transportasi yang dapat menghubungkan pasar.
Bernstein menjelaskan bahwa pola perubahan agraria pada masa kolonial memiliki karakteristik tersendiri. Pertama, kolonialisme di Asia dan Afrika terjadi selama konsolidasi ekonomi kapitalis dari akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20. Pemerintah kolonial menciptakan “perkebunan industrial” gaya baru yang membutuhkan tenaga kerja besar yang diambil dari petani miskin dan pekerja yang tidak memiliki tanah karena didorong kebutuhan ekonomi. Selain itu, perkebunan industrial menuntut penanaman yang sesuai dengan kebutuhan pasar seperti karet, minyak sawit, katun, makanan (kopi, teh, gula, cokelat dan pisang) sebagai konsumsi negara industri. Pola perubahan yang lain yaitu bertambahnya penyatuan pertanian kolonial di Asia dan Afrika sebagai produsen tanaman ekspor (katun, minyak sawit, karet, kacang tanah, tembakau, kopi dan cokelat), bahan pokok makanan untuk pasar domestik dan ekspor dan tenaga kerja, migrasi tenaga kerja untuk membangun jalan kereta dan jalan aspal untuk berkerja di perkebunan, pertambangan dan pelabuhan. Dalam konteks Indonesia, menguatnya ekonomi politik borjuis Belanda memengaruhi pembentukan politik pertanahan, khususnya hubungan negara dengan tanah. Strategi ini dilakukan untuk mempermudah kapitalisasi di sektor perkebunan bagi para pengusaha.[8]
Di dalam bab empat, Bernstein memaparkan perubahan pertanian yang masih mengandalkan alam dalam proses produksi (termasuk air hujan) menjadi agrikultur yang dikendalikan oleh kapitalisme modern. Istilah pertanian (farming) dibedakan dengan agrikultur (agriculture). Pertanian mengacu pada aktivitas yang bergantung pada kondisi alamiah sehingga petani harus memiliki pengetahuan ekologi, serta penggunaan alat-alat sederhana seperti cangkul, kapak atau parang. Sedangkan agrikultur merupakan pertanian kapitalisme modern yang disertai dengan kepentingan ekonomi, dan mampu memengarui aktivitas dan reproduksi petani. Bab ini mencakup periode 1870an hingga 1970an, yang meliputi pembentukan pembagian kerja internasional dan perdagangan sembako biji-bijian, naik turunnya rezim makanan internasional, dan periode developmentalisme di Selatan. Namun, di sini Bernstein kurang mengeksplorasi perubahan agraria yang terjadi melalui kebijakan revolusi hijau yang terjadi di Indonesia dan di negara-negara lain, sebagaimana yang disampaikan oleh Michael Watts. Padahal, revolusi hijau merupakan fenomena yang kompleks dalam pertanian di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Di awal tahun 1970an, ekonomi kapitalis mengalami proses perubahan besar dengan hadirnya globalisasi. Globalisasi mengacu pada bentuk baru dari restrukturisasi kapital skala dunia yang di antaranya meliputi: deregulasi pasar finansial dan finansialisasi semua aktivitas ekonomi; menambah deregulasi perdagangan internasional; mengubah produksi, sumber dan strategi penjualan serta teknologi dari agribisnis transnasional dan korporasi manufaktur; penggunaan teknologi informasi untuk aktivitas ekonomi (produksi dan marketing) dan komunikasi massa. Mengutip Harvey, Bernstein menyebut bahwa adanya globalisasi neoliberal menunjukkan perubahan dan dinamika yang saat ini terjadi bukan hanya pengaruh dari siklus alam dan kontradisi kapital (over produksi, over akumulasi dan menekan tingkat keuntungan), tetapi merupakan program ideologi dan politik neoliberalisme untuk menyelesaikan masalah kapital. Program neoliberal ini berfokus untuk mempromosikan kebebasan dan mobilisasi kapital.
Globalisasi neoliberal membawa dampak yang sangat besar dalam dunia agrikultur. Pertama, munculnya kecenderungan untuk memperdalam relasi komoditas, tetapi dengan mengurangi tingkat investasi, kontrol, mengurangi atau menghapus subsidi langsung dan tidak langsung, khususnya pada petani skala kecil oleh negara. Pengaruh globalisasi neoliberal pada pertanian cenderung mempengaruhi petani kecil dan miskin di negara Selatan. Kedua, mengejar pembangunan nasional melalui industrialisasi dan produksi pasar domestik (subtitusi impor). Orientasi pasar domestik yang berorientasi pembangunan digantikan oleh promosi produksi ekspor. Ketiga, komodifikasi dan spesialiasasi produksi komoditas pertanian dilakukan oleh petani yang berbeda di tempat berbeda. Dengan berkuasanya globalisasi neoliberal yang membawa dampak buruk terhadap dunia pertanian, apakah turut mengakhiri keberadaan petani kecil? Mengikuti Araghi, Bernstein menyebut bawa upaya depeasantization[9] tidak menghilangkan kelas petani. Hal ini karena kelas sosial tidak mudah hilang begitu saja, mereka terus hidup dan bertransformasi melalui perjuangan kelas.
Perjuangan kelas ini menjelma dalam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani kecil yang didorong oleh pembangunan kapitalis yang tidak merata, komodifikasi, dispossession, dan proletarisasi petani sejak masa kolonial. Merujuk Wolf, McMichael, dan Scott, Bernstein menyebutkan bentuk-bentuk perlawanan petani dalam skala besar maupun kecil, heroik dan mendunia. Skala heroik dapat dilihat dalam buku Eric Wolf dengan studi kasus di Meksiko, Rusia, China, Vietnam, Algeria dan Kuba dari tahun 1900 sampai 1960. Sekarang ini, perlawanan skala heroik diekspresikan dengan yang menghasilkan gerakan resistensi agraria global.
Formasi Kelas dan Kompleksitasnya
Kelas, menurut Bernstein, didasarkan pada hubungan sosial dari produksi. Sebuah kelas hanya dapat diidentifikasi hubungannya dengan kelas lain. Misalnya petani keluarga di negara-negara selatan dilihat sebagai kelas yang dieskploitasi secara historis oleh kapital, negara dan pusat akumulasi ketika periode kolonialisme dan developmentalisme. Namun, sekarang kelas ini menjadi subjek dalam proses dispossession dan marginalisasi yang berimplikasi pada berkurangnya jumlah petani kecil karena pertanian kapitalis tidak lagi membutuhkan keberadaan mereka. Beberapa ilmuwan melihat bahwa petani keluarga di Selatan sebagai kelas yang secara historis dieksploitasi oleh kapital dan negara serta menjadi pusat akumulasi selama periode kolonialisme dan pembangunan. Namun di era neoliberalisme seperti saat ini, kelas menjadi subjek dari disposisi, atau global depeasantization.
Kelas kapitalis sendiri selalu berusaha melakukan akumulasi kapital dan meningkatkan nilai surplus (surplus value). Kelas ini memiliki dua kepentingan, yaitu mempertahankan posisi kekayaannya (ditambah dengan kepentingan untuk menaikkan posisi jika memungkinkan) dan mempertahankan sistem sosial yang telah memberinya kesempatan untuk mengakumulasi kekayaan pribadi.[10] Dalam konteks penguasaan sumber daya agraria, kekuasaan kapital menggunakan strategi ganda yaitu dengan mereka mengalokasikan pendapatan untuk harga tinggi/investasi jangka panjang dan membuka serta mengadaptasi wilayah baru untuk pengembangan industri. Strategi investasi ini didukung oleh kebijakan diskursif yang diperkuat oleh negara, non negara, agen parastatal dan dibentuk oleh pemerintahan ekstraktif yang didukung oleh kapitalis dan logika kekuasaan teritorial. Untuk itulah perusahaan mengontrol sumber daya dan (minimal) tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi.[11]
Untuk memahami dinamika kelas dalam pertanian keluarga, Bernstein menjelaskan kompleksitas kelas dalam relasi dan dinamika komodifikasi, produksi komoditas kecil, diferensiasi dan kelas buruh dalam kapitalisme. Komodifikasi merupakan proses dimana elemen produksi dan reproduksi sosial dihasilkan dari dan untuk proses pertukaran pasar yang sifatnya mendisplinkan dan memaksa. Proses komodifikasi yang terjadi dalam pertanian skala kecil memiliki beragam variasi. Misalnya konversi tanah dan konversi ke dalam kepemilikan privat seperti yang terjadi dalam akumulasi primitif di Inggris.
Dinamika produksi komoditas kecil (petty commodity production) dalam kapitalisme menggabungkan kelas dalam satu tempat, baik modal maupun buruh. Misalnya pertanian, modal tanah, peralatan, bibit, pupuk, bahan kimia, buruh ditempatkan dalam bentuk keluarga atau rumah tangga. Menurut Bernstein, hal ini menjadi kesatuan yang kontradiktif karena beberapa alasan. Pertama, penempatan kelas tidak didistribusikan secara merata dalam pertanian rumah tangga, khususnya pembagian gender dari kepemilikan, tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran. Kedua, ada kontradiksi antara reproduksi alat produksi (kapital) dan reproduksi produsen (buruh). Ketiga, kontradiksi penempatan kombinasi kelas merupakan sumber diferensiasi dari perusahaan komoditas kecil.
Pendekatan ini berlawanan dengan asumsi yang menyatakan bahwa petani kecil di Selatan merupakan petani subsisten yang tujuannya memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Bernstein berargumen bahwa pertanian rumah tangga telah diintegrasikan dalam hubungan komoditas kapitalis, dan menjadi subjek bagi dinamika dan pemaksaan komodifikasi yang diinternalisasikan dalam relasi dan praktik. Jika pertanian hanya sebatas untuk konsumsi, hal ini karena mereka diintegrasikan dalam hubungan komoditas, misalnya dengan menjual tenaga mereka. Dalam kasus ini, biasanya produksi subsisten dibiayai dari upah, yang juga digunakan untuk membeli makanan ketika pertanian tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Misalnya ketika petani mengalami gagal panen.
Selain komodifikasi dan produksi komoditas kecil, diferensiasi kelas menjadi bagian penting untuk melihat kompleksitas kelas dalam dunia pertanian. Ketika berakhirnya masa kolonial, petani kecil terjebak dalam proses komodifikasi. Bernstein, dengan mengacu pada Lenin, melihat adanya diferensiasi kelas dari petani kaya, menengah dan miskin. Pertama, petani yang mampu mengakumulasi aset produksi dan mereproduksi diri sebagai kapital dalam skala besar, dan mampu memperluas reproduksi merupakan petani kapitalis (Lenin menyebutnya dengan petani kaya). Petani kapitalis seringkali berinvestasi dalam aktivitas penyokong pertanian. Misalnya dalam penjualan hasil panen, perdagangan eceran dan penguasaan transportasi, meningkatkan kredit, menyewakan binatang, traktor dan menjual air irigasi. Kelompok ini juga berinvestasi dalam aktivitas perkotaan misalnya pendidikan untuk anak, beralienasi dengan pejabat pemerintah, dan turut mempengaruhi proses politik dalam pemilihan umum.
Kedua, petani yang mampu mereproduksi diri sebagai kapital pada produksi dengan skala sama dan tenaga kerja dalam skala konsumsi yang sama disebut dengan petani menengah. Pertanian skala menengah ini mengkombinasikan pertaniannya dengan aktivitas non pertanian, termasuk migrasi tenaga kerja, sebagai sumber pendapatan untuk menyokong kegiatan pertanian. Ketiga, petani yang berjuang untuk mereproduksi diri sebagai kapital, dan memproduksi diri sebagai tenaga kerja untuk pertanian mereka merupakan golongan petani miskin.
Komodifikasi, basis kelas dalam produksi komoditas kecil dan diferensiasi kelas pertanian keluarga menyoroti dimensi lain yaitu kelas buruh. Dengan mengutip dari Panitch dan Ley, Bernstein mendefinisikan kelas buruh sebagai “the growing numbers…who now depend – directly and indirectly – on the sale of their labour power for their own daily reproduction.” Kelas ini tidak dihalangi untuk mereproduksi dirinya, tetapi juga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mereproduksi diri, yang menandai batas kelayakan sebagai produsen komoditas pertanian kecil. Buruh di pedesaan ini terdiri dari buruh desa “proletarianized” yang tidak memiliki tanah dan petani marjinal atau petani miskin. Kategori buruh ini memiliki batasan sosial yang berubah-ubah, dimana bisa dipekerjakan dalam pertanian kapitalis maupun produksi komoditas kecil di wilayah mereka atau di wilayah lain.
Krisis 1997 yang menimpa negara-negara di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, turut memengaruhi terjadinya transformasi di sektor pedesaaan yang berhubungan dengan bertambahnya jangkauan pasar dan komoditasi kepemilikan publik, produksi dan hubungan sosial. Konversi tanah pun terus dilakukan oleh penyewa kecil hingga konglomerat transnasional, yang berkepentingan dalam mengambil kesempatan untuk meningkatkan tuntutan pasar globalisasi untuk komoditas eksotik, termasuk kayu, biofuel dan produk makanan ekspor sehingga memperdalam transisi agraria di Asia Tenggara.[12]
Dengan bertambahnya integrasi ke dalam pertukaran pasar global, akses tanah, tenaga kerja, kapital keuangan dan teknologi dimodifikasi, telah menciptakan elit desa baru, petani kelas menengah dan kesenjangan yang lebih besar dalam komunitas desa. Ketika beberapa individu diuntungkan dari bertambahnya komoditasi dan linkaged dengan pasar regional dan global, hanya segelintir orang saja yang terlibat, sementara yang lain tidak mendapat manfaat dari bertambahnya pelanggaran hak indigenous, berkurangnya akses pada sumber daya dan meningkatnya jumlah konflik.[13]
Di dalam bab terakhirnya, Bernstein menjelaskan mengenai kompleksitas kelas -secara sosiologi ekonomi dan sosiologi politik—dengan menjelajahi gagasan relasi kelas yang universal tetapi bukan penentu praktik sosial dalam kapitalisme. Perjuangan atas kelas juga menjadi pembahasan Bernstein di akhir bukunya. Perjuangan terjadi di pedesaan negara-negara selatan yang memanifestasikan agensi politik dan konfrontasi beberapa aktor. Perjuangan kelas ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akibat penindasan yang dihasilkan oleh kekuasaan kapital. Gerakan-gerakan agrarian bukan hanya dilakukan dalam skala regional dan nasional, tetapi juga dalam skala transnasional. Gerakan agraria ini bertujuan untuk menentang korporatisasi pertanian yang telah merugikan petani. Gerakan ini mewujud dalam gerakan global untuk mempertahankan dan merebut kembali “jalan petani” seperti yang dilakukan oleh La via Campesina. Gerakan agraria transnasional yang dilakukan oleh La via Campesina, serta organisasi yang lain, dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya yaitu dengan melemahkan konferensi besar yang diadakan oleh lembaga transnasional (seperti WTO, IMF), melakukan aksi dramatis untuk menarik perhatian publik, dan juga masuk serta menempati badan konsultatif di bawah PBB seperti FAO, IFAD, UNHCR.[14] Gerakan-gerakan ini terus dilakukan sebagai respon terhadap menguatnya neoliberalisme yang menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan, terutama bagi petani kecil di pedesaan yang mengalami perampasan tanah.
Dalam kesimpulannya, Bernstein menyatakan bahwa kompleksitas analisis dinamika kelas dalam proses perubahan agraria yang disajikan dalam buku singkat ini, merupakan upaya untuk bergulat dengan beberapa kompleksitas kapitalisme yang secara nyata berkuasa hingga hari ini. Sehingga penting bagi aktivis gerakan untuk memahami dinamika kelas sebagai titik awal untuk menganalisis perubahan agraria di tengah kapitalisme yang terus menguat.
Bernstein menjelaskan dengan cukup detail dinamika kelas yang terjadi dalam dunia pertanian jauh sebelum revolusi industri hingga tumbuhnya globalisasi neoliberal yang menghantam negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun, menurut saya, Bernstein kurang mengupas bagaimana perdagangan bebas sebagai proyek liberalisasi perdagangan di kawasan seperti AFTA (Asean Free Trade Area), ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) berkontribusi penting dalam perubahan agraria di kawasan Asia. Masing-masing negara berlomba membangun industri pertanian yang berorientasi ekspor. Sementara pada saat yang sama, petani kembali tersisih seiring dengan pencabutan subsidi pupuk dan mahalnya biaya pertanian. Meskipun demikian, buku Bernstein ini penting untuk memberikan pemahaman dinamika kelas dalam perubahan agraria yang terjadi hingga sekarang ini. Dengan dilengkapi glosarium, pembaca mendapatkan kemudahan untuk memahami istilah-istilah yang sulit dimengerti.
Bacaan Tambahan
Borras, Saturnino M, et all. 2010. Gerakan-Gerakan Agraria Transnasional. Yogyakarta.
Fradejas, Alberto Alonso. 2012. Land Control-Grabbing in Guatemala: the political economy of contemporary agrarian change. Canadian Journal of Development Studies, 33:4, 509-528. DOI: 10.1080/02255189.2012.743455.
Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru :Genealogi dan Logika Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: Insist Press.
Robison, Richard. 2012. Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Turner, Sarah and Dominique Caouette. 2009. Shifting fields of rural resistance in Southeast Asia. Dalam Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporary Southeast Asia. New York: Routledge.
—-
[1] Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardi, ed. 2014. MP3EI-Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta. hlm. 68
[2] Peter Dauvergne dan Kate J. Neville. Forest, food and fuel in the tropics: the uneven social and ecological consequences of the emerging political economy of biofuel. The Journal of Peasant Studies. 37: 4, 631 — 660. DOI: 10.1080/03066150.2010.512451
[3] Ibid, hlm. 67
[4] Bernstein, Henry. 2010. Class Dynamics of Agrarian Change. Canada: Fernwood Publishing.
[5] Ibid.
[6] Alberto Alonso-Fradejas. 2012. Land Control-Grabbing in Guatemala: the political economy of contemporary agrarian change. Canadian Journal of Development Studies, 33:4, 509-528. DOI: 10.1080/02255189.2012.743455. hlm. 510
[7] David Harvey. 2010. Imperialisme Baru :Genealogi dan Logika Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book. hlm, 161.
[8] Rikardo Simarmata. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: Insist Press. hlm.216.
[9] Bernstein mengartikan depeasantization sebagai proses dimana petani kehilangan akses untuk reproduksi
[10] Richard Robison, 2012. Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu, hlm. 155
[11] Fradejas, Alberto Alonso. 2012. Land Control-Grabbing in Guatemala: the political economy of contemporary agrarian change. Canadian Journal of Development Studies, 33:4, 509-528. DOI: 10.1080/02255189.2012.743455. hlm. 524
[12] Sarah Turner and Dominique Caouette. 2009. “Shifting fields of rural resistance in Southeast Asia”. Dalam Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporary Southeast Asia. New York: Routledge. hlm. 1
[13] Ibid, Turner, hlm. 2
[14] Borras, Saturnino M, et all. 2010. Gerakan-Gerakan Agraria Transnasional. Yogyakarta: STPN Press. hlm. 5