ALIANSI politik kelompok demokratik di Burma terancam pecah.
Hari-hari belakangan, di tengah masifnya kampanye gerakan pelajar Burma untuk menolak Undang-undang Pendidikan Nasional,[1] serangan telak justru datang dari satu-satunya aliansi politik mereka. Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Daw Aung San Suu Kyi, secara terbuka menyatakan penolakan untuk memberikan dukungan politik terhadap perjuangan pelajar. Sikap NLD dan Suu Kyi tersebut ditegaskan dengan ancaman pencabutan keanggotaan terhadap Thein Lwin, seorang akademisi sekaligus salah satu anggota Komite Pusat NLD yang merupakan pendukung aktif gerakan pelajar Burma. Thein Lwin sendiri telah dicopot dari posisinya di Komite Pusat NLD dan sedang menunggu keputusan akhir mengenai status keanggotaannya dalam partai.[2]
Polemik terbuka ini dimulai 1 Februari lalu. Saat itu, Thein Lwin ikut menghadiri dan kemudian secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap tuntutan pelajar untuk melakukan peninjauan kembali terhadap paket undang-undang pendidikan yang sudah ditandatangani presiden Thein Sein. Dalam pernyataannya, Lwin menganggap bahwa tuntutan pelajar mesti didengarkan oleh junta militer dan perjuangan pelajar mesti terus dilangsukan sepanjang tidak adanya inisiatif untuk melakukan reformasi terhadap undang-undang tersebut. Pertemuan tersebut dihadiri empat pihak yang dianggap berkepentingan dalam menentukan masa depan pendidikan dalam negeri, yaitu perwakilan serikat pelajar, perwakilan dari serikat guru, perwakilan dari kelompok-kelompok minoritas dan perwakilan dari kelompok agama.
Pada 3 Februari, Suu Kyi secara terbuka dalam konferensi pers mengatakan bahwa keterlibatan Thein Lwin dalam gerakan protes yang dipelopori oleh pelajar dapat membahayakan strategi NLD sebagai partai yang sedang melangsungkan dialog dengan junta militer. Suu Kyi menegaskan bahwa keikutsertaan dan dukungan langsung terhadap gerakan pelajar tidak dapat dilakukan oleh mereka yang duduk dalam struktur Komite Pusat. Dukungan terhadap tuntutan pelajar hanya dapat dilakukan jika seseorang telah menyatakan mundur sebagai anggota Komite Pusat atau hanya berstatus anggota biasa di NLD.[3]
Mengapa perpecahan politik ini justru terjadi ketika gerakan pelajar tengah mengalami radikalisasi? Pelajaran apa yang dapat ditarik oleh gerakan pelajar di Indonesia dari perjuangan kolega mereka di Burma? Tulisan ini berupaya menjawab secara singkat pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memaparkan konstelasi politik dan kondisi terkini dari pertarungan politik terkait isu pendidikan di Burma.
JNRP dan Serikat Pelajar
Jaringan Nasional untuk Reformasi Pendidikan (JNRP) secara sederhana dapat dikatakan sebagai cerita sukses bagaimana gerakan pelajar membangun aliansi strategis politik yang diawali dari isu sektoral. Diawali dari berbagai pertemuan informal yang intensif selama tahun 2011, gerakan pelajar berhasil memetakan kelompok-kelompok pendukung yang juga bersepakat untuk menolak rancangan undang-undang pendidikan yang diajukan pemerintah ke parlemen. Di saat yang bersamaan, gerakan pelajar juga membuka diri melalui kerjasama-kerjasama politik taktis, yang tampak dalam keterlibatan berbagai kelompok dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan secara bersama. Secara sadar, gerakan pelajar berbagi panggung politik dengan mitra-mitra strategis yang secara sektoral memiliki fokus dan prioritas isu masing-masing.
JNRP merupakan front bersama antara perwakilan guru, kelompok-kelompok minoritas, kelompok agama dan tentu saja: serikat pelajar. Ada dua serikat paling berpengaruh dalam JNRP, yaitu All Burma Federation of Student Unions (ABFSU) dan Youth for New Society (YNS). ABFSU merupakan serikat pelajar tertua dan memiliki catatan keterlibatan dalam momen-momen penting sejarah perjuangan demokratik di Burma.[4] Serikat ini merupakan oposisi konsisten terhadap kebrutalan militer sejak kudeta yang dilancarkan militer pada 2 Maret 1962. Sebagian besar tokoh kunci NLD adalah orang-orang yang ditempa dan berpengalaman di ABFSU. Ketua Umum ABFSU, Min Ko Naing yang ditangkap di akhir September 2006 dan masih berada di dalam penjara hingga kini, juga merupakan salah satu anggota NLD.
Sedangkan YNS merupakan kelompok radikal pelajar yang awalnya merupakan faksi di dalam tubuh ABFSU. Perpecahan ini terutama terdapat pada sikap memandang hubungan antara ABFSU dan NLD. YNS selalu memandang dirinya sebagai tendensi radikal yang menolak perilaku submisif yang dialamatkan kepada kolektif pimpinan ABFSU paska berdirinya NLD.[5] Bagi YNS, gerakan pelajar mesti menjaga otonomi sektoral mereka untuk meminimalisir manuver-manuver politik kompromis yang dapat membahayakan pembangunan struktur dan cita-cita gerakan demokratik. Perpecahan tersebut menemui titik akhirnya pada Oktober 1988 paska Revolusi 8888.
Namun YNS sendiri mulai diorganisir kembali paska Revolusi Saffron di tahun 2007, tepatnya sejak pertengahan tahun 2010, yang menandai gelombang baru aktivisme pelajar di Burma. Meski embrio YNS sendiri yang berbentuk komite-komite aksi telah diorganisir sejak pertengahan 2005 dan terlibat aktif dalam barisan protes di protes besar yang berlangsung tahun 2007. Namun secara resmi, YNS nanti berdiri pada tahun 3 Februari 2012 setelah komite-komite aksi menyatakan sepakat untuk melakukan unifikasi.[6]
Mengonsentrasikan basis pengorganisirannya di Yangon, Mandalay, Pegu dan Sittwe, beberapa di antara tokoh-tokoh kunci YNS merupakan orang-orang yang pernah terlibat dalam perang gerilya di daerah Utara dan Barat Burma di pertengahan tahun 1990-an. Hal ini sedikit banyaknya ikut berkontribusi kepada lahirnya dukungan dari beberapa partai dan individu yang tergabung dalam United Nationalities Alliances (UNA), sebuah kelompok aliansi dari beberapa partai-partai lokal Burma yang sedang melakukan negosiasi dan gencatan senjata dengan junta militer.
Contohnya adalah saat U Aye Thar Aung dari Partai Nasionalis Rakhine (PNR), yang merupakan salah satu elemen bersenjata dalam UNA, kepada publik mengatakan bahwa kelompok pelajar mesti mendapatkan dukungan aktif dari siapapun yang memiliki perhatian terhadap isu ini. Strategisnya peran pendidikan bagi masa depan, membuat PNR memberikan dukungan kepada JNRP dan serikat pelajar. Dukungan tersebut dapat ditelusuri dengan kehadiran beberapa anggota PNR dalam protes-protes pelajar dan juga dukungan finansial. Junta militer sendiri telah memperingatkan UNA agar menjauhkan diri dari kisruh politik dan pemogokan-pemogokan pelajar, jika ingin terus melanjutkan dialog.[7]
Ketika JNRP dideklarasikan pada September 2012, UNA juga mengirimkan beberapa delegasinya untuk bergabung sebagai representasi kelompok-kelompok minoritas. Tuntutan utama UNA dan berbagai kelompok di dalamnya adalah kebutuhan akan undang-undang pendidikan yang akomodatif dan sensitif terhadap kelompok-kelompok minoritas kultural, yang tampak jelas dalam poin-poin rekomendasi JNRP yang kemudian ditolak oleh junta militer.[8]
JNRP memiliki sebelas poin tuntutan yang dijabarkan sebagai berikut:
- Memberikan ruang partisipasi bagi perwakilan fakultas dan pelajar untuk berpartisipasi dalam perumusan rancangan undang-undang dan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan.
- Secara resmi mengijinkan pembentukan serikat pelajar dan serikat pekerja di tingkatan universitas dan negara wajib melegalkan keberadaan serikat-serikat tersebut.
- Mendiskusikan kembali secara kritis komposisi dari Komisi Pendidikan Nasional (KNP) dan Komite Koordinasi dan Kerjasama antar Universitas (KKKU) dalam rancangan undang-undang pendidikan yang terbaru.
- Pendistribusian kekuasaan administratif dan manajerial ke daerah-daerah.
- Restrukturisasi sistem penerimaan dan ujian di tingkatan universitas yang sedang diberlakukan hari ini.
- Mengadopsi metode baru dalam pedagogi belajar mengajar untuk mendorong pemikiran independen dan memberikan ruang terhadap kebebasan berekspresi pelajar dalam proses belajar mengajar.
- Menghargai kebebasan penggunaan bahasa etnis yang terutama dialamatkan terhadap kelompok-kelompok minoritas serta penggunaan bahasa ibu sebagai medium belajar mengajar.
- Pendidikan yang tidak diskriminatif dengan mengakomodasi pelajar yang mengalami keterbatasan fisik.
- Pemulihan status para pelajar yang dipecat oleh pihak universitas karena alasan aktifisme politik.
- Alokasi 20% anggaran pemerintah untuk pendidikan nasional.
- Meningkatkan level bebas biaya pendidikan dari kelas 4 ke kelas 8.
Sebelas poin tuntutan di atas merupakan hasil rumusan kesepakatan yang sebagian besarnya didorong oleh perwakilan dari serikat mahasiswa yang direpresentasikan oleh Komite Perjuangan Pendidikan Demokratik (KPPD). KPPD merupakan front persatuan taktis antara ABFSU dan YNS. Aliansi temporer ini dibentuk bersamaan dengan terbitnya rancangan undang-undang pendidikan yang dianggap merupakan bentuk intervensi junta ke dalam sektor pendidikan dan dipandang sebagai strategi untuk membungkam serikat pelajar pada 30 Juli 2014.[9] KPPD memulai kampanye mereka dengan menyerukan mogok nasional yang dimulai sejak 15 November 2014, setelah merumuskan kesepakatan dalam pertemuan intensif selama dua hari pada 11-12 November, yang dihadiri para pemimpin ABFSU dan YNS. Protes ini secara serentak dilakukan di Yangon, Mandalay, Sittwe, Tavoy, Mergui dan Minbu.
Protes serikat pelajar tersebut terjadi di tengah kondisi junta militer yang sedikit banyaknya sedang terdesak. Selain harus menghadapi protes pelajar, rezim pimpinan Thein Sein juga dipaksa untuk melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok bersenjata yang dalam dua dekade terakhir melancarkan gerilya menentang kekuasaan junta. Kelompok-kelompok yang tergabung dalam UNA sedang mendesak pemerintah Burma untuk memberikan otonomi regional dan pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-kultural dari kelompok-kelompok etnis minoritas. Junta militer saat ini sedang dalam rangkaian negosiasi dengan pihak NLD untuk mendiskusikan soal reformasi politik di negeri tersebut setelah derasnya tekanan yang datang dari negara-negara donor.
Terkait keterlibatan serikat-serikat pelajar dalam JNRP, KPPD sebagai badan temporer perwakilan juga memainkan peran yang siginifikan. Dua dari enam juru bicara JNRP merupakan perwakilan serikat pelajar. Dua anggota mereka yang lain bekerjasama dalam tim kajian JNRP yang berjumlah sebelas orang. Tim ini bertugas untuk memblejeti perangkat undang-undang pendidikan yang diterbitkan pemerintah yang kemudian menghasilan sebelas poin rekomendasi di atas. KPPD juga secara aktif terlibat dalam aksi solidaritas dengan kelompok sektoral lain yang berada di dalam JNRP, yang misalnya ditunjukkan pada pengerahan massa dengan jumlah maksimal untuk mendukung protes para guru yang digagas oleh Federasi Guru Myanmar (FGT) pada 15 September tahun kemarin.
KPPD sendiri, hingga hari ini, masih terus membombardir jalanan dengan protes massa. Sejak Oktober dimulai, KPPD, ABFSU dan YNS telah 128 kali melakukan protes bersama ataupun tunggal. Sejak akhir Desember 2014, KPPD juga telah menyelenggarakan 9 kali pendidikan bersama yang diadakan bergantian oleh ABFSU dan YNS. Sejak akhir November 2014, KPPD bahkan sempat mengadakan dua kali pertemuan dengan kelompok pelajar anarkis sindikalis yang pada 19 Oktober, mendeklarasikan kehadiran mereka melalui protes di jalanan kota Yangon. Pengorganisiran lintas tendensi ini dipahami KPPD sebagai salah satu cara untuk memperkuat tekanan kepada junta militer agar mau menarik kembali paket undang-undang pendidikan dan menerima rekomendasi-rekomendasi yang disodorkan oleh para pelajar.
NLD dan Suu Kyi
Siapa tak kenal Daw Aung San Suu Kyi?
Perempuan ini adalah penerima Nobel pada tahun 1991, yang juga adalah anak tunggal dari tokoh revolusioner Burma bernama Aung San, pendiri partai Komunis Burma (CPB). Ayahnya adalah konseptor dan otak dibalik berdirinya Tatmadaw, embrio tentara nasional Burma. Aung San juga salah satu tokoh kunci kemerdekaan Burma dari Inggris, yang dieksekusi enam bulan sebelum kemerdekaan itu resmi dideklarasikan.[10] Setelah merdeka, Aung San diberi gelar pahlawan nasional dan dicatat sebagai salah satu founding father Burma.
Suu Kyi juga dipandang sebagai tokoh sentral perlawanan terhadap junta militer. Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini juga merupakan pemimpin umum Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Partai oposisi terbesar dan tercatat konsisten sebagai penentang junta militer yang berkuasa di Burma sejak kudeta di tahun 1962. NLD juga tercatat sebagai anggota Socialist International[11] dan Progressive Alliance[12]. Partai ini untuk pertama kalinya mengikuti pemilu dan langsung memenanginya. Kemenangan di tahun 1990 ini kemudian diinterupsi kembali oleh militer melalui pembatalan hasil pemilihan. NLD gagal berkuasa dan sebagian besar tokoh kunci mereka ditangkapi. Yang berhasil melarikan diri ke luar negeri, kemudian membentuk pemerintahan eksil dengan nama Pemerintahan Koalisi Nasional Federasi Burma (NCGUB).[13]
Sein Win, salah seorang sepupu Suu Kyi, ditunjuk sebagai Perdana Menteri NCGUB yang berkantor di Maryland, AS. Lembaga ini kemudian membubarkan diri pada 14 September 2012 sebagai bentuk dukungan atas reformasi yang sedang berlangsung di Myanmar. Interupsi militer tidak mengagetkan sama sekali. Suu Kyi, yang telah ditahan sejak satu tahun sebelum pemilu dilakukan secara terbuka telah mengekspresikan keraguannya tentang kemungkinan penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
NLD dibangun sebagai alat politik kaum oposisi paska Gerakan 8888 pada 8 Agustus 1988. Gerakan 8888 dipelopori oleh serikat pelajar di bawah payung ABFSU yang sejak Maret hingga Juni tahun itu, terus menerus melakukan pembangkangan sipil yang sukses memaksa Jendral Ne Win menyatakan mundur pada 23 Juli.[14] Posisi presiden kemudian diserahkan kepada Sein Lwin, sosok di balik aksi pemboman kantor utama ABSFU dan penembakan para pelajar yang terlibat protes di Universitas Rangoon pada tahun 1962. Pelajar yang tidak puas kemudian kembali melancarkan protes. Puncaknya dihelat sejak 8-12 Agustus yang berhasil melengserkan Sein Lwin, dengan korban jiwa mencapai hampir 3.000 orang.[15]
Periode ini sangat penting dalam sejarah perjuangan Burma menentang junta militer yang kemudian ikut membuka ruang tampilnya Daw Aung San Suu Kyi di hadapan publik Burma. Salah satu penandanya adalah ketika Suu Kyi melakukan pidato umum di Pagoda Shwedagon yang dihadiri lebih dari setengah juta orang. Popularitas Suu Kyi dan kebutuhan akan alat oposisi untuk bertarung dalam pemilu 1990, mendorong para aktivis anti junta militer mendorong pembentukan NLD pada 27 November 1988.[16]
Ketika Burma menyelenggarakan kembali pemilihan pertama setelah dua dekade dalam kepemimpinan diktator militer, NLD menolak berpartisipasi. Sebab utamanya adalah terbitnya peraturan perundangan pemilu yang dianggap diskriminatif dan sengaja didesain untuk menyerang para pemimpin NLD yang memiliki catatan panjang menentang junta militer. Undang-undang tersebut, misalnya, membatasi Suu Kyi untuk terlibat karena dianggap memiliki catatan kriminal sehingga tidak layak dicalonkan dalam level apapun oleh NLD.[17] Sikap politik yang kemudian membuat NLD dianggap organisasi tanpa bentuk karena menolak mendaftarkan dirinya.
Namun undang-undang pemilu tersebut akhirnya direformasi dengan terpaksa oleh junta militer. Dan dalam perhelatan pemilihan April 2012, NLD berhasil merebut 43 dari 664 kursi yang tersedia di parlemen Burma. Satu tahun sebelumnya, dalam sebuah pemilu yang telah diperkirakan hasilnya, Thein Sein yang merupakan seorang bekas jendral, terpilih untuk mengemban amanat sebagai presiden.
Suu Kyi kembali hingga kini masih menjadi ketua umum NLD setelah ia menang telak dalam pemilihan internal partai yang diselenggarakan pada 9 Maret 2013. Kemenangan Suu Kyi ini dianggap sebagai langkah persiapan menyambut pemilu pada tahun 2015 yang diprediksi akan dimenangkan oleh NLD. Namun langkah Suu Kyi dan strategi NLD kembali tersandung setelah junta militer menerbitkan aturan hukum sebagai persyaratan calon presiden yang mana tidak memperbolehkan seseorang yang diajukan sebagai kandidat menikah atau memiliki anak dengan kewarganegaraan asing.[18]
NLD berupaya mendorong agar undang-undang tersebut direformasi, namun mengalami kegagalan dalam pemungutan suara. Menanggapi kekalahan tersebut, dalam salah satu pernyataannya, NLD menegaskan bahwa mereka akan menyediakan calon alternatif yang sebanding untuk diajukan sebagai calon presiden dalam pemilihan tahun ini. Sejauh ini, belum jelas siapa tokoh yang akan didorong menjadi kandidat presiden oleh NLD. Hal ini disebabkan masih banyaknya figur kunci NLD yang berada di dalam penjara dan belum juga dibebaskan. Meski sejak terpilih, presiden Thein Sein telah berjanji akan membebaskan seluruh tahanan politik sebagai bagian dari komitmen melakukan reformasi politik di Burma.
Konflik Terbuka
Konflik antara ABFSU dan NLD sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bagi mereka yang secara intens mengikuti perkembangan politik kontemporer di Burma, hal ini sebenarnya sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari sejak dibebaskannya Suu Kyi dari tahanan rumah di tahun 2010. Pembebasan ini adalah sebuah hasil dari negosiasi ekonomi yang dilakukan oleh junta militer dengan donatur-donatur yang hanya akan mengucurkan bantuan jika Burma melakukan reformasi politik.
Pembebasan Suu Kyi bagi YNS, misalnya, dianggap bukan sebagai buah perjuangan demokratik dari kekuatan politik di Burma, tapi lebih merupakan pemberian dari Amerika Serikat. Inisiatif presiden Thein Sein untuk melakukan pertemuan meja bundar antara pemerintah dan seluruh partai dan kekuatan politik di Burma pada akhir tahun kemarin, juga dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari keinginan Amerika Serikat yang menginginkan pemilu bersih sebagai jaminan proses reformasi politik di Burma.[19]
Rangkaian pertemuan ini pula yang menjadi alasan bagi Suu Kyi dan elit-elit NLD untuk menolak memberikan dukungan politik terhadap gerakan protes pelajar, karena khawatir hal itu akan memicu reaksi negatif dari penguasa militer. Suu Kyi bahkan secara terbuka mengatakan bahwa pembicaraan dengan pihak militer terkait kepastian penyelenggaraan pemilu lebih penting daripada tuntutan reformasi pendidikan yang diserukan oleh gerakan pelajar. Sikap Thein Lwin yang adalah anggota Komite Eksekutif Pusat NLD, yang secara terbuka terlibat dalam advokasi politik yang dilakukan oleh JNRP, KPPD dan kelompok-kelompok lain dianggap menjadi blunder politik karena dapat dibaca sebagai keterlibatan NLD secara organisasional, yang kemudian jelas mengancam dialog yang sedang berlangsung.[20]
Sikap mendukung protes pelajar seperti yang ditempuh oleh PNR, dianggap dapat membahayakan keikutsertaan NLD dalam pemilu. Hal ini dikarenakan Komite Penyelenggara Pemilu (KPP) Burma telah dengan tegas menyatakan akan melarang partisipasi partai dalam pemilu 2015 nanti jika ditemukan ikut terlibat dalam protes pelajar.[21] Beberapa aktivis YNS, sebagai salah satu kelompok yang terlibat dalam KPPD menilai bahwa Suu Kyi dan NLD telah dibutakan oleh prediksi politik bahwa mereka pasti memenangkan pemilu, tanpa menyadari bahwa penolakan untuk mendukung gerakan pelajar justru menurunkan pamor politik NLD di tengah massa.[22]
Sementara itu, gerakan pelajar tengah menghadapi gelombang represi yang loncengnya dibunyikan melalui pernyataan Deputi Menteri Dalam Negeri, Brigadir Jendral Kyaw Zan Myint yang menyatakan bahwa pelajar harus segera menghentikan protes mereka jika ingin melanjutkan negosiasi mengenai amandemen undang-undang pendidikan. Jika protes terus dilangsungkan, maka pemerintah merasa memiliki kewajiban untuk mengambil langkah tegas untuk membubarkan aksi-aksi demonstrasi pelajar.[23] Permintaan agar para pelajar juga menghentikan aksi jalanan mereka juga diserukan oleh pemimpin kelompok agama Budha terkemuka di negeri tersebut, Ashin Nyanissara, yang tidak ditanggapi baik oleh YNS maupun oleh ABFSU.[24]
Pada 11 Februari, setelah rapat maraton selama hampir 10 jam, terjadi beberapa kesepakatan dalam pertemuan empat pihak terkait undang-undang pendidikan di Burma. Namun hal tersebut tidak mengendurkan sikap perwakilan serikat pelajar yang mengaku akan terus melakukan aksi massa.[25] Dalam pernyataan sikap tertanggal 17 Februari 2015, KPPD menyatakan bahwa protes akan berhenti setelah sebelas poin tuntutan mereka diterima oleh pemerintah. ABFSU, YNS dan NNER mengaku akan terus mendorong protes jalanan dan negosiasi dengan pemerintah di waktu yang bersamaan. Cara ini ditempuh agar pemerintah Burma tidak melakukan intimidasi seperti yang sudah sering terjadi.
Pelajaran untuk Gerakan Pelajar di Indonesia
ABFSU dan YNS secara politik memiliki sejarah pertentangan, namun mampu mengatasi perbedaan tersebut dengan secara sadar mendahulukan tujuan perjuangan sektoral yang menjadi jembatan persatuan. Penyatuan dalam bentuk aliansi ini, dikerjakan dengan serius dan melalui debat-debat terbuka mengenai argumentasi masing-masing pihak beserta analisis yang melandasinya. Dua hari pertemuan yang diselenggarakan sebelum mogok nasional, dijadikan ajang evaluasi sekaligus cara untuk saling mengenal batasan-batasan dalam front yang dibentuk. Baik ABFSU dan YNS menyadari bahwa keduanya harus secara sadar mendudukkan persoalan terbitnya Undang-undang Pendidikan Nasional sebagai isu prioritas dan untuk sementara mengesempingkan perbedaan strategi politik jangka panjang.
Gerakan pelajar di Indonesia juga sempat mendapati dirinya berada di momen politik seperti kolega mereka di Burma, semisal ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang-undang No.12/2012 tentang Perguruan Tinggi. Atau ketika pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang baru terpilih memutuskan untuk membagi Kementerian Pendidikan Nasional menjadi dua unit kerja yang terpisah secara administratif. Mundur ke belakang, gerakan pelajar di Indonesia juga pernah menemukan momentum politik sektoral ketika pemerintah menelurkan rencana mengenai liberalisasi institusi perguruan tinggi yang dituangkan dalam Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tinggi di tahun 2010.
Pertanyaannya kemudian, mengapa momentum politik sektoral di kalangan pelajar Indonesia justru sepi dari tanggapan? Mengapa serikat pelajar dan berbagai organisasi sejenis justru tidak mampu mendorong radikalisasi ketika mereka memiliki kesempatan?
Ironisnya, gerakan pelajar radikal di Indonesia sejak awal dekade 2000-an justru lebih banyak dipenuhi dengan cerita perpecahan. Konflik-konflik organisasional yang kemudian menggembosi struktur serikat dan pada akhirnya memaksa banyak aktivis pelajar untuk kembali mengulangi kerja-kerja ideologi, politik dan organisasi dari titik awal. Pengorganisiran justru menjadi lebih sulit karena sentimen personal, isu-isu spekulatif serta sikap apologetik berkembang pesat di lingkungan pelajar. Belum lagi jika menyoroti pola pikir konservatif dan diskriminatif yang berkembang di banyak serikat pelajar, yang misalnya enggan menghubungkan diri mereka dengan kelompok-kelompok minoritas pelajar lain seperti kelompok LGBT.
Ketika gerakan pelajar di Indonesia cenderung menilai demonstrasi sebagai alat pukul, KPPD Burma memberikan pelajaran berharga bahwa aksi massa tidak bisa dikesampingkan hanya sebagai alat penekan semata dan mengendur ketika negosiasi di ruang berpendingin udara telah dimulai. Sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh ABFSU dan YNS yang terus mengerahkan anggota mereka untuk melakukan kampanye melalui protes-protes berkesinambungan, semestinya juga dijadikan inspirasi bagaimana strategi politik yang telah ditetapkan dapat menjadi ukuran dalam pembangunan aliansi taktis maupun front jangka panjang. Namun aksi massa yang dikerjakan oleh ABSFU dan YNS juga dikombinasikan dengan kerja-kerja pengorganisiran yang ditandai dengan pendidikan politik secara sistematik dan terukur. Keduanya merupakan sisi mata uang yang tidak bisa tidak, mesti dikerjakan berbarengan.
Menjawab persoalan-persoalan tersebut sedikit banyaknya akan mampu memberikan sedikit penjelasan mengapa konsolidasi pelajar di Indonesia, ironisnya hanya mampu menunjukkan eksistensi mereka ketika harga bahan bakar minyak dinaikkan.***
Penulis adalah peneliti lepas dan mahasiswa pasca-sarjana di Mahasarakham University, Thailand dan Editor IndoPROGRESS.
*Penulis sengaja menggunakan kata Burma dan bukan Myanmar yang merupakan pemberian junta militer. Ini merupakan bentuk solidaritas politik dan kultural terhadap gerakan demokratik di negeri tersebut. Panggilan ini setara dengan penyebutan Papua dan bukan Irian Jaya.
————
[1] Andre Barahamin, “Kami Adalah Masa Depan: Potret Gerakan Mahasiswa Burma”, IndoPROGRESS. 10 Desember 2014, diakses 20 Februari 2015. https://indoprogress.com/2014/12/kami-adalah-masa-depan-potret-gerakan-mahasiswa-burma/
[2] Hein Ko Soe, “Daw Suu to lead NLD party’s education committee”, Mizzima, 10 Februari 2015, diakses 19 Februari 2015 http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/17650-daw-suu-to-lead-nld-party-s-education-committee
[3] Soe Than Lin, “NLD committee member must resign or cease education activism, says Suu Kyi”, Mizzima, 4 Februari 2015, diakses 20 Februari 2015 http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/17456-nld-committee-member-must-resign-or-cease-education-activism-says-suu-kyi
[4] Barahamin (2014), loc.cit.
[5] Dari hasil wawancara di lapangan selama Juli 2014, aktivis-aktivis YNS yang saya temui mengatakan bahwa pernyataan keterlibatan NLD dalam Revolusi Saffron 2008 tidak lebih merupakan klaim politik semata yang tidak terbukti di lapangan. Bungkamnya pimpinan-pimpinan ABFSU terhadap klaim ini dianggap sebagai salah satu bukti tuduhan-tuduhan yang dialamatkan YNS.
[6] Paska deklarasi, YNS justru menyatakan diri sebagai afiliasi resmi dari Partai Demokratik untuk Masyarakat Baru (PDMB) yang pada pemilu 1990, menyatakan diri menolak untuk terlibat. Partai ini berdiri pada tahun 1991dan kini memiliki cabang di 250 kota dan keanggotaan hingga sekitar 250.000 orang. PDMB dipandang sebagai mitra koalisi strategis NLD dalam kampanye penentangan terhadap junta militer.
[7] Hein Ko Soe, “Election commission tells UNA to stay out of student protest”, Mizzima, 24 Februari 2015, diakses 24 Februari 2015. http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/18093-election-commission-tells-una-to-stay-out-of-student-protest
[8] Yen Snaing, “Networks Rejects Burma’s Imminent National Education Bill, The Irrawaddy http://www.irrawaddy.org/burma/network-rejects-burmas-imminent-national-education-bill.html
[9] Jaringan Nasional untuk Reformasi Pendidikan, “Pertimbangan-pertimbangan terkait Paket Perundang-undangan Pendidikan Nasional”, Jaringan Nasional untuk Reformasi Pendidikan, 19 Agustus 2014, pernyataan pers.
[10] Bertil Lintner, The Rise and Fall of the Communist Party of Burma. (Cornell: CU Southeast Asia Program, 1990)
[11] http://www.socialistinternational.org/viewArticle.cfm?ArticleID=282
[12] http://progressive-alliance.info/participants/
[13] David Steinberg, Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know (Oxford: Oxford University Press, 2010)
[14] Bertil Lintner. Outrage: Burma Struggle’s for Democracy (Hong Kong: Review Publishing, 1989)
[15] Philippa Fogarty, “Was Burma’s 1988 uprising worth it”, BBC, August 8 2008, diakses 16 Februari 2015, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7543347.stm
[16] Vincent Boudreau, Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004)
[17] BBC, “Suu Kyi’s NLD Party to boycott Burma Election”, BBC, 29 Maret 2010, diakses 20 Februari 2015 http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8592365.stm
[18] BBC, “Burmese vote to retain Suu Kyi Burma presidential ban”, BBC, 13 Juni 2014, diakses 20 Februari 2015 http://www.bbc.com/news/world-asia-27838184
[19] BBC, “Myanmar Key’s players in rare roundtable talks”, BBC, 31 Oktober 2014, diakses 20 Februari 2015 http://www.bbc.com/news/world-asia-29844688
[20] Lin (2015), loc. cit.
[21] Soe (2015, loc. cit.
[22] Saya melakukan wawancara online sejak akhir Januari hingga pertengahan Februari 2015 dengan beberapa aktivis YNS terkait keputusan legal NLD yang menolak mendukung gerakan protes pelajar.
[23] Soe Than Linn, “Minister threatens legal actions against protest students”, MIzzima, 17 Februari 2015., diakses 20 Februari 2015 http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/17859-minister-threatens-legal-action-against-protest-students
[24] Min Min, “Students defy religious leader’s request to stop protest”, Mizzima, 16 Februari 2015, diakses 20 Februari 2015 http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/17820-students-defy-religious-leader-s-request-to-stop-protest
[25] Min Min, “Student protests continue despite agreement to change education law”, Mizzima, 12 Februari 2015, diakses 20 Februari 2015 http://www.mizzima.com/mizzima-news/myanmar/item/17702-student-protests-continue-despite-agreement-to-change-education-law